Share

6. Dendam!

Author: Suzy Wiryanty
last update Last Updated: 2025-04-23 20:12:28

"Ibumu pembawa bencana," gumam Haryo, suaranya rendah tetapi tajam. "Kalian semua cuma sampah!"

Marwa menatap Haryo tajam, tapi ia tidak membalas umpatan Haryo. Ia terlalu shock menghadapi semua musibah ini.

Haryo boleh membenci. Bu Ida boleh mencaci. Tapi tidak ada satu pun kata yang bisa lebih menyakitkan daripada fakta bahwa ibunya kini telah pergi.

Tanpa sadar, Marwa menggenggam tangan Marsya erat, seakan itu satu-satunya hal yang membuatnya tetap berpijak di dunia.

Mereka hanya punya satu sama lain sekarang.

***

Sudah tujuh hari ibunya berpulang, namun suasana rumah masih terasa seperti kuburan. Duka menyelimuti setiap sudutnya. Ayahnya tak henti-henti merintih dan memanggil nama ibunya dalam kepedihan yang tak berujung. Seperti inilah hidup. Pada saat ibunya masih ada, keduanya kerap bertengkar dan saling mencela. Namun setelah tiada, ayahnya terus merindukan ibunya. Rasa sedih dan kecewa membuat ayahnya kian menenggelamkan diri dalam botol-botol minuman keras. 

Marco, abangnya, melampiaskan kesedihannya dengan kemarahan. Tanpa dukungan dana dari ibunya, ia menjadi pria pemarah. Emosinya mudah tersulut dan kerap melempar barang tanpa alasan. Ia sedih, tapi caranya meratap adalah dengan menghancurkan segala yang ada di sekitarnya.

Sedangkan Marsya, kakaknya lebih memilih pergi. Ia sering menghabiskan waktu di rumah pacar barunya, meninggalkan rumah yang memang sejak dulu tidak pernah membuatnya betah.

Marwa menghadapi semuanya sendirian. 

Di malam hari yang ketujuh, Marwa terbangun karena merasa sesak napas. Dadanya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menindihnya. Marwa pun membuka mata dan langsung tersentak.

Asap ada di mana-mana! Ia juga merasa kepanasan. Sejurus kemudian, matanya terbelalak ketika melihat nyala api yang mulai merambat di langit-langit kamar. Dinding merah menyala dengan panas yang menguliti tubuhnya. Marwa seketika tersadar. Rumahnya kebakaran!

"Ayah!" Marwa berteriak sekuat tenaga. "Marco! Marsya!"

Marwa batuk-batuk hebat, tubuhnya limbung saat mencoba berdiri. Panas merayap ke kulitnya, diiringi udara yang berbau hangus. Marwa berjalan merayap, mencari keluarganya.

Di tengah kepulan asap, ia menemukan ayahnya tergeletak di lantai ruang tengah. Napasnya pendek-pendek dan tersengal. Tubuhnya dipenuhi luka bakar, tapi tangannya masih menggenggam erat selembar kertas kusut.

"Dekat sini, Marwa..." Suara ayahnya lirih, nyaris tak terdengar di tengah gemuruh api.

Marwa merangkak, meraih tangan ayahnya dengan gemetar. Ayahnya juga batuk-batuk hebat.

"Ambil ini..." Dengan susah payah, ayahnya menyodorkan kertas itu. "Kalau Ayah tidak selamat... pergilah ke alamat ini."

Marwa menggenggam kertas itu erat, air mata mengalir di pipinya. "Jangan bilang begitu, Yah! Kita pasti selamat. Aku akan membawa Ayah keluar dari sini!"

Ayahnya tersenyum tipis. Senyum yang penuh kepasrahan.

"Belajarlah yang baik... Biar nanti Ibu bangga... Ayah berusaha memberikan hidup terbaik untukmu... untuk terakhir kalinya."

Dan di detik berikutnya, genggaman itu melemah.

Napas ayahnya hilang.

"Ayah?" Marwa mengguncang tubuhnya. "Ayah, bangun!"

Tapi ayahnya tidak bergerak lagi. 

Tangis Marwa pecah, tetapi api tak memberi waktu untuk berduka. Setelah menyelipkan kertas di sakunya, Marwa kembali merangkak, mencari Marco dan Marsya. Tebalnya asap membuat paru-parunya seperti terbakar. Tapi ia harus mencari abang dan kakaknya. 

