Bab 3: Bayangan yang Membangkitkan Luka
Langit Arangyeon sore itu dipenuhi kabut lembut yang menari di antara pepohonan tinggi dan bebatuan. Sinar matahari yang biasanya hangat kini tertahan awan gelap yang menggantung, seakan memberi peringatan akan sesuatu yang akan datang. Seo Haneul berdiri sendirian di tepi sebuah tebing yang menghadap ke lembah luas, di belakang kuil tua milik Elder Yoon. Angin yang berembus membuat rambut panjangnya menari, dan untuk sesaat, ia terlihat seperti bagian dari dunia ini—meski hatinya masih terasa asing.
Ia menarik napas dalam-dalam, namun udara segar itu tak cukup untuk menenangkan gejolak dalam dadanya. Seluruh hidupnya berubah dalam semalam. Arangyeon bukan sekadar dunia fantasi; dunia ini menyimpan rahasia masa lalunya. Ia bukan hanya seorang arsitek dari kota futuristik Seowon, tapi mungkin... pewaris dari sesuatu yang jauh lebih besar—dan lebih berbahaya.
“Siapa aku sebenarnya?” pikirnya.
Ingatan tentang ibunya muncul samar. Wajah lembut wanita itu, senyumnya yang menenangkan… tetapi juga sorot matanya yang menyimpan sesuatu. Dulu Haneul mengira ibunya hanyalah wanita biasa. Kini, bayangan itu berubah, menjadi teka-teki baru yang belum bisa ia pecahkan.
“Sedang mencari jawaban?” Sebuah suara terdengar dari balik semak.
Haneul berbalik cepat, kaget namun tak terkejut saat mendapati Kim Jaewon berdiri tak jauh darinya. Jubah panjangnya berkibar ringan, dan pedang di pinggangnya tampak seperti bagian alami dari dirinya.
"Kenapa kau selalu muncul saat aku sendiri?" tanya Haneul dengan nada setengah gusar.
Jaewon tersenyum tipis. "Karena aku tahu, saat kau sendiri... itu saat pikiranmu paling ribut."
Haneul menghela napas, lalu kembali menatap ke lembah. "Aku pikir datang ke sini akan membuatku tenang. Tapi kenyataannya, aku hanya merasa... kosong. Seolah-olah dunia ini menunggu sesuatu dariku, dan aku bahkan tak tahu siapa aku."
"Kau tak sendiri dalam perasaan itu," jawab Jaewon, melangkah mendekat. "Dulu aku juga bertanya hal yang sama. Ketika kehilangan ayahku dalam perang menjaga Menara Bintang, ketika harus memilih antara membalas dendam atau menjaga kedamaian… aku juga bertanya, apa artinya semua ini?"
"Dan kau memilih menjaga kedamaian?"
Jaewon terdiam. "Kupikir begitu. Tapi luka itu masih ada."
Mereka terdiam. Hanya suara angin dan bisikan daun yang menemani. Kemudian Haneul memberanikan diri.
"Apa kau tahu siapa aku… siapa ibuku sebenarnya?"
Jaewon menatapnya dengan pandangan dalam. "Kau memang bagian dari dunia luar. Tapi bukan sembarang orang. Ibumu, Seo Minhee, datang ke Arangyeon dua puluh tahun lalu. Dia penyelidik dari Seowon, dikirim untuk mengamati anomali energi yang muncul… Tapi dia menemukan lebih dari itu."
"Apa yang dia temukan?"
"Rahasia tentang hubungan dua dunia. Tentang Menara Bintang yang menjadi pintu penghubung. Dia ingin menjaga keseimbangan… tapi seseorang mengkhianatinya. Kelompok Bayang Hitam."
"Kelompok itu... kau sebut sebelumnya. Mereka siapa?"
"Mereka dulunya penjaga seperti kami. Tapi mereka tergoda oleh kekuatan teknologi dari dunia luar. Mereka percaya bahwa dengan menguasai Menara Bintang, mereka bisa membuka portal permanen ke dunia asalmu—dan menguasai keduanya."
Haneul menelan ludah. “Dan kau pikir aku… bisa membuka portal itu?”
Jaewon mengangguk pelan. "Tidak hanya bisa. Kau adalah kunci yang ditunggu mereka."
"Tapi kenapa aku? Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya! Aku hanya manusia biasa, Jaewon!"
"Kau bukan manusia biasa, Haneul. Kau anak dari dua dunia. Darah ibumu mengalir dalam dirimu, dan ada energi yang terikat padamu sejak lahir."
Haneul memejamkan mata. Kepalanya terasa berat. Semua terasa terlalu cepat, terlalu gila untuk dipercaya—namun hatinya tahu, semua ini nyata.
