Bab 4: Jejak Takdir yang Terselubung
Langit pagi di Arangyeon perlahan berubah dari kelabu menuju keemasan, saat sinar matahari menembus awan tipis dan menyapa puncak pepohonan yang menjulang. Desa kecil itu tampak seperti lukisan hidup—tenang, nyaris tak tersentuh dunia luar. Namun bagi Seo Haneul, ketenangan itu hanyalah kulit luar dari gejolak besar yang kini berkecamuk di dalam dirinya.
Ia terbangun dengan tubuh lelah dan pikiran yang masih dipenuhi bayang-bayang dari malam sebelumnya. Percakapan dengan Mira dan suara-suara yang bergema di lorong Menara Bintang masih terngiang. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua itu nyata, bahwa dirinya benar-benar berada di dunia lain—dunia yang entah bagaimana, menginginkannya untuk memainkan peran penting.
Saat kakinya menyentuh tanah dingin pagi itu, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantung yang terasa tak wajar. Ada rasa asing dalam dirinya. Seperti bisikan halus yang menuntunnya, tetapi juga menakutkannya.
Di luar, kabut pagi masih menggantung rendah di atas tanah. Ia melangkah pelan, membiarkan embun membasahi ujung roknya saat berjalan menuju bagian utara desa, ke tempat Elder Yoon tinggal. Sebuah kuil tua yang dipenuhi ukiran rumit berdiri di tengah taman bunga liar. Kolam kecil memantulkan bayangan langit, membuat tempat itu seakan tak nyata.
"Elder Yoon?" panggilnya pelan.
Wanita tua itu, duduk bersila di atas batu datar, membuka matanya perlahan. Matanya tajam, tapi juga penuh kelembutan—seakan mampu membaca isi hati Haneul dalam sekali pandang.
“Kau datang,” gumam Elder Yoon, lalu berdiri dengan gerakan ringan yang tak sepadan dengan usianya. “Langit sudah mulai berbicara padamu, bukan?”
Haneul mengernyit. “Maksudmu… langit benar-benar bicara?”
“Bukan dengan kata-kata,” sahut Elder Yoon. “Tapi dengan perasaan, dengan dorongan batin. Kau bisa merasakannya karena darahmu berbeda.”
“Darahku?” Haneul terduduk, tubuhnya kaku. “Apa maksud semua ini? Aku… aku hanya arsitek biasa. Bukan penyihir. Bukan... penjaga dunia.”
Elder Yoon menatap lurus ke mata Haneul. “Kau keturunan dari garis pelindung Menara Bintang. Garis darah yang telah tersembunyi di dunia manusia. Takdir ini telah memilihmu sejak lama.”
“Tapi kenapa aku?” suara Haneul nyaris pecah. “Aku bahkan tidak tahu siapa ayahku. Ibuku meninggal waktu aku kecil. Aku sendirian. Tak ada yang istimewa dariku.”
Sejenak, suasana menjadi hening. Angin seolah ikut menahan napasnya. Elder Yoon meletakkan tangannya di bahu Haneul.
“Justru karena kau pernah kehilangan, kau akan mengerti apa arti mempertahankan. Kau tidak sendiri, Haneul. Tapi kau harus memilih untuk bertahan.”
Haneul menunduk, suara hatinya bergetar. Ada bagian dirinya yang merindukan jawaban tentang masa lalu. Tentang asal-usulnya. Tentang ayah yang tak pernah dikenalnya dan kekosongan yang tak pernah terisi. Mungkinkah semua itu berhubungan dengan dunia ini?
“Ada kekuatan yang mulai bangkit,” lanjut Elder Yoon. “Kegelapan yang dulu tersegel mulai merambat kembali. Kekuatan itu menyimpan dendam—dendam terhadap para penjaga lama... dan terhadap darah yang kau warisi.”
“Dendam?” Haneul mengulang dengan suara nyaris berbisik. “Aku tidak mengenal siapa pun di sini. Mengapa seseorang ingin menyakitiku?”
“Karena siapa dirimu, bukan karena apa yang telah kau lakukan.”
Perkataan itu menggema di kepala Haneul. Ia mengingat mata merah yang ia lihat sekilas dalam mimpinya, bayangan sosok berjubah hitam yang berdiri di reruntuhan sebuah menara. Perasaan itu… rasa takut… kini masuk akal.
Tiba-tiba, langkah cepat terdengar dari balik pepohonan. Mira muncul, napasnya tersengal.
