Bu Ida dan Haryo!
Bu Ida berdiri berkacak pinggang dengan wajah penuh kemarahan. Sementara Haryo yang berdiri di sisinya memandang dengan ekspresi sinis. Rasa jijik jelas terlihat di wajah keduanya.
"Kalian tahu Ibu kalian kecelakaan bersama siapa? Bersama Marno, suamiku!" Bu Ida menepuk dadanya keras.
"Ibumu memang perempuan murahan!" Nada suara Bu Ida meninggi.
"Suami Ibu juga murahan dong. Kok Ibu cuma mengatai Ibu saya saja?" ejek Marsya sinis.
"Sudah, Kak. Kita langsung temui Ibu saja." Marwa menggamit lengan sang kakak.
"Aku lihat cuma kamu yang paling waras di antara keluargamu yang lain." Bu Ida mendekati Marwa. Menahan langkahnya yang siap melesat pergi.
"Harusnya kamu bisa memperingati ibumu agar tidak selingkuh dengan suami orang! Haryo sudah memperingati kamu bukan?" amuk Bu Ida lagi.
"Sudah, Bu. Saya juga sudah menanyakannya pada ibu saya. Ibu saya bilang, ia tidak berselingkuh dengan Pak Marno, Bu. Pak Marno datang sendiri ke club menemui Ibu saya," kata Marwa jujur.
"Halah, kalau Ibumu tidak menggoda suamiku, mana mungkin suamiku kepincut. Dasar anak lonte!" Tidak punya alasan lagi untuk membantah, Bu Ida memaki sembarang.
"Mulut Ibu busuk banget rupanya. Pantas Pak Marno lebih betah di club daripada di rumah. Mana ada laki-laki yang tahan pada istri judes cemburuan seperti Ibu?" Marsya meledek Bu Ida.
"Kelakuan kamu sama persis seperti ibumu. Awas, azab pasti akan melanda keluarga kalian!" Bu Ida menyumpahi Marsya.
"Udah, Kak. Udah. Kita ke Ibu saja." Marwa menarik tangan sang kakak yang bersiap melawan. Marwa berusaha meredam keributan yang lebih besar.
Saat mereka melewati Haryo, pemuda itu menggumam dengan nada rendah, tapi cukup jelas untuk didengar oleh Marwa.
"Keluarga sampah bau bangkai. Kehadiran kalian hanya mencemari lingkungan. Cuih!" Haryo meludah jijik.
Langkah Marwa terhenti sejenak. Ia menoleh, menatap Haryo lurus-lurus. Ia sangat terluka. Namun ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
"Aku beri kalian waktu seminggu untuk mengosongkan rumah. Aku tidak mau melihat wajah-wajah sampah kalian ada di sekitar keluargaku lagi. Enyahlah kalian semua dari hidupku!" Haryo menatap kedua mata Marwa lurus-lurus.
"Kak Haryo harus menunggu sampai tahun depan kalau ingin mengusir kami. Ibu sudah membayar uang sewa untuk satu tahun ke depan pada Pak Marno minggu lalu." Marwa tidak mau diintimidasi begitu saja.
"Apa bukti kalau ibumu sudah membayarnya?" Haryo berkacak pinggang. Di antara semua anggota keluarga keluarga, wajah Marwa ini yang paling mirip dengan ibunya. Saat sedang berhadapan muka seperti ini, ia langsung teringat pada Bu Mariana. Orang yang sekarang paling dibencinya!
"Lagi pula, ibumu membayarnya dengan apa? Dengan uang atau selangkangannya?" tantang Haryo dengan sikap melecehkan. Marwa terperangah. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Haryo sampai hati mengejeknya dengan kata-kata yang sangat kotor.
Marwa menghitung satu sampai sepuluh sebelum memberi jawaban. Ia tidak punya bukti bahwa ibunya telah membayar uang sewa. Kata ibunya, Pak Marno belum sempat memberi kwitansi pembayaran kontrak rumah minggu lalu karena lupa membawa kwitansi. Marwa sadar, bahwa ia telah kalah. Namun ia tidak mau menyerah. Siapa tahu Pak Marno nantinya sadar dan mengaku bahwa ia telah menerima uang kontrakan dari ibunya.
