Bu Ida dan Haryo!
Bu Ida berdiri berkacak pinggang dengan wajah penuh kemarahan. Sementara Haryo yang berdiri di sisinya memandang dengan ekspresi sinis. Rasa jijik jelas terlihat di wajah keduanya.
"Kalian tahu Ibu kalian kecelakaan bersama siapa? Bersama Marno, suamiku!" Bu Ida menepuk dadanya keras.
"Ibumu memang perempuan murahan!" Nada suara Bu Ida meninggi.
"Suami Ibu juga murahan dong. Kok Ibu cuma mengatai Ibu saya saja?" ejek Marsya sinis.
"Sudah, Kak. Kita langsung temui Ibu saja." Marwa menggamit lengan sang kakak.
"Aku lihat cuma kamu yang paling waras di antara keluargamu yang lain." Bu Ida mendekati Marwa. Menahan langkahnya yang siap melesat pergi.
"Harusnya kamu bisa memperingati ibumu agar tidak selingkuh dengan suami orang! Haryo sudah memperingati kamu bukan?" amuk Bu Ida lagi.
"Sudah, Bu. Saya juga sudah menanyakannya pada ibu saya. Ibu saya bilang, ia tidak berselingkuh dengan Pak Marno, Bu. Pak Marno datang sendiri ke club menemui Ibu saya," kata Marwa jujur.
"Halah, kalau Ibumu tidak menggoda suamiku, mana mungkin suamiku kepincut. Dasar anak lonte!" Tidak punya alasan lagi untuk membantah, Bu Ida memaki sembarang.
"Mulut Ibu busuk banget rupanya. Pantas Pak Marno lebih betah di club daripada di rumah. Mana ada laki-laki yang tahan pada istri judes cemburuan seperti Ibu?" Marsya meledek Bu Ida.
"Kelakuan kamu sama persis seperti ibumu. Awas, azab pasti akan melanda keluarga kalian!" Bu Ida menyumpahi Marsya.
"Udah, Kak. Udah. Kita ke Ibu saja." Marwa menarik tangan sang kakak yang bersiap melawan. Marwa berusaha meredam keributan yang lebih besar.
Saat mereka melewati Haryo, pemuda itu menggumam dengan nada rendah, tapi cukup jelas untuk didengar oleh Marwa.
"Keluarga sampah bau bangkai. Kehadiran kalian hanya mencemari lingkungan. Cuih!" Haryo meludah jijik.
Langkah Marwa terhenti sejenak. Ia menoleh, menatap Haryo lurus-lurus. Ia sangat terluka. Namun ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
"Aku beri kalian waktu seminggu untuk mengosongkan rumah. Aku tidak mau melihat wajah-wajah sampah kalian ada di sekitar keluargaku lagi. Enyahlah kalian semua dari hidupku!" Haryo menatap kedua mata Marwa lurus-lurus.
"Kak Haryo harus menunggu sampai tahun depan kalau ingin mengusir kami. Ibu sudah membayar uang sewa untuk satu tahun ke depan pada Pak Marno minggu lalu." Marwa tidak mau diintimidasi begitu saja.
"Apa bukti kalau ibumu sudah membayarnya?" Haryo berkacak pinggang. Di antara semua anggota keluarga keluarga, wajah Marwa ini yang paling mirip dengan ibunya. Saat sedang berhadapan muka seperti ini, ia langsung teringat pada Bu Mariana. Orang yang sekarang paling dibencinya!
"Lagi pula, ibumu membayarnya dengan apa? Dengan uang atau selangkangannya?" tantang Haryo dengan sikap melecehkan. Marwa terperangah. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Haryo sampai hati mengejeknya dengan kata-kata yang sangat kotor.
Marwa menghitung satu sampai sepuluh sebelum memberi jawaban. Ia tidak punya bukti bahwa ibunya telah membayar uang sewa. Kata ibunya, Pak Marno belum sempat memberi kwitansi pembayaran kontrak rumah minggu lalu karena lupa membawa kwitansi. Marwa sadar, bahwa ia telah kalah. Namun ia tidak mau menyerah. Siapa tahu Pak Marno nantinya sadar dan mengaku bahwa ia telah menerima uang kontrakan dari ibunya.
