Pak RT, Rahmad, dan istrinya, Bu Sundari, berdiri di sisi Marwa di stasiun bus yang ramai. Marwa mengeratkan genggaman pada tali ranselnya. Udara sore terasa gerah, bercampur dengan kegelisahan yang terus menekan dadanya.
"Marwa, kalau sudah sampai di Surabaya, segera kabari kami, ya?" pesan Pak Rahmad dengan suara penuh perhatian. "Kalau alamatnya tidak ada atau kamu kesulitan menemukannya, jangan sungkan menghubungi. Kami akan mencari cara untuk membantumu."
Marwa mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi keraguan. "Iya, Pak. Saya akan kabari. Terima kasih sudah mengurus saya selama ini."
Bu Sundari meraih tangan Marwa, menggenggamnya erat. "Kalau ada masalah, jangan ragu cari kantor polisi, ya? Surabaya itu kota besar, Nak. Jangan mudah percaya dengan orang asing."
Marwa menelan ludah. Ia sadar nasihat itu penting, tapi hatinya tetap tak bisa tenang. "Iya, Bu. Saya mengerti."
Bus Mutiara Express sudah bersiap berangkat. Suara klakson berbunyi nyaring, memanggil para penumpang untuk segera naik. Dengan berat hati, Marwa melangkah ke pintu bus. Ia menoleh sekali lagi ke arah Pak Rahmad dan Bu Sundari. Wajah mereka penuh kekhawatiran, tetapi juga keikhlasan.
"Hati-hati, Marwa," ucap Pak Rahmad.
"Semoga perjalananmu lancar, Nak," tambah Bu Sundari.
Marwa tersenyum tipis. "Terima kasih, Pak, Bu."
Pintu bus tertutup perlahan, lalu kendaraan mulai bergerak meninggalkan terminal. Dari balik jendela, Marwa melihat bayangan Pak Rahmad dan Bu Sundari semakin mengecil, hingga akhirnya menghilang di kejauhan.
Udara di dalam bus terasa lebih sejuk dibandingkan di luar. Namun, dada Marwa masih sesak. Seumur hidup, ia tak pernah pergi jauh. Kini, ia harus meninggalkan kota kelahirannya, berangkat ke tempat yang asing. Surabaya terasa begitu jauh, dan pikirannya tak henti bertanya-tanya.
Siapa yang akan ia temui di sana? Apakah orang di alamat ini masih tinggal di sana? Bagaimana jika tidak ada siapa pun yang mengenalnya?
Marwa menatap nanar tiket bus di tangannya. Perjalanan baru saja dimulai, tapi hatinya sudah dipenuhi ketakutan.
***
Setiba di tempat pemberhentian bus di Surabaya, Marwa berdiri di tengah keramaian dengan raut bingung. Orang-orang berlalu-lalang, beberapa menawarkan jasa angkut barang, sementara yang lain sibuk menjajakan makanan dengan suara nyaring. Bau gorengan bercampur dengan aroma asap kendaraan, membuat Marwa sedikit pusing.
Marwa menggenggam selembar kertas lecek yang nyaris robek di ujungnya. Tulisan di sana samar akibat terlalu sering diremasnya sepanjang perjalanan: Jalan Manyar Tirtomoyo No 52, Sukolilo, Surabaya.
"Aku harus ke alamat ini," gumamnya dalam hati.
Mengabaikan teriakan para penjaja jasa, Marwa memindai sekelilingnya, mencari taksi. Pak Rahmad sudah mengingatkannya sebelum berangkat: "Kalau mau aman, cari Bluebird saja. Jangan sembarangan naik taksi lain."
Setelah beberapa menit berjalan di trotoar terminal, matanya menangkap sebuah taksi biru dengan logo burung khas di pintunya. Dengan cepat, ia melangkah ke sana, membuka pintu, dan duduk di kursi belakang.
"Selamat siang, Mbak. Mau ke mana?" tanya sang sopir ramah, berkemeja biru muda, sembari menekan argo taksi.
Marwa menyodorkan kertas di tangannya. "Ke alamat ini, Pak."
Sang sopir mengangguk dan segera melajukan mobil keluar dari terminal yang padat. Marwa hanya diam, menatap keluar jendela, mencoba menenangkan debar di dadanya.
