Share

5. Tuduhan Tanpa Dasar.

Author: Suzy Wiryanty
last update Last Updated: 2025-04-23 20:11:55

Begitu tiba di Rumah Sakit Medika, Marwa dan Marsya langsung berlari ke ruang UGD. Tapi langkah mereka terhenti begitu melihat dua sosok yang berdiri di depan pintu dengan wajah tegang.

Bu Ida dan Haryo!

Bu Ida berdiri berkacak pinggang dengan wajah penuh kemarahan. Sementara Haryo yang berdiri di sisinya memandang dengan ekspresi sinis. Rasa jijik jelas terlihat di wajah keduanya. 

"Kalian tahu Ibu kalian kecelakaan bersama siapa? Bersama Marno, suamiku!" Bu Ida menepuk dadanya keras. 

"Ibumu memang perempuan murahan!" Nada suara Bu Ida meninggi. 

"Suami Ibu juga murahan dong. Kok Ibu cuma mengatai Ibu saya saja?" ejek Marsya sinis. 

"Sudah, Kak. Kita langsung temui Ibu saja." Marwa menggamit lengan sang kakak. 

"Aku lihat cuma kamu yang paling waras di antara keluargamu yang lain." Bu Ida mendekati Marwa. Menahan langkahnya yang siap melesat pergi.

"Harusnya kamu bisa memperingati ibumu agar tidak selingkuh dengan suami orang! Haryo sudah memperingati kamu bukan?" amuk Bu Ida lagi. 

"Sudah, Bu. Saya juga sudah menanyakannya pada ibu saya. Ibu saya bilang, ia tidak berselingkuh dengan Pak Marno, Bu. Pak Marno datang sendiri ke club menemui Ibu saya," kata Marwa jujur.

"Halah, kalau Ibumu tidak menggoda suamiku, mana mungkin suamiku kepincut. Dasar anak lonte!" Tidak punya alasan lagi untuk membantah, Bu Ida memaki sembarang.

"Mulut Ibu busuk banget rupanya. Pantas Pak Marno lebih betah di club daripada di rumah. Mana ada laki-laki yang tahan pada istri judes cemburuan seperti Ibu?" Marsya meledek Bu Ida. 

"Kelakuan kamu sama persis seperti ibumu. Awas, azab pasti akan melanda keluarga kalian!" Bu Ida menyumpahi Marsya.

"Udah, Kak. Udah. Kita ke Ibu saja." Marwa menarik tangan sang kakak yang bersiap melawan. Marwa berusaha meredam keributan yang lebih besar.

Saat mereka melewati Haryo, pemuda itu menggumam dengan nada rendah, tapi cukup jelas untuk didengar oleh Marwa.

"Keluarga sampah bau bangkai. Kehadiran kalian hanya mencemari lingkungan. Cuih!" Haryo meludah jijik. 

Langkah Marwa terhenti sejenak. Ia menoleh, menatap Haryo lurus-lurus. Ia sangat terluka. Namun ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.

"Aku beri kalian waktu seminggu untuk mengosongkan rumah. Aku tidak mau melihat wajah-wajah sampah kalian ada di sekitar keluargaku lagi. Enyahlah kalian semua dari hidupku!" Haryo menatap kedua mata Marwa lurus-lurus. 

"Kak Haryo harus menunggu sampai tahun depan kalau ingin mengusir kami. Ibu sudah membayar uang sewa untuk satu tahun ke depan pada Pak Marno minggu lalu." Marwa tidak mau diintimidasi begitu saja. 

"Apa bukti kalau ibumu sudah membayarnya?" Haryo berkacak pinggang. Di antara semua anggota keluarga keluarga, wajah Marwa ini yang paling mirip dengan ibunya. Saat sedang berhadapan muka seperti ini, ia langsung teringat pada Bu Mariana. Orang yang sekarang paling dibencinya!

"Lagi pula, ibumu membayarnya dengan apa? Dengan uang atau selangkangannya?" tantang Haryo dengan sikap melecehkan. Marwa terperangah. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Haryo sampai hati mengejeknya dengan kata-kata yang sangat kotor. 

