Home / Romansa / Di Antara Dua Dunia / Bab 3: Rahasia di Balik Cahaya

Share

Bab 3: Rahasia di Balik Cahaya

Author: Founna Math
last update Huling Na-update: 2025-01-04 09:58:36

Langit Arangyeon berubah menjadi ungu tua saat malam perlahan menyelimuti desa, dihiasi oleh ribuan bintang yang bersinar dengan intensitas luar biasa, seolah berlomba-lomba memamerkan keindahannya. Setiap bintang tampak seperti berlian kecil yang menghiasi kanvas malam yang luas, menciptakan suasana magis yang begitu nyata hingga Haneul nyaris lupa bernapas. Udara di sekitar dipenuhi dengan aroma bunga yang harum, segar, dan menyegarkan, menyatu dengan suara-suara alam yang lembut seperti alunan musik pengantar tidur. Ia duduk di sebuah bangku kayu yang sudah tua, dekat dengan kolam kecil yang permukaannya berkilau seperti cermin karena memantulkan cahaya bulan. Cahaya itu menciptakan ilusi yang membuatnya merasa berada di dunia mimpi.

Pikirannya masih dipenuhi kebingungan, bergulat dengan semua hal aneh dan tidak masuk akal yang terjadi sejak ia pertama kali melangkah ke dunia ini. Dunia yang begitu berbeda, penuh dengan keindahan dan misteri, namun terasa seperti teka-teki besar yang menantangnya untuk dipecahkan. Wanita tua tadi—yang Jaewon panggil sebagai “Elder Yoon”—mengatakan banyak hal yang membingungkannya. Kata-kata seperti "takdir," "tanda," dan "Arangyeon" terus bergema di kepalanya, seperti sebuah lagu yang terus berulang tanpa henti. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, tetapi rasa takut dan ketidakpastian tetap menggantung seperti awan gelap di hatinya, membuat setiap detik terasa lebih berat.

Saat ia tenggelam dalam pusaran pikirannya, suara langkah kaki yang ringan terdengar mendekat. Suara itu begitu lembut, hampir seperti bisikan angin, tetapi cukup untuk membuat Haneul menoleh. Di hadapannya, berdiri seorang gadis muda dengan rambut panjang keperakan yang memantulkan cahaya bintang, membuatnya tampak seperti makhluk dari dongeng. Mata hijau terang gadis itu berkilauan penuh kehangatan, membawa perasaan nyaman yang sulit dijelaskan. Ia mengenakan jubah tipis berwarna biru langit dengan pola bintang-bintang kecil yang tampak berkilauan di bawah cahaya malam, membuat penampilannya semakin luar biasa.

"Kau pasti Seo Haneul," kata gadis itu dengan suara lembut, nada bicaranya penuh kehangatan yang hampir menenangkan. Senyumnya kecil tetapi tulus, seperti pelukan tak terlihat yang membuat Haneul merasa sedikit lebih baik. "Namaku Mira. Elder Yoon memintaku untuk menemanimu dan membantumu menyesuaikan diri di sini. Aku tahu kau pasti merasa bingung dan takut, tapi jangan khawatir. Kau tidak sendiri."

Haneul mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan keraguan yang masih terasa jelas di hatinya. "Senang bertemu denganmu, Mira," katanya dengan nada sopan, meskipun suaranya terdengar sedikit bergetar. "Tapi... aku benar-benar tidak tahu bagaimana aku bisa 'menyesuaikan diri' di tempat ini. Segalanya terasa terlalu aneh dan sulit untuk dipahami. Dunia ini seperti mimpi yang hidup, tetapi juga menakutkan."

Mira tertawa kecil, suaranya seperti dentingan lonceng yang berdering di kejauhan, membawa perasaan damai. "Itu hal yang wajar," katanya sambil mengangguk dengan wajah penuh pengertian. "Tidak ada manusia dari dunia luar yang merasa nyaman saat pertama kali datang ke Arangyeon. Tapi percayalah, dunia ini memiliki caranya sendiri untuk menyambutmu. Kau hanya perlu waktu dan keberanian untuk menghadapi semua ini. Aku yakin kau akan baik-baik saja."

