Langit Arangyeon berubah menjadi ungu tua saat malam perlahan menyelimuti desa, dihiasi oleh ribuan bintang yang bersinar dengan intensitas luar biasa, seolah berlomba-lomba memamerkan keindahannya. Setiap bintang tampak seperti berlian kecil yang menghiasi kanvas malam yang luas, menciptakan suasana magis yang begitu nyata hingga Haneul nyaris lupa bernapas. Udara di sekitar dipenuhi dengan aroma bunga yang harum, segar, dan menyegarkan, menyatu dengan suara-suara alam yang lembut seperti alunan musik pengantar tidur. Ia duduk di sebuah bangku kayu yang sudah tua, dekat dengan kolam kecil yang permukaannya berkilau seperti cermin karena memantulkan cahaya bulan. Cahaya itu menciptakan ilusi yang membuatnya merasa berada di dunia mimpi.
Pikirannya masih dipenuhi kebingungan, bergulat dengan semua hal aneh dan tidak masuk akal yang terjadi sejak ia pertama kali melangkah ke dunia ini. Dunia yang begitu berbeda, penuh dengan keindahan dan misteri, namun terasa seperti teka-teki besar yang menantangnya untuk dipecahkan. Wanita tua tadi—yang Jaewon panggil sebagai “Elder Yoon”—mengatakan banyak hal yang membingungkannya. Kata-kata seperti "takdir," "tanda," dan "Arangyeon" terus bergema di kepalanya, seperti sebuah lagu yang terus berulang tanpa henti. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, tetapi rasa takut dan ketidakpastian tetap menggantung seperti awan gelap di hatinya, membuat setiap detik terasa lebih berat. Saat ia tenggelam dalam pusaran pikirannya, suara langkah kaki yang ringan terdengar mendekat. Suara itu begitu lembut, hampir seperti bisikan angin, tetapi cukup untuk membuat Haneul menoleh. Di hadapannya, berdiri seorang gadis muda dengan rambut panjang keperakan yang memantulkan cahaya bintang, membuatnya tampak seperti makhluk dari dongeng. Mata hijau terang gadis itu berkilauan penuh kehangatan, membawa perasaan nyaman yang sulit dijelaskan. Ia mengenakan jubah tipis berwarna biru langit dengan pola bintang-bintang kecil yang tampak berkilauan di bawah cahaya malam, membuat penampilannya semakin luar biasa. "Kau pasti Seo Haneul," kata gadis itu dengan suara lembut, nada bicaranya penuh kehangatan yang hampir menenangkan. Senyumnya kecil tetapi tulus, seperti pelukan tak terlihat yang membuat Haneul merasa sedikit lebih baik. "Namaku Mira. Elder Yoon memintaku untuk menemanimu dan membantumu menyesuaikan diri di sini. Aku tahu kau pasti merasa bingung dan takut, tapi jangan khawatir. Kau tidak sendiri." Haneul mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan keraguan yang masih terasa jelas di hatinya. "Senang bertemu denganmu, Mira," katanya dengan nada sopan, meskipun suaranya terdengar sedikit bergetar. "Tapi... aku benar-benar tidak tahu bagaimana aku bisa 'menyesuaikan diri' di tempat ini. Segalanya terasa terlalu aneh dan sulit untuk dipahami. Dunia ini seperti mimpi yang hidup, tetapi juga menakutkan." Mira tertawa kecil, suaranya seperti dentingan lonceng yang berdering di kejauhan, membawa perasaan damai. "Itu hal yang wajar," katanya sambil mengangguk dengan wajah penuh pengertian. "Tidak ada manusia dari dunia luar yang merasa nyaman saat pertama kali datang ke Arangyeon. Tapi percayalah, dunia ini memiliki caranya sendiri untuk menyambutmu. Kau hanya perlu waktu dan keberanian untuk menghadapi semua ini. Aku yakin kau akan baik-baik saja." --- Mira mulai