Share

6. Dendam!

Penulis: Suzy Wiryanty
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-23 20:12:28

"Ibumu pembawa bencana," gumam Haryo, suaranya rendah tetapi tajam. "Kalian semua cuma sampah!"

Marwa menatap Haryo tajam, tapi ia tidak membalas umpatan Haryo. Ia terlalu shock menghadapi semua musibah ini.

Haryo boleh membenci. Bu Ida boleh mencaci. Tapi tidak ada satu pun kata yang bisa lebih menyakitkan daripada fakta bahwa ibunya kini telah pergi.

Tanpa sadar, Marwa menggenggam tangan Marsya erat, seakan itu satu-satunya hal yang membuatnya tetap berpijak di dunia.

Mereka hanya punya satu sama lain sekarang.

***

Sudah tujuh hari ibunya berpulang, namun suasana rumah masih terasa seperti kuburan. Duka menyelimuti setiap sudutnya. Ayahnya tak henti-henti merintih dan memanggil nama ibunya dalam kepedihan yang tak berujung. Seperti inilah hidup. Pada saat ibunya masih ada, keduanya kerap bertengkar dan saling mencela. Namun setelah tiada, ayahnya terus merindukan ibunya. Rasa sedih dan kecewa membuat ayahnya kian menenggelamkan diri dalam botol-botol minuman keras. 

Marco, abangnya, melampiaskan kesedihannya dengan kemarahan. Tanpa dukungan dana dari ibunya, ia menjadi pria pemarah. Emosinya mudah tersulut dan kerap melempar barang tanpa alasan. Ia sedih, tapi caranya meratap adalah dengan menghancurkan segala yang ada di sekitarnya.

Sedangkan Marsya, kakaknya lebih memilih pergi. Ia sering menghabiskan waktu di rumah pacar barunya, meninggalkan rumah yang memang sejak dulu tidak pernah membuatnya betah.

Marwa menghadapi semuanya sendirian. 

Di malam hari yang ketujuh, Marwa terbangun karena merasa sesak napas. Dadanya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menindihnya. Marwa pun membuka mata dan langsung tersentak.

Asap ada di mana-mana! Ia juga merasa kepanasan. Sejurus kemudian, matanya terbelalak ketika melihat nyala api yang mulai merambat di langit-langit kamar. Dinding merah menyala dengan panas yang menguliti tubuhnya. Marwa seketika tersadar. Rumahnya kebakaran!

"Ayah!" Marwa berteriak sekuat tenaga. "Marco! Marsya!"

Marwa batuk-batuk hebat, tubuhnya limbung saat mencoba berdiri. Panas merayap ke kulitnya, diiringi udara yang berbau hangus. Marwa berjalan merayap, mencari keluarganya.

Di tengah kepulan asap, ia menemukan ayahnya tergeletak di lantai ruang tengah. Napasnya pendek-pendek dan tersengal. Tubuhnya dipenuhi luka bakar, tapi tangannya masih menggenggam erat selembar kertas kusut.

"Dekat sini, Marwa..." Suara ayahnya lirih, nyaris tak terdengar di tengah gemuruh api.

Marwa merangkak, meraih tangan ayahnya dengan gemetar. Ayahnya juga batuk-batuk hebat.

"Ambil ini..." Dengan susah payah, ayahnya menyodorkan kertas itu. "Kalau Ayah tidak selamat... pergilah ke alamat ini."

Marwa menggenggam kertas itu erat, air mata mengalir di pipinya. "Jangan bilang begitu, Yah! Kita pasti selamat. Aku akan membawa Ayah keluar dari sini!"

Ayahnya tersenyum tipis. Senyum yang penuh kepasrahan.

"Belajarlah yang baik... Biar nanti Ibu bangga... Ayah berusaha memberikan hidup terbaik untukmu... untuk terakhir kalinya."

Dan di detik berikutnya, genggaman itu melemah.

Napas ayahnya hilang.