---

Mira mulai mengajak Haneul berjalan-jalan mengelilingi desa, memperkenalkannya pada berbagai tempat yang dianggap penting. Mereka melewati rumah-rumah kecil yang dihiasi taman penuh bunga bercahaya yang tampak seperti kelopak-kelopak kecil berpendar dalam kegelapan. Jalanan desa dipenuhi penduduk yang sibuk, beberapa menjual barang-barang unik di pasar kecil yang ramai, sementara yang lain berkumpul dalam kelompok kecil, berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti Haneul. Akhirnya, mereka tiba di depan sebuah menara tinggi yang begitu megah, tampak seperti terbuat dari kristal yang berkilauan. Menara itu memancarkan aura yang begitu kuat, seolah-olah ia adalah pusat kehidupan dari seluruh desa.

"Ini adalah Menara Bintang," kata Mira sambil menunjuk ke arah bangunan megah itu. Nada suaranya penuh kekaguman, dan matanya bersinar dengan kebanggaan. "Menara ini adalah jantung dari Arangyeon. Semua energi yang menjaga keseimbangan dunia ini berasal dari sini. Tapi tidak semua orang diizinkan masuk ke dalamnya. Bahkan aku, yang tinggal di sini sejak lahir, hanya bisa masuk dengan izin khusus dari Elder Yoon."

Haneul memandang menara itu dengan perasaan campur aduk. Bentuknya yang megah dan auranya yang misterius membuatnya merasa kecil dan tidak berarti. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang tertarik pada menara itu, seperti sebuah magnet yang menariknya lebih dekat. "Apakah menara ini yang menjaga keseimbangan dunia ini?" tanyanya dengan hati-hati, mencoba mencari koneksi antara menara itu dan apa yang dikatakan Jaewon sebelumnya.

Mira mengangguk, ekspresinya menjadi serius. "Ya, benar sekali," katanya. "Menara ini adalah pusat dari semua energi di Arangyeon. Tanpa menara ini, dunia ini akan kehilangan keseimbangannya dan perlahan runtuh. Tapi akhir-akhir ini, energi menara ini terasa tidak stabil. Kami tidak tahu apa yang menyebabkannya, tetapi mungkin... kehadiranmu di sini bukanlah kebetulan."

Haneul merasa jantungnya berdetak lebih cepat mendengar kata-kata itu. Jika benar keberadaannya di sini memengaruhi keseimbangan dunia ini, apakah itu berarti ia adalah bagian dari masalah ini? Atau mungkinkah ia sebenarnya adalah kunci untuk menyelesaikannya? Pertanyaan itu terus bergema di pikirannya, membuatnya semakin gelisah, tetapi juga semakin ingin tahu.

---

Ketika malam semakin larut, Mira mengantar Haneul kembali ke sebuah rumah kecil yang akan menjadi tempat tinggal sementaranya. Rumah itu sederhana tetapi penuh keindahan. Dindingnya terbuat dari kayu dengan ukiran berbentuk bunga dan bintang yang terlihat begitu detail. Di dalamnya, ada perapian kecil yang memberikan kehangatan, tempat tidur dengan selimut lembut, dan sebuah jendela besar yang menghadap langsung ke langit malam yang dipenuhi bintang.

Sebelum pergi, Mira menoleh dengan senyum lembut di wajahnya. "Istirahatlah malam ini, Haneul," katanya dengan nada menenangkan yang hampir seperti nyanyian. "Kau akan butuh energi untuk hari esok. Elder Yoon ingin berbicara lagi denganmu, dan Jaewon mungkin akan menunjukkan lebih banyak tentang Arangyeon. Dunia ini memiliki banyak rahasia, dan aku yakin kau akan segera mengetahuinya."

Haneul mengangguk pelan, meskipun rasa kantuk belum benar-benar datang. "Terima kasih, Mira. Kau sangat baik padaku," katanya dengan tulus, meskipun masih ada rasa keraguan dalam suaranya.

Mira tertawa kecil sebelum melangkah keluar. "Tentu saja," katanya sambil melambaikan tangan. "Kau mungkin merasa asing di sini, tetapi aku yakin kau punya peran besar dalam takdir dunia ini. Selamat malam, Haneul. Semoga bintang-bintang memberikan mimpi indah untukmu."