"Tidak keduanya." Alih-alih Marwa, Marsyalah yang menjawab pertanyaan Haryo.
"Tapi dengan ini." Marsya membuat gerakan tangan seperti orang yang sedang menjilat es lilin. Ia memang sengaja memprovokasi Haryo, agar laki-laki sok suci ini emosi. Misinya sukses. Air muka Bu Ida dan Haryo seketika gusar. Mereka marah besar!
"Anjing! Dasar pelacur kecil! Kamu ini sama najisnya dengan ibumu!" Haryo menyumpah-nyumpah kasar.
Marwa tidak merespon amarah keduanya. Ia segera mengajak Marsya menjauh, agar kekacauan tidak berlarut-larut. Mereka harus segera melihat keadaan Ibu mereka.
"Aku puas sekali melihat ibu dan anak itu kejang-kejang, Wa. Dasar keluarga sok suci!" desis Marsya sinis.
"Sudah, tidak usah dipikirkan lagi. Ayo kita lihat Ibu sekarang. Semoga saja ibu selamat dan baik-baik saja." Marwa membawa Marsya masuk ke ruang UGD. Di sana mereka diberi pakaian khusus oleh petugas sebelum melihat keadaan ibunya.
Suara monitor jantung masih berbunyi ketika Marwa dan masuk ke ruang UGD. Langkah Marwa dan Marsya terhenti saat mereka melihat seorang perawat menurunkan kain putih, menutupi wajah ibunya yang berlumuran darah.
"Ibu...?" suara Marwa nyaris tak terdengar, hanya bisikan yang putus di tenggorokannya.
Perawat menatapnya dengan penuh iba. "Maaf ya, Dik... kami sudah berusaha."
Marwa tersentak, dadanya terasa sesak, dunia di sekelilingnya seakan runtuh.
"Tidak!" Marwa berlari ke sisi tempat tidur, menarik kain putih itu dengan kasar. "Ibu! Bangun! Jangan pergi!"
Tapi tubuh itu tetap diam.
Waktu seakan berhenti. Dunia Marwa hancur dalam sekejap. Ibunya-bagaimanapun kelakuannya, bagaimanapun kesalahannya-adalah jantung dari rumah mereka. Sumber kehangatan, sekaligus perisai dari segala kerasnya hidup.
Dan kini, perisai itu telah pergi.
Marwa dan Marsya menangis meraung-raung. Tangisan yang bukan sekadar kesedihan, tapi ketakutan akan hari esok. Bagaimana mereka bisa bertahan tanpa ibu? Siapa yang akan berdiri di depan untuk melindungi mereka?
Di seberang ruangan yang hanya dibatasi tirai kain, tangisan lain terdengar.
Bu Ida meraung, tubuhnya bergetar hebat saat dokter melepas masker oksigen dari wajah Pak Marno yang kini tak lagi bernyawa. Bu Ida menjerit seperti orang kesurupan. Ia terus memanggil-manggil nama suaminya.
"Lihat apa yang sudah ibu kalian lakukan!" Bu Ida menyibak tirai. Menunjuk ke arah Marwa dan Marsya dengan tatapan beringas. "Suamiku mati, anak pelacur sialan!" pekik Bu Ida lagi.
Marwa mengangkat kepalanya perlahan. Air matanya masih mengalir, tetapi kini ada kilatan lain di matanya.
"Sudah, Bu..." suaranya parau. "Tolong, jangan membuat kekacauan... kita semua merasa sangat kehilangan," rintih Marwa parau."
"Ini semua gara-gara ibu kalian!" Bu Ida kembali memekik histeris. "Mariana itu pembawa sial! Perusak rumah tangga orang! Sekarang suamiku sudah mati! Kalian puas?" Bu Ida kembali berteriak histeris.
Marwa tidak menjawab. Ia tidak bisa.
Namun, di antara amukan Bu Ida, ada tatapan lain yang lebih menusuk.
Haryo.
Pemuda itu berdiri di samping ibunya, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Sorot matanya penuh kebencian, seolah ingin mencekik Marwa hidup-hidup.