Marwa menghitung satu sampai sepuluh sebelum memberi jawaban. Ia tidak punya bukti bahwa ibunya telah membayar uang sewa. Kata ibunya, Pak Marno belum sempat memberi kwitansi pembayaran kontrak rumah minggu lalu karena lupa membawa kwitansi. Marwa sadar, bahwa ia telah kalah. Namun ia tidak mau menyerah. Siapa tahu Pak Marno nantinya sadar dan mengaku bahwa ia telah menerima uang kontrakan dari ibunya.

"Tidak keduanya." Alih-alih Marwa, Marsyalah yang menjawab pertanyaan Haryo. 

"Tapi dengan ini." Marsya membuat gerakan tangan seperti orang yang sedang menjilat es lilin. Ia memang sengaja memprovokasi Haryo, agar laki-laki sok suci ini emosi. Misinya sukses. Air muka Bu Ida dan Haryo seketika gusar. Mereka marah besar!

"Anjing! Dasar pelacur kecil! Kamu ini sama najisnya dengan ibumu!" Haryo menyumpah-nyumpah kasar. 

Marwa tidak merespon amarah keduanya. Ia segera mengajak Marsya menjauh, agar kekacauan tidak berlarut-larut. Mereka harus segera melihat keadaan Ibu mereka. 

"Aku puas sekali melihat ibu dan anak itu kejang-kejang, Wa. Dasar keluarga sok suci!" desis Marsya sinis.

"Sudah, tidak usah dipikirkan lagi. Ayo kita lihat Ibu sekarang. Semoga saja ibu selamat dan baik-baik saja." Marwa membawa Marsya masuk ke ruang UGD. Di sana mereka diberi pakaian khusus oleh petugas sebelum melihat keadaan ibunya.

Suara monitor jantung masih berbunyi ketika Marwa dan masuk ke ruang UGD. Langkah Marwa dan Marsya terhenti saat mereka melihat seorang perawat menurunkan kain putih, menutupi wajah ibunya yang berlumuran darah.

"Ibu...?" suara Marwa nyaris tak terdengar, hanya bisikan yang putus di tenggorokannya.

Perawat menatapnya dengan penuh iba. "Maaf ya, Dik... kami sudah berusaha."

Marwa tersentak, dadanya terasa sesak, dunia di sekelilingnya seakan runtuh.

"Tidak!" Marwa berlari ke sisi tempat tidur, menarik kain putih itu dengan kasar. "Ibu! Bangun! Jangan pergi!"

Tapi tubuh itu tetap diam.

Waktu seakan berhenti. Dunia Marwa hancur dalam sekejap. Ibunya-bagaimanapun kelakuannya, bagaimanapun kesalahannya-adalah jantung dari rumah mereka. Sumber kehangatan, sekaligus perisai dari segala kerasnya hidup.

Dan kini, perisai itu telah pergi.

Marwa dan Marsya menangis meraung-raung. Tangisan yang bukan sekadar kesedihan, tapi ketakutan akan hari esok. Bagaimana mereka bisa bertahan tanpa ibu? Siapa yang akan berdiri di depan untuk melindungi mereka?

Di seberang ruangan yang hanya dibatasi tirai kain, tangisan lain terdengar.

Bu Ida meraung, tubuhnya bergetar hebat saat dokter melepas masker oksigen dari wajah Pak Marno yang kini tak lagi bernyawa. Bu Ida menjerit seperti orang kesurupan. Ia terus memanggil-manggil nama suaminya.

"Lihat apa yang sudah ibu kalian lakukan!" Bu Ida menyibak tirai. Menunjuk ke arah Marwa dan Marsya dengan tatapan beringas. "Suamiku mati, anak pelacur sialan!" pekik Bu Ida lagi.

Marwa mengangkat kepalanya perlahan. Air matanya masih mengalir, tetapi kini ada kilatan lain di matanya.

"Sudah, Bu..." suaranya parau. "Tolong, jangan membuat kekacauan... kita semua merasa sangat kehilangan," rintih Marwa parau."

"Ini semua gara-gara ibu kalian!" Bu Ida kembali memekik histeris. "Mariana itu pembawa sial! Perusak rumah tangga orang! Sekarang suamiku sudah mati! Kalian puas?" Bu Ida kembali berteriak histeris.