Perjalanan terasa cepat, hingga tiba-tiba taksi berhenti di depan sebuah rumah megah. Marwa memandang bangunan di hadapannya dengan mulut sedikit terbuka. Rumah itu tidak hanya besar, tetapi juga terlihat sangat mewah—pagar tinggi dengan ornamen emas, halaman luas dengan taman yang tertata rapi, dan sebuah air mancur berdiri anggun di tengahnya.
"Ini alamatnya, Mbak," ujar sopir sambil menoleh ke belakang.
Marwa menggigit bibirnya, meremas lembaran kertas di tangan. "Apa benar ini tempatnya?" bisiknya, nyaris tak percaya.
"Benar kok, Mbak. Saya kenal juga penghuni rumahnya, sepasang suami istri yang sudah sepuh—Bapak dan Ibu Nata Kusumo," sang sopir taksi meyakinkan Marwa.
Marwa terkesima mendengar nama pemilik rumah itu, karena Nata Kusumo adalah nama belakang ayahnya, Maryadi Nata Kusumo.
Meja-meja penuh makanan mulai dikerubungi. Nasi kuning mengepul hangat, ayam goreng, sambal terasi, dan lalapan memenuhi piring. Beberapa bapak-bapak sudah duduk mengitari meja terpal di sudut halaman, bercanda sambil menyeruput teh manis. Sebagian mulai mengeluarkan rokok dan menghisapnya sembari mengobrol.Haryo datang di antara keramaian, berjalan cepat mendekati Marwa. Di tangannya ada sepiring nasi lengkap dengan lauknya.“Kita duduk di sana, yuk, Wa?” Haryo menunjuk kursi di pojok dengan dagunya. “Tapi kamu ikut makan juga dong. Biar aku nggak kelihatan rakus sendirian,” usul Haryo.Marwa pun bergegas mengambil sepiring nasi dan lauk-pauk. Setelahnya, ia berjalan bersisian dengan Haryo menuju kursi di pojokan.“Bagaimana rasanya jadi tuan rumah, Wa?” bisiknya, sambil mencomot kerupuk dari piring Marwa.“Bagi ya?” pintanya dengan senyum tengil.“Jangan sok mesra, Yo. Nanti ada yang melihat dan mengadukan kedekatan kita ke ibumu,” Marwa memperingatkan Haryo.“Ibu sudah tahu kok ka
Minggu siang itu, kesibukan di Gang Kenanga terasa berbeda. Riuh dan hangat. Matahari menyinari pekarangan rumah Marwa yang baru direnovasi. Hari ini, Marwa resmi menempati rumah peninggalan keluarganya—rumah yang dahulu penuh luka, kini ia ubah menjadi rumah mungil yang nyaman. Sejak pagi buta, ia sudah sibuk menata barang-barang dan perabot yang datang hampir bersamaan. Ranjang, lemari es, televisi, sofa, meja makan, kursi… semuanya masih dibungkus plastik. Rumahnya masih bau cat dan kardus baru.Untungnya, Siska—yang sudah hampir pulih seperti sedia kala setelah peristiwa kecelakaan—datang membantu. Bersama "trio legend" Gang Kenanga: Bu Tutik, Bu Tika, dan Bu Nurma, mereka semua bahu-membahu membantu Marwa yang akan melakukan syukuran pindah ke rumah baru. Ibu-ibu ini menjadi seksi konsumsi untuk acara syukuran hari ini.Siapa yang menyangka, ketiga perempuan yang dulu paling gencar memusuhi keluarganya, kini bersikap sebaliknya. Mereka siap siaga membantu Marwa. Waktu memang bisa
Dan akhirnya, mereka pun kembali ke rumah-rumah petak yang mereka datangi pertama kalinya. Ternyata, Pak Hendro dan Bu Zainab—istrinya tinggal di sini. Semangat Marwa langsung menguap. Soalnya tadi ia sudah menanyai semua warga di sini dan tidak ada yang mengenal perempuan di fotonya.“Tadi kami sudah duluan ke sini, Pak. Tapi semua penghuni kontrakan tidak ada yang kenal dengan orang yang ada di foto saya,” ujar Marwa lesu.“Tapi kan kalian berdua belum bertemu dengan istri saya. Istri saya itu kakinya sakit karena diabetes. Jadi jarang keluar rumah. Kalian pasti belum menanyainya,” tukas Pak Hendro sambil membuka pintu kontrakan berwarna biru langit.Pak Hendro benar. Mereka memang belum menanyai rumah ini karena tadi tidak ada orangnya.Mereka pun kemudian masuk ke dalam rumah Pak Hendro. Rumah kontrakan ini kecil dan temboknya kusam, tapi tak disangka, dalamnya bersih. Di ruang tamu yang sempit tampak seorang perempuan setengah baya bersandar pada tongkat, langkahnya tertatih.“In