"Ibumu pembawa bencana," gumam Haryo, suaranya rendah tetapi tajam. "Kalian semua cuma sampah!"Marwa menatap Haryo tajam, tapi ia tidak membalas umpatan Haryo. Ia terlalu shock menghadapi semua musibah ini.Haryo boleh membenci. Bu Ida boleh mencaci. Tapi tidak ada satu pun kata yang bisa lebih menyakitkan daripada fakta bahwa ibunya kini telah pergi.Tanpa sadar, Marwa menggenggam tangan Marsya erat, seakan itu satu-satunya hal yang membuatnya tetap berpijak di dunia.Mereka hanya punya satu sama lain sekarang.***Sudah tujuh hari ibunya berpulang, namun suasana rumah masih terasa seperti kuburan. Duka menyelimuti setiap sudutnya. Ayahnya tak henti-henti merintih dan memanggil nama ibunya dalam kepedihan yang tak berujung. Seperti inilah hidup. Pada saat ibunya masih ada, keduanya kerap bertengkar dan saling mencela. Namun setelah tiada, ayahnya terus merindukan ibunya. Rasa sedih dan kecewa membuat ayahnya kian menenggelamkan diri dalam botol-botol minuman keras. Marco, abangnya,
Seperti dejavu, Marwa memandangi tiga makam baru di depannya dengan pandangan kosong. Tiga makam itu adalah makam ayah, abang, dan kakaknya. Tepat di samping makam ayahnya, masih terlihat tanah basah makam ibunya. Dalam waktu seminggu, Marwa telah kehilangan seluruh anggota keluarganya.Di tengah isak tangis, Marwa menangkap suara bisik-bisik. Beberapa tetangga yang mayoritas ibu-ibu tetangganya tengah menggosipinya."Betul kan apa yang aku bilang, Bu Tika? Suatu saat keluarga si Mariana itu pasti akan terkena azab. Lha wong, satu keluarga, tidak ada satu pun yang benar kelakuannya. Kecuali, ya, si Marwa ini."Suara Bu Nurma. Marwa mengenali suara cemprengnya."Halah, si Marwa itu juga cikal bakal seperti ibu dan kakaknya, Bu Nur. Sekarang kan dia masih kecil, belum mengerti uang banyak. Coba lihat beberapa tahun lagi. Pasti sama saja kelakuannya," bisik salah satu dari mereka.Yang ini suara Bu Tutik."Benar juga, ya? Kata orang, buah jatuh nggak akan jauh dari pohonnya. Padahal nama
Pak RT, Rahmad, dan istrinya, Bu Sundari, berdiri di sisi Marwa di stasiun bus yang ramai. Marwa mengeratkan genggaman pada tali ranselnya. Udara sore terasa gerah, bercampur dengan kegelisahan yang terus menekan dadanya."Marwa, kalau sudah sampai di Surabaya, segera kabari kami, ya?" pesan Pak Rahmad dengan suara penuh perhatian. "Kalau alamatnya tidak ada atau kamu kesulitan menemukannya, jangan sungkan menghubungi. Kami akan mencari cara untuk membantumu."Marwa mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi keraguan. "Iya, Pak. Saya akan kabari. Terima kasih sudah mengurus saya selama ini."Bu Sundari meraih tangan Marwa, menggenggamnya erat. "Kalau ada masalah, jangan ragu cari kantor polisi, ya? Surabaya itu kota besar, Nak. Jangan mudah percaya dengan orang asing."Marwa menelan ludah. Ia sadar nasihat itu penting, tapi hatinya tetap tak bisa tenang. "Iya, Bu. Saya mengerti."Bus Mutiara Express sudah bersiap berangkat. Suara klakson berbunyi nyaring, memanggil para penumpang unt
Marwa menghela napas panjang dua kali sebelum mendekati pintu gerbang. Seorang Satpam keluar dari pos dan langsung menghampirinya dari balik pagar yang masih tertutup. "Adik mencari siapa?" tanya sang Satpam dengan tatapan menyelidik. "Saya Marwa. Anak dari Maryadi Noto Kusumo. Ayah saya meminta saya untuk menyerahkan ini pada pemilik rumah." Marwa mengulurkan kertas yang diberikan ayahnya pada sang Satpam. Sang Satpam membaca kertas itu sekilas, lalu menatap Marwa dengan ekspresi yang sulit diartikan. Hening sejenak, sebelum akhirnya dia mengangguk dan menghubungi seseorang melalui handy talkie."Silakan masuk," ucapnya setelah beberapa saat, membuka gerbang yang tinggi dan kokoh itu.Marwa melangkah masuk, hatinya dipenuhi debaran tak menentu. Langkahnya mengikuti seorang Asisten Rumah Tangga yang membawanya ke ruang tamu. Begitu ia tiba di dalam, matanya langsung tertumbuk pada sesuatu yang membuatnya tercekat. Sebuah foto pria muda yang tampak begitu dikenalnya-ayahnya, Maryadi.