Api berkobar di segala penjuru, melahap rumah itu seperti monster lapar yang tak mengenal belas kasihan. Asap hitam membumbung tinggi, membuat udara begitu pengap dan beracun. Marwa terbatuk-batuk, paru-parunya terasa terbakar, matanya perih hingga sulit terbuka.

Namun, di tengah gemuruh api, samar-samar ia mendengar sesuatu.

"To-long..."

Suaranya lemah, tersendat di antara bunyi kayu yang retak dan dinding yang runtuh.

Marwa menegakkan tubuhnya, mengabaikan panas yang menyengat kulitnya. Itu suara Marco! Dan... Marsya!

"Bang Marco, Kak Marsya!" Marwa berteriak, suaranya serak karena diiringi batuk-batuk keras. "Tunggu! Aku datang!"

Langkahnya terseok-seok saat ia berusaha maju, tetapi asap semakin pekat, membutakan segalanya. Dadanya sesak, tubuhnya mulai melemah. Napasnya semakin sulit, rasa panas membakar kulitnya seakan ia sudah mulai menjadi bagian dari api itu sendiri.

Lalu tiba-tiba-seseorang meraih tubuhnya. Marwa tersentak. Lengan kuat menyeretnya ke belakang, menjauhkannya dari sumber suara Marco dan Marsya.

"Tidak!" Marwa meronta, mencoba melepaskan diri. "Lepaskan aku! Mereka masih di dalam! Ayah, Abang dan Kakakku masih di dalam!"

Namun orang itu tak mengindahkannya. Sosok itu terus menariknya dengan paksa, berlari menembus api dan asap, membawanya keluar dari neraka yang membakar rumahnya.

"Lepaskan!" Marwa menjerit, air matanya bercampur dengan jelaga dan keringat.

Dan kemudian-tubuhnya dilempar keluar. Marwa jatuh terguling di tanah, rasa panas masih menyengat kulitnya. Udara dingin malam menusuk paru-parunya yang sudah hampir tak sanggup bernapas. Ia ingin bangkit, ingin berlari kembali ke dalam, tetapi tubuhnya terlalu lemah.

Lalu, di saat pandangannya mulai kabur, ia melihatnya.

Haryo.

Ia berdiri di antara kerumunan orang, di samping mobil pemadam kebakaran.

Tatapan Marwa membelalak. Haryo menatap kebakaran itu dengan ekspresi yang sulit diartikan, tetapi bagi Marwa, hanya ada satu kesimpulan dalam pikirannya.

"Dia benar-benar melakukannya... Haryo benar-benar membakar rumah ini..."

Kata-kata Haryo di rumah sakit terngiang di kepalanya-ancaman yang ia ucapkan dengan dingin.

"Aku beri kalian tujuh hari. Setelah itu, aku tidak ingin melihat wajah kalian di rumahku lagi."

Dan kini, tujuh hari berlalu. Rumah itu telah rata dengan api. Keluarganya-Ayahnya, Marco, Marsya- mereka masih di dalam!

Tidak salah lagi. Ini semua pasti perbuatan Haryo!

Mata Marwa membara dengan kemarahan yang mengalahkan panas api. Sebelum kesadarannya menghilang, ia berjanji dalam hati. Jika Haryo benar-benar pelakunya, ia akan memastikan pria itu membayar semuanya-dengan harga yang setimpal!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   7. Selamat Tinggal.

    Seperti dejavu, Marwa memandangi tiga makam baru di depannya dengan pandangan kosong. Tiga makam itu adalah makam ayah, abang, dan kakaknya. Tepat di samping makam ayahnya, masih terlihat tanah basah makam ibunya. Dalam waktu seminggu, Marwa telah kehilangan seluruh anggota keluarganya.Di tengah isak tangis, Marwa menangkap suara bisik-bisik. Beberapa tetangga yang mayoritas ibu-ibu tetangganya tengah menggosipinya."Betul kan apa yang aku bilang, Bu Tika? Suatu saat keluarga si Mariana itu pasti akan terkena azab. Lha wong, satu keluarga, tidak ada satu pun yang benar kelakuannya. Kecuali, ya, si Marwa ini."Suara Bu Nurma. Marwa mengenali suara cemprengnya."Halah, si Marwa itu juga cikal bakal seperti ibu dan kakaknya, Bu Nur. Sekarang kan dia masih kecil, belum mengerti uang banyak. Coba lihat beberapa tahun lagi. Pasti sama saja kelakuannya," bisik salah satu dari mereka.Yang ini suara Bu Tutik."Benar juga, ya? Kata orang, buah jatuh nggak akan jauh dari pohonnya. Padahal nama

    Last Updated : 2025-04-23
  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   8. Meniti Masa Depan.

