"Nah, beberapa hari kemudian sebelum sebelum kecelakaan, Ibumu cerita kalau ia sudah tahu apa yang membuat Pak Marno berkelakuan aneh begini. Ibumu meminta Tono— tukang ojek langganannya untuk menyelidiki Pak Marno selama beberapa hari itu. Hasil penyelidikan Tono—ternyata Pak Marno sudah cukup lama berselingkuh dengan seorang perempuan muda. Awalnya perempuan itu tinggal di sebuah rumah kontrakan dekat club selama kurang lebih dua tahun. Pak Marno selalu menemui perempuan itu di sana. Tapi pada istrinya, Pak Marno beralasan kalau ia ke club untuk menghilangkan penat." "Si Marno itu menjadikan club dan ibu lo sebagai alibi, padahal aslinya dia selingkuh dengan perempuan lain? Licik bener itu orang!" Tante Hilda berdecih. “Dan orang-orang jadi berpikir kalau Pak Marno berselingkuh dengan Ibu. Karena Pak Marno setiap malam menemui Ibu di club, bahkan pulang bersama. Pak Marno mengkambinghitamkan Ibu untuk menutupi perselingkuhannya." rutuk Marwa geram. "Betul." Bu Ros mengangguk."An
Marwa memacu mobilnya perlahan, membiarkan angin sore menyapu wajahnya melalui jendela yang sedikit terbuka. Suasana hatinya campur aduk. Ia ingin marah, ingin menangis, tapi juga ingin tertawa-tertawa miris pada hidup yang selalu membawanya ke pusaran masa lalu. Di kaca spion, bayangan rumah besar itu makin menjauh, namun justru kenangannya makin dekat. Suara Najwa, pelukan hangatnya, jari kelingking mungil yang dikaitkan pada janji... menghantui pikirannya.Ia memarkirkan mobil di depan rumah Tante Hilda. Sebelum turun, ia sempat bercermin di kaca spion. Menghapus jejak lembab air mata yang membasahi pipinya. Ia sudah pernah melewati badai. Seharusnya gerimis kecil seperti ini bukan masalah baginya.Tante Hilda menyambutnya dengan cengiran lebar. "Cepet amat lo balik? Kagak betah ya lo di sono?""Iya, Tan. Seperti biasa, Bu Ida dan gerombolannya tidak pernah menyambut baik kehadiran saya." Marwa balas menyengir meski nadanya pahit. "Ya begitulah kalo orang udah ke makan dendam. Mat
Bu Tika menunduk. Wajahnya memerah. Beberapa ibu saling pandang, lalu pura-pura sibuk dengan ponsel masing-masing."Ibu saya, walaupun seorang LC, ia masih punya hati karena peduli dengan orang lain walaupun ia sendiri juga kekurangan." Suara Marwa mulai bergelombang. Setelah dewasa seperti ini ia baru bisa melihat permasalahan dari sudut pandang yang lain. Bahwa sesungguhnya ibunya itu baik hati. Hanya karena sulit mendapatkan pekerjaan karena keterbatasan pendidikanlah yang membuat ibunya terpaksa menjadi seorang LC. "Bu Dokter, sini!" Terdengar suara Najwa memanggilnya. Marwa tersenyum pada Najwa, lalu menatap Bu Tika untuk terakhir kalinya. “Kita semua punya masa lalu, Bu. Tapi jangan jadikan itu alasan untuk menghina orang lain.” Setelah mengatakan itu, Marwa menghampiri pada Najwa. Gadis kecil itu kembali melambaikan tangan padanya. Waktunya menyanyikan lagu selamat ulang tahun dan pemotongan kue, rupanya. Setelah semua tamu-tamu mendekat, lagu ulang tahun dinyanyikan dan kue
Marwa menghentikan mobilnya di depan rumah besar milik keluarga Haryo. Rasanya seperti dejavu—seolah ia ditarik kembali ke masa lalu. Dulu, ia sering melewati rumah mewah ini setiap kali hendak pergi ke rumah Indra, ketua kelasnya, saat mereka mengerjakan tugas kelompok. Rumah Indra hanya berjarak dua rumah dari rumah Haryo.Ia juga beberapa kali ikut ibunya ke rumah ini setiap kali sang ibu membayar uang kontrakan. Ibunya membutuhkannya untuk menulis kwitansi perpanjangan kontrak, karena Bu Ida atau Pak Marno sering beralasan tidak memiliki buku kwitansi dan materai di rumah. Kenyataan itu terbukti saat pembayaran terakhir tidak diakui oleh Haryo. Kala itu, ibunya membayar langsung pada Pak Marno, yang lupa memberikan kwitansi. Rumah itu tak banyak berubah. Masih dengan cat krem pucat, jendela-jendela besar berteralis besi hitam, dan tanaman puring yang tumbuh subur di sisi kanan taman. Yang berbeda hanya pagar besi yang kini menjulang lebih tinggi, seakan ingin menjaga rahasia kel
