Home / Romansa / Di Antara Dua Dunia / Bab 4: Jejak Takdir yang Terselubung

Share

Bab 4: Jejak Takdir yang Terselubung

Author: Founna Math
last update Huling Na-update: 2025-01-13 17:27:13

Pagi di Arangyeon datang perlahan, membawa udara segar yang penuh dengan aroma tanah basah dan bunga liar yang tumbuh di setiap sudut desa. Cahaya matahari yang lembut mulai menembus sela-sela pepohonan tinggi yang mengelilingi desa, menciptakan pola bayangan yang indah di tanah. Haneul bangun lebih awal dari biasanya, meskipun ia merasa lelah dan masih dibebani dengan banyak pertanyaan. Pikirannya masih terjerat oleh apa yang terjadi malam sebelumnya—tentang Menara Bintang, tentang peranannya di dunia ini, dan tentang takdir yang tampaknya telah dituliskan untuknya, meskipun ia tidak tahu apa itu.

Ia melangkah keluar dari rumah kecilnya dengan langkah pelan, merasakan angin pagi yang menyejukkan wajahnya. Suara burung berkicau di kejauhan dan suara riuh air yang mengalir di sungai kecil membuatnya merasa sejenak lebih tenang. Mira telah memberitahunya untuk mencari Elder Yoon pagi ini, karena wanita tua itu ingin berbicara lebih banyak dengannya tentang dunia ini dan perannya di dalamnya. Haneul tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tidak bisa ia lewatkan. Ia harus mencari jawaban—jawaban yang akan mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi di dunia Arangyeon ini, dan apakah ia benar-benar bagian dari takdir yang lebih besar.

Langkahnya membawa Haneul menuju bagian utara desa, di mana bangunan tua yang terlihat seperti kuil besar berdiri dengan angkuh, dikelilingi oleh taman bunga berwarna-warni yang tampak hidup. Di tengah taman, sebuah kolam kecil memantulkan sinar matahari, menciptakan kilauan yang menakjubkan. Di sisi kanan kolam itu, seorang wanita tua dengan rambut putih panjang yang tergerai, mengenakan jubah ungu, sedang duduk di kursi kayu sambil menatap langit. Haneul bisa merasakan aura kebijaksanaan dan ketenangan yang datang dari wanita itu, dan tanpa sadar, langkahnya melambat.

"Elder Yoon?" Haneul memanggilnya dengan suara pelan, rasa hormat otomatis muncul begitu saja dalam dirinya. Wanita itu menoleh, matanya yang tajam namun penuh kehangatan memandang Haneul dengan penuh perhatian.

"Ah, Haneul. Kau datang tepat waktu," kata Elder Yoon dengan suara lembut, tetapi dalamnya penuh dengan kekuatan. "Aku sudah menunggumu. Ada banyak yang perlu kita bicarakan."

Haneul berjalan mendekat, duduk di kursi yang disediakan di samping Elder Yoon. Ia merasa sedikit canggung, tetapi ada perasaan damai yang menyelimuti hatinya begitu berada di dekat wanita itu. Haneul menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya bertanya, "Elder Yoon, apa yang sebenarnya terjadi di sini? Mengapa aku bisa berada di dunia ini? Apa yang dimaksud dengan takdirku?"

Elder Yoon tersenyum kecil, lalu mengangguk, seolah sudah menunggu pertanyaan itu. "Arangyeon bukan dunia yang biasa. Ini adalah tempat yang terpisah dari dunia manusia. Kami yang ada di sini memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga keseimbangan dan harmoni antara alam dan energi yang mengalir di dalamnya. Namun, dunia ini tidak sempurna, Haneul. Ada kekuatan gelap yang sedang mengancam, dan itu semua dimulai dari ketidakseimbangan energi yang berasal dari Menara Bintang."

Haneul mengernyitkan dahi. "Kekuatan gelap? Apa itu?"

