Marwa menatap Haryo tajam, tapi ia tidak membalas umpatan Haryo. Ia terlalu shock menghadapi semua musibah ini.
Haryo boleh membenci. Bu Ida boleh mencaci. Tapi tidak ada satu pun kata yang bisa lebih menyakitkan daripada fakta bahwa ibunya kini telah pergi.
Tanpa sadar, Marwa menggenggam tangan Marsya erat, seakan itu satu-satunya hal yang membuatnya tetap berpijak di dunia.
Mereka hanya punya satu sama lain sekarang.
***
Sudah tujuh hari ibunya berpulang, namun suasana rumah masih terasa seperti kuburan. Duka menyelimuti setiap sudutnya. Ayahnya tak henti-henti merintih dan memanggil nama ibunya dalam kepedihan yang tak berujung. Seperti inilah hidup. Pada saat ibunya masih ada, keduanya kerap bertengkar dan saling mencela. Namun setelah tiada, ayahnya terus merindukan ibunya. Rasa sedih dan kecewa membuat ayahnya kian menenggelamkan diri dalam botol-botol minuman keras.
Marco, abangnya, melampiaskan kesedihannya dengan kemarahan. Tanpa dukungan dana dari ibunya, ia menjadi pria pemarah. Emosinya mudah tersulut dan kerap melempar barang tanpa alasan. Ia sedih, tapi caranya meratap adalah dengan menghancurkan segala yang ada di sekitarnya.
Sedangkan Marsya, kakaknya lebih memilih pergi. Ia sering menghabiskan waktu di rumah pacar barunya, meninggalkan rumah yang memang sejak dulu tidak pernah membuatnya betah.
Marwa menghadapi semuanya sendirian.
Di malam hari yang ketujuh, Marwa terbangun karena merasa sesak napas. Dadanya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menindihnya. Marwa pun membuka mata dan langsung tersentak.
Asap ada di mana-mana! Ia juga merasa kepanasan. Sejurus kemudian, matanya terbelalak ketika melihat nyala api yang mulai merambat di langit-langit kamar. Dinding merah menyala dengan panas yang menguliti tubuhnya. Marwa seketika tersadar. Rumahnya kebakaran!
"Ayah!" Marwa berteriak sekuat tenaga. "Marco! Marsya!"
Marwa batuk-batuk hebat, tubuhnya limbung saat mencoba berdiri. Panas merayap ke kulitnya, diiringi udara yang berbau hangus. Marwa berjalan merayap, mencari keluarganya.
Di tengah kepulan asap, ia menemukan ayahnya tergeletak di lantai ruang tengah. Napasnya pendek-pendek dan tersengal. Tubuhnya dipenuhi luka bakar, tapi tangannya masih menggenggam erat selembar kertas kusut.
"Dekat sini, Marwa..." Suara ayahnya lirih, nyaris tak terdengar di tengah gemuruh api.
Marwa merangkak, meraih tangan ayahnya dengan gemetar. Ayahnya juga batuk-batuk hebat.
"Ambil ini..." Dengan susah payah, ayahnya menyodorkan kertas itu. "Kalau Ayah tidak selamat... pergilah ke alamat ini."
Marwa menggenggam kertas itu erat, air mata mengalir di pipinya. "Jangan bilang begitu, Yah! Kita pasti selamat. Aku akan membawa Ayah keluar dari sini!"
Ayahnya tersenyum tipis. Senyum yang penuh kepasrahan.
"Belajarlah yang baik... Biar nanti Ibu bangga... Ayah berusaha memberikan hidup terbaik untukmu... untuk terakhir kalinya."
Dan di detik berikutnya, genggaman itu melemah.
Napas ayahnya hilang.
"Ayah?" Marwa mengguncang tubuhnya. "Ayah, bangun!"
Tapi ayahnya tidak bergerak lagi.
Tangis Marwa pecah, tetapi api tak memberi waktu untuk berduka. Setelah menyelipkan kertas di sakunya, Marwa kembali merangkak, mencari Marco dan Marsya. Tebalnya asap membuat paru-parunya seperti terbakar. Tapi ia harus mencari abang dan kakaknya.
Api berkobar di segala penjuru, melahap rumah itu seperti monster lapar yang tak mengenal belas kasihan. Asap hitam membumbung tinggi, membuat udara begitu pengap dan beracun. Marwa terbatuk-batuk, paru-parunya terasa terbakar, matanya perih hingga sulit terbuka.
Namun, di tengah gemuruh api, samar-samar ia mendengar sesuatu.
"To-long..."
Suaranya lemah, tersendat di antara bunyi kayu yang retak dan dinding yang runtuh.
Marwa menegakkan tubuhnya, mengabaikan panas yang menyengat kulitnya. Itu suara Marco! Dan... Marsya!
"Bang Marco, Kak Marsya!" Marwa berteriak, suaranya serak karena diiringi batuk-batuk keras. "Tunggu! Aku datang!"