    Pak RT, Rahmad, dan istrinya, Bu Sundari, berdiri di sisi Marwa di stasiun bus yang ramai. Marwa mengeratkan genggaman pada tali ranselnya. Udara sore terasa gerah, bercampur dengan kegelisahan yang terus menekan dadanya."Marwa, kalau sudah sampai di Surabaya, segera kabari kami, ya?" pesan Pak Rahmad dengan suara penuh perhatian. "Kalau alamatnya tidak ada atau kamu kesulitan menemukannya, jangan sungkan menghubungi. Kami akan mencari cara untuk membantumu."Marwa mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi keraguan. "Iya, Pak. Saya akan kabari. Terima kasih sudah mengurus saya selama ini."Bu Sundari meraih tangan Marwa, menggenggamnya erat. "Kalau ada masalah, jangan ragu cari kantor polisi, ya? Surabaya itu kota besar, Nak. Jangan mudah percaya dengan orang asing."Marwa menelan ludah. Ia sadar nasihat itu penting, tapi hatinya tetap tak bisa tenang. "Iya, Bu. Saya mengerti."Bus Mutiara Express sudah bersiap berangkat. Suara klakson berbunyi nyaring, memanggil para penumpang unt

    Last Updated : 2025-04-23
  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   9. Kisah Masa Lalu.

    Marwa menghela napas panjang dua kali sebelum mendekati pintu gerbang. Seorang Satpam keluar dari pos dan langsung menghampirinya dari balik pagar yang masih tertutup. "Adik mencari siapa?" tanya sang Satpam dengan tatapan menyelidik. "Saya Marwa. Anak dari Maryadi Noto Kusumo. Ayah saya meminta saya untuk menyerahkan ini pada pemilik rumah." Marwa mengulurkan kertas yang diberikan ayahnya pada sang Satpam. Sang Satpam membaca kertas itu sekilas, lalu menatap Marwa dengan ekspresi yang sulit diartikan. Hening sejenak, sebelum akhirnya dia mengangguk dan menghubungi seseorang melalui handy talkie."Silakan masuk," ucapnya setelah beberapa saat, membuka gerbang yang tinggi dan kokoh itu.Marwa melangkah masuk, hatinya dipenuhi debaran tak menentu. Langkahnya mengikuti seorang Asisten Rumah Tangga yang membawanya ke ruang tamu. Begitu ia tiba di dalam, matanya langsung tertumbuk pada sesuatu yang membuatnya tercekat. Sebuah foto pria muda yang tampak begitu dikenalnya-ayahnya, Maryadi.

    Last Updated : 2025-05-08
  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   10. Marwa yang Baru.

    "Ayahmu Maryadi, dulu adalah anak yang pintar dan cekatan. Cita-citanya adalah menjadi seorang pilot. Yadi... baru mulai pendidikan di Poltekbang saat bertemu dengan ibumu- Mariana." Oma Lastri mulai bercerita setelah Marwa meneguk minumnya dan mereka semua mulai tenang.Marwa menatap sang oma penuh perhatian. Ia ingin mengetahui masa lalu kedua orang tuanya. "Mariana adalah anak panti asuhan pindahan dari Jakarta. Ayahmu yang masih muda, mabuk kepayang pada Mariana yang memang sangat cantik. Mariana yang takut ditinggalkan oleh ayahmu karena status sosial yang berbeda, memaksa ayahmu untuk menikahinya. Padahal saat itu mereka baru berusia sembilan belas tahun."Oma Lastri menghela napas panjang, sambil memandangi langit-langit. Opa dan Oma jelas menolak. Mereka masih terlalu muda, Terlebih, ayahmu baru saja menempuh pendidikan penerbangannya."Marwa menggigit bibirnya. Ada luka lama yang masih membekas dalam suara neneknya."Penolakan kami... membuat ayahmu nekat. Ia kawin lari deng

    Last Updated : 2025-05-08
  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   11. Ketulusan Marwa.