"Tidak keduanya." Alih-alih Marwa, Marsyalah yang menjawab pertanyaan Haryo.
"Tapi dengan ini." Marsya membuat gerakan tangan seperti orang yang sedang menjilat es lilin. Ia memang sengaja memprovokasi Haryo, agar laki-laki sok suci ini emosi. Misinya sukses. Air muka Bu Ida dan Haryo seketika gusar. Mereka marah besar!
"Anjing! Dasar pelacur kecil! Kamu ini sama najisnya dengan ibumu!" Haryo menyumpah-nyumpah kasar.
Marwa tidak merespon amarah keduanya. Ia segera mengajak Marsya menjauh, agar kekacauan tidak berlarut-larut. Mereka harus segera melihat keadaan Ibu mereka.
"Aku puas sekali melihat ibu dan anak itu kejang-kejang, Wa. Dasar keluarga sok suci!" desis Marsya sinis.
"Sudah, tidak usah dipikirkan lagi. Ayo kita lihat Ibu sekarang. Semoga saja ibu selamat dan baik-baik saja." Marwa membawa Marsya masuk ke ruang UGD. Di sana mereka diberi pakaian khusus oleh petugas sebelum melihat keadaan ibunya.
Suara monitor jantung masih berbunyi ketika Marwa dan masuk ke ruang UGD. Langkah Marwa dan Marsya terhenti saat mereka melihat seorang perawat menurunkan kain putih, menutupi wajah ibunya yang berlumuran darah.
"Ibu...?" suara Marwa nyaris tak terdengar, hanya bisikan yang putus di tenggorokannya.
Perawat menatapnya dengan penuh iba. "Maaf ya, Dik... kami sudah berusaha."
Marwa tersentak, dadanya terasa sesak, dunia di sekelilingnya seakan runtuh.
"Tidak!" Marwa berlari ke sisi tempat tidur, menarik kain putih itu dengan kasar. "Ibu! Bangun! Jangan pergi!"
Tapi tubuh itu tetap diam.
Waktu seakan berhenti. Dunia Marwa hancur dalam sekejap. Ibunya-bagaimanapun kelakuannya, bagaimanapun kesalahannya-adalah jantung dari rumah mereka. Sumber kehangatan, sekaligus perisai dari segala kerasnya hidup.
Dan kini, perisai itu telah pergi.
Marwa dan Marsya menangis meraung-raung. Tangisan yang bukan sekadar kesedihan, tapi ketakutan akan hari esok. Bagaimana mereka bisa bertahan tanpa ibu? Siapa yang akan berdiri di depan untuk melindungi mereka?
Di seberang ruangan yang hanya dibatasi tirai kain, tangisan lain terdengar.
Bu Ida meraung, tubuhnya bergetar hebat saat dokter melepas masker oksigen dari wajah Pak Marno yang kini tak lagi bernyawa. Bu Ida menjerit seperti orang kesurupan. Ia terus memanggil-manggil nama suaminya.
"Lihat apa yang sudah ibu kalian lakukan!" Bu Ida menyibak tirai. Menunjuk ke arah Marwa dan Marsya dengan tatapan beringas. "Suamiku mati, anak pelacur sialan!" pekik Bu Ida lagi.
Marwa mengangkat kepalanya perlahan. Air matanya masih mengalir, tetapi kini ada kilatan lain di matanya.
"Sudah, Bu..." suaranya parau. "Tolong, jangan membuat kekacauan... kita semua merasa sangat kehilangan," rintih Marwa parau."
"Ini semua gara-gara ibu kalian!" Bu Ida kembali memekik histeris. "Mariana itu pembawa sial! Perusak rumah tangga orang! Sekarang suamiku sudah mati! Kalian puas?" Bu Ida kembali berteriak histeris.