“Jaewon… dia pergi ke perbatasan barat. Ada laporan bahwa bayangan hitam muncul di sana semalam. Dia minta kau segera menyusul, Haneul.”
“Kenapa aku?” tanya Haneul refleks.
“Karena bayangan itu... memanggil namamu.”
Mata Haneul membelalak. “Memanggil namaku?” ulangnya lirih, dadanya mendadak terasa sesak.
Mira mengangguk, wajahnya serius. “Jaewon bilang makhluk itu tidak menyerang, hanya berdiri di tepi hutan dan… berbisik. Suara itu mengucapkan nama ‘Haneul’ berkali-kali, seperti mantra.”
Elder Yoon langsung berdiri, tatapannya mengeras. “Itu bukan hal sepele. Bayangan yang bisa memanggil nama seseorang berarti telah menemukan celah dalam penghalang dunia ini. Ini adalah peringatan.”
“Tapi aku… aku belum siap,” ucap Haneul dengan napas terputus-putus. “Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara menggunakan kekuatan dalam diriku.”
Elder Yoon menatapnya dalam, lalu berkata pelan, “Takdir tidak menunggu kesiapan. Ia hanya menunggu keputusan.”
Perkataan itu menghantam seperti badai di dalam dada Haneul. Ia ingin menyangkal, ingin mundur dan kembali ke kehidupannya yang nyaman—atau setidaknya, kehidupan yang dikenalnya. Tapi bagian terdalam dalam dirinya, yang selama ini sunyi, kini berdenyut. Ada sesuatu yang bergerak. Sebuah dorongan, atau mungkin… panggilan.
“Di mana Jaewon sekarang?” tanyanya akhirnya.
Mira menatapnya dengan ragu. “Di Gerbang Bayangan, tiga jam perjalanan dari sini. Jika kita berangkat sekarang, mungkin kita bisa—”
“Biar aku yang mengantar,” potong Elder Yoon tiba-tiba. Ia mengangkat tongkat kayu bertatahkan kristal ungu. “Waktu terlalu sempit untuk berjalan kaki. Kita akan menggunakan Lintasan Cahaya.”
Lintasan Cahaya. Haneul belum tahu apa itu, tapi detak jantungnya mempercepat saat tanah di bawah kaki Elder Yoon mulai bersinar lembut, membentuk lingkaran cahaya. Akar-akar tumbuhan merangkak naik dari tanah, menyatu membentuk jalur berkilau yang mengarah ke hutan barat.
“Saat kau melangkah di atas jalur ini, jangan ragukan hatimu. Jika kau ragu, kau akan tersesat di antara dimensi,” kata Elder Yoon, suaranya pelan namun tegas.
Haneul mengangguk pelan. Ia merasa takut—tentu saja. Tapi di balik rasa takut itu, ada amarah dan rasa ingin tahu yang tak tertahankan. Siapa bayangan itu? Kenapa ia tahu namanya? Dan kenapa dunia ini terasa begitu… akrab?
Begitu mereka bertiga melangkah ke atas jalur cahaya, dunia di sekeliling mereka berubah. Pohon-pohon bergerak lambat seperti dalam mimpi. Udara mengalir lebih cepat, dan suara alam memudar menjadi gemuruh sunyi. Seperti berjalan menembus waktu.
Di tengah perjalanan, Mira memandang Haneul. “Jaewon tidak pernah segelisah seperti tadi. Dia percaya padamu.”
Haneul menoleh. “Kenapa?”
“Karena dia melihat sesuatu di matamu. Mungkin… harapan,” jawab Mira singkat, namun matanya menyiratkan lebih dari itu.
Beberapa menit kemudian, cahaya di jalur itu meredup dan membawa mereka ke tepi hutan kelam. Aroma tanah basah bercampur bau logam di udara, dan hawa dingin menyusup sampai ke tulang.
Dan di sanalah dia berdiri—Jaewon, dengan jubah tempur berwarna gelap dan pedang bercahaya di tangannya. Wajahnya tegang saat menoleh ke arah mereka.
“Kalian datang,” ucapnya pelan. “Lihat ke sana…”
Di seberang sungai kecil, sosok hitam berdiri kaku. Matanya merah menyala, dan mulutnya bergerak perlahan—membisikkan nama Haneul berulang kali.
“Siapa dia?” tanya Haneul, menahan gemetar.
Jaewon menatapnya penuh makna. “Kami menyebutnya Bayangan Tertinggal. Makhluk itu tak memiliki wujud sejati, ia hanya hidup karena dendam dan kenangan. Dan jika ia memanggilmu, berarti ada bagian darimu… yang pernah mengenalnya.”