"Jika mereka mengejarku… maka aku membawa bahaya ke dunia ini," katanya pelan.
"Benar," kata Jaewon. "Dan karena itu, kau harus belajar melindungi diri. Elder Yoon bisa membimbingmu. Tapi hanya kau yang bisa memutuskan apakah akan melawan… atau lari."
"Lari?" Haneul tertawa pahit. "Ke mana? Bahkan pikiranku sendiri bukan tempat aman sekarang."
Jaewon menatapnya lama, kemudian mendekat lebih dekat. "Haneul, aku tahu kau takut. Tapi dunia ini sudah memilihmu. Dan aku… aku akan melindungimu. Apa pun yang terjadi."
Haneul menoleh padanya. Ada sesuatu di mata Jaewon—bukan hanya tekad, tapi juga luka. Luka yang mungkin tak jauh berbeda dari miliknya. Luka karena kehilangan, karena harapan yang pupus, karena janji yang tak bisa ditepati.
Tiba-tiba, langit di atas Menara Bintang memercik cahaya merah gelap. Awan bergulung cepat, dan terdengar suara dentuman jauh dari pusat Arangyeon.
Jaewon mencengkeram pedangnya.
"Mereka mulai bergerak."
"Apa yang harus kita lakukan?"
"Kita harus mendahului mereka." Jaewon menatap Haneul. "Kau harus belajar mengakses kekuatanmu. Dan untuk itu, kita harus pergi ke tempat yang telah dilupakan dunia ini… Hutan Cermin."
"Hutan apa?"
"Hutan tempat ibumu menyembunyikan pecahan terakhir dari Segel Cahaya. Tanpa segel itu, Menara Bintang akan terbuka sepenuhnya. Dan itu akhir dari segalanya."
Haneul menatap Jaewon, hatinya bergemuruh. Ia belum siap. Tapi dunia ini tak menunggunya untuk siap.
Mungkin, inilah saatnya berhenti lari… dan mulai berjuang.
Catatan Penulis Di bab ini, aku ingin mengajak kalian menyelami sisi rapuh Haneul—tentang luka lama, keraguan, dan pertanyaan besar tentang jati diri. Setiap langkahnya di Arangyeon bukan hanya petualangan, tapi perjalanan hati untuk menemukan siapa dirinya sebenarnya. Aku juga memperdalam hubungan Haneul dan Jaewon, dua jiwa dari dunia berbeda yang mulai saling terhubung oleh luka dan harapan. Semoga kalian bisa merasakan emosi yang terselip di balik dialog dan keheningan mereka. Terima kasih sudah terus mengikuti kisah ini—perjalanan baru akan segera dimulai. 🌌✨
Bab 61: Tanah yang Tidak Pernah Dijanjikan Udara di sekitar Retakan Timur terasa lebih tipis dari biasanya. Bahkan angin pun seakan enggan mendekat, menghormati batas yang memisahkan realitas. Cahaya biru lembut berdenyut di antara dua lapisan dimensi, menciptakan gema aneh, seperti napas panjang dari entitas tak terlihat. Dunia Antara… bukan lagi sekadar batas. Ia hidup, bernapas, dan bereaksi. Seo Haneul berdiri di ambang jurang, jubah ungu tua berkibar perlahan. Di belakangnya, para penjaga sihir dan ilmuwan Seowon bersiaga dengan alat pemantau dan artefak pelindung. Namun hanya satu yang menemani langkahnya: Hamin. "Aku tahu aku berjanji akan menunggumu," kata Hamin, memeriksa sarung tangannya yang dilapisi pelindung dimensi. "Tapi aku tak bisa tinggal diam saat kau melangkah ke tempat yang bahkan waktu pun enggan menyentuh." Haneul tersenyum tipis. "Dan aku tahu aku tak bisa mencegahmu." Jaewon mendekat, menyerahkan kristal se
Bab 60: Gerbang yang Tak Pernah SepiUdara di sekitar Retakan Timur menipis. Bahkan angin pun enggan menyentuh batas yang membelah kenyataan. Cahaya biru lembut bergetar di antara dua lapisan dimensi, menciptakan gema aneh seperti napas panjang dari makhluk yang belum terlihat. Dunia Antara… tidak lagi sekadar batas. Ia hidup. Ia merespons.Seo Haneul berdiri di tepi celah itu, jubah ungu-kelamnya berkibar pelan. Di belakangnya, para penjaga sihir dan ilmuwan dari Seowon menunggu dengan perangkat pemantau dan artefak pelindung. Namun hanya satu yang melangkah bersamanya: Hamin.“Aku tahu aku berjanji akan menunggumu,” kata Hamin sambil memeriksa sarung tangannya yang berlapis pembungkus dimensi. “Tapi aku tak bisa diam saja jika kau masuk ke tempat yang bahkan waktu pun enggan menyentuhnya.”Haneul menatapnya, tersenyum kecil. “Dan aku tahu aku tak bisa mencegahmu.”Jaewon mendekat, menyer