Marwa tidak menjawab. Ia tidak bisa.
Namun, di antara amukan Bu Ida, ada tatapan lain yang lebih menusuk.
Haryo.
Pemuda itu berdiri di samping ibunya, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Sorot matanya penuh kebencian, seolah ingin mencekik Marwa hidup-hidup.
Meja-meja penuh makanan mulai dikerubungi. Nasi kuning mengepul hangat, ayam goreng, sambal terasi, dan lalapan memenuhi piring. Beberapa bapak-bapak sudah duduk mengitari meja terpal di sudut halaman, bercanda sambil menyeruput teh manis. Sebagian mulai mengeluarkan rokok dan menghisapnya sembari mengobrol.Haryo datang di antara keramaian, berjalan cepat mendekati Marwa. Di tangannya ada sepiring nasi lengkap dengan lauknya.“Kita duduk di sana, yuk, Wa?” Haryo menunjuk kursi di pojok dengan dagunya. “Tapi kamu ikut makan juga dong. Biar aku nggak kelihatan rakus sendirian,” usul Haryo.Marwa pun bergegas mengambil sepiring nasi dan lauk-pauk. Setelahnya, ia berjalan bersisian dengan Haryo menuju kursi di pojokan.“Bagaimana rasanya jadi tuan rumah, Wa?” bisiknya, sambil mencomot kerupuk dari piring Marwa.“Bagi ya?” pintanya dengan senyum tengil.“Jangan sok mesra, Yo. Nanti ada yang melihat dan mengadukan kedekatan kita ke ibumu,” Marwa memperingatkan Haryo.“Ibu sudah tahu kok ka
Minggu siang itu, kesibukan di Gang Kenanga terasa berbeda. Riuh dan hangat. Matahari menyinari pekarangan rumah Marwa yang baru direnovasi. Hari ini, Marwa resmi menempati rumah peninggalan keluarganya—rumah yang dahulu penuh luka, kini ia ubah menjadi rumah mungil yang nyaman. Sejak pagi buta, ia sudah sibuk menata barang-barang dan perabot yang datang hampir bersamaan. Ranjang, lemari es, televisi, sofa, meja makan, kursi… semuanya masih dibungkus plastik. Rumahnya masih bau cat dan kardus baru.Untungnya, Siska—yang sudah hampir pulih seperti sedia kala setelah peristiwa kecelakaan—datang membantu. Bersama "trio legend" Gang Kenanga: Bu Tutik, Bu Tika, dan Bu Nurma, mereka semua bahu-membahu membantu Marwa yang akan melakukan syukuran pindah ke rumah baru. Ibu-ibu ini menjadi seksi konsumsi untuk acara syukuran hari ini.Siapa yang menyangka, ketiga perempuan yang dulu paling gencar memusuhi keluarganya, kini bersikap sebaliknya. Mereka siap siaga membantu Marwa. Waktu memang bisa
Dan akhirnya, mereka pun kembali ke rumah-rumah petak yang mereka datangi pertama kalinya. Ternyata, Pak Hendro dan Bu Zainab—istrinya tinggal di sini. Semangat Marwa langsung menguap. Soalnya tadi ia sudah menanyai semua warga di sini dan tidak ada yang mengenal perempuan di fotonya.“Tadi kami sudah duluan ke sini, Pak. Tapi semua penghuni kontrakan tidak ada yang kenal dengan orang yang ada di foto saya,” ujar Marwa lesu.“Tapi kan kalian berdua belum bertemu dengan istri saya. Istri saya itu kakinya sakit karena diabetes. Jadi jarang keluar rumah. Kalian pasti belum menanyainya,” tukas Pak Hendro sambil membuka pintu kontrakan berwarna biru langit.Pak Hendro benar. Mereka memang belum menanyai rumah ini karena tadi tidak ada orangnya.Mereka pun kemudian masuk ke dalam rumah Pak Hendro. Rumah kontrakan ini kecil dan temboknya kusam, tapi tak disangka, dalamnya bersih. Di ruang tamu yang sempit tampak seorang perempuan setengah baya bersandar pada tongkat, langkahnya tertatih.“In
