Share

04. Hilmi Khoirullah

Kebahagiaan turun setelah adanya awan gelap. Akankah benar seperti itu? Ia selalu mendapat bullyan dari teman-temannya, karena jilbab lebarnya. Entah sebutan ‘Ibu-ibu, ukhty, sok alim dan sebagainya'. Tak pedulikan, tetapi tetap menohok meski sudah terbiasa sejak masuk kuliah. Izza belum menemukan Orang yang tepat untuk dijadikan seorang Sahabat. Berbagi suka dan duka. Kebanyakan, Temannya hanya datang disaat butuh saja. Memanfaatkan Izza yang baik hati dengan kepintarannya, memanfaatkan materinya, atau lainnya.

Semurni itu hati seorang Izzatun Nisa. Meski ia tau hanya ‘Memanfaatkan' Izza tetap melakukannya dengan ikhlas dan lapang dada. Izza pernah mendengar hadist. “Orang yang paling baik, ialah orang uang paling bermanfaat bagi orang lain”. Meski dimanfaatkan, selama itu bisa membantu dalam kebaikan, kenapa tidak? Prinsif Izza.

Awan menjadi gelap. Turun rahmat Allah lewat guyuran hujan yang membasahi bumi. Ciri khas bau tanah ini sangat Izza sukai.

Kuliah sudah usai beberapa menit yang lalu. Lebih awal, karena dosen sedang ada rapat penting. Hanya memberikan beberapa penjelasan dan tugas, kemudian berpamitan dan bubar.

Izza belum mengabari Pak Eman. Ia ingin menjernihkan fikiran dengan melihat hujan ditrotoar area tunggu Mahasiswa Garuda.

“Aku ingin menjadi hujan. Meski jatuh berkali-kali, merasakan sakit yang sama, tapi bisa bermanfaat dan membuat orang yang melihat merasa bahagia,” tuturnya. Bergumam sendiri, menghirup sedalam-dalamnya aroma tanah yang diguyur hujan.

“Dan Aku, ingin menjadi seperti Angin. Mengarahkan dan membawa hujan kearah dan tempat yang tepat,” sambung pemuda berjas hitam. Dengan dasi yang masih rapih terbasahi guyuran hujan.

“Ka-kamu, kan ...”

“Hilmi khoirullah, bukan?” tebaknya. Setengah melotot. Tak percaya, berita kemarin yang ia saksikan, obyeknya ada dihadapan mata.

“Iya, benar. Darimana kamu tau?”

“Heuh,, beritamu dimana-mana,” jawabnya malas. Mengalihkan pandangan kesembarang arah.

Selalu begitu. Izza ketika dihadapkan dengan lawan jenis selain Abangnya tak pernah ada ramah-ramahnya. Kecuali kepada yang lebih tua.

Sedang yang diacuhkan merasa terkekeuh. Menghampiri gadis terbalut jilbab army dihadapannya.

“Bagaimana, boleh aku menjadi anginnya?” bertanya tanpa menatap yang ditanya. Asik menikmati rintikan hujan.

“Niat bertanya gak, sih?” obyek dimana, mata kemana!

“Gadhul bashar (menundukan pandangan) itu lebih baik, kan?”

Izza faham akan pernyataan dan pertanyaan orang yang tak jauh dari tempat duduknya.

“Boleh saya datang ke Rumah? Bertemu Ayah dan Ibumu, meminta restu keduanya,”

Duarrrr!!

Bak disambar petir. Pernyataan macam apa ini? Tak kenal, tak dekat, jumpa baru hari ini, detik ini, kenapa langsung minta restu? Heran!

“Yakin? Kita baru bertemu loh. Belum saling kenal dari segi manapun,” Izza terkekeuh. Tak ada rasa baper sama sekali. Ia sering jumpai Lelaki modus bin kardus seperti ini.

“Kata siapa kita baru ketemu? Pernah kok, sebelumnya. Saya akan datang ke Rumah besok. Siap-siap, ya!”

Izza hanya mendelik. Tak berniat menghiraukan ucapannya. Paling hanya gurauan, seperti Lelaki lainnya. Lihat besok saja. Fikirnya.

Malam ini Izza resah tak karuan. Gelisah tak menentu. Sudah macam lagu saja. Bagaimana jika esok Hilmi benar datang kerumah? Ahh, rasanya tidak mungkin. Mengingat dia tak memberikan alamat rumahnya. Tapi Hilmi kan ... Orang terkenal. Pasti mudah mendapat infonya. Meresahkan!

