Bab 5: Gerbang Kenyataan
Udara dingin yang menggigit menyelimuti tubuh Haneul saat ia dan kelompoknya melangkah lebih dalam ke dalam hutan yang gelap. Bayangan hitam yang sempat mengganggu pikiran mereka kini telah menghilang, namun rasa takut itu masih menggantung, menekan hati Haneul dengan berat.
Jaewon berjalan di depan dengan sigap, pedang bercahaya di tangannya siap sedia. Wajahnya tegang, tetapi ia tidak berbicara. Mira mengikuti dengan langkah pelan, matanya terfokus pada setiap gerakan sekitar. Elder Yoon berjalan di belakang mereka, matanya terpejam seolah sedang mendengarkan suara alam yang tak terdengar oleh orang biasa.
“Apa yang sebenarnya kita cari?” tanya Haneul akhirnya, suaranya hampir tertelan oleh angin yang menerpa wajahnya. “Aku masih belum mengerti apa yang terjadi.”
Jaewon berhenti dan menoleh, matanya tajam namun lembut. “Kita mencari kunci untuk membuka gerbang yang terhalang. Gerbang yang akan mengungkap kebenaran tentangmu.”
“Gerbang?” Haneul mengerutkan kening. “Apa maksudnya?”
Elder Yoon yang mendengar pertanyaan itu berhenti juga, wajahnya serius. “Gerbang itu adalah batas antara dunia ini dan kekuatan yang tersembunyi. Sejak zaman dahulu, ada sebuah portal yang menghubungkan Arangyeon dengan dunia lain. Portal itu menjaga keseimbangan, tetapi beberapa waktu lalu, ada yang mencoba membuka gerbang itu dengan cara yang salah.”
Mira mengangguk pelan. “Dan itu yang membebaskan Bayangan Tertinggal. Kekuatan gelap yang menghantui dunia ini.”
Haneul merasa pusing mendengar penjelasan itu. Segala sesuatu terasa begitu besar dan rumit, jauh lebih besar dari apa yang pernah ia bayangkan. Dunia yang dulu ia anggap hanya sebuah tempat asing kini berubah menjadi sebuah teka-teki yang harus ia pecahkan.
“Lalu, kenapa aku?” tanyanya lagi. “Kenapa aku yang harus terlibat?”
Elder Yoon melirik Haneul dengan tatapan yang penuh makna. “Karena darahmu terhubung langsung dengan energi dunia ini. Kamu adalah kunci yang tidak hanya bisa membuka gerbang, tetapi juga menyeimbangkan kembali dunia yang semakin rapuh.”
Haneul terdiam. Ia masih tidak sepenuhnya memahami, tetapi satu hal jelas: apapun yang terjadi, ia tak bisa mundur sekarang.
Mereka terus berjalan hingga akhirnya sampai di sebuah lembah tersembunyi, di mana tanah tampak seperti berkilau dengan cahaya yang tak bisa dijelaskan. Di tengah lembah itu berdiri sebuah bangunan kuno yang tampak hampir rusak, namun tetap megah. Gerbang besar terbuat dari batu hitam menjulang tinggi, dihiasi ukiran-ukiran aneh yang tidak bisa Haneul pahami.
Ini adalah tempat yang mereka cari.
“Ini dia,” kata Jaewon pelan, menatap gerbang itu dengan cemas. “Di sini, kebenaran akan terungkap.”
Haneul mengalihkan pandangannya ke Elder Yoon. “Apa yang akan terjadi kalau kita membuka gerbang ini?”
Elder Yoon menatapnya serius. “Bergantung pada siapa yang membuka. Jika kamu membuka gerbang ini dengan niat yang benar, maka dunia akan kembali seimbang. Tapi jika kamu terbawa oleh kekuatan lain, akibatnya bisa sangat buruk.”
Haneul merasa beban itu semakin berat di pundaknya. Ia tahu bahwa takdir yang dipikulnya bukanlah sesuatu yang mudah. Ia bukan hanya harus mengungkap misteri di balik dunia ini, tetapi juga menghadapi gelombang kekuatan yang tak dapat diprediksi.