"Siapa lagi yang markir mobil di depan pintu gerbang gue? Lo buta huruf, kagak bisa baca tulisan 'Dilarang Parkir'?"Marwa meringis. Baru saja memarkirkan kendaraan, ia sudah mendengar umpatan Tante Hilda."Ini aku, Tante. Marwa," ucap Marwa sambil sedikit mengeraskan suaranya."Oh, elo. Ya udah, masuk aja, Wa. Pintunya kagak gue kunci," seru Tante Hilda.Marwa memutar handle pintu yang langsung terbuka."Gue lagi nyupir. Lo langsung ke dapur aja," seru Tante Hilda lagi.Marwa pun lantas berjalan menuju dapur. Terlihat Tante Hilda sedang mencuci piring."Duduk dulu ya, Wa. Gue bentar lagi selesai." Tante Hilda terus bekerja dengan cekatan. Marwa mengangguk dan duduk di kursi dapur, mengamati Tante Hilda yang tengah membilas beberapa gelas dan piring dan menyusun barang pecah belah itu di rak agar cepat kering. Lantas, ia mengelap bak cuci piring dan mencuci tangannya hingga bersih."Oke, gue udah selesai. Mana foto-foto yang mau lo perlihatkan ke gue?"Tante Hilda mengulurkan tanganny
Langit Jakarta mulai memutih oleh awan tipis saat Marwa turun dari mobil di depan Rumah Sakit Jiwa Soeroso. Di sisi kiri dan kanannya, Bu Endah dan Pak Sudin menyusul turun dengan langkah cepat. Keduanya tidak sabar ingin bertemu Pak Tono. Mereka bertiga pun bergegas menuju meja pendaftaran pasien. Setelah Bu Endah dan Pak Sudin menyampaikan keinginannya untuk menjenguk Pak Tono, mereka berdua pun diantar ke bangsalnya. Di meja kedokteran hanya tinggal Marwa seseorang.“Saya ingin bertemu dengan Dokter Wulan,” kata Marwa sopan namun tegas.Staf administrasi saling pandang dan mengangkat wajah dengan sedikit gugup. “Maaf, Bu. Dokter Wulan sedang tidak ada di tempat."Marwa mengangguk singkat, lalu mengeluarkan dokumen dari map plastik bening dan menyodorkannya. “Ini SPDP dari penyidik Polresta Jakarta. Saya diizinkan mendapatkan informasi yang diperlukan terkait pasien atas nama Sumitro atau Sartono.”Staf administrasi itu tidak menjawab. Ia hanya saling pandang dengan rekannya dengan
Sore itu, Gang Kenanga terasa lebih ramai dari biasanya. Para ibu tampak membentuk masing-masing kelompok untuk mengobrol di teras rumah. Marwa melambatkan laju mobil dan berhenti di depan rumahnya. Sontak pandangan para ibu tertuju padanya. Begitu ia turun dari mobil, beberapa ibu-ibu langsung mengerubungi. Mereka seperti sudah menunggu kedatangannya. Ada Bu Ani, Bu Desi, Bu Sinurat, Bu Siti, Bu Rita juga trio legend Gang Kenanga yaitu Bu Tutik, Bu Tika dan Bu Nurma."Benar ya, Wa? Kalau yang selingkuh dengan Pak Marno itu bukan almarhumah ibumu... tapi perempuan lain? Seorang perempuan bernama Na?" tanya Bu Nurma tanpa basa-basi."Ah pasti bohong. Orang kata Bu Ida itu cuma akal-akalan Marwa dan Haryo supaya hubungan mereka berdua direstui kok," cibir Bu Desi."Belum tentu juga, Des. Siapa tahu itu benar. Bu Ida itu kan sudah terlanjur benci sama Si Anna. Makanya apa pun yang menyangkut Anna pasti salah saja di matanya." Bu Rita tidak setuju dengan pernyataan Bu Desi."Iya benar. O