Share

8. Meniti Masa Depan.

Author: Suzy Wiryanty
last update Huling Na-update: 2025-04-23 20:14:00

Pak RT, Rahmad, dan istrinya, Bu Sundari, berdiri di sisi Marwa di stasiun bus yang ramai. Marwa mengeratkan genggaman pada tali ranselnya. Udara sore terasa gerah, bercampur dengan kegelisahan yang terus menekan dadanya.

"Marwa, kalau sudah sampai di Surabaya, segera kabari kami, ya?" pesan Pak Rahmad dengan suara penuh perhatian. "Kalau alamatnya tidak ada atau kamu kesulitan menemukannya, jangan sungkan menghubungi. Kami akan mencari cara untuk membantumu."

Marwa mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi keraguan. "Iya, Pak. Saya akan kabari. Terima kasih sudah mengurus saya selama ini."

Bu Sundari meraih tangan Marwa, menggenggamnya erat. "Kalau ada masalah, jangan ragu cari kantor polisi, ya? Surabaya itu kota besar, Nak. Jangan mudah percaya dengan orang asing."

Marwa menelan ludah. Ia sadar nasihat itu penting, tapi hatinya tetap tak bisa tenang. "Iya, Bu. Saya mengerti."

Bus Mutiara Express sudah bersiap berangkat. Suara klakson berbunyi nyaring, memanggil para penumpang untuk segera naik. Dengan berat hati, Marwa melangkah ke pintu bus. Ia menoleh sekali lagi ke arah Pak Rahmad dan Bu Sundari. Wajah mereka penuh kekhawatiran, tetapi juga keikhlasan.

"Hati-hati, Marwa," ucap Pak Rahmad.

"Semoga perjalananmu lancar, Nak," tambah Bu Sundari.

Marwa tersenyum tipis. "Terima kasih, Pak, Bu."

Pintu bus tertutup perlahan, lalu kendaraan mulai bergerak meninggalkan terminal. Dari balik jendela, Marwa melihat bayangan Pak Rahmad dan Bu Sundari semakin mengecil, hingga akhirnya menghilang di kejauhan.

Udara di dalam bus terasa lebih sejuk dibandingkan di luar. Namun, dada Marwa masih sesak. Seumur hidup, ia tak pernah pergi jauh. Kini, ia harus meninggalkan kota kelahirannya, berangkat ke tempat yang asing. Surabaya terasa begitu jauh, dan pikirannya tak henti bertanya-tanya.

Siapa yang akan ia temui di sana? Apakah orang di alamat ini masih tinggal di sana? Bagaimana jika tidak ada siapa pun yang mengenalnya?

Marwa menatap nanar tiket bus di tangannya. Perjalanan baru saja dimulai, tapi hatinya sudah dipenuhi ketakutan. 

*** 

Setiba di tempat pemberhentian bus di Surabaya, Marwa berdiri di tengah keramaian dengan raut bingung. Orang-orang berlalu-lalang, beberapa menawarkan jasa angkut barang, sementara yang lain sibuk menjajakan makanan dengan suara nyaring. Bau gorengan bercampur dengan aroma asap kendaraan, membuat Marwa sedikit pusing.

Marwa menggenggam selembar kertas lecek yang nyaris robek di ujungnya. Tulisan di sana samar akibat terlalu sering diremasnya sepanjang perjalanan: Jalan Manyar Tirtomoyo No 52, Sukolilo, Surabaya.

"Aku harus ke alamat ini," gumamnya dalam hati.

Mengabaikan teriakan para penjaja jasa, Marwa memindai sekelilingnya, mencari taksi. Pak Rahmad sudah mengingatkannya sebelum berangkat: "Kalau mau aman, cari Bluebird saja. Jangan sembarangan naik taksi lain."

Setelah beberapa menit berjalan di trotoar terminal, matanya menangkap sebuah taksi biru dengan logo burung khas di pintunya. Dengan cepat, ia melangkah ke sana, membuka pintu, dan duduk di kursi belakang.

"Selamat siang, Mbak. Mau ke mana?" tanya sang sopir ramah, berkemeja biru muda, sembari menekan argo taksi.

Marwa menyodorkan kertas di tangannya. "Ke alamat ini, Pak."

Sang sopir mengangguk dan segera melajukan mobil keluar dari terminal yang padat. Marwa hanya diam, menatap keluar jendela, mencoba menenangkan debar di dadanya.