“Sumpah, saya tidak menyangka kalau Dokter Arga itu laki banget!” Suster Ayu dengan semangat bergosip. Jam makan siang seperti ini memang waktunya bergosip ria di kantin rumah sakit. Saat ini ia makan siang bersama Suster Erna dan Dokter Marwa. “Bayangkan, ia menjadikan dirinya tameng untuk melindungi Dokter Marwa. Kami semua merasa seperti melihat drama Korea secara live tadi,” imbuhnya lagi.“Dokter beruntung banget ya, bertemu Dokter Arga waktu itu?” timpal Suster Erna yang ikut mendengar gosip.“Beliau yang beruntung bertemu denganku,” jawab Marwa kalem. Mendengar kata-kata Marwa, Suster Erna dan Suster Ayu terkekeh. Cara bercanda Marwa memang tidak biasa.“Eh, tapi saya penasaran, Bu Winda itu depresinya karena apa sih?” tanya Suster Erna pada Suster Ayu.“Menurut cerita Bu Emi—ibunya Bu Winda—semua berawal dari patah hati yang datang bertubi-tubi. Awalnya, Bu Winda mengalami pengkhianatan besar: suaminya berselingkuh dengan teman sekantornya sendiri, yang tak lain adalah sahaba
Marwa sedang melakukan visit pagi rutin di bangsal ketika teriakan panik memecah keheningan. Ia segera berbalik. Dari bed sebelah, kekacauan pecah-Winda Asifa, pasien yang semalam masuk rumah sakit karena menenggak racun serangga, kembali beraksi.Dengan tangan gemetar, Winda memecahkan gelas di samping ranjang, lalu mengacungkan pisau buah ke arah pergelangan tangannya sendiri. Suasana di kamar itu, yang berisi tiga pasien, sontak berubah ricuh."Winda, letakkan pisaunya, ya, Nak?" bujuk ibu Winda dengan suara bergetar, penuh kekhawatiran. Winda, dengan wajah pucat dan mata sembap, menggenggam pisaunya erat-erat. Ia menatap liar ke setiap penjuru kamar sambil terus menggeram. Tangis sedih ibunya, serta tangis ketakutan para pembesuk pasien lainnya, tak menggoyahkan hatinya. Ia hanya ingin mati!"Biarkan aku mati! Aku sudah bosan terus dipermainkan! Semua laki-laki memang biadab!" teriak Winda histeris.Ingatan akan para pria yang menyakitinya membuat amarahnya membara. Atmosfer di r
Sementara itu, setelah makan siang di kantin, Marwa bergegas menuju ruang staf dokter. Ia ingin mengecek jadwal operasi berikutnya. Namun, baru beberapa langkah, sebuah suara menghentikannya."Marwa."Langkah Marwa melambat, lalu berhenti. Ia menoleh—Arga berdiri di ujung lorong, menunggunya.Marwa mendecakkan lidah. Sebenarnya ia malas sekali menghadapi Arga berduaan. Tapi ia sadar, cepat atau lambat ini pasti terjadi."Ada apa... Dokter?" tanyanya datar.Arga menarik napas panjang mendengar sebutan Marwa padanya. Dokter—bukan Mas Arga, seperti dulu. Nada suaranya juga dingin dan menjaga jarak."Aku..." Arga berdehem pelan. "Aku cuma mau bicara.""Kalau soal pekerjaan, silakan," sahut Marwa cepat. "Tapi kalau soal pribadi, saya tidak tertarik."Arga menelan ludah. Marwa benar-benar sulit didekati."Setidaknya... bisakah kamu membuka blokiran WhatsApp-ku? Kita ini satu profesi di rumah sakit yang sama. Ke depannya kita akan sering berkomunikasi, bukan?""Oke, akan saya buka. Tapi deng
Siang itu, kantin Rumah Sakit Harapan Sehat dipenuhi oleh para dokter dan nakes yang sedang menikmati makan siang. Aroma lezat makanan menguar di udara, berpadu dengan suara piring dan peralatan makan yang beradu. Marwa duduk di salah satu meja bersama Dokter Bertha, Dokter Emilia, dan Suster Erna. Mereka menikmati nasi campur sederhana sambil bercengkerama ria. Marwa memang lebih suka makan di kantin kalau jadwal operasinya mepet." "Enak sekali ya sambal terasi Mbok Jum hari ini. Muantep poll!" gumam Dokter Emilia sambil mendesah dan mengipas-ngipas mulutnya yang kepedasan.Marwa baru saja menyuap sayur asem saat mendengar gumam riuh dan bisik-bisik dari arah belakang. Sekelompok perawat muda tampak heboh. Pandangan mereka tertuju ke pintu masuk kantin. Suster Erna, yang duduk tepat di depan Marwa, ikut-ikutan menoleh. "Eh, itu dia! Yang baru datang itu loh... dokter jantung baru, katanya sih cakepnya kebangetan," bisiknya sambil menyikut Dokter Bertha penuh semangat.Marwa ikut me
Dulu, di sepanjang jalan ini, berjejer warung-warung kecil. Warung Bu Aminah, Pak Darto, Mbak Sri—semuanya tempat Marwa kecil menitipkan kue buatannya. Bolu kukus, risoles, pastel—dibungkus rapi dalam plastik bening. Setiap sore, selepas pulang sekolah, ia akan berkeliling menagih hasil jualan. Kadang pendapatannya cukup banyak hingga bisa membeli sembako. Tapi kadang hanya cukup untuk menjadi modal untuk esok harinya. Tapi ia tidak pernah mengeluh. Di usianya yang belia, ia sudah mengerti arti kerja keras.Kini, yang tersisa hanya kenangan. Warung-warung itu telah lenyap, berganti tembok kokoh toko-toko besar.Tak berapa lama, langkahnya terhenti di depan gerbang sekolah Nusa Persada. Tempatnya bersekolah dari SD hingga SMP. Gerbang besi tampak tertutup rapat. Sekolah tampak lengang. Tidak ada suara anak-anak berlarian, suara teriakan guru, atau pun tawa ceria anak-anak.Wajar, pikir Marwa. Ini hari Minggu.Ia meraih pagar gerbang dan menempelkan dahinya sesaat di sana, matanya menyu