Share

4. Tragedi.

Penulis: Suzy Wiryanty
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-23 20:02:54

"Tapi Ibu sering bertemu dengan Pak Marno di club kan? Jangan lagi menemui Pak Marno di sana ya, Bu? Nanti Haryo marah."

Bu Mariana mengibaskan tangannya dengan kesal. "Dengar ya, Marwa. Ibu ini bekerja di sana. Club itu tempat umum. Siapa saja boleh datang kalau punya uang. Ibu tidak boleh menolak tamu yang mau ditemani minum karena itu memang pekerjaan Ibu. Sumber uang kita semua! Kalau Haryo tidak mau ayahnya menemui Ibu, minta ayahnya supaya tidak ke club! Si Ida yang cemburu buta, kenapa jadi Ibu yang susah?" sembur Bu Mariana gusar.

Marwa hanya diam. Ia tidak bisa menolak argumen ibunya.

"Lagipula, Ibu tidak tertarik lagi dengan yang namanya cinta atau urusan asmara-asmaraan. Yang ada di kepala Ibu cuma satu: uang. Ibu punya banyak tanggungan yang harus dipikirkan," lanjut Bu Mariana seraya bangkit dari tempat tidur. Ia kemudian meraih jepit rambutnya di ranjang. 

"Apa betul di club Ibu hanya menemani tamu minum-minum?" Marwa akhirnya mengajukan pertanyaan yang selama ini hanya berputar di benaknya.

Ibu Mariana, yang tadinya hendak menjepit rambut berhenti sejenak. Ia mendelik, lalu mendesah panjang.

"Tentu saja! Ibu ini seorang LC, Marwa, bukan pelacur!" jawabnya jengkel. "Lagi pula, Ibu ini istri orang. Seorang ibu juga. Mana mungkin Ibu menjajakan diri dalam keadaan masih bersuami. Walaupun suaminya tidak berguna," dengkus Bu Marina kesal.

"Kalau Ayah tidak berguna, kenapa Ibu masih bertahan? Kenapa Ibu tidak meninggalkan Ayah?" tanya Marwa penasaran. 

Tatapan Ibu Mariana berubah. Ekspresi marahnya meredup, berganti dengan senyum kecut yang penuh kepedihan. Ia menunduk sejenak, seakan mengumpulkan keberanian sebelum menjawab.

"Karena di masa lalu, ayahmu adalah pahlawan Ibu," kata ibunya sendu. Suara ibunya melembut saat mulai bercerita. "Dulu, saat Ibu muda, tidak ada satu pun laki-laki yang benar-benar menganggap Ibu layak untuk dijadikan istri. Mereka hanya ingin bermain-main dengan kecantikan Ibu."

Marwa terdiam. Ia tak pernah mendengar ibunya berbicara seperti ini sebelumnya.

"Ibu ini anak yatim piatu, Marwa. Ibu dibesarkan di panti asuhan. Ibu tidak punya siapa-siapa. Tidak punya koneksi ataupun berpendidikan tinggi. Yang Ibu punya cuma wajah yang cantik ini." Bu Mariana menunjuk wajahnya sambil tertawa kecil. Tapi tawa itu pahit.

"Semua laki-laki yang mendekati Ibu hanya ingin satu hal. Mereka ingin bersenang-senang tanpa ada ikatan. Saat ditanya, maukah salah satu dari mereka menikahi Ibu? Semuanya langsung lari." Mata Bu Mariana menerawang ke langit-langit rumah yang catnya mulai mengelupas.

"Tapi ayahmu beda. Ayahmu dulu adalah anak orang kaya, berpendidikan dan punya masa depan. Hanya ayahmu satu-satunya laki-laki yang berani mengangkat derajat Ibu dengan menikahi Ibu secara resmi. Ayahmu berani melawan keluarganya demi Ibu."

Ibu Mariana menghela napas.

"Jadi sekarang, saat ayahmu tidak punya apa-apa, saat ia terpuruk... bagaimana mungkin Ibu meninggalkannya? Ibu tidak bisa, Marwa. Ayahmu pernah menyelamatkan Ibu. Sekarang, saat ayahmu bangkrut dan terpuruk seperti ini, Ibu akan tetap di sini, menemaninya."

Ruangan itu hening. Marwa tidak tahu harus berkata apa. Selama ini ia hanya melihat ayahnya sebagai beban, seorang pecundang. Tapi bagi ibunya, ayahnya adalah seseorang yang pernah memberikan kehidupan yang lebih baik.

Marwa menggigit bibirnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ada sesuatu yang selama ini tidak ia pahami. Cinta ternyata tidak melulu dibuktikan dengan kata-kata dan kemesraan belaka. Melainkan dengan kesetiaan semiris apapun keadaannya. 