Tubuh Haneul terasa lemas. Sebuah ingatan asing muncul sekilas—gadis kecil yang bersembunyi di balik pilar batu, suara jeritan, dan tangan besar yang merenggut seseorang darinya.
“Aku… aku mengenal tempat ini,” bisiknya.
Jaewon bergerak cepat ke sisinya. “Apa maksudmu?”
“Aku tidak tahu bagaimana… tapi tempat ini… aku pernah di sini waktu kecil…”
Mira menatapnya syok. “Itu mustahil. Tidak ada manusia dari dunia luar yang pernah masuk ke Arangyeon.”
Elder Yoon menghela napas panjang. “Atau mungkin dia bukan hanya manusia biasa. Mungkin, ia telah melintasi dunia lebih dari sekali.”
Bayangan itu tiba-tiba menjerit—suara nyaring yang memecah udara, lalu menghilang ke dalam kabut. Tapi sebelum ia lenyap sepenuhnya, ia menyisakan satu kata yang menggantung di udara:
“Kembalikan…”
Tubuh Haneul bergetar. Kata itu terasa seperti belati yang menancap langsung ke jantungnya. “Apa yang harus kukembalikan?” gumamnya. “Siapa sebenarnya aku…?”
Jaewon memegang pundaknya dengan kuat. “Kita akan mencari tahu. Bersama.”
Dan untuk pertama kalinya, Haneul merasa bahwa dirinya bukan hanya pengembara yang tersesat. Ia adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar—sebuah cerita yang sudah dimulai jauh sebelum ia menyadarinya.
Catatan Penulis Di bab ini, kita mulai menyentuh inti dari rahasia dunia Arangyeon—tentang panggilan takdir, masa lalu Haneul yang perlahan terkuak, dan bayangan yang membisikkan namanya. Aku ingin pembaca mulai merasakan bahwa perjalanan Haneul bukan sekadar petualangan biasa, tapi juga tentang mengenali luka lama, mempertanyakan asal-usul, dan menghadapi sisi gelap yang selama ini tersembunyi. Terima kasih sudah terus mengikuti kisah ini. Kita baru mulai menyibak lapisan demi lapisan kebenaran—dan semuanya akan semakin rumit.
Bab 61: Tanah yang Tidak Pernah Dijanjikan Udara di sekitar Retakan Timur terasa lebih tipis dari biasanya. Bahkan angin pun seakan enggan mendekat, menghormati batas yang memisahkan realitas. Cahaya biru lembut berdenyut di antara dua lapisan dimensi, menciptakan gema aneh, seperti napas panjang dari entitas tak terlihat. Dunia Antara… bukan lagi sekadar batas. Ia hidup, bernapas, dan bereaksi. Seo Haneul berdiri di ambang jurang, jubah ungu tua berkibar perlahan. Di belakangnya, para penjaga sihir dan ilmuwan Seowon bersiaga dengan alat pemantau dan artefak pelindung. Namun hanya satu yang menemani langkahnya: Hamin. "Aku tahu aku berjanji akan menunggumu," kata Hamin, memeriksa sarung tangannya yang dilapisi pelindung dimensi. "Tapi aku tak bisa tinggal diam saat kau melangkah ke tempat yang bahkan waktu pun enggan menyentuh." Haneul tersenyum tipis. "Dan aku tahu aku tak bisa mencegahmu." Jaewon mendekat, menyerahkan kristal se
Bab 60: Gerbang yang Tak Pernah SepiUdara di sekitar Retakan Timur menipis. Bahkan angin pun enggan menyentuh batas yang membelah kenyataan. Cahaya biru lembut bergetar di antara dua lapisan dimensi, menciptakan gema aneh seperti napas panjang dari makhluk yang belum terlihat. Dunia Antara… tidak lagi sekadar batas. Ia hidup. Ia merespons.Seo Haneul berdiri di tepi celah itu, jubah ungu-kelamnya berkibar pelan. Di belakangnya, para penjaga sihir dan ilmuwan dari Seowon menunggu dengan perangkat pemantau dan artefak pelindung. Namun hanya satu yang melangkah bersamanya: Hamin.“Aku tahu aku berjanji akan menunggumu,” kata Hamin sambil memeriksa sarung tangannya yang berlapis pembungkus dimensi. “Tapi aku tak bisa diam saja jika kau masuk ke tempat yang bahkan waktu pun enggan menyentuhnya.”Haneul menatapnya, tersenyum kecil. “Dan aku tahu aku tak bisa mencegahmu.”Jaewon mendekat, menyer