Setelah Mira pergi, Haneul duduk di dekat jendela, memandangi langit malam yang penuh dengan bintang. Cahaya bintang itu seolah berbicara padanya, membawa pesan-pesan yang tidak dapat ia pahami. Kata-kata Elder Yoon kembali terngiang di pikirannya: "Takdir," "tanda," dan "pilihan." Apa sebenarnya arti dari semua itu?

"Apa yang sebenarnya terjadi padaku?" bisiknya pada dirinya sendiri, berharap malam yang sunyi dapat memberikan jawaban. Namun, hanya keheningan yang ia dapatkan, menyisakan rasa penasaran dan ketidakpastian.

Ia tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari, tetapi satu hal yang pasti: hidupnya telah berubah selamanya. Di tengah rasa takut dan kebingungan, ada percikan kecil rasa ingin tahu yang perlahan tumbuh di hatinya. Ia tahu, apa pun risikonya, ia harus menemukan jawaban dari semua misteri ini. Dunia ini, takdirnya, dan dirinya sendiri—semua terasa seperti teka-teki yang harus ia pecahkan.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Di Antara Dua Dunia   Bab 61: Tanah yang Tidak Pernah Dijanjikan

    Bab 61: Tanah yang Tidak Pernah Dijanjikan Udara di sekitar Retakan Timur terasa lebih tipis dari biasanya. Bahkan angin pun seakan enggan mendekat, menghormati batas yang memisahkan realitas. Cahaya biru lembut berdenyut di antara dua lapisan dimensi, menciptakan gema aneh, seperti napas panjang dari entitas tak terlihat. Dunia Antara… bukan lagi sekadar batas. Ia hidup, bernapas, dan bereaksi. Seo Haneul berdiri di ambang jurang, jubah ungu tua berkibar perlahan. Di belakangnya, para penjaga sihir dan ilmuwan Seowon bersiaga dengan alat pemantau dan artefak pelindung. Namun hanya satu yang menemani langkahnya: Hamin. "Aku tahu aku berjanji akan menunggumu," kata Hamin, memeriksa sarung tangannya yang dilapisi pelindung dimensi. "Tapi aku tak bisa tinggal diam saat kau melangkah ke tempat yang bahkan waktu pun enggan menyentuh." Haneul tersenyum tipis. "Dan aku tahu aku tak bisa mencegahmu." Jaewon mendekat, menyerahkan kristal se

  • Di Antara Dua Dunia   Bab 60: Gerbang yang Tak Pernah Sepi

    Bab 60: Gerbang yang Tak Pernah SepiUdara di sekitar Retakan Timur menipis. Bahkan angin pun enggan menyentuh batas yang membelah kenyataan. Cahaya biru lembut bergetar di antara dua lapisan dimensi, menciptakan gema aneh seperti napas panjang dari makhluk yang belum terlihat. Dunia Antara… tidak lagi sekadar batas. Ia hidup. Ia merespons.Seo Haneul berdiri di tepi celah itu, jubah ungu-kelamnya berkibar pelan. Di belakangnya, para penjaga sihir dan ilmuwan dari Seowon menunggu dengan perangkat pemantau dan artefak pelindung. Namun hanya satu yang melangkah bersamanya: Hamin.“Aku tahu aku berjanji akan menunggumu,” kata Hamin sambil memeriksa sarung tangannya yang berlapis pembungkus dimensi. “Tapi aku tak bisa diam saja jika kau masuk ke tempat yang bahkan waktu pun enggan menyentuhnya.”Haneul menatapnya, tersenyum kecil. “Dan aku tahu aku tak bisa mencegahmu.”Jaewon mendekat, menyer