Elder Yoon menatap mata Haneul dengan serius, seolah mencoba mengukur kedalaman pemahaman gadis itu. "Kekuatan itu tidak tampak jelas, tetapi ada di sekitar kita. Ia tumbuh dari ketidakpuasan dan keserakahan hati beberapa orang yang terhubung dengan kekuatan kuno yang tersembunyi di dunia ini. Menara Bintang adalah kunci untuk menjaga keseimbangan, namun energi di dalamnya mulai merosot, dan itulah yang menyebabkan dunia ini mulai terancam."

"Aku... aku tidak mengerti," kata Haneul, kebingungannya semakin menjadi-jadi. "Apa hubungannya semua itu dengan diriku?"

Elder Yoon menatap langit sebentar sebelum kembali menatap Haneul. "Kau bukanlah orang biasa, Haneul. Seperti yang sudah kujelaskan sebelumnya, takdir dunia ini dan takdirmu telah saling terkait sejak lama. Kau mungkin tidak tahu, tetapi darahmu mengalir dengan kekuatan yang langka. Kekuatan yang sangat berharga untuk dunia ini. Kekuatan yang dapat mengubah jalannya sejarah Arangyeon."

Haneul merasa ada yang bergetar di dalam dirinya mendengar kata-kata itu. "Darahku?" ia bertanya, suara terkejutnya hampir tak terdengar. "Apa maksudmu dengan itu?"

Elder Yoon menghela napas panjang, seolah-olah memikirkan bagaimana menjelaskan hal yang sangat rumit. "Kau adalah keturunan dari mereka yang dulu pernah memiliki kemampuan untuk menjaga keseimbangan energi dunia ini. Kekuatan itu diwariskan turun-temurun, dan kau adalah penerus yang telah dipilih untuk menjalankan tugas ini. Aku tahu ini sulit dipercaya, tetapi kenyataannya adalah kau memiliki kemampuan untuk mengakses energi yang ada di dalam Menara Bintang."

Haneul terdiam. Ia merasa seperti dunia seakan berputar di sekitarnya, dan setiap kata yang keluar dari mulut Elder Yoon semakin membingungkannya. "Aku... aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan semua ini," kata Haneul dengan suara yang hampir tidak terdengar.

Elder Yoon menepuk tangan Haneul dengan lembut. "Kau tidak perlu tahu segalanya saat ini, Haneul. Semua akan terungkap seiring waktu. Namun, satu hal yang perlu kau ingat adalah bahwa tidak ada jalan kembali. Dunia ini membutuhkanmu untuk bertindak. Tidak hanya untuk menyelamatkan Arangyeon, tetapi juga untuk menemukan bagian dari dirimu yang hilang—yang mungkin sudah lama tersembunyi dalam dirimu sendiri."

Perkataan itu menggelegar di telinga Haneul. Ia merasa seolah-olah sedang diberi beban yang sangat besar untuk dipikul. Apa yang dimaksud dengan bagian dari dirinya yang hilang? Apa yang harus ia lakukan dengan kekuatan yang ada dalam dirinya?

"Sekarang," kata Elder Yoon, suaranya lebih lembut namun tegas. "Kau perlu belajar untuk mengendalikan kekuatanmu. Jika kau bisa mengakses energi Menara Bintang, kau harus siap menghadapinya. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi jika kekuatan gelap itu semakin kuat. Tetapi satu hal yang pasti, kau tidak bisa menghadapinya sendirian."

Mata Haneul berkedip. "Maksudmu aku tidak sendirian di sini?"

Elder Yoon tersenyum bijaksana. "Tentu saja. Kau akan memiliki teman. Orang-orang yang akan membantumu, terutama Jaewon dan Mira. Mereka telah menunggumu untuk melangkah lebih jauh dalam perjalanan ini. Mereka tahu lebih banyak tentang dunia ini dan akan menjadi bagian penting dari misimu."