Mereka berdiri di depan gerbang, Haneul merasa sebuah kekuatan yang luar biasa memanggilnya, mengajaknya untuk melangkah masuk. Namun di dalam hatinya, ia merasakan pertanyaan yang terus menggema: Apa yang harus kulakukan? Apakah aku siap dengan beban ini?
Jaewon menatapnya dengan penuh harapan. “Kita hanya bisa maju. Tak ada jalan lain.”
Haneul menatap pintu gerbang itu, matanya terbuka lebar. Saat ia melangkah maju, seluruh dunia terasa seolah berhenti berputar. Ia merasa seolah ada yang mengamatinya, menariknya lebih dalam ke dalam kegelapan yang terlarang.
Elder Yoon berdiri di belakangnya. “Ingat, Haneul. Dunia ini menunggu pilihanmu.”
Ketika tangan Haneul menyentuh pintu gerbang, sebuah suara bergema di telinganya, seolah berasal dari kedalaman yang sangat jauh. Suara itu berbisik, namun keras dan jelas di dalam hatinya: “Kembalikan aku.”
Tiba-tiba, langit di atas mereka berubah menjadi gelap, dan suara angin berdesir dengan cepat, membawa rasa takut yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Haneul merasa seperti berada di ambang sesuatu yang besar. Ini bukan hanya sekadar perjalanan. Ini adalah perjalanan untuk menemukan siapa dirinya sebenarnya.
Bab 61: Tanah yang Tidak Pernah Dijanjikan Udara di sekitar Retakan Timur terasa lebih tipis dari biasanya. Bahkan angin pun seakan enggan mendekat, menghormati batas yang memisahkan realitas. Cahaya biru lembut berdenyut di antara dua lapisan dimensi, menciptakan gema aneh, seperti napas panjang dari entitas tak terlihat. Dunia Antara… bukan lagi sekadar batas. Ia hidup, bernapas, dan bereaksi. Seo Haneul berdiri di ambang jurang, jubah ungu tua berkibar perlahan. Di belakangnya, para penjaga sihir dan ilmuwan Seowon bersiaga dengan alat pemantau dan artefak pelindung. Namun hanya satu yang menemani langkahnya: Hamin. "Aku tahu aku berjanji akan menunggumu," kata Hamin, memeriksa sarung tangannya yang dilapisi pelindung dimensi. "Tapi aku tak bisa tinggal diam saat kau melangkah ke tempat yang bahkan waktu pun enggan menyentuh." Haneul tersenyum tipis. "Dan aku tahu aku tak bisa mencegahmu." Jaewon mendekat, menyerahkan kristal se
Bab 60: Gerbang yang Tak Pernah SepiUdara di sekitar Retakan Timur menipis. Bahkan angin pun enggan menyentuh batas yang membelah kenyataan. Cahaya biru lembut bergetar di antara dua lapisan dimensi, menciptakan gema aneh seperti napas panjang dari makhluk yang belum terlihat. Dunia Antara… tidak lagi sekadar batas. Ia hidup. Ia merespons.Seo Haneul berdiri di tepi celah itu, jubah ungu-kelamnya berkibar pelan. Di belakangnya, para penjaga sihir dan ilmuwan dari Seowon menunggu dengan perangkat pemantau dan artefak pelindung. Namun hanya satu yang melangkah bersamanya: Hamin.“Aku tahu aku berjanji akan menunggumu,” kata Hamin sambil memeriksa sarung tangannya yang berlapis pembungkus dimensi. “Tapi aku tak bisa diam saja jika kau masuk ke tempat yang bahkan waktu pun enggan menyentuhnya.”Haneul menatapnya, tersenyum kecil. “Dan aku tahu aku tak bisa mencegahmu.”Jaewon mendekat, menyer