  • Di Antara Dua Dunia   Bab 59: Saat Batas Menyatu

    Bab 59: Saat Batas Menyatu Langit Aeloria kini terbentang tanpa batas: tidak lagi terbelah oleh sihir dan teknologi, tidak lagi dipagari oleh dogma atau dendam. Setelah penyatuan Menara Ketiga, udara di antara dunia terasa berbeda—lebih berat, lebih hidup. Tapi juga rapuh, seperti benang cahaya yang masih menunggu untuk dijalin agar tak tercerai kembali.Di puncak menara, Seo Haneul berdiri membisu. Angin baru menyapu rambutnya, membawa aroma tanah Arangyeon dan logam dingin dari kota Seowon. Dunia telah berubah. Namun dirinya… belum sepenuhnya utuh.“Kau terlihat seperti orang yang baru dilahirkan kembali,” ujar Jaewon dari belakang, suaranya rendah.Haneul menoleh, senyum tipis menghiasi wajah letihnya. “Aku merasa seperti itu. Tapi juga seperti... seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.”Jaewon berjalan mendekat, menatap hamparan langit yang kini bersih dari pet

  • Di Antara Dua Dunia   Bab 58: Dua Jiwa di Satu Langit

    Bab 58: Dua Jiwa di Satu LangitLangit Aeloria terbuka perlahan seperti kelopak bunga yang kehilangan warna. Di tengah pusaran cahaya dan bayangan, Haneul berdiri berdampingan dengan Hamin—jiwa kembar yang terpisah dunia, namun menyatu oleh takdir. Di antara mereka, seberkas cahaya berdenyut perlahan, seolah menjadi jembatan dari seluruh kemungkinan masa depan yang belum dipilih.Bayangan dari dunia yang gagal masih menggantung di udara. Ia tak memiliki bentuk tetap, matanya kosong namun memancarkan rasa kehilangan yang mendalam. Sosok itu bukan sekadar musuh—ia adalah sisa dari harapan yang gagal, jiwa yang terlambat memilih.“Kalian datang terlalu jauh,” suara itu bergema, retak dan tajam. “Kalian berpikir cinta dan pengorbanan bisa menebus dunia? Tidak ada yang bisa menghapus apa yang telah hancur.”Hamin melangkah maju. Suaranya rendah, tetapi mengandung kekuatan yang baru ia temukan dalam dirinya.

  • Di Antara Dua Dunia   Bab 57: Cermin dari Dunia yang Gagal

    Bab 57: Cermin dari Dunia yang Gagal“Setiap pilihan yang tidak diambil tetap hidup, sebagai bayangan dari keputusan yang telah dibuat. Dan di dalam bayangan itu, dunia terus bernapas—dalam kehancuran yang tak pernah terjadi.”Gelap. Bukan malam, bukan kehampaan, tapi kegelapan yang basah, padat, dan berat. Ketika Haneul membuka matanya, ia tahu bahwa ini bukan Aeloria. Udara terasa pahit. Tanah yang dipijaknya seperti abu. Langit di atasnya retak, memancarkan kilatan merah dari celahnya, seolah langit sendiri menahan tangis yang tak bisa ditumpahkan.Ia berdiri di tengah kota. Atau yang dulunya kota.Gedung-gedung runtuh, ditelan akar logam dan api. Jalan-jalan penuh puing dan potongan peradaban: buku-buku terbakar setengah, robot penjaga yang membeku dalam posisi seperti berdoa, dan... sumpah-sumpah yang tertulis pada kelopak pohon kini berubah menjadi abu hitam.Di tengah reruntuhan, berdiri s

  • Di Antara Dua Dunia   Bab 56: Tanda dari Langit Merah

    Bab 56: Tanda dari Langit Merah“Kebebasan adalah cahaya pertama yang dibutuhkan dunia. Tapi yang kedua adalah ujian: apakah cahaya itu cukup untuk bertahan di tengah kegelapan yang datang tanpa alasan.”Langit Aeloria pagi itu tidak seperti biasanya. Bukan karena warnanya—tetap biru lembut dengan semburat keemasan—melainkan karena keheningan yang turun begitu pekat, seolah alam sedang menahan napas. Di barat, kabut menggantung di antara pepohonan tinggi hutan Qairan, dan di tengahnya… berdiri sesuatu yang belum pernah dilihat siapa pun.Kristal merah gelap.Menancap di tengah padang, tertanam dalam tanah, dan berdenyut perlahan seolah memiliki detak jantungnya sendiri.“Dari langit semalam,” gumam Mira, saat ia berdiri bersama Haneul, Hamin, dan Jaewon di perbatasan hutan. “Itu bukan bintang. Bukan benda langit. Rasanya… seperti pesan.”“Bukan hany

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status