    Marwa melangkah masuk ke tempat praktik Arga. Jarum jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 20.30 WIB. Masih setengah jam lagi dari waktu Arga tutup praktek. Begitu memasuki ruang tunggu, Marwa disambut oleh Suster Erlin yang tengah duduk di meja depan."Selamat malam, Dokter Marwa," sapanya ramah.Marwa tersenyum kecil, sambil sedikit mengangkat rantang empat susun yang dibawanya. "Malam, Suster Erlin. Pasien Arga masih banyak?"Suster Erlin melirik ke daftar pasien di depannya sebelum menjawab, "Tinggal satu orang lagi, Dok. Sepertinya sebentar lagi selesai."Marwa menghela napas lega. Setidaknya, ia tak perlu menunggu terlalu lama. Makanan yang dibawanya masih hangat, dan ia ingin Arga bisa menikmatinya dalam kondisi terbaik.Tak berapa lama, pintu ruang praktik terbuka. Seorang pria paruh baya dengan wajah muram keluar. Langkahnya tegap dan mantap, tidak seperti orang yang sedang sakit. Marwa meliriknya sekilas sebelum menoleh ke Suster Erlin."Pasien tadi sakit apa, Sus?"

    Last Updated : 2025-05-08
  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   12. Hianat!

    Marwa tersenyum, menggeleng lembut."Aku tidak repot kok, Ga. Ibumu baik sekali padaku. Ia mengisi tempat yang kosong di hatiku. Ibuku sudah tiada. Jadi aku ingin menjadikan ibumu sebagai penggantinya. Aku tidak salah kan?"Arga menatap Marwa dalam diam sejenak, lalu mengangguk pelan dengan senyum sendu. "Tidak, Sayang. Kamu tidak pernah salah. Aku yang salah," lanjut Arga pelan. Mendengar kata-kata Arga, Marwa mengerutkan dahi. "Lho kok jadi kamu yang salah?" tanya Marwa bingung. "Aku salah... karena tidak peka terhadap ibuku sendiri," imbuh Arga cepat. "Oh, itu mah wajar. Kamu laki-laki. Hal-hal kecil begini biasanya luput dari pikiran kalian. Santai saja," ujar Marwa sambil menepuk bahu Arga seperti caranya menenangkan pasien-pasiennya."Oh ya, aku juga belikan ini juga untuk Anggi." Marwa mengeluarkan kotak yang lebih kecil lagi."Apalagi ini, Wa?" Arga menggeleng tak percaya."Jam tangan idaman adikmu. Kemarin dulu Anggi bilang temannya punya jam keren, lantas ia menunjukkan

    Last Updated : 2025-05-08
  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   13. Goodbye, My Ex-Lover.

    Marwa keluar dari tangga darurat dengan langkah tak tentu arah. Dunia terasa asing. Cahaya lampu lorong rumah sakit yang biasanya tampak biasa saja, kini seperti membutakannya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena lelah-tapi karena luka. Luka yang tak berdarah, tapi menyesakkan sampai ke tulang.Di belakang, pintu tangga terdorong keras. Langkah kaki Arga terdengar memburu."Marwa, tunggu! Dengar dulu penjelasanku!" Arga berteriak memanggil Marwa. Marwa mempercepat langkahnya. Tapi Arga lebih cepat. Ia menahan lengan Marwa, memaksanya berhenti."Lepaskan," ucap Marwa dingin tanpa menoleh."Aku bisa menjelaskan semuanya. Ini-ini tidak seperti yang kamu pikir," ucap Arga dengan napas memburu."Baik. Sekarang jelaskan. Apa yang katamu tidak seperti yang aku pikir itu?" Marwa menyilangkan tangan di dada, menatap Arga tajam.Arga menelan ludah. Ia tahu nasibnya sekarang berada di ujung tanduk. "Aku tidak punya hubungan apa pun dengan Selina. Bulan lalu, sepulang dari praktik, dia dat

    Last Updated : 2025-05-09
  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   14. Jumpa Lagi.