Bab 59: Saat Batas Menyatu Langit Aeloria kini terbentang tanpa batas: tidak lagi terbelah oleh sihir dan teknologi, tidak lagi dipagari oleh dogma atau dendam. Setelah penyatuan Menara Ketiga, udara di antara dunia terasa berbeda—lebih berat, lebih hidup. Tapi juga rapuh, seperti benang cahaya yang masih menunggu untuk dijalin agar tak tercerai kembali.Di puncak menara, Seo Haneul berdiri membisu. Angin baru menyapu rambutnya, membawa aroma tanah Arangyeon dan logam dingin dari kota Seowon. Dunia telah berubah. Namun dirinya… belum sepenuhnya utuh.“Kau terlihat seperti orang yang baru dilahirkan kembali,” ujar Jaewon dari belakang, suaranya rendah.Haneul menoleh, senyum tipis menghiasi wajah letihnya. “Aku merasa seperti itu. Tapi juga seperti... seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.”Jaewon berjalan mendekat, menatap hamparan langit yang kini bersih dari pet
Bab 58: Dua Jiwa di Satu LangitLangit Aeloria terbuka perlahan seperti kelopak bunga yang kehilangan warna. Di tengah pusaran cahaya dan bayangan, Haneul berdiri berdampingan dengan Hamin—jiwa kembar yang terpisah dunia, namun menyatu oleh takdir. Di antara mereka, seberkas cahaya berdenyut perlahan, seolah menjadi jembatan dari seluruh kemungkinan masa depan yang belum dipilih.Bayangan dari dunia yang gagal masih menggantung di udara. Ia tak memiliki bentuk tetap, matanya kosong namun memancarkan rasa kehilangan yang mendalam. Sosok itu bukan sekadar musuh—ia adalah sisa dari harapan yang gagal, jiwa yang terlambat memilih.“Kalian datang terlalu jauh,” suara itu bergema, retak dan tajam. “Kalian berpikir cinta dan pengorbanan bisa menebus dunia? Tidak ada yang bisa menghapus apa yang telah hancur.”Hamin melangkah maju. Suaranya rendah, tetapi mengandung kekuatan yang baru ia temukan dalam dirinya.
Bab 57: Cermin dari Dunia yang Gagal“Setiap pilihan yang tidak diambil tetap hidup, sebagai bayangan dari keputusan yang telah dibuat. Dan di dalam bayangan itu, dunia terus bernapas—dalam kehancuran yang tak pernah terjadi.”Gelap. Bukan malam, bukan kehampaan, tapi kegelapan yang basah, padat, dan berat. Ketika Haneul membuka matanya, ia tahu bahwa ini bukan Aeloria. Udara terasa pahit. Tanah yang dipijaknya seperti abu. Langit di atasnya retak, memancarkan kilatan merah dari celahnya, seolah langit sendiri menahan tangis yang tak bisa ditumpahkan.Ia berdiri di tengah kota. Atau yang dulunya kota.Gedung-gedung runtuh, ditelan akar logam dan api. Jalan-jalan penuh puing dan potongan peradaban: buku-buku terbakar setengah, robot penjaga yang membeku dalam posisi seperti berdoa, dan... sumpah-sumpah yang tertulis pada kelopak pohon kini berubah menjadi abu hitam.Di tengah reruntuhan, berdiri s
Bab 56: Tanda dari Langit Merah“Kebebasan adalah cahaya pertama yang dibutuhkan dunia. Tapi yang kedua adalah ujian: apakah cahaya itu cukup untuk bertahan di tengah kegelapan yang datang tanpa alasan.”Langit Aeloria pagi itu tidak seperti biasanya. Bukan karena warnanya—tetap biru lembut dengan semburat keemasan—melainkan karena keheningan yang turun begitu pekat, seolah alam sedang menahan napas. Di barat, kabut menggantung di antara pepohonan tinggi hutan Qairan, dan di tengahnya… berdiri sesuatu yang belum pernah dilihat siapa pun.Kristal merah gelap.Menancap di tengah padang, tertanam dalam tanah, dan berdenyut perlahan seolah memiliki detak jantungnya sendiri.“Dari langit semalam,” gumam Mira, saat ia berdiri bersama Haneul, Hamin, dan Jaewon di perbatasan hutan. “Itu bukan bintang. Bukan benda langit. Rasanya… seperti pesan.”“Bukan hany