Perjalanan terasa cepat, hingga tiba-tiba taksi berhenti di depan sebuah rumah megah. Marwa memandang bangunan di hadapannya dengan mulut sedikit terbuka. Rumah itu tidak hanya besar, tetapi juga terlihat sangat mewah—pagar tinggi dengan ornamen emas, halaman luas dengan taman yang tertata rapi, dan sebuah air mancur berdiri anggun di tengahnya.

"Ini alamatnya, Mbak," ujar sopir sambil menoleh ke belakang. 

Marwa menggigit bibirnya, meremas lembaran kertas di tangan. "Apa benar ini tempatnya?" bisiknya, nyaris tak percaya. 

"Benar kok, Mbak. Saya kenal juga penghuni rumahnya, sepasang suami istri yang sudah sepuh—Bapak dan Ibu Nata Kusumo," sang sopir taksi meyakinkan Marwa.

Marwa terkesima mendengar nama pemilik rumah itu, karena Nata Kusumo adalah nama belakang ayahnya, Maryadi Nata Kusumo.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ayu Cla
berarti ini alamat nenek dan kakeknya marwa ya??
goodnovel comment avatar
Agustina Suzartiany
terima kasih update nya ka Suzy
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   98. Akhir Kisah Cinta (END)

    Dedaunan di pekarangan rumah Haryo tampak bergoyang pelan, ditiup angin sore yang lembut. Aroma wangi daun pandan dari dapur menyapa Marwa saat ia turun dari mobil. Hari ini ia menjenguk Haryo dan Bu Ida, yang tadi pagi baru pulang dari rumah sakit.“Aku lanjut menemui klien dulu, ya? Nanti aku balik lagi ke sini. Silakan puas-puasin dulu pacaran dengan Haryo,” Siska nyengir sebelum memutar balik mobil.Marwa menjawab dengan kepalan tangannya. Setelah Siska berlalu, Marwa pun memencet bel.Tak butuh waktu lama, pintu pun dibuka. Hani berdiri di ambang pintu dengan air muka ramah.“Ayo masuk, Wa. Mas Haryo mengomel melulu karena kamu belum datang menjenguk,” tukasnya sambil menarik tangan Marwa masuk ke dalam rumah.Dari ruang tengah terdengar suara ceria anak-anak kecil yang membuat hati Marwa tergugah. Ia mengenali salah satu suara anak kecil itu.“Dokter Marwaaa!” seru Najwa, berlari kecil dengan rambut dicepol asal dan piyama yang kebesaran. Gadis kecil itu tampak sangat nyaman ber

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   97. Kesaksian Pak Tono.

    Setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit, Marwa akhirnya diperbolehkan pulang. Selanjutnya, ia akan menjalani rawat jalan dua minggu sekali hingga pulih seperti sediakala. Berbeda dengan dirinya, Haryo dan Bu Ida mungkin baru boleh pulang seminggu ke depan. Kondisi keduanya lebih serius darinya.Sekarang Marwa tinggal bersama Siska untuk sementara, karena rumahnya sudah habis dilalap api. Ia juga sudah membuat keputusan untuk tidak membangun kembali rumah itu. Terlalu banyak kenangan menyakitkan di sana.Ada satu hal yang membuat Marwa sangat bersyukur: alih-alih dirinya mengunjungi Pak Tono ke Pekalongan, justru Pak Tonolah yang akan mengunjunginya. Pak Tono memang harus memberikan keterangan ke kantor polisi setelah kondisinya membaik. Karena sedang berada di Jakarta, Pak Tono sekalian mengunjunginya untuk menceritakan tentang kejadian lima belas tahun yang lalu.Dan hari itu, sebuah pertemuan menjadi titik terang baru di tengah reruntuhan masa lalu.Pak Tono akhirnya datang. S

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   96. Menyemai Impian.

    "Ya terserahlah kalau kamu memaksa,” Marwa pura-pura pasrah.“Dasar gengsian.” Siska mengerucutkan bibirnya. “Aku ke mobil sebentar mengambil tas ya, Wa. Aku pengen mandi. Gerah banget.” Siska mengambil remote mobil dari dalam tas dan berlalu.Marwa menggeser punggung dan meringis setelahnya. Bahunya terasa perih. Namun ia tahu kalau dirinya akan baik-baik saja. Kehadiran Siska sedikit banyak menenangkannya. Ternyata di tengah badai hidup yang menghancurkan segalanya, Allah tetap mengirimkan satu dua tangan untuk menggenggamnya, menuntunnya kembali berdiri. Di antaranya adalah Haryo dan Siska.Marwa memejamkan mata, bibirnya berbisik pelan,“Alhamdulillah.”Ia tahu, selama masih ada cinta dan ketulusan dalam hidupnya, ia pasti bisa melewati apa pun***Dua hari di rumah sakit, kondisinya mulai membaik. Demikian juga dengan Haryo dan Bu Ida. Ia akhirnya diizinkan menjenguk mereka di ICU. Dengan bantuan Siska, yang sudah dua hari menemaninya di rumah sakit, Siska mendorong kursi rodanya

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   95. Alhamdullilah.

    Bunyi detak monitor dan aroma disinfektan menyapa indera Marwa begitu matanya terbuka perlahan. Cahaya lampu langit-langit menyilaukan, membuatnya menyipit. Tubuhnya berat, nyeri menyebar dari ujung kaki hingga ujung kepala. Beberapa bagian kulitnya terasa perih, dibalut perban. Napasnya masih terasa berat—tapi jauh lebih baik daripada sebelumnya.Butuh waktu beberapa detik sebelum ia menyadari—ia masih hidup.“Dokter Marwa sudah sadar? Syukurlah.” Suara lembut perawat terdengar dari samping. Suster Erna. Wajah Suster Erna dipenuhi kelegaan, namun juga kesedihan saat melihat keadaan Marwa.Marwa mencoba membuka mulut, namun hanya desahan lirih yang keluar. Matanya menatap sekitar, mencari seseorang. “Haryo...,” bisiknya, nyaris tak terdengar. Sesuatu tiba-tiba saja memasuki benaknya. Ia teringat pada sosok lain.“Bu Ida?” Marwa kembali bertanya. Kecemasan mewarnai bola matanya.Suster Erna menggenggam tangannya. “Pak Haryo dan Bu Ida juga berhasil diselamatkan,” lanjut Suster Erna cep

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   94. Neraka Kedua.

    Tengah Malam Dalam tidurnya, Marwa bermimpi. Ia berada dalam kobaran api, seperti yang pernah terjadi lima belas tahun lalu. Namun kali ini, rumah yang terbakar bukan rumah lamanya, melainkan rumahnya yang sekarang. Ia melihat ayah, ibu, abang, dan kakaknya berdiri di tengah kobaran api dengan pakaian serba putih.Ia berlari di antara kobaran api, berteriak memanggil nama ayah, ibu, abang, dan kakaknya agar mereka semua menjauh. Namun mereka semua seperti tidak mendengar jeritannya. Mereka semua tetap berdiri di balik jilatan api yang mengamuk. Yang mengherankan mereka semua tidak terbakar.“Pergi, Marwa... Lari! Selamatkan dirimu sekarang juga!” seru ibunya dari tengah kobaran api.Tangan ibunya menjulur, ingin menggapainya. Namun pegangan mereka tak pernah sampai. Api terus membakar di antara mereka.Tiba-tiba, dari sudut ruangan, terdengar suara rendah, menggeram dengan kebencian yang menyesakkan. "Seharusnya dulu kamu ikut hangus terbakar!”Marwa terbangun dengan tubuh berpeluh.

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   93. Meragu.

    Tiga Bulan KemudianMalam itu, cahaya lampu jalan menyusup samar melalui celah tirai jendela rumah Marwa, menebarkan siluet redup di dinding ruang tamu. Di tangannya, sebuah ponsel menempel di telinga. Suaranya terdengar lirih, menahan haru saat menerima kabar baik dari seberang sana."Alhamdulillah... Terima kasih sudah mengabari saya, Pak Sudin. Saya sungguh senang mendengarnya," ucap Marwa gembira. Kabar inilah yang selalu ia nantikan."Pak Tono sudah jauh lebih baik, Nak," ujar Pak Sudin dari ujung telepon. "Sekarang beliau bukan cuma mengenali anak istri dan keluarganya. Tetangga-tetangga lamanya pun sudah bisa beliau kenalinya. Malah sekarang Pak Tononya sudah mulai rutin bermain catur dengan teman-teman lamanya." "Syukurlah Pak kalau Pak Tono makin membaik. Besok pagi saya ke sana ya, Pak. Saya ingin melihat keadaan Pak Tono." "Baik, Nak Marwa. Kami tunggu kedatangannya ya." Pak Sudin menyambut antusias rencananya. Marwa menutup panggilan itu dengan senyum tipis yang penuh ra

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status