    Bayangan masa lalu berkelebat di benaknya—saat ia pertama kali masuk sebagai dokter muda, belajar dengan penuh semangat di bawah bimbingan para dokter senior. Ia teringat pada senyum pertama Arga, juga bagaimana pria itu perlahan merebut hatinya. Dan semuanya kini akan menjadi kenangan.Usai pesta kecil itu, Marwa mengangkat kardus terakhir ke mobilnya di area parkir. Saat ia hendak membuka pintu bagasi, suara langkah pelan menghampiri.“Marwa...”Suara itu tidak asing. Sebenarnya Marwa tidak ingin menggubris suara itu. Namun hati nuraninya berkata lain. Ia tidak boleh bersikap seperti anak kecil setelah dengan gagah berani membela Arga dan Selina di persidangan rumah sakit. Ia pun menoleh. Arga berdiri di sana, mata merah menahan haru.“Aku tidak mau mengucapkan kata selamat berpisah. Karena hati kecilku tidak ingin berpisah denganmu,” ucap Arga pelan.“Kalau begitu, tidak usah. Jangan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuranimu,” jawab Marwa singkat.“Terima kasih ya, k

    Last Updated : 2025-05-09

Latest chapter

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   14. Jumpa Lagi.

    Bayangan masa lalu berkelebat di benaknya—saat ia pertama kali masuk sebagai dokter muda, belajar dengan penuh semangat di bawah bimbingan para dokter senior. Ia teringat pada senyum pertama Arga, juga bagaimana pria itu perlahan merebut hatinya. Dan semuanya kini akan menjadi kenangan.Usai pesta kecil itu, Marwa mengangkat kardus terakhir ke mobilnya di area parkir. Saat ia hendak membuka pintu bagasi, suara langkah pelan menghampiri.“Marwa...”Suara itu tidak asing. Sebenarnya Marwa tidak ingin menggubris suara itu. Namun hati nuraninya berkata lain. Ia tidak boleh bersikap seperti anak kecil setelah dengan gagah berani membela Arga dan Selina di persidangan rumah sakit. Ia pun menoleh. Arga berdiri di sana, mata merah menahan haru.“Aku tidak mau mengucapkan kata selamat berpisah. Karena hati kecilku tidak ingin berpisah denganmu,” ucap Arga pelan.“Kalau begitu, tidak usah. Jangan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuranimu,” jawab Marwa singkat.“Terima kasih ya, k

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   13. Goodbye, My Ex-Lover.

    Marwa keluar dari tangga darurat dengan langkah tak tentu arah. Dunia terasa asing. Cahaya lampu lorong rumah sakit yang biasanya tampak biasa saja, kini seperti membutakannya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena lelah-tapi karena luka. Luka yang tak berdarah, tapi menyesakkan sampai ke tulang.Di belakang, pintu tangga terdorong keras. Langkah kaki Arga terdengar memburu."Marwa, tunggu! Dengar dulu penjelasanku!" Arga berteriak memanggil Marwa. Marwa mempercepat langkahnya. Tapi Arga lebih cepat. Ia menahan lengan Marwa, memaksanya berhenti."Lepaskan," ucap Marwa dingin tanpa menoleh."Aku bisa menjelaskan semuanya. Ini-ini tidak seperti yang kamu pikir," ucap Arga dengan napas memburu."Baik. Sekarang jelaskan. Apa yang katamu tidak seperti yang aku pikir itu?" Marwa menyilangkan tangan di dada, menatap Arga tajam.Arga menelan ludah. Ia tahu nasibnya sekarang berada di ujung tanduk. "Aku tidak punya hubungan apa pun dengan Selina. Bulan lalu, sepulang dari praktik, dia dat

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   12. Hianat!