Setelah berbicara panjang lebar, Elder Yoon berdiri, menggerakkan tangan dengan lembut. "Hari ini adalah awal dari perjalanan panjangmu, Haneul. Saat kau siap, aku akan membawamu ke tempat yang lebih jauh, tempat di mana kau akan belajar lebih banyak tentang kekuatanmu dan dunia ini. Tetapi ingatlah, setiap langkah yang kau ambil akan membawamu lebih dekat pada takdirmu. Jangan ragu untuk bertanya, dan percayalah pada diri sendiri. Dunia ini mungkin penuh misteri, tapi hanya kau yang bisa mengungkapnya."

Haneul menatap wanita tua itu dengan campuran perasaan yang sulit diungkapkan—takut, bingung, dan sekaligus penasaran. Semua yang baru saja ia dengar terasa seperti sebuah mimpi yang begitu nyata, tetapi juga menakutkan. Ia tahu, meskipun ia tidak sepenuhnya siap, ia harus mengambil langkah pertama. Dunia ini sudah menantinya, dan takdirnya sudah tertulis.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Di Antara Dua Dunia   Bab 61: Tanah yang Tidak Pernah Dijanjikan

    Bab 61: Tanah yang Tidak Pernah Dijanjikan Udara di sekitar Retakan Timur terasa lebih tipis dari biasanya. Bahkan angin pun seakan enggan mendekat, menghormati batas yang memisahkan realitas. Cahaya biru lembut berdenyut di antara dua lapisan dimensi, menciptakan gema aneh, seperti napas panjang dari entitas tak terlihat. Dunia Antara… bukan lagi sekadar batas. Ia hidup, bernapas, dan bereaksi. Seo Haneul berdiri di ambang jurang, jubah ungu tua berkibar perlahan. Di belakangnya, para penjaga sihir dan ilmuwan Seowon bersiaga dengan alat pemantau dan artefak pelindung. Namun hanya satu yang menemani langkahnya: Hamin. "Aku tahu aku berjanji akan menunggumu," kata Hamin, memeriksa sarung tangannya yang dilapisi pelindung dimensi. "Tapi aku tak bisa tinggal diam saat kau melangkah ke tempat yang bahkan waktu pun enggan menyentuh." Haneul tersenyum tipis. "Dan aku tahu aku tak bisa mencegahmu." Jaewon mendekat, menyerahkan kristal se

  • Di Antara Dua Dunia   Bab 60: Gerbang yang Tak Pernah Sepi

    Bab 60: Gerbang yang Tak Pernah SepiUdara di sekitar Retakan Timur menipis. Bahkan angin pun enggan menyentuh batas yang membelah kenyataan. Cahaya biru lembut bergetar di antara dua lapisan dimensi, menciptakan gema aneh seperti napas panjang dari makhluk yang belum terlihat. Dunia Antara… tidak lagi sekadar batas. Ia hidup. Ia merespons.Seo Haneul berdiri di tepi celah itu, jubah ungu-kelamnya berkibar pelan. Di belakangnya, para penjaga sihir dan ilmuwan dari Seowon menunggu dengan perangkat pemantau dan artefak pelindung. Namun hanya satu yang melangkah bersamanya: Hamin.“Aku tahu aku berjanji akan menunggumu,” kata Hamin sambil memeriksa sarung tangannya yang berlapis pembungkus dimensi. “Tapi aku tak bisa diam saja jika kau masuk ke tempat yang bahkan waktu pun enggan menyentuhnya.”Haneul menatapnya, tersenyum kecil. “Dan aku tahu aku tak bisa mencegahmu.”Jaewon mendekat, menyer

  • Di Antara Dua Dunia   Bab 59: Saat Batas Menyatu

    Bab 59: Saat Batas Menyatu Langit Aeloria kini terbentang tanpa batas: tidak lagi terbelah oleh sihir dan teknologi, tidak lagi dipagari oleh dogma atau dendam. Setelah penyatuan Menara Ketiga, udara di antara dunia terasa berbeda—lebih berat, lebih hidup. Tapi juga rapuh, seperti benang cahaya yang masih menunggu untuk dijalin agar tak tercerai kembali.Di puncak menara, Seo Haneul berdiri membisu. Angin baru menyapu rambutnya, membawa aroma tanah Arangyeon dan logam dingin dari kota Seowon. Dunia telah berubah. Namun dirinya… belum sepenuhnya utuh.“Kau terlihat seperti orang yang baru dilahirkan kembali,” ujar Jaewon dari belakang, suaranya rendah.Haneul menoleh, senyum tipis menghiasi wajah letihnya. “Aku merasa seperti itu. Tapi juga seperti... seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.”Jaewon berjalan mendekat, menatap hamparan langit yang kini bersih dari pet