Bab 59: Saat Batas Menyatu Langit Aeloria kini terbentang tanpa batas: tidak lagi terbelah oleh sihir dan teknologi, tidak lagi dipagari oleh dogma atau dendam. Setelah penyatuan Menara Ketiga, udara di antara dunia terasa berbeda—lebih berat, lebih hidup. Tapi juga rapuh, seperti benang cahaya yang masih menunggu untuk dijalin agar tak tercerai kembali.Di puncak menara, Seo Haneul berdiri membisu. Angin baru menyapu rambutnya, membawa aroma tanah Arangyeon dan logam dingin dari kota Seowon. Dunia telah berubah. Namun dirinya… belum sepenuhnya utuh.“Kau terlihat seperti orang yang baru dilahirkan kembali,” ujar Jaewon dari belakang, suaranya rendah.Haneul menoleh, senyum tipis menghiasi wajah letihnya. “Aku merasa seperti itu. Tapi juga seperti... seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.”Jaewon berjalan mendekat, menatap hamparan langit yang kini bersih dari pet
Bab 58: Dua Jiwa di Satu LangitLangit Aeloria terbuka perlahan seperti kelopak bunga yang kehilangan warna. Di tengah pusaran cahaya dan bayangan, Haneul berdiri berdampingan dengan Hamin—jiwa kembar yang terpisah dunia, namun menyatu oleh takdir. Di antara mereka, seberkas cahaya berdenyut perlahan, seolah menjadi jembatan dari seluruh kemungkinan masa depan yang belum dipilih.Bayangan dari dunia yang gagal masih menggantung di udara. Ia tak memiliki bentuk tetap, matanya kosong namun memancarkan rasa kehilangan yang mendalam. Sosok itu bukan sekadar musuh—ia adalah sisa dari harapan yang gagal, jiwa yang terlambat memilih.“Kalian datang terlalu jauh,” suara itu bergema, retak dan tajam. “Kalian berpikir cinta dan pengorbanan bisa menebus dunia? Tidak ada yang bisa menghapus apa yang telah hancur.”Hamin melangkah maju. Suaranya rendah, tetapi mengandung kekuatan yang baru ia temukan dalam dirinya.
Bab 57: Cermin dari Dunia yang Gagal“Setiap pilihan yang tidak diambil tetap hidup, sebagai bayangan dari keputusan yang telah dibuat. Dan di dalam bayangan itu, dunia terus bernapas—dalam kehancuran yang tak pernah terjadi.”Gelap. Bukan malam, bukan kehampaan, tapi kegelapan yang basah, padat, dan berat. Ketika Haneul membuka matanya, ia tahu bahwa ini bukan Aeloria. Udara terasa pahit. Tanah yang dipijaknya seperti abu. Langit di atasnya retak, memancarkan kilatan merah dari celahnya, seolah langit sendiri menahan tangis yang tak bisa ditumpahkan.Ia berdiri di tengah kota. Atau yang dulunya kota.Gedung-gedung runtuh, ditelan akar logam dan api. Jalan-jalan penuh puing dan potongan peradaban: buku-buku terbakar setengah, robot penjaga yang membeku dalam posisi seperti berdoa, dan... sumpah-sumpah yang tertulis pada kelopak pohon kini berubah menjadi abu hitam.Di tengah reruntuhan, berdiri s
Bab 56: Tanda dari Langit Merah“Kebebasan adalah cahaya pertama yang dibutuhkan dunia. Tapi yang kedua adalah ujian: apakah cahaya itu cukup untuk bertahan di tengah kegelapan yang datang tanpa alasan.”Langit Aeloria pagi itu tidak seperti biasanya. Bukan karena warnanya—tetap biru lembut dengan semburat keemasan—melainkan karena keheningan yang turun begitu pekat, seolah alam sedang menahan napas. Di barat, kabut menggantung di antara pepohonan tinggi hutan Qairan, dan di tengahnya… berdiri sesuatu yang belum pernah dilihat siapa pun.Kristal merah gelap.Menancap di tengah padang, tertanam dalam tanah, dan berdenyut perlahan seolah memiliki detak jantungnya sendiri.“Dari langit semalam,” gumam Mira, saat ia berdiri bersama Haneul, Hamin, dan Jaewon di perbatasan hutan. “Itu bukan bintang. Bukan benda langit. Rasanya… seperti pesan.”“Bukan hany