"Ayahmu Maryadi, dulu adalah anak yang pintar dan cekatan. Cita-citanya adalah menjadi seorang pilot. Yadi... baru mulai pendidikan di Poltekbang saat bertemu dengan ibumu- Mariana." Oma Lastri mulai bercerita setelah Marwa meneguk minumnya dan mereka semua mulai tenang.Marwa menatap sang oma penuh perhatian. Ia ingin mengetahui masa lalu kedua orang tuanya. "Mariana adalah anak panti asuhan pindahan dari Jakarta. Ayahmu yang masih muda, mabuk kepayang pada Mariana yang memang sangat cantik. Mariana yang takut ditinggalkan oleh ayahmu karena status sosial yang berbeda, memaksa ayahmu untuk menikahinya. Padahal saat itu mereka baru berusia sembilan belas tahun."Oma Lastri menghela napas panjang, sambil memandangi langit-langit. Opa dan Oma jelas menolak. Mereka masih terlalu muda, Terlebih, ayahmu baru saja menempuh pendidikan penerbangannya."Marwa menggigit bibirnya. Ada luka lama yang masih membekas dalam suara neneknya."Penolakan kami... membuat ayahmu nekat. Ia kawin lari deng
Marwa melangkah masuk ke tempat praktik Arga. Jarum jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 20.30 WIB. Masih setengah jam lagi dari waktu Arga tutup praktek. Begitu memasuki ruang tunggu, Marwa disambut oleh Suster Erlin yang tengah duduk di meja depan."Selamat malam, Dokter Marwa," sapanya ramah.Marwa tersenyum kecil, sambil sedikit mengangkat rantang empat susun yang dibawanya. "Malam, Suster Erlin. Pasien Arga masih banyak?"Suster Erlin melirik ke daftar pasien di depannya sebelum menjawab, "Tinggal satu orang lagi, Dok. Sepertinya sebentar lagi selesai."Marwa menghela napas lega. Setidaknya, ia tak perlu menunggu terlalu lama. Makanan yang dibawanya masih hangat, dan ia ingin Arga bisa menikmatinya dalam kondisi terbaik.Tak berapa lama, pintu ruang praktik terbuka. Seorang pria paruh baya dengan wajah muram keluar. Langkahnya tegap dan mantap, tidak seperti orang yang sedang sakit. Marwa meliriknya sekilas sebelum menoleh ke Suster Erlin."Pasien tadi sakit apa, Sus?"