    Marwa tersenyum, menggeleng lembut."Aku tidak repot kok, Ga. Ibumu baik sekali padaku. Ia mengisi tempat yang kosong di hatiku. Ibuku sudah tiada. Jadi aku ingin menjadikan ibumu sebagai penggantinya. Aku tidak salah kan?"Arga menatap Marwa dalam diam sejenak, lalu mengangguk pelan dengan senyum sendu. "Tidak, Sayang. Kamu tidak pernah salah. Aku yang salah," lanjut Arga pelan. Mendengar kata-kata Arga, Marwa mengerutkan dahi. "Lho kok jadi kamu yang salah?" tanya Marwa bingung. "Aku salah... karena tidak peka terhadap ibuku sendiri," imbuh Arga cepat. "Oh, itu mah wajar. Kamu laki-laki. Hal-hal kecil begini biasanya luput dari pikiran kalian. Santai saja," ujar Marwa sambil menepuk bahu Arga seperti caranya menenangkan pasien-pasiennya."Oh ya, aku juga belikan ini juga untuk Anggi." Marwa mengeluarkan kotak yang lebih kecil lagi."Apalagi ini, Wa?" Arga menggeleng tak percaya."Jam tangan idaman adikmu. Kemarin dulu Anggi bilang temannya punya jam keren, lantas ia menunjukkan

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   11. Ketulusan Marwa.

    Marwa melangkah masuk ke tempat praktik Arga. Jarum jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 20.30 WIB. Masih setengah jam lagi dari waktu Arga tutup praktek. Begitu memasuki ruang tunggu, Marwa disambut oleh Suster Erlin yang tengah duduk di meja depan."Selamat malam, Dokter Marwa," sapanya ramah.Marwa tersenyum kecil, sambil sedikit mengangkat rantang empat susun yang dibawanya. "Malam, Suster Erlin. Pasien Arga masih banyak?"Suster Erlin melirik ke daftar pasien di depannya sebelum menjawab, "Tinggal satu orang lagi, Dok. Sepertinya sebentar lagi selesai."Marwa menghela napas lega. Setidaknya, ia tak perlu menunggu terlalu lama. Makanan yang dibawanya masih hangat, dan ia ingin Arga bisa menikmatinya dalam kondisi terbaik.Tak berapa lama, pintu ruang praktik terbuka. Seorang pria paruh baya dengan wajah muram keluar. Langkahnya tegap dan mantap, tidak seperti orang yang sedang sakit. Marwa meliriknya sekilas sebelum menoleh ke Suster Erlin."Pasien tadi sakit apa, Sus?"

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   10. Marwa yang Baru.

    "Ayahmu Maryadi, dulu adalah anak yang pintar dan cekatan. Cita-citanya adalah menjadi seorang pilot. Yadi... baru mulai pendidikan di Poltekbang saat bertemu dengan ibumu- Mariana." Oma Lastri mulai bercerita setelah Marwa meneguk minumnya dan mereka semua mulai tenang.Marwa menatap sang oma penuh perhatian. Ia ingin mengetahui masa lalu kedua orang tuanya. "Mariana adalah anak panti asuhan pindahan dari Jakarta. Ayahmu yang masih muda, mabuk kepayang pada Mariana yang memang sangat cantik. Mariana yang takut ditinggalkan oleh ayahmu karena status sosial yang berbeda, memaksa ayahmu untuk menikahinya. Padahal saat itu mereka baru berusia sembilan belas tahun."Oma Lastri menghela napas panjang, sambil memandangi langit-langit. Opa dan Oma jelas menolak. Mereka masih terlalu muda, Terlebih, ayahmu baru saja menempuh pendidikan penerbangannya."Marwa menggigit bibirnya. Ada luka lama yang masih membekas dalam suara neneknya."Penolakan kami... membuat ayahmu nekat. Ia kawin lari deng

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   9. Kisah Masa Lalu.

    Marwa menghela napas panjang dua kali sebelum mendekati pintu gerbang. Seorang Satpam keluar dari pos dan langsung menghampirinya dari balik pagar yang masih tertutup. "Adik mencari siapa?" tanya sang Satpam dengan tatapan menyelidik. "Saya Marwa. Anak dari Maryadi Noto Kusumo. Ayah saya meminta saya untuk menyerahkan ini pada pemilik rumah." Marwa mengulurkan kertas yang diberikan ayahnya pada sang Satpam. Sang Satpam membaca kertas itu sekilas, lalu menatap Marwa dengan ekspresi yang sulit diartikan. Hening sejenak, sebelum akhirnya dia mengangguk dan menghubungi seseorang melalui handy talkie."Silakan masuk," ucapnya setelah beberapa saat, membuka gerbang yang tinggi dan kokoh itu.Marwa melangkah masuk, hatinya dipenuhi debaran tak menentu. Langkahnya mengikuti seorang Asisten Rumah Tangga yang membawanya ke ruang tamu. Begitu ia tiba di dalam, matanya langsung tertumbuk pada sesuatu yang membuatnya tercekat. Sebuah foto pria muda yang tampak begitu dikenalnya-ayahnya, Maryadi.