mengajak Haneul berjalan-jalan mengelilingi desa, memperkenalkannya pada berbagai tempat yang dianggap penting. Mereka melewati rumah-rumah kecil yang dihiasi taman penuh bunga bercahaya yang tampak seperti kelopak-kelopak kecil berpendar dalam kegelapan. Jalanan desa dipenuhi penduduk yang sibuk, beberapa menjual barang-barang unik di pasar kecil yang ramai, sementara yang lain berkumpul dalam kelompok kecil, berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti Haneul. Akhirnya, mereka tiba di depan sebuah menara tinggi yang begitu megah, tampak seperti terbuat dari kristal yang berkilauan. Menara itu memancarkan aura yang begitu kuat, seolah-olah ia adalah pusat kehidupan dari seluruh desa. "Ini adalah Menara Bintang," kata Mira sambil menunjuk ke arah bangunan megah itu. Nada suaranya penuh kekaguman, dan matanya bersinar dengan kebanggaan. "Menara ini adalah jantung dari Arangyeon. Semua energi yang menjaga keseimbangan dunia ini berasal dari sini. Tapi tidak semua orang diizinkan masuk ke dalamnya. Bahkan aku, yang tinggal di sini sejak lahir, hanya bisa masuk dengan izin khusus dari Elder Yoon." Haneul memandang menara itu dengan perasaan campur aduk. Bentuknya yang megah dan auranya yang misterius membuatnya merasa kecil dan tidak berarti. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang tertarik pada menara itu, seperti sebuah magnet yang menariknya lebih dekat. "Apakah menara ini yang menjaga keseimbangan dunia ini?" tanyanya dengan hati-hati, mencoba mencari koneksi antara menara itu dan apa yang dikatakan Jaewon sebelumnya. Mira mengangguk, ekspresinya menjadi serius. "Ya, benar sekali," katanya. "Menara ini adalah pusat dari semua energi di Arangyeon. Tanpa menara ini, dunia ini akan kehilangan keseimbangannya dan perlahan runtuh. Tapi akhir-akhir ini, energi menara ini terasa tidak stabil. Kami tidak tahu apa yang menyebabkannya, tetapi mungkin... kehadiranmu di sini bukanlah kebetulan." Haneul merasa jantungnya berdetak lebih cepat mendengar kata-kata itu. Jika benar keberadaannya di sini memengaruhi keseimbangan dunia ini, apakah itu berarti ia adalah bagian dari masalah ini? Atau mungkinkah ia sebenarnya adalah kunci untuk menyelesaikannya? Pertanyaan itu terus bergema di pikirannya, membuatnya semakin gelisah, tetapi juga semakin ingin tahu. --- Ketika malam semakin larut, Mira mengantar Haneul kembali ke sebuah rumah kecil yang akan menjadi tempat tinggal sementaranya. Rumah itu sederhana tetapi penuh keindahan. Dindingnya terbuat dari kayu dengan ukiran berbentuk bunga dan bintang yang terlihat begitu detail. Di dalamnya, ada perapian kecil yang memberikan kehangatan, tempat tidur dengan selimut lembut, dan sebuah jendela besar yang menghadap langsung ke langit malam yang dipenuhi bintang. Sebelum pergi, Mira menoleh dengan senyum lembut di wajahnya. "Istirahatlah malam ini, Haneul," katanya dengan nada menenangkan yang hampir seperti nyanyian. "Kau akan butuh energi untuk hari esok. Elder Yoon ingin berbicara lagi denganmu, dan Jaewon mungkin akan menunjukkan lebih banyak tentang Arangyeon. Dunia ini memiliki banyak rahasia, dan aku yakin kau akan segera mengetahuinya." Haneul mengangguk pelan, meskipun rasa kantuk belum benar-benar datang. "Terima kasih, Mira. Kau sangat baik padaku," katanya dengan tulus, meskipun masih ada rasa keraguan dalam suaranya. Mira tertawa kecil