Langkahnya terseok-seok saat ia berusaha maju, tetapi asap semakin pekat, membutakan segalanya. Dadanya sesak, tubuhnya mulai melemah. Napasnya semakin sulit, rasa panas membakar kulitnya seakan ia sudah mulai menjadi bagian dari api itu sendiri.
Lalu tiba-tiba-seseorang meraih tubuhnya. Marwa tersentak. Lengan kuat menyeretnya ke belakang, menjauhkannya dari sumber suara Marco dan Marsya.
"Tidak!" Marwa meronta, mencoba melepaskan diri. "Lepaskan aku! Mereka masih di dalam! Ayah, Abang dan Kakakku masih di dalam!"
Namun orang itu tak mengindahkannya. Sosok itu terus menariknya dengan paksa, berlari menembus api dan asap, membawanya keluar dari neraka yang membakar rumahnya.
"Lepaskan!" Marwa menjerit, air matanya bercampur dengan jelaga dan keringat.
Dan kemudian-tubuhnya dilempar keluar. Marwa jatuh terguling di tanah, rasa panas masih menyengat kulitnya. Udara dingin malam menusuk paru-parunya yang sudah hampir tak sanggup bernapas. Ia ingin bangkit, ingin berlari kembali ke dalam, tetapi tubuhnya terlalu lemah.
Lalu, di saat pandangannya mulai kabur, ia melihatnya.
Haryo.
Ia berdiri di antara kerumunan orang, di samping mobil pemadam kebakaran.
Tatapan Marwa membelalak. Haryo menatap kebakaran itu dengan ekspresi yang sulit diartikan, tetapi bagi Marwa, hanya ada satu kesimpulan dalam pikirannya.
"Dia benar-benar melakukannya... Haryo benar-benar membakar rumah ini..."
Kata-kata Haryo di rumah sakit terngiang di kepalanya-ancaman yang ia ucapkan dengan dingin.
"Aku beri kalian tujuh hari. Setelah itu, aku tidak ingin melihat wajah kalian di rumahku lagi."
Dan kini, tujuh hari berlalu. Rumah itu telah rata dengan api. Keluarganya-Ayahnya, Marco, Marsya- mereka masih di dalam!
Tidak salah lagi. Ini semua pasti perbuatan Haryo!
Mata Marwa membara dengan kemarahan yang mengalahkan panas api. Sebelum kesadarannya menghilang, ia berjanji dalam hati. Jika Haryo benar-benar pelakunya, ia akan memastikan pria itu membayar semuanya-dengan harga yang setimpal!
Meja-meja penuh makanan mulai dikerubungi. Nasi kuning mengepul hangat, ayam goreng, sambal terasi, dan lalapan memenuhi piring. Beberapa bapak-bapak sudah duduk mengitari meja terpal di sudut halaman, bercanda sambil menyeruput teh manis. Sebagian mulai mengeluarkan rokok dan menghisapnya sembari mengobrol.Haryo datang di antara keramaian, berjalan cepat mendekati Marwa. Di tangannya ada sepiring nasi lengkap dengan lauknya.“Kita duduk di sana, yuk, Wa?” Haryo menunjuk kursi di pojok dengan dagunya. “Tapi kamu ikut makan juga dong. Biar aku nggak kelihatan rakus sendirian,” usul Haryo.Marwa pun bergegas mengambil sepiring nasi dan lauk-pauk. Setelahnya, ia berjalan bersisian dengan Haryo menuju kursi di pojokan.“Bagaimana rasanya jadi tuan rumah, Wa?” bisiknya, sambil mencomot kerupuk dari piring Marwa.“Bagi ya?” pintanya dengan senyum tengil.“Jangan sok mesra, Yo. Nanti ada yang melihat dan mengadukan kedekatan kita ke ibumu,” Marwa memperingatkan Haryo.“Ibu sudah tahu kok ka
Minggu siang itu, kesibukan di Gang Kenanga terasa berbeda. Riuh dan hangat. Matahari menyinari pekarangan rumah Marwa yang baru direnovasi. Hari ini, Marwa resmi menempati rumah peninggalan keluarganya—rumah yang dahulu penuh luka, kini ia ubah menjadi rumah mungil yang nyaman. Sejak pagi buta, ia sudah sibuk menata barang-barang dan perabot yang datang hampir bersamaan. Ranjang, lemari es, televisi, sofa, meja makan, kursi… semuanya masih dibungkus plastik. Rumahnya masih bau cat dan kardus baru.Untungnya, Siska—yang sudah hampir pulih seperti sedia kala setelah peristiwa kecelakaan—datang membantu. Bersama "trio legend" Gang Kenanga: Bu Tutik, Bu Tika, dan Bu Nurma, mereka semua bahu-membahu membantu Marwa yang akan melakukan syukuran pindah ke rumah baru. Ibu-ibu ini menjadi seksi konsumsi untuk acara syukuran hari ini.Siapa yang menyangka, ketiga perempuan yang dulu paling gencar memusuhi keluarganya, kini bersikap sebaliknya. Mereka siap siaga membantu Marwa. Waktu memang bisa