Bab 59: Saat Batas Menyatu Langit Aeloria kini terbentang tanpa batas: tidak lagi terbelah oleh sihir dan teknologi, tidak lagi dipagari oleh dogma atau dendam. Setelah penyatuan Menara Ketiga, udara di antara dunia terasa berbeda—lebih berat, lebih hidup. Tapi juga rapuh, seperti benang cahaya yang masih menunggu untuk dijalin agar tak tercerai kembali.Di puncak menara, Seo Haneul berdiri membisu. Angin baru menyapu rambutnya, membawa aroma tanah Arangyeon dan logam dingin dari kota Seowon. Dunia telah berubah. Namun dirinya… belum sepenuhnya utuh.“Kau terlihat seperti orang yang baru dilahirkan kembali,” ujar Jaewon dari belakang, suaranya rendah.Haneul menoleh, senyum tipis menghiasi wajah letihnya. “Aku merasa seperti itu. Tapi juga seperti... seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.”Jaewon berjalan mendekat, menatap hamparan langit yang kini bersih dari pet
Bab 58: Dua Jiwa di Satu LangitLangit Aeloria terbuka perlahan seperti kelopak bunga yang kehilangan warna. Di tengah pusaran cahaya dan bayangan, Haneul berdiri berdampingan dengan Hamin—jiwa kembar yang terpisah dunia, namun menyatu oleh takdir. Di antara mereka, seberkas cahaya berdenyut perlahan, seolah menjadi jembatan dari seluruh kemungkinan masa depan yang belum dipilih.Bayangan dari dunia yang gagal masih menggantung di udara. Ia tak memiliki bentuk tetap, matanya kosong namun memancarkan rasa kehilangan yang mendalam. Sosok itu bukan sekadar musuh—ia adalah sisa dari harapan yang gagal, jiwa yang terlambat memilih.“Kalian datang terlalu jauh,” suara itu bergema, retak dan tajam. “Kalian berpikir cinta dan pengorbanan bisa menebus dunia? Tidak ada yang bisa menghapus apa yang telah hancur.”Hamin melangkah maju. Suaranya rendah, tetapi mengandung kekuatan yang baru ia temukan dalam dirinya.
Bab 57: Cermin dari Dunia yang Gagal“Setiap pilihan yang tidak diambil tetap hidup, sebagai bayangan dari keputusan yang telah dibuat. Dan di dalam bayangan itu, dunia terus bernapas—dalam kehancuran yang tak pernah terjadi.”Gelap. Bukan malam, bukan kehampaan, tapi kegelapan yang basah, padat, dan berat. Ketika Haneul membuka matanya, ia tahu bahwa ini bukan Aeloria. Udara terasa pahit. Tanah yang dipijaknya seperti abu. Langit di atasnya retak, memancarkan kilatan merah dari celahnya, seolah langit sendiri menahan tangis yang tak bisa ditumpahkan.Ia berdiri di tengah kota. Atau yang dulunya kota.Gedung-gedung runtuh, ditelan akar logam dan api. Jalan-jalan penuh puing dan potongan peradaban: buku-buku terbakar setengah, robot penjaga yang membeku dalam posisi seperti berdoa, dan... sumpah-sumpah yang tertulis pada kelopak pohon kini berubah menjadi abu hitam.Di tengah reruntuhan, berdiri s
Bab 56: Tanda dari Langit Merah“Kebebasan adalah cahaya pertama yang dibutuhkan dunia. Tapi yang kedua adalah ujian: apakah cahaya itu cukup untuk bertahan di tengah kegelapan yang datang tanpa alasan.”Langit Aeloria pagi itu tidak seperti biasanya. Bukan karena warnanya—tetap biru lembut dengan semburat keemasan—melainkan karena keheningan yang turun begitu pekat, seolah alam sedang menahan napas. Di barat, kabut menggantung di antara pepohonan tinggi hutan Qairan, dan di tengahnya… berdiri sesuatu yang belum pernah dilihat siapa pun.Kristal merah gelap.Menancap di tengah padang, tertanam dalam tanah, dan berdenyut perlahan seolah memiliki detak jantungnya sendiri.“Dari langit semalam,” gumam Mira, saat ia berdiri bersama Haneul, Hamin, dan Jaewon di perbatasan hutan. “Itu bukan bintang. Bukan benda langit. Rasanya… seperti pesan.”“Bukan hany