"Ayah?" Marwa mengguncang tubuhnya. "Ayah, bangun!"

Tapi ayahnya tidak bergerak lagi. 

Tangis Marwa pecah, tetapi api tak memberi waktu untuk berduka. Setelah menyelipkan kertas di sakunya, Marwa kembali merangkak, mencari Marco dan Marsya. Tebalnya asap membuat paru-parunya seperti terbakar. Tapi ia harus mencari abang dan kakaknya. 

Api berkobar di segala penjuru, melahap rumah itu seperti monster lapar yang tak mengenal belas kasihan. Asap hitam membumbung tinggi, membuat udara begitu pengap dan beracun. Marwa terbatuk-batuk, paru-parunya terasa terbakar, matanya perih hingga sulit terbuka.

Namun, di tengah gemuruh api, samar-samar ia mendengar sesuatu.

"To-long..."

Suaranya lemah, tersendat di antara bunyi kayu yang retak dan dinding yang runtuh.

Marwa menegakkan tubuhnya, mengabaikan panas yang menyengat kulitnya. Itu suara Marco! Dan... Marsya!

"Bang Marco, Kak Marsya!" Marwa berteriak, suaranya serak karena diiringi batuk-batuk keras. "Tunggu! Aku datang!"

Langkahnya terseok-seok saat ia berusaha maju, tetapi asap semakin pekat, membutakan segalanya. Dadanya sesak, tubuhnya mulai melemah. Napasnya semakin sulit, rasa panas membakar kulitnya seakan ia sudah mulai menjadi bagian dari api itu sendiri.

Lalu tiba-tiba-seseorang meraih tubuhnya. Marwa tersentak. Lengan kuat menyeretnya ke belakang, menjauhkannya dari sumber suara Marco dan Marsya.

"Tidak!" Marwa meronta, mencoba melepaskan diri. "Lepaskan aku! Mereka masih di dalam! Ayah, Abang dan Kakakku masih di dalam!"

Namun orang itu tak mengindahkannya. Sosok itu terus menariknya dengan paksa, berlari menembus api dan asap, membawanya keluar dari neraka yang membakar rumahnya.

"Lepaskan!" Marwa menjerit, air matanya bercampur dengan jelaga dan keringat.

Dan kemudian-tubuhnya dilempar keluar. Marwa jatuh terguling di tanah, rasa panas masih menyengat kulitnya. Udara dingin malam menusuk paru-parunya yang sudah hampir tak sanggup bernapas. Ia ingin bangkit, ingin berlari kembali ke dalam, tetapi tubuhnya terlalu lemah.

Lalu, di saat pandangannya mulai kabur, ia melihatnya.

Haryo.

Ia berdiri di antara kerumunan orang, di samping mobil pemadam kebakaran.

Tatapan Marwa membelalak. Haryo menatap kebakaran itu dengan ekspresi yang sulit diartikan, tetapi bagi Marwa, hanya ada satu kesimpulan dalam pikirannya.

"Dia benar-benar melakukannya... Haryo benar-benar membakar rumah ini..."

Kata-kata Haryo di rumah sakit terngiang di kepalanya-ancaman yang ia ucapkan dengan dingin.

"Aku beri kalian tujuh hari. Setelah itu, aku tidak ingin melihat wajah kalian di rumahku lagi."

Dan kini, tujuh hari berlalu. Rumah itu telah rata dengan api. Keluarganya-Ayahnya, Marco, Marsya- mereka masih di dalam!

Tidak salah lagi. Ini semua pasti perbuatan Haryo!