Marwa tersenyum, menggeleng lembut."Aku tidak repot kok, Ga. Ibumu baik sekali padaku. Ia mengisi tempat yang kosong di hatiku. Ibuku sudah tiada. Jadi aku ingin menjadikan ibumu sebagai penggantinya. Aku tidak salah kan?"Arga menatap Marwa dalam diam sejenak, lalu mengangguk pelan dengan senyum sendu. "Tidak, Sayang. Kamu tidak pernah salah. Aku yang salah," lanjut Arga pelan. Mendengar kata-kata Arga, Marwa mengerutkan dahi. "Lho kok jadi kamu yang salah?" tanya Marwa bingung. "Aku salah... karena tidak peka terhadap ibuku sendiri," imbuh Arga cepat. "Oh, itu mah wajar. Kamu laki-laki. Hal-hal kecil begini biasanya luput dari pikiran kalian. Santai saja," ujar Marwa sambil menepuk bahu Arga seperti caranya menenangkan pasien-pasiennya."Oh ya, aku juga belikan ini juga untuk Anggi." Marwa mengeluarkan kotak yang lebih kecil lagi."Apalagi ini, Wa?" Arga menggeleng tak percaya."Jam tangan idaman adikmu. Kemarin dulu Anggi bilang temannya punya jam keren, lantas ia menunjukkan
Marwa keluar dari tangga darurat dengan langkah tak tentu arah. Dunia terasa asing. Cahaya lampu lorong rumah sakit yang biasanya tampak biasa saja, kini seperti membutakannya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena lelah-tapi karena luka. Luka yang tak berdarah, tapi menyesakkan sampai ke tulang.Di belakang, pintu tangga terdorong keras. Langkah kaki Arga terdengar memburu."Marwa, tunggu! Dengar dulu penjelasanku!" Arga berteriak memanggil Marwa. Marwa mempercepat langkahnya. Tapi Arga lebih cepat. Ia menahan lengan Marwa, memaksanya berhenti."Lepaskan," ucap Marwa dingin tanpa menoleh."Aku bisa menjelaskan semuanya. Ini-ini tidak seperti yang kamu pikir," ucap Arga dengan napas memburu."Baik. Sekarang jelaskan. Apa yang katamu tidak seperti yang aku pikir itu?" Marwa menyilangkan tangan di dada, menatap Arga tajam.Arga menelan ludah. Ia tahu nasibnya sekarang berada di ujung tanduk. "Aku tidak punya hubungan apa pun dengan Selina. Bulan lalu, sepulang dari praktik, dia dat
Bayangan masa lalu berkelebat di benaknya—saat ia pertama kali masuk sebagai dokter muda, belajar dengan penuh semangat di bawah bimbingan para dokter senior. Ia teringat pada senyum pertama Arga, juga bagaimana pria itu perlahan merebut hatinya. Dan semuanya kini akan menjadi kenangan.Usai pesta kecil itu, Marwa mengangkat kardus terakhir ke mobilnya di area parkir. Saat ia hendak membuka pintu bagasi, suara langkah pelan menghampiri.“Marwa...”Suara itu tidak asing. Sebenarnya Marwa tidak ingin menggubris suara itu. Namun hati nuraninya berkata lain. Ia tidak boleh bersikap seperti anak kecil setelah dengan gagah berani membela Arga dan Selina di persidangan rumah sakit. Ia pun menoleh. Arga berdiri di sana, mata merah menahan haru.“Aku tidak mau mengucapkan kata selamat berpisah. Karena hati kecilku tidak ingin berpisah denganmu,” ucap Arga pelan.“Kalau begitu, tidak usah. Jangan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuranimu,” jawab Marwa singkat.“Terima kasih ya, k
Marwa keluar dari tangga darurat dengan langkah tak tentu arah. Dunia terasa asing. Cahaya lampu lorong rumah sakit yang biasanya tampak biasa saja, kini seperti membutakannya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena lelah-tapi karena luka. Luka yang tak berdarah, tapi menyesakkan sampai ke tulang.Di belakang, pintu tangga terdorong keras. Langkah kaki Arga terdengar memburu."Marwa, tunggu! Dengar dulu penjelasanku!" Arga berteriak memanggil Marwa. Marwa mempercepat langkahnya. Tapi Arga lebih cepat. Ia menahan lengan Marwa, memaksanya berhenti."Lepaskan," ucap Marwa dingin tanpa menoleh."Aku bisa menjelaskan semuanya. Ini-ini tidak seperti yang kamu pikir," ucap Arga dengan napas memburu."Baik. Sekarang jelaskan. Apa yang katamu tidak seperti yang aku pikir itu?" Marwa menyilangkan tangan di dada, menatap Arga tajam.Arga menelan ludah. Ia tahu nasibnya sekarang berada di ujung tanduk. "Aku tidak punya hubungan apa pun dengan Selina. Bulan lalu, sepulang dari praktik, dia dat