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   8. Meniti Masa Depan.

    Pak RT, Rahmad, dan istrinya, Bu Sundari, berdiri di sisi Marwa di stasiun bus yang ramai. Marwa mengeratkan genggaman pada tali ranselnya. Udara sore terasa gerah, bercampur dengan kegelisahan yang terus menekan dadanya."Marwa, kalau sudah sampai di Surabaya, segera kabari kami, ya?" pesan Pak Rahmad dengan suara penuh perhatian. "Kalau alamatnya tidak ada atau kamu kesulitan menemukannya, jangan sungkan menghubungi. Kami akan mencari cara untuk membantumu."Marwa mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi keraguan. "Iya, Pak. Saya akan kabari. Terima kasih sudah mengurus saya selama ini."Bu Sundari meraih tangan Marwa, menggenggamnya erat. "Kalau ada masalah, jangan ragu cari kantor polisi, ya? Surabaya itu kota besar, Nak. Jangan mudah percaya dengan orang asing."Marwa menelan ludah. Ia sadar nasihat itu penting, tapi hatinya tetap tak bisa tenang. "Iya, Bu. Saya mengerti."Bus Mutiara Express sudah bersiap berangkat. Suara klakson berbunyi nyaring, memanggil para penumpang unt

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   7. Selamat Tinggal.

    Seperti dejavu, Marwa memandangi tiga makam baru di depannya dengan pandangan kosong. Tiga makam itu adalah makam ayah, abang, dan kakaknya. Tepat di samping makam ayahnya, masih terlihat tanah basah makam ibunya. Dalam waktu seminggu, Marwa telah kehilangan seluruh anggota keluarganya.Di tengah isak tangis, Marwa menangkap suara bisik-bisik. Beberapa tetangga yang mayoritas ibu-ibu tetangganya tengah menggosipinya."Betul kan apa yang aku bilang, Bu Tika? Suatu saat keluarga si Mariana itu pasti akan terkena azab. Lha wong, satu keluarga, tidak ada satu pun yang benar kelakuannya. Kecuali, ya, si Marwa ini."Suara Bu Nurma. Marwa mengenali suara cemprengnya."Halah, si Marwa itu juga cikal bakal seperti ibu dan kakaknya, Bu Nur. Sekarang kan dia masih kecil, belum mengerti uang banyak. Coba lihat beberapa tahun lagi. Pasti sama saja kelakuannya," bisik salah satu dari mereka.Yang ini suara Bu Tutik."Benar juga, ya? Kata orang, buah jatuh nggak akan jauh dari pohonnya. Padahal nama

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   6. Dendam!

    "Ibumu pembawa bencana," gumam Haryo, suaranya rendah tetapi tajam. "Kalian semua cuma sampah!"Marwa menatap Haryo tajam, tapi ia tidak membalas umpatan Haryo. Ia terlalu shock menghadapi semua musibah ini.Haryo boleh membenci. Bu Ida boleh mencaci. Tapi tidak ada satu pun kata yang bisa lebih menyakitkan daripada fakta bahwa ibunya kini telah pergi.Tanpa sadar, Marwa menggenggam tangan Marsya erat, seakan itu satu-satunya hal yang membuatnya tetap berpijak di dunia.Mereka hanya punya satu sama lain sekarang.***Sudah tujuh hari ibunya berpulang, namun suasana rumah masih terasa seperti kuburan. Duka menyelimuti setiap sudutnya. Ayahnya tak henti-henti merintih dan memanggil nama ibunya dalam kepedihan yang tak berujung. Seperti inilah hidup. Pada saat ibunya masih ada, keduanya kerap bertengkar dan saling mencela. Namun setelah tiada, ayahnya terus merindukan ibunya. Rasa sedih dan kecewa membuat ayahnya kian menenggelamkan diri dalam botol-botol minuman keras. Marco, abangnya,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status