Mata Marwa membara dengan kemarahan yang mengalahkan panas api. Sebelum kesadarannya menghilang, ia berjanji dalam hati. Jika Haryo benar-benar pelakunya, ia akan memastikan pria itu membayar semuanya-dengan harga yang setimpal!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Wulan Ruslan
Yaaa ampun thor dibuat sebatang kata Marwa .........
goodnovel comment avatar
Agustina Suzartiany
marwa.........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   98. Akhir Kisah Cinta (END)

    Dedaunan di pekarangan rumah Haryo tampak bergoyang pelan, ditiup angin sore yang lembut. Aroma wangi daun pandan dari dapur menyapa Marwa saat ia turun dari mobil. Hari ini ia menjenguk Haryo dan Bu Ida, yang tadi pagi baru pulang dari rumah sakit.“Aku lanjut menemui klien dulu, ya? Nanti aku balik lagi ke sini. Silakan puas-puasin dulu pacaran dengan Haryo,” Siska nyengir sebelum memutar balik mobil.Marwa menjawab dengan kepalan tangannya. Setelah Siska berlalu, Marwa pun memencet bel.Tak butuh waktu lama, pintu pun dibuka. Hani berdiri di ambang pintu dengan air muka ramah.“Ayo masuk, Wa. Mas Haryo mengomel melulu karena kamu belum datang menjenguk,” tukasnya sambil menarik tangan Marwa masuk ke dalam rumah.Dari ruang tengah terdengar suara ceria anak-anak kecil yang membuat hati Marwa tergugah. Ia mengenali salah satu suara anak kecil itu.“Dokter Marwaaa!” seru Najwa, berlari kecil dengan rambut dicepol asal dan piyama yang kebesaran. Gadis kecil itu tampak sangat nyaman ber

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   97. Kesaksian Pak Tono.

    Setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit, Marwa akhirnya diperbolehkan pulang. Selanjutnya, ia akan menjalani rawat jalan dua minggu sekali hingga pulih seperti sediakala. Berbeda dengan dirinya, Haryo dan Bu Ida mungkin baru boleh pulang seminggu ke depan. Kondisi keduanya lebih serius darinya.Sekarang Marwa tinggal bersama Siska untuk sementara, karena rumahnya sudah habis dilalap api. Ia juga sudah membuat keputusan untuk tidak membangun kembali rumah itu. Terlalu banyak kenangan menyakitkan di sana.Ada satu hal yang membuat Marwa sangat bersyukur: alih-alih dirinya mengunjungi Pak Tono ke Pekalongan, justru Pak Tonolah yang akan mengunjunginya. Pak Tono memang harus memberikan keterangan ke kantor polisi setelah kondisinya membaik. Karena sedang berada di Jakarta, Pak Tono sekalian mengunjunginya untuk menceritakan tentang kejadian lima belas tahun yang lalu.Dan hari itu, sebuah pertemuan menjadi titik terang baru di tengah reruntuhan masa lalu.Pak Tono akhirnya datang. S

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   96. Menyemai Impian.

    "Ya terserahlah kalau kamu memaksa,” Marwa pura-pura pasrah.“Dasar gengsian.” Siska mengerucutkan bibirnya. “Aku ke mobil sebentar mengambil tas ya, Wa. Aku pengen mandi. Gerah banget.” Siska mengambil remote mobil dari dalam tas dan berlalu.Marwa menggeser punggung dan meringis setelahnya. Bahunya terasa perih. Namun ia tahu kalau dirinya akan baik-baik saja. Kehadiran Siska sedikit banyak menenangkannya. Ternyata di tengah badai hidup yang menghancurkan segalanya, Allah tetap mengirimkan satu dua tangan untuk menggenggamnya, menuntunnya kembali berdiri. Di antaranya adalah Haryo dan Siska.Marwa memejamkan mata, bibirnya berbisik pelan,“Alhamdulillah.”Ia tahu, selama masih ada cinta dan ketulusan dalam hidupnya, ia pasti bisa melewati apa pun***Dua hari di rumah sakit, kondisinya mulai membaik. Demikian juga dengan Haryo dan Bu Ida. Ia akhirnya diizinkan menjenguk mereka di ICU. Dengan bantuan Siska, yang sudah dua hari menemaninya di rumah sakit, Siska mendorong kursi rodanya

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   95. Alhamdullilah.