"Siapa lagi yang markir mobil di depan pintu gerbang gue? Lo buta huruf, kagak bisa baca tulisan 'Dilarang Parkir'?"Marwa meringis. Baru saja memarkirkan kendaraan, ia sudah mendengar umpatan Tante Hilda."Ini aku, Tante. Marwa," ucap Marwa sambil sedikit mengeraskan suaranya."Oh, elo. Ya udah, masuk aja, Wa. Pintunya kagak gue kunci," seru Tante Hilda.Marwa memutar handle pintu yang langsung terbuka."Gue lagi nyupir. Lo langsung ke dapur aja," seru Tante Hilda lagi.Marwa pun lantas berjalan menuju dapur. Terlihat Tante Hilda sedang mencuci piring."Duduk dulu ya, Wa. Gue bentar lagi selesai." Tante Hilda terus bekerja dengan cekatan. Marwa mengangguk dan duduk di kursi dapur, mengamati Tante Hilda yang tengah membilas beberapa gelas dan piring dan menyusun barang pecah belah itu di rak agar cepat kering. Lantas, ia mengelap bak cuci piring dan mencuci tangannya hingga bersih."Oke, gue udah selesai. Mana foto-foto yang mau lo perlihatkan ke gue?"Tante Hilda mengulurkan tanganny
Langit Jakarta mulai memutih oleh awan tipis saat Marwa turun dari mobil di depan Rumah Sakit Jiwa Soeroso. Di sisi kiri dan kanannya, Bu Endah dan Pak Sudin menyusul turun dengan langkah cepat. Keduanya tidak sabar ingin bertemu Pak Tono. Mereka bertiga pun bergegas menuju meja pendaftaran pasien. Setelah Bu Endah dan Pak Sudin menyampaikan keinginannya untuk menjenguk Pak Tono, mereka berdua pun diantar ke bangsalnya. Di meja kedokteran hanya tinggal Marwa seseorang.“Saya ingin bertemu dengan Dokter Wulan,” kata Marwa sopan namun tegas.Staf administrasi saling pandang dan mengangkat wajah dengan sedikit gugup. “Maaf, Bu. Dokter Wulan sedang tidak ada di tempat."Marwa mengangguk singkat, lalu mengeluarkan dokumen dari map plastik bening dan menyodorkannya. “Ini SPDP dari penyidik Polresta Jakarta. Saya diizinkan mendapatkan informasi yang diperlukan terkait pasien atas nama Sumitro atau Sartono.”Staf administrasi itu tidak menjawab. Ia hanya saling pandang dengan rekannya dengan
Sore itu, Gang Kenanga terasa lebih ramai dari biasanya. Para ibu tampak membentuk masing-masing kelompok untuk mengobrol di teras rumah. Marwa melambatkan laju mobil dan berhenti di depan rumahnya. Sontak pandangan para ibu tertuju padanya. Begitu ia turun dari mobil, beberapa ibu-ibu langsung mengerubungi. Mereka seperti sudah menunggu kedatangannya. Ada Bu Ani, Bu Desi, Bu Sinurat, Bu Siti, Bu Rita juga trio legend Gang Kenanga yaitu Bu Tutik, Bu Tika dan Bu Nurma."Benar ya, Wa? Kalau yang selingkuh dengan Pak Marno itu bukan almarhumah ibumu... tapi perempuan lain? Seorang perempuan bernama Na?" tanya Bu Nurma tanpa basa-basi."Ah pasti bohong. Orang kata Bu Ida itu cuma akal-akalan Marwa dan Haryo supaya hubungan mereka berdua direstui kok," cibir Bu Desi."Belum tentu juga, Des. Siapa tahu itu benar. Bu Ida itu kan sudah terlanjur benci sama Si Anna. Makanya apa pun yang menyangkut Anna pasti salah saja di matanya." Bu Rita tidak setuju dengan pernyataan Bu Desi."Iya benar. O