Segera istighfar. Memperbarui wudhu, shalat sunnah tiga rakaat dengan dua kali pengucapan salam sesuai anjuran Rasulullah sebelum tidur. Hatinya sedikit tenang.

Pukul 23.00 WIB. Izza segera menyelimuti tubunya, menyelami dunia mimpi indahnya.

“Saya terima nikah dan kawinnya, Izzatun Nisa binti Almarhum. Kamal Hendrawan dengan mas kawin emas sepuluh gram dan hadiah mahar surah Ar-rahman, Tuunai!”

Dengan balutan gaun putih syar'i. Mahkota kecil yang berada diatas kepala, Izza begitu terlihat cantik dan anggun.

Menyaksikan Lelaki yang akan menjadi imamnya dilayar televisi yang disambungkan keruangan akad, tengah mengucapkan janji sakral dihadapan Pencipta dan seluruh tamu undangan.

“Sah?!” tanya Penghulu.

“Saaaaaaahhhh!” Ucap para Saksi tamu undangan.

“Alhamdulillah, barakallahumma wabarakalakuma fajama'a baynahhuma fikhoir ...”

Tess ... Tess ...

Beberapa bulir bening tak tertahankan. Haru bercampur bahagia mendominasi. Kini, seorang Izzatun Nisa sudah resmi menjadi Istri seseorang.

“Ayook, Mbak. Keruang resepsi untuk sesi pemotretan dan tanda tangan surat pernikahan,”

Izza menangguk. Dipapah dua pagar ayu, sepupunya dari pihak Ayah. Menjemputnya untuk keruang yang dimaksud.

Izza terus menunduk. Malu. Tak hentinya para tamu undangan memuji kecantikan Izza. Dengan bulu mata yang lebat dibagian atas dan pas dibagian bawah, hidung mancung dengan bibir yang tipis sedikit lebar. Kulit langsat dengan tinggi diatas rata-rata bak model. Berjalan anggun menuruni anak tangga. Sempurna. Cantik, anggun, shalihah.

“Mari, silahkan cium tangan suaminya,” ucap Penghulu.

Sedikit lagi, Izza akan meraih tangan yang sudah menjadi halal baginya. Tetapi, ia tarik kembali tangannya. Ragu. Izza kembali akan meraihnya, tetapi ditariknya kembali.

Para tamu besorak sorai. Menyaksikan adegan pengantin wanita, yang malu dan ragu menyentuh tangan suaminya sendiri.

“Gak pa-pa, Nak. Raihlah, sudah halal,” Lisa-Ibunya memperingatkan. Greget dengan purtri bungsunya yang tak segera meraih tangan menantunya.

Dengan takdzim, Izza mencium tangan suaminya.

Berbeda dengan suaminya. Ia segera merapalkan do'a dengan menempelkan tangan kiri keatas kepala Izza dan mengaminkan dengan tangan kanan.

Izza mengadahkan kedua tangannya dengan khusyuk. Mengaminkan doa yang dipanjatkan orang yang sudah sah menjadi imamnya.

“Selanjutnya, cium kening istrinya, Mas,” petunjuk dari penghulu yang di yakan fhotoghrafer sebagai pengabdi momen.

Kembali malu. Semburat merah dipipi Izza tak bisa ia tahan lagi. Terlihat jelas merona seperti kepiting rebus. Membuat sang kekasiu halal, ingin segera menciumnya. Ehh!

Izza tertunduk. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Apa ini? Rasa apa ini, Yaa Allah?

“Ayook, Ayook, cium, cium ...” Para tamu kompak bersorak kata ‘Cium' karena greget melihat kedua pengantin baru itu malu tapi mau.

Dagu Izza terangkat. Izza menatap sang suami dengan tatapan malu. Ia tak bisa melihat apapun, selain matanya. Hanya terfocus pada ‘Matanya’.

Tatapan mata itu semakin mendekat, pertanda sang suami akan mencium keningnya. Ahh, Izza segera pejamkan mata.

Cup ...

Benda kenyal terasa dikeningnya. Hangat, yang Izza rasakan.

Belum Izza sempurna membuka mata, Cupp!

Bibirnya singkat bersentuhan dengan sang suami. Membuat Izza membola, sempurna membulatkan matanya. Tamu undangan langsung heboh dengan adegan berani dari pengantin Pria. Para jomblo baper seketika. Untung tidak pingsan.

Izza tak kuat. Rasanya ia ingin memanggil doraemon dan meminjam pintu kemana saja, untuk bisa menghilang segera dari tempat ini. Malu, sangat! Tapi nikmat, Ehh!

“Huaaaa ...! Astaghfirullah!” nafas