***

Dering nyaring suara ponsel membelah keheningan malam. Marwa mengerjap, matanya yang masih mengantuk menatap layar ponsel. Nomor tak dikenal. Ia nyaris mengabaikannya, tapi entah mengapa ada firasat buruk yang merayapi hatinya.

"Halo?" suaranya berat karena kantuk.

"Selamat malam. Dengan keluarga Bu Mariana?" Suara di seberang terdengar formal, tapi juga serius.

"Iya, saya anaknya," jawab Marwa, jantungnya mulai berdetak lebih cepat. 

"Ibu Anda mengalami kecelakaan lalu lintas. Sekarang sedang dalam penanganan darurat di Rumah Sakit Medika. Bisa datang sekarang?"

Kata kecelakaan langsung menyapu kantuknya. Marwa terduduk, napasnya memburu. "Kecelakaan?" ulangnya dengan suara bergetar.

"Benar, mohon segera ke rumah sakit secepatnya."

Marwa melompat dari ranjang. Kakinya hampir tersandung karpet saat ia buru-buru membuka pintu kamar.

"Bangun semuanya! Ibu kecelakaan!" suaranya nyaring menggema di rumah yang gelap.

Marsya, kakaknya, langsung keluar dari kamar sambil mengucek-ngucek mata bingung. "Ada apa sih malam-malam teriak, Wa?"

"Ibu... kecelakaan." Suara Marwa tercekat.

Tanpa menunggu jawaban sang kakak, Marwa bergegas ke kamar ayah dan abangnya. Namun, begitu pintu terbuka, bau alkohol menyergap hidungnya. Ayahnya terkapar di atas kasur, sementara abangnya tidur dengan mulut terbuka, botol miras masih tergenggam di tangan mereka.

Marsya yang ikut melongok mendengus jijik. "Percuma. Mereka nggak bisa diandalkan dalam segala keadaan."

Marwa menggigit bibirnya, menahan getir di dadanya. "Kita pergi sendiri saja ya, Kak?"

Marsya mengangguk. Tanpa banyak bicara, mereka memesan taksi online dan segera meluncur ke rumah sakit.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   98. Akhir Kisah Cinta (END)

    Dedaunan di pekarangan rumah Haryo tampak bergoyang pelan, ditiup angin sore yang lembut. Aroma wangi daun pandan dari dapur menyapa Marwa saat ia turun dari mobil. Hari ini ia menjenguk Haryo dan Bu Ida, yang tadi pagi baru pulang dari rumah sakit.“Aku lanjut menemui klien dulu, ya? Nanti aku balik lagi ke sini. Silakan puas-puasin dulu pacaran dengan Haryo,” Siska nyengir sebelum memutar balik mobil.Marwa menjawab dengan kepalan tangannya. Setelah Siska berlalu, Marwa pun memencet bel.Tak butuh waktu lama, pintu pun dibuka. Hani berdiri di ambang pintu dengan air muka ramah.“Ayo masuk, Wa. Mas Haryo mengomel melulu karena kamu belum datang menjenguk,” tukasnya sambil menarik tangan Marwa masuk ke dalam rumah.Dari ruang tengah terdengar suara ceria anak-anak kecil yang membuat hati Marwa tergugah. Ia mengenali salah satu suara anak kecil itu.“Dokter Marwaaa!” seru Najwa, berlari kecil dengan rambut dicepol asal dan piyama yang kebesaran. Gadis kecil itu tampak sangat nyaman ber

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   97. Kesaksian Pak Tono.

    Setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit, Marwa akhirnya diperbolehkan pulang. Selanjutnya, ia akan menjalani rawat jalan dua minggu sekali hingga pulih seperti sediakala. Berbeda dengan dirinya, Haryo dan Bu Ida mungkin baru boleh pulang seminggu ke depan. Kondisi keduanya lebih serius darinya.Sekarang Marwa tinggal bersama Siska untuk sementara, karena rumahnya sudah habis dilalap api. Ia juga sudah membuat keputusan untuk tidak membangun kembali rumah itu. Terlalu banyak kenangan menyakitkan di sana.Ada satu hal yang membuat Marwa sangat bersyukur: alih-alih dirinya mengunjungi Pak Tono ke Pekalongan, justru Pak Tonolah yang akan mengunjunginya. Pak Tono memang harus memberikan keterangan ke kantor polisi setelah kondisinya membaik. Karena sedang berada di Jakarta, Pak Tono sekalian mengunjunginya untuk menceritakan tentang kejadian lima belas tahun yang lalu.Dan hari itu, sebuah pertemuan menjadi titik terang baru di tengah reruntuhan masa lalu.Pak Tono akhirnya datang. S

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   96. Menyemai Impian.