  • Di Antara Dua Dunia   Bab 58: Dua Jiwa di Satu Langit

    Bab 58: Dua Jiwa di Satu LangitLangit Aeloria terbuka perlahan seperti kelopak bunga yang kehilangan warna. Di tengah pusaran cahaya dan bayangan, Haneul berdiri berdampingan dengan Hamin—jiwa kembar yang terpisah dunia, namun menyatu oleh takdir. Di antara mereka, seberkas cahaya berdenyut perlahan, seolah menjadi jembatan dari seluruh kemungkinan masa depan yang belum dipilih.Bayangan dari dunia yang gagal masih menggantung di udara. Ia tak memiliki bentuk tetap, matanya kosong namun memancarkan rasa kehilangan yang mendalam. Sosok itu bukan sekadar musuh—ia adalah sisa dari harapan yang gagal, jiwa yang terlambat memilih.“Kalian datang terlalu jauh,” suara itu bergema, retak dan tajam. “Kalian berpikir cinta dan pengorbanan bisa menebus dunia? Tidak ada yang bisa menghapus apa yang telah hancur.”Hamin melangkah maju. Suaranya rendah, tetapi mengandung kekuatan yang baru ia temukan dalam dirinya.

  • Di Antara Dua Dunia   Bab 57: Cermin dari Dunia yang Gagal

    Bab 57: Cermin dari Dunia yang Gagal“Setiap pilihan yang tidak diambil tetap hidup, sebagai bayangan dari keputusan yang telah dibuat. Dan di dalam bayangan itu, dunia terus bernapas—dalam kehancuran yang tak pernah terjadi.”Gelap. Bukan malam, bukan kehampaan, tapi kegelapan yang basah, padat, dan berat. Ketika Haneul membuka matanya, ia tahu bahwa ini bukan Aeloria. Udara terasa pahit. Tanah yang dipijaknya seperti abu. Langit di atasnya retak, memancarkan kilatan merah dari celahnya, seolah langit sendiri menahan tangis yang tak bisa ditumpahkan.Ia berdiri di tengah kota. Atau yang dulunya kota.Gedung-gedung runtuh, ditelan akar logam dan api. Jalan-jalan penuh puing dan potongan peradaban: buku-buku terbakar setengah, robot penjaga yang membeku dalam posisi seperti berdoa, dan... sumpah-sumpah yang tertulis pada kelopak pohon kini berubah menjadi abu hitam.Di tengah reruntuhan, berdiri s

  • Di Antara Dua Dunia   Bab 56: Tanda dari Langit Merah

    Bab 56: Tanda dari Langit Merah“Kebebasan adalah cahaya pertama yang dibutuhkan dunia. Tapi yang kedua adalah ujian: apakah cahaya itu cukup untuk bertahan di tengah kegelapan yang datang tanpa alasan.”Langit Aeloria pagi itu tidak seperti biasanya. Bukan karena warnanya—tetap biru lembut dengan semburat keemasan—melainkan karena keheningan yang turun begitu pekat, seolah alam sedang menahan napas. Di barat, kabut menggantung di antara pepohonan tinggi hutan Qairan, dan di tengahnya… berdiri sesuatu yang belum pernah dilihat siapa pun.Kristal merah gelap.Menancap di tengah padang, tertanam dalam tanah, dan berdenyut perlahan seolah memiliki detak jantungnya sendiri.“Dari langit semalam,” gumam Mira, saat ia berdiri bersama Haneul, Hamin, dan Jaewon di perbatasan hutan. “Itu bukan bintang. Bukan benda langit. Rasanya… seperti pesan.”“Bukan hany

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status