Marwa tersenyum, menggeleng lembut."Aku tidak repot kok, Ga. Ibumu baik sekali padaku. Ia mengisi tempat yang kosong di hatiku. Ibuku sudah tiada. Jadi aku ingin menjadikan ibumu sebagai penggantinya. Aku tidak salah kan?"Arga menatap Marwa dalam diam sejenak, lalu mengangguk pelan dengan senyum sendu. "Tidak, Sayang. Kamu tidak pernah salah. Aku yang salah," lanjut Arga pelan. Mendengar kata-kata Arga, Marwa mengerutkan dahi. "Lho kok jadi kamu yang salah?" tanya Marwa bingung. "Aku salah... karena tidak peka terhadap ibuku sendiri," imbuh Arga cepat. "Oh, itu mah wajar. Kamu laki-laki. Hal-hal kecil begini biasanya luput dari pikiran kalian. Santai saja," ujar Marwa sambil menepuk bahu Arga seperti caranya menenangkan pasien-pasiennya."Oh ya, aku juga belikan ini juga untuk Anggi." Marwa mengeluarkan kotak yang lebih kecil lagi."Apalagi ini, Wa?" Arga menggeleng tak percaya."Jam tangan idaman adikmu. Kemarin dulu Anggi bilang temannya punya jam keren, lantas ia menunjukkan
Marwa melangkah masuk ke tempat praktik Arga. Jarum jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 20.30 WIB. Masih setengah jam lagi dari waktu Arga tutup praktek. Begitu memasuki ruang tunggu, Marwa disambut oleh Suster Erlin yang tengah duduk di meja depan."Selamat malam, Dokter Marwa," sapanya ramah.Marwa tersenyum kecil, sambil sedikit mengangkat rantang empat susun yang dibawanya. "Malam, Suster Erlin. Pasien Arga masih banyak?"Suster Erlin melirik ke daftar pasien di depannya sebelum menjawab, "Tinggal satu orang lagi, Dok. Sepertinya sebentar lagi selesai."Marwa menghela napas lega. Setidaknya, ia tak perlu menunggu terlalu lama. Makanan yang dibawanya masih hangat, dan ia ingin Arga bisa menikmatinya dalam kondisi terbaik.Tak berapa lama, pintu ruang praktik terbuka. Seorang pria paruh baya dengan wajah muram keluar. Langkahnya tegap dan mantap, tidak seperti orang yang sedang sakit. Marwa meliriknya sekilas sebelum menoleh ke Suster Erlin."Pasien tadi sakit apa, Sus?"
"Ayahmu Maryadi, dulu adalah anak yang pintar dan cekatan. Cita-citanya adalah menjadi seorang pilot. Yadi... baru mulai pendidikan di Poltekbang saat bertemu dengan ibumu- Mariana." Oma Lastri mulai bercerita setelah Marwa meneguk minumnya dan mereka semua mulai tenang.Marwa menatap sang oma penuh perhatian. Ia ingin mengetahui masa lalu kedua orang tuanya. "Mariana adalah anak panti asuhan pindahan dari Jakarta. Ayahmu yang masih muda, mabuk kepayang pada Mariana yang memang sangat cantik. Mariana yang takut ditinggalkan oleh ayahmu karena status sosial yang berbeda, memaksa ayahmu untuk menikahinya. Padahal saat itu mereka baru berusia sembilan belas tahun."Oma Lastri menghela napas panjang, sambil memandangi langit-langit. Opa dan Oma jelas menolak. Mereka masih terlalu muda, Terlebih, ayahmu baru saja menempuh pendidikan penerbangannya."Marwa menggigit bibirnya. Ada luka lama yang masih membekas dalam suara neneknya."Penolakan kami... membuat ayahmu nekat. Ia kawin lari deng
Marwa menghela napas panjang dua kali sebelum mendekati pintu gerbang. Seorang Satpam keluar dari pos dan langsung menghampirinya dari balik pagar yang masih tertutup. "Adik mencari siapa?" tanya sang Satpam dengan tatapan menyelidik. "Saya Marwa. Anak dari Maryadi Noto Kusumo. Ayah saya meminta saya untuk menyerahkan ini pada pemilik rumah." Marwa mengulurkan kertas yang diberikan ayahnya pada sang Satpam. Sang Satpam membaca kertas itu sekilas, lalu menatap Marwa dengan ekspresi yang sulit diartikan. Hening sejenak, sebelum akhirnya dia mengangguk dan menghubungi seseorang melalui handy talkie."Silakan masuk," ucapnya setelah beberapa saat, membuka gerbang yang tinggi dan kokoh itu.Marwa melangkah masuk, hatinya dipenuhi debaran tak menentu. Langkahnya mengikuti seorang Asisten Rumah Tangga yang membawanya ke ruang tamu. Begitu ia tiba di dalam, matanya langsung tertumbuk pada sesuatu yang membuatnya tercekat. Sebuah foto pria muda yang tampak begitu dikenalnya-ayahnya, Maryadi.