Marwa tidak menjawab. Ia tidak bisa.

Namun, di antara amukan Bu Ida, ada tatapan lain yang lebih menusuk.

Haryo.

Pemuda itu berdiri di samping ibunya, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Sorot matanya penuh kebencian, seolah ingin mencekik Marwa hidup-hidup.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Agustina Suzartiany
kasian marwa....masih misteri nih kenapa Bu Mariana bisa sama pa Haryo pada saat kecelakaan....
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   98. Akhir Kisah Cinta (END)

    Dedaunan di pekarangan rumah Haryo tampak bergoyang pelan, ditiup angin sore yang lembut. Aroma wangi daun pandan dari dapur menyapa Marwa saat ia turun dari mobil. Hari ini ia menjenguk Haryo dan Bu Ida, yang tadi pagi baru pulang dari rumah sakit.“Aku lanjut menemui klien dulu, ya? Nanti aku balik lagi ke sini. Silakan puas-puasin dulu pacaran dengan Haryo,” Siska nyengir sebelum memutar balik mobil.Marwa menjawab dengan kepalan tangannya. Setelah Siska berlalu, Marwa pun memencet bel.Tak butuh waktu lama, pintu pun dibuka. Hani berdiri di ambang pintu dengan air muka ramah.“Ayo masuk, Wa. Mas Haryo mengomel melulu karena kamu belum datang menjenguk,” tukasnya sambil menarik tangan Marwa masuk ke dalam rumah.Dari ruang tengah terdengar suara ceria anak-anak kecil yang membuat hati Marwa tergugah. Ia mengenali salah satu suara anak kecil itu.“Dokter Marwaaa!” seru Najwa, berlari kecil dengan rambut dicepol asal dan piyama yang kebesaran. Gadis kecil itu tampak sangat nyaman ber

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   97. Kesaksian Pak Tono.

    Setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit, Marwa akhirnya diperbolehkan pulang. Selanjutnya, ia akan menjalani rawat jalan dua minggu sekali hingga pulih seperti sediakala. Berbeda dengan dirinya, Haryo dan Bu Ida mungkin baru boleh pulang seminggu ke depan. Kondisi keduanya lebih serius darinya.Sekarang Marwa tinggal bersama Siska untuk sementara, karena rumahnya sudah habis dilalap api. Ia juga sudah membuat keputusan untuk tidak membangun kembali rumah itu. Terlalu banyak kenangan menyakitkan di sana.Ada satu hal yang membuat Marwa sangat bersyukur: alih-alih dirinya mengunjungi Pak Tono ke Pekalongan, justru Pak Tonolah yang akan mengunjunginya. Pak Tono memang harus memberikan keterangan ke kantor polisi setelah kondisinya membaik. Karena sedang berada di Jakarta, Pak Tono sekalian mengunjunginya untuk menceritakan tentang kejadian lima belas tahun yang lalu.Dan hari itu, sebuah pertemuan menjadi titik terang baru di tengah reruntuhan masa lalu.Pak Tono akhirnya datang. S

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   96. Menyemai Impian.

    "Ya terserahlah kalau kamu memaksa,” Marwa pura-pura pasrah.“Dasar gengsian.” Siska mengerucutkan bibirnya. “Aku ke mobil sebentar mengambil tas ya, Wa. Aku pengen mandi. Gerah banget.” Siska mengambil remote mobil dari dalam tas dan berlalu.Marwa menggeser punggung dan meringis setelahnya. Bahunya terasa perih. Namun ia tahu kalau dirinya akan baik-baik saja. Kehadiran Siska sedikit banyak menenangkannya. Ternyata di tengah badai hidup yang menghancurkan segalanya, Allah tetap mengirimkan satu dua tangan untuk menggenggamnya, menuntunnya kembali berdiri. Di antaranya adalah Haryo dan Siska.Marwa memejamkan mata, bibirnya berbisik pelan,“Alhamdulillah.”Ia tahu, selama masih ada cinta dan ketulusan dalam hidupnya, ia pasti bisa melewati apa pun***Dua hari di rumah sakit, kondisinya mulai membaik. Demikian juga dengan Haryo dan Bu Ida. Ia akhirnya diizinkan menjenguk mereka di ICU. Dengan bantuan Siska, yang sudah dua hari menemaninya di rumah sakit, Siska mendorong kursi rodanya

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   95. Alhamdullilah.