    Bunyi detak monitor dan aroma disinfektan menyapa indera Marwa begitu matanya terbuka perlahan. Cahaya lampu langit-langit menyilaukan, membuatnya menyipit. Tubuhnya berat, nyeri menyebar dari ujung kaki hingga ujung kepala. Beberapa bagian kulitnya terasa perih, dibalut perban. Napasnya masih terasa berat—tapi jauh lebih baik daripada sebelumnya.Butuh waktu beberapa detik sebelum ia menyadari—ia masih hidup.“Dokter Marwa sudah sadar? Syukurlah.” Suara lembut perawat terdengar dari samping. Suster Erna. Wajah Suster Erna dipenuhi kelegaan, namun juga kesedihan saat melihat keadaan Marwa.Marwa mencoba membuka mulut, namun hanya desahan lirih yang keluar. Matanya menatap sekitar, mencari seseorang. “Haryo...,” bisiknya, nyaris tak terdengar. Sesuatu tiba-tiba saja memasuki benaknya. Ia teringat pada sosok lain.“Bu Ida?” Marwa kembali bertanya. Kecemasan mewarnai bola matanya.Suster Erna menggenggam tangannya. “Pak Haryo dan Bu Ida juga berhasil diselamatkan,” lanjut Suster Erna cep

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   94. Neraka Kedua.

    Tengah Malam Dalam tidurnya, Marwa bermimpi. Ia berada dalam kobaran api, seperti yang pernah terjadi lima belas tahun lalu. Namun kali ini, rumah yang terbakar bukan rumah lamanya, melainkan rumahnya yang sekarang. Ia melihat ayah, ibu, abang, dan kakaknya berdiri di tengah kobaran api dengan pakaian serba putih.Ia berlari di antara kobaran api, berteriak memanggil nama ayah, ibu, abang, dan kakaknya agar mereka semua menjauh. Namun mereka semua seperti tidak mendengar jeritannya. Mereka semua tetap berdiri di balik jilatan api yang mengamuk. Yang mengherankan mereka semua tidak terbakar.“Pergi, Marwa... Lari! Selamatkan dirimu sekarang juga!” seru ibunya dari tengah kobaran api.Tangan ibunya menjulur, ingin menggapainya. Namun pegangan mereka tak pernah sampai. Api terus membakar di antara mereka.Tiba-tiba, dari sudut ruangan, terdengar suara rendah, menggeram dengan kebencian yang menyesakkan. "Seharusnya dulu kamu ikut hangus terbakar!”Marwa terbangun dengan tubuh berpeluh.

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   93. Meragu.

    Tiga Bulan KemudianMalam itu, cahaya lampu jalan menyusup samar melalui celah tirai jendela rumah Marwa, menebarkan siluet redup di dinding ruang tamu. Di tangannya, sebuah ponsel menempel di telinga. Suaranya terdengar lirih, menahan haru saat menerima kabar baik dari seberang sana."Alhamdulillah... Terima kasih sudah mengabari saya, Pak Sudin. Saya sungguh senang mendengarnya," ucap Marwa gembira. Kabar inilah yang selalu ia nantikan."Pak Tono sudah jauh lebih baik, Nak," ujar Pak Sudin dari ujung telepon. "Sekarang beliau bukan cuma mengenali anak istri dan keluarganya. Tetangga-tetangga lamanya pun sudah bisa beliau kenalinya. Malah sekarang Pak Tononya sudah mulai rutin bermain catur dengan teman-teman lamanya." "Syukurlah Pak kalau Pak Tono makin membaik. Besok pagi saya ke sana ya, Pak. Saya ingin melihat keadaan Pak Tono." "Baik, Nak Marwa. Kami tunggu kedatangannya ya." Pak Sudin menyambut antusias rencananya. Marwa menutup panggilan itu dengan senyum tipis yang penuh ra

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status