Pak RT, Rahmad, dan istrinya, Bu Sundari, berdiri di sisi Marwa di stasiun bus yang ramai. Marwa mengeratkan genggaman pada tali ranselnya. Udara sore terasa gerah, bercampur dengan kegelisahan yang terus menekan dadanya."Marwa, kalau sudah sampai di Surabaya, segera kabari kami, ya?" pesan Pak Rahmad dengan suara penuh perhatian. "Kalau alamatnya tidak ada atau kamu kesulitan menemukannya, jangan sungkan menghubungi. Kami akan mencari cara untuk membantumu."Marwa mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi keraguan. "Iya, Pak. Saya akan kabari. Terima kasih sudah mengurus saya selama ini."Bu Sundari meraih tangan Marwa, menggenggamnya erat. "Kalau ada masalah, jangan ragu cari kantor polisi, ya? Surabaya itu kota besar, Nak. Jangan mudah percaya dengan orang asing."Marwa menelan ludah. Ia sadar nasihat itu penting, tapi hatinya tetap tak bisa tenang. "Iya, Bu. Saya mengerti."Bus Mutiara Express sudah bersiap berangkat. Suara klakson berbunyi nyaring, memanggil para penumpang unt
Seperti dejavu, Marwa memandangi tiga makam baru di depannya dengan pandangan kosong. Tiga makam itu adalah makam ayah, abang, dan kakaknya. Tepat di samping makam ayahnya, masih terlihat tanah basah makam ibunya. Dalam waktu seminggu, Marwa telah kehilangan seluruh anggota keluarganya.Di tengah isak tangis, Marwa menangkap suara bisik-bisik. Beberapa tetangga yang mayoritas ibu-ibu tetangganya tengah menggosipinya."Betul kan apa yang aku bilang, Bu Tika? Suatu saat keluarga si Mariana itu pasti akan terkena azab. Lha wong, satu keluarga, tidak ada satu pun yang benar kelakuannya. Kecuali, ya, si Marwa ini."Suara Bu Nurma. Marwa mengenali suara cemprengnya."Halah, si Marwa itu juga cikal bakal seperti ibu dan kakaknya, Bu Nur. Sekarang kan dia masih kecil, belum mengerti uang banyak. Coba lihat beberapa tahun lagi. Pasti sama saja kelakuannya," bisik salah satu dari mereka.Yang ini suara Bu Tutik."Benar juga, ya? Kata orang, buah jatuh nggak akan jauh dari pohonnya. Padahal nama
"Ibumu pembawa bencana," gumam Haryo, suaranya rendah tetapi tajam. "Kalian semua cuma sampah!"Marwa menatap Haryo tajam, tapi ia tidak membalas umpatan Haryo. Ia terlalu shock menghadapi semua musibah ini.Haryo boleh membenci. Bu Ida boleh mencaci. Tapi tidak ada satu pun kata yang bisa lebih menyakitkan daripada fakta bahwa ibunya kini telah pergi.Tanpa sadar, Marwa menggenggam tangan Marsya erat, seakan itu satu-satunya hal yang membuatnya tetap berpijak di dunia.Mereka hanya punya satu sama lain sekarang.***Sudah tujuh hari ibunya berpulang, namun suasana rumah masih terasa seperti kuburan. Duka menyelimuti setiap sudutnya. Ayahnya tak henti-henti merintih dan memanggil nama ibunya dalam kepedihan yang tak berujung. Seperti inilah hidup. Pada saat ibunya masih ada, keduanya kerap bertengkar dan saling mencela. Namun setelah tiada, ayahnya terus merindukan ibunya. Rasa sedih dan kecewa membuat ayahnya kian menenggelamkan diri dalam botol-botol minuman keras. Marco, abangnya,