    Bunyi detak monitor dan aroma disinfektan menyapa indera Marwa begitu matanya terbuka perlahan. Cahaya lampu langit-langit menyilaukan, membuatnya menyipit. Tubuhnya berat, nyeri menyebar dari ujung kaki hingga ujung kepala. Beberapa bagian kulitnya terasa perih, dibalut perban. Napasnya masih terasa berat—tapi jauh lebih baik daripada sebelumnya.Butuh waktu beberapa detik sebelum ia menyadari—ia masih hidup.“Dokter Marwa sudah sadar? Syukurlah.” Suara lembut perawat terdengar dari samping. Suster Erna. Wajah Suster Erna dipenuhi kelegaan, namun juga kesedihan saat melihat keadaan Marwa.Marwa mencoba membuka mulut, namun hanya desahan lirih yang keluar. Matanya menatap sekitar, mencari seseorang. “Haryo...,” bisiknya, nyaris tak terdengar. Sesuatu tiba-tiba saja memasuki benaknya. Ia teringat pada sosok lain.“Bu Ida?” Marwa kembali bertanya. Kecemasan mewarnai bola matanya.Suster Erna menggenggam tangannya. “Pak Haryo dan Bu Ida juga berhasil diselamatkan,” lanjut Suster Erna cep

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   94. Neraka Kedua.

    Tengah Malam Dalam tidurnya, Marwa bermimpi. Ia berada dalam kobaran api, seperti yang pernah terjadi lima belas tahun lalu. Namun kali ini, rumah yang terbakar bukan rumah lamanya, melainkan rumahnya yang sekarang. Ia melihat ayah, ibu, abang, dan kakaknya berdiri di tengah kobaran api dengan pakaian serba putih.Ia berlari di antara kobaran api, berteriak memanggil nama ayah, ibu, abang, dan kakaknya agar mereka semua menjauh. Namun mereka semua seperti tidak mendengar jeritannya. Mereka semua tetap berdiri di balik jilatan api yang mengamuk. Yang mengherankan mereka semua tidak terbakar.“Pergi, Marwa... Lari! Selamatkan dirimu sekarang juga!” seru ibunya dari tengah kobaran api.Tangan ibunya menjulur, ingin menggapainya. Namun pegangan mereka tak pernah sampai. Api terus membakar di antara mereka.Tiba-tiba, dari sudut ruangan, terdengar suara rendah, menggeram dengan kebencian yang menyesakkan. "Seharusnya dulu kamu ikut hangus terbakar!”Marwa terbangun dengan tubuh berpeluh.

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   93. Meragu.

    Tiga Bulan KemudianMalam itu, cahaya lampu jalan menyusup samar melalui celah tirai jendela rumah Marwa, menebarkan siluet redup di dinding ruang tamu. Di tangannya, sebuah ponsel menempel di telinga. Suaranya terdengar lirih, menahan haru saat menerima kabar baik dari seberang sana."Alhamdulillah... Terima kasih sudah mengabari saya, Pak Sudin. Saya sungguh senang mendengarnya," ucap Marwa gembira. Kabar inilah yang selalu ia nantikan."Pak Tono sudah jauh lebih baik, Nak," ujar Pak Sudin dari ujung telepon. "Sekarang beliau bukan cuma mengenali anak istri dan keluarganya. Tetangga-tetangga lamanya pun sudah bisa beliau kenalinya. Malah sekarang Pak Tononya sudah mulai rutin bermain catur dengan teman-teman lamanya." "Syukurlah Pak kalau Pak Tono makin membaik. Besok pagi saya ke sana ya, Pak. Saya ingin melihat keadaan Pak Tono." "Baik, Nak Marwa. Kami tunggu kedatangannya ya." Pak Sudin menyambut antusias rencananya. Marwa menutup panggilan itu dengan senyum tipis yang penuh ra

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status