sebelum melangkah keluar. "Tentu saja," katanya sambil melambaikan tangan. "Kau mungkin merasa asing di sini, tetapi aku yakin kau punya peran besar dalam takdir dunia ini. Selamat malam, Haneul. Semoga bintang-bintang memberikan mimpi indah untukmu." Setelah Mira pergi, Haneul duduk di dekat jendela, memandangi langit malam yang penuh dengan bintang. Cahaya bintang itu seolah berbicara padanya, membawa pesan-pesan yang tidak dapat ia pahami. Kata-kata Elder Yoon kembali terngiang di pikirannya: "Takdir," "tanda," dan "pilihan." Apa sebenarnya arti dari semua itu? "Apa yang sebenarnya terjadi padaku?" bisiknya pada dirinya sendiri, berharap malam yang sunyi dapat memberikan jawaban. Namun, hanya keheningan yang ia dapatkan, menyisakan rasa penasaran dan ketidakpastian. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari, tetapi satu hal yang pasti: hidupnya telah berubah selamanya. Di tengah rasa takut dan kebingungan, ada percikan kecil rasa ingin tahu yang perlahan tumbuh di hatinya. Ia tahu, apa pun risikonya, ia harus menemukan jawaban dari semua misteri ini. Dunia ini, takdirnya, dan dirinya sendiri—semua terasa seperti teka-teki yang harus ia pecahkan.Bab 51 – Mata yang Tak TertidurLembah Tenggelam mulai menunjukkan wujud aslinya. Dedaunan yang semula tampak layu kini menyala dengan warna ungu tua. Tanah bergetar, bukan karena gempa biasa, melainkan resonansi dari sesuatu yang jauh lebih besar—lebih tua dari sihir, lebih dalam dari kehendak manusia.Selaneth, makhluk berjubah putih keperakan yang baru saja terbangun, menatap Seo Haneul dengan mata tanpa pupil. Tatapan itu bukan sekadar penglihatan, melainkan penilaian—seolah ia menimbang seluruh isi jiwanya dalam satu pandangan.“Kau berada di batas,” katanya dengan suara yang terdengar seperti gema dari langit dan bumi bersamaan. “Satu langkah ke depan, dan kau takkan pernah bisa kembali menjadi manusia biasa.”Haneul menelan ludah. Ia mencoba bicara, namun suaranya tercekat oleh tekanan yang tak kasat mata. Di antara tangannya, liontin peninggalan ibunya berden
Bab 50 – Lembah TenggelamKabut menyelimuti dunia seperti jubah waktu. Lembah Tenggelam bukan hanya wilayah terlarang, tapi nadi rahasia Arangyeon yang terlupakan—tempat sihir purba dan dosa masa lalu saling mengunci dalam tidur panjang. Langit di atasnya tak pernah biru, hanya abu-abu suram yang membungkam cahaya bulan.Seo Haneul melangkah sendirian, hanya berbekal jubah pelindung dan liontin ibunya yang kini nyaris tidak bercahaya. Di sekelilingnya, kabut seperti makhluk hidup—bergerak mengelilingi, menyentuh kulit, berbisik dengan suara yang tidak berasal dari bumi maupun dimensi manapun.“Kenapa kau datang?” bisik kabut, dalam suara ratusan jiwa.Haneul tidak menjawab. Ia terus melangkah, menembus semak dan batu raksasa yang tertutup lumut tua. Dalam hatinya, ia merasakan kegelisahan yang tak bisa dijelaskan. Bukan karena takut, tapi karena merasa… sedang diawasi oleh masa lalu.Lorong batu