Dan akhirnya, mereka pun kembali ke rumah-rumah petak yang mereka datangi pertama kalinya. Ternyata, Pak Hendro dan Bu Zainab—istrinya tinggal di sini. Semangat Marwa langsung menguap. Soalnya tadi ia sudah menanyai semua warga di sini dan tidak ada yang mengenal perempuan di fotonya.“Tadi kami sudah duluan ke sini, Pak. Tapi semua penghuni kontrakan tidak ada yang kenal dengan orang yang ada di foto saya,” ujar Marwa lesu.“Tapi kan kalian berdua belum bertemu dengan istri saya. Istri saya itu kakinya sakit karena diabetes. Jadi jarang keluar rumah. Kalian pasti belum menanyainya,” tukas Pak Hendro sambil membuka pintu kontrakan berwarna biru langit.Pak Hendro benar. Mereka memang belum menanyai rumah ini karena tadi tidak ada orangnya.Mereka pun kemudian masuk ke dalam rumah Pak Hendro. Rumah kontrakan ini kecil dan temboknya kusam, tapi tak disangka, dalamnya bersih. Di ruang tamu yang sempit tampak seorang perempuan setengah baya bersandar pada tongkat, langkahnya tertatih.“In
"Siapa lagi yang markir mobil di depan pintu gerbang gue? Lo buta huruf, kagak bisa baca tulisan 'Dilarang Parkir'?"Marwa meringis. Baru saja memarkirkan kendaraan, ia sudah mendengar umpatan Tante Hilda."Ini aku, Tante. Marwa," ucap Marwa sambil sedikit mengeraskan suaranya."Oh, elo. Ya udah, masuk aja, Wa. Pintunya kagak gue kunci," seru Tante Hilda.Marwa memutar handle pintu yang langsung terbuka."Gue lagi nyupir. Lo langsung ke dapur aja," seru Tante Hilda lagi.Marwa pun lantas berjalan menuju dapur. Terlihat Tante Hilda sedang mencuci piring."Duduk dulu ya, Wa. Gue bentar lagi selesai." Tante Hilda terus bekerja dengan cekatan. Marwa mengangguk dan duduk di kursi dapur, mengamati Tante Hilda yang tengah membilas beberapa gelas dan piring dan menyusun barang pecah belah itu di rak agar cepat kering. Lantas, ia mengelap bak cuci piring dan mencuci tangannya hingga bersih."Oke, gue udah selesai. Mana foto-foto yang mau lo perlihatkan ke gue?"Tante Hilda mengulurkan tanganny
Langit Jakarta mulai memutih oleh awan tipis saat Marwa turun dari mobil di depan Rumah Sakit Jiwa Soeroso. Di sisi kiri dan kanannya, Bu Endah dan Pak Sudin menyusul turun dengan langkah cepat. Keduanya tidak sabar ingin bertemu Pak Tono. Mereka bertiga pun bergegas menuju meja pendaftaran pasien. Setelah Bu Endah dan Pak Sudin menyampaikan keinginannya untuk menjenguk Pak Tono, mereka berdua pun diantar ke bangsalnya. Di meja kedokteran hanya tinggal Marwa seseorang.“Saya ingin bertemu dengan Dokter Wulan,” kata Marwa sopan namun tegas.Staf administrasi saling pandang dan mengangkat wajah dengan sedikit gugup. “Maaf, Bu. Dokter Wulan sedang tidak ada di tempat."Marwa mengangguk singkat, lalu mengeluarkan dokumen dari map plastik bening dan menyodorkannya. “Ini SPDP dari penyidik Polresta Jakarta. Saya diizinkan mendapatkan informasi yang diperlukan terkait pasien atas nama Sumitro atau Sartono.”Staf administrasi itu tidak menjawab. Ia hanya saling pandang dengan rekannya dengan
Sore itu, Gang Kenanga terasa lebih ramai dari biasanya. Para ibu tampak membentuk masing-masing kelompok untuk mengobrol di teras rumah. Marwa melambatkan laju mobil dan berhenti di depan rumahnya. Sontak pandangan para ibu tertuju padanya. Begitu ia turun dari mobil, beberapa ibu-ibu langsung mengerubungi. Mereka seperti sudah menunggu kedatangannya. Ada Bu Ani, Bu Desi, Bu Sinurat, Bu Siti, Bu Rita juga trio legend Gang Kenanga yaitu Bu Tutik, Bu Tika dan Bu Nurma."Benar ya, Wa? Kalau yang selingkuh dengan Pak Marno itu bukan almarhumah ibumu... tapi perempuan lain? Seorang perempuan bernama Na?" tanya Bu Nurma tanpa basa-basi."Ah pasti bohong. Orang kata Bu Ida itu cuma akal-akalan Marwa dan Haryo supaya hubungan mereka berdua direstui kok," cibir Bu Desi."Belum tentu juga, Des. Siapa tahu itu benar. Bu Ida itu kan sudah terlanjur benci sama Si Anna. Makanya apa pun yang menyangkut Anna pasti salah saja di matanya." Bu Rita tidak setuju dengan pernyataan Bu Desi."Iya benar. O