    "Ya terserahlah kalau kamu memaksa,” Marwa pura-pura pasrah.“Dasar gengsian.” Siska mengerucutkan bibirnya. “Aku ke mobil sebentar mengambil tas ya, Wa. Aku pengen mandi. Gerah banget.” Siska mengambil remote mobil dari dalam tas dan berlalu.Marwa menggeser punggung dan meringis setelahnya. Bahunya terasa perih. Namun ia tahu kalau dirinya akan baik-baik saja. Kehadiran Siska sedikit banyak menenangkannya. Ternyata di tengah badai hidup yang menghancurkan segalanya, Allah tetap mengirimkan satu dua tangan untuk menggenggamnya, menuntunnya kembali berdiri. Di antaranya adalah Haryo dan Siska.Marwa memejamkan mata, bibirnya berbisik pelan,“Alhamdulillah.”Ia tahu, selama masih ada cinta dan ketulusan dalam hidupnya, ia pasti bisa melewati apa pun***Dua hari di rumah sakit, kondisinya mulai membaik. Demikian juga dengan Haryo dan Bu Ida. Ia akhirnya diizinkan menjenguk mereka di ICU. Dengan bantuan Siska, yang sudah dua hari menemaninya di rumah sakit, Siska mendorong kursi rodanya

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   95. Alhamdullilah.

    Bunyi detak monitor dan aroma disinfektan menyapa indera Marwa begitu matanya terbuka perlahan. Cahaya lampu langit-langit menyilaukan, membuatnya menyipit. Tubuhnya berat, nyeri menyebar dari ujung kaki hingga ujung kepala. Beberapa bagian kulitnya terasa perih, dibalut perban. Napasnya masih terasa berat—tapi jauh lebih baik daripada sebelumnya.Butuh waktu beberapa detik sebelum ia menyadari—ia masih hidup.“Dokter Marwa sudah sadar? Syukurlah.” Suara lembut perawat terdengar dari samping. Suster Erna. Wajah Suster Erna dipenuhi kelegaan, namun juga kesedihan saat melihat keadaan Marwa.Marwa mencoba membuka mulut, namun hanya desahan lirih yang keluar. Matanya menatap sekitar, mencari seseorang. “Haryo...,” bisiknya, nyaris tak terdengar. Sesuatu tiba-tiba saja memasuki benaknya. Ia teringat pada sosok lain.“Bu Ida?” Marwa kembali bertanya. Kecemasan mewarnai bola matanya.Suster Erna menggenggam tangannya. “Pak Haryo dan Bu Ida juga berhasil diselamatkan,” lanjut Suster Erna cep

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   94. Neraka Kedua.

    Tengah Malam Dalam tidurnya, Marwa bermimpi. Ia berada dalam kobaran api, seperti yang pernah terjadi lima belas tahun lalu. Namun kali ini, rumah yang terbakar bukan rumah lamanya, melainkan rumahnya yang sekarang. Ia melihat ayah, ibu, abang, dan kakaknya berdiri di tengah kobaran api dengan pakaian serba putih.Ia berlari di antara kobaran api, berteriak memanggil nama ayah, ibu, abang, dan kakaknya agar mereka semua menjauh. Namun mereka semua seperti tidak mendengar jeritannya. Mereka semua tetap berdiri di balik jilatan api yang mengamuk. Yang mengherankan mereka semua tidak terbakar.“Pergi, Marwa... Lari! Selamatkan dirimu sekarang juga!” seru ibunya dari tengah kobaran api.Tangan ibunya menjulur, ingin menggapainya. Namun pegangan mereka tak pernah sampai. Api terus membakar di antara mereka.Tiba-tiba, dari sudut ruangan, terdengar suara rendah, menggeram dengan kebencian yang menyesakkan. "Seharusnya dulu kamu ikut hangus terbakar!”Marwa terbangun dengan tubuh berpeluh.

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   93. Meragu.

    Tiga Bulan KemudianMalam itu, cahaya lampu jalan menyusup samar melalui celah tirai jendela rumah Marwa, menebarkan siluet redup di dinding ruang tamu. Di tangannya, sebuah ponsel menempel di telinga. Suaranya terdengar lirih, menahan haru saat menerima kabar baik dari seberang sana."Alhamdulillah... Terima kasih sudah mengabari saya, Pak Sudin. Saya sungguh senang mendengarnya," ucap Marwa gembira. Kabar inilah yang selalu ia nantikan."Pak Tono sudah jauh lebih baik, Nak," ujar Pak Sudin dari ujung telepon. "Sekarang beliau bukan cuma mengenali anak istri dan keluarganya. Tetangga-tetangga lamanya pun sudah bisa beliau kenalinya. Malah sekarang Pak Tononya sudah mulai rutin bermain catur dengan teman-teman lamanya." "Syukurlah Pak kalau Pak Tono makin membaik. Besok pagi saya ke sana ya, Pak. Saya ingin melihat keadaan Pak Tono." "Baik, Nak Marwa. Kami tunggu kedatangannya ya." Pak Sudin menyambut antusias rencananya. Marwa menutup panggilan itu dengan senyum tipis yang penuh ra

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status