Bab 49 – Bayangan dalam DarahAngin malam Arangyeon berembus lirih, namun menusuk lebih dalam dari biasanya. Udara dipenuhi aroma lembap tanah yang baru saja disiram hujan sihir. Di kejauhan, langit masih retak, menyisakan luka di langit yang tak bisa dijahit hanya dengan kemenangan. Di permukaan, seolah dunia kembali tenang. Namun di dalam, semua orang tahu: badai sesungguhnya baru akan dimulai.Seo Haneul berdiri di balkon Menara Bintang, tubuhnya diam, tapi pikirannya tidak. Sejak pertempuran melawan Jihoon, sesuatu dalam dirinya berubah. Bukan hanya karena dia selamat, tapi karena dia merasa... ditinggalkan.“Ibuku memilih untuk menghilang,” gumamnya lirih. “Tapi kenapa aku merasa dia masih menyembunyikan sesuatu dariku?”Suara langkah pelan terdengar di belakang. Jaewon.“Kau belum tidur lagi,” katanya, bersandar di sisi balkon.Haneul hanya mengangguk pel
Bab 48 – Gerbang yang Retak Langit Arangyeon tampak sekarat. Awan ungu pekat menyelimuti horizon, berkilat-kilat seperti luka terbuka di angkasa. Di balik kabut, gema retakan terdengar pelan namun menusuk, menandakan batas antar dunia mulai melebur. Suara burung-burung roh telah menghilang, digantikan oleh senyap yang terlalu sempurna—pertanda bahwa dunia sihir sedang menahan napas.Seo Haneul berdiri di pelataran Menara Bintang, matanya menatap langit yang tak lagi murni. Aura hangat dari kristal peninggalan ibunya kini berdenyut cepat di telapak tangannya—seolah merasakan bahaya yang mendekat. Tak jauh darinya, Jaewon, Mira, dan Elder Yoon bersiap siaga, dikelilingi oleh para penjaga Arangyeon yang membentuk formasi sihir perlindungan.“Retakannya semakin besar,” ujar Mira pelan. “Energi dari Seowon menyusup ke dalam aliran sihir Arangyeon. Jika dibiarkan, dunia kita bisa runtuh dari dalam.”“Ini bukan retakan biasa,” Elder Yoon menyempitkan matanya. “Ini lubang dimensi. Dan seseora
Bab 47 – Bayangan dari SeowonKabut tipis mengambang di koridor-koridor kaca Divisi 7. Suara langkah mereka dipantulkan berkali-kali oleh dinding logam yang dingin dan steril. Di dunia ini, suara manusia kalah oleh dengungan mesin dan napas algoritma. Dunia yang dulu Haneul kenal kini hanya bayangannya sendiri—lebih sunyi, lebih kosong.Di setiap layar hologram yang mereka lewati, wajah Haneul muncul dengan label "Target Aktif: Kode ∆-HA032". Di sisi lain, sensor di dinding mendeteksi jejak aura sihir dalam tubuh mereka.“Seberapa dalam kita harus turun?” tanya Hamin, berbisik sambil memegang jimat pelindung.Haneul menatap layar kecil di gelangnya. “Hanya satu lantai lagi. Ruang pusat penyimpanan kenangan ada di bawah Biolab. Di sanalah fragmen Ibu kemungkinan masih bertahan.”Mereka berbelok ke koridor sempit. Aroma antiseptik bercampur ozon menusuk hidung. Setiap detik yang lewat membuat Haneul merasa seakan napasnya tak lagi miliknya sendiri.Namun sebelum mereka mencapai pintu pu
Bab 46 – Gerbang KembaliFajar belum juga muncul ketika Haneul berdiri di depan Gerbang Serpih, titik paling rapuh di batas sihir Arangyeon yang mengarah ke dunia asal mereka: Seowon. Udara di sekeliling gerbang mengalir tak stabil, berdenyut seperti nadi, seolah menyadari bahwa yang akan melintas bukan sekadar pelintas waktu — melainkan pewaris dua kekuatan yang belum sepenuhnya diakui oleh dunia mana pun.Hamin berdiri di sampingnya, mengenakan jubah penjaga ringan dan sarung tangan pelindung sihir. Di matanya ada keyakinan yang lahir dari luka — dan kebebasan yang baru saja diraihnya. Namun sesekali, ia menggenggam liontin kecil yang pernah diberikan Haneul bertahun-tahun lalu, seolah ingin memastikan bahwa hatinya tetap terikat pada satu hal: keluarga.Jaewon menyerahkan dua cincin kecil berukir simbol Dimensi Ketiga.“Sesuatu untuk menyamarkan identitas energi kalian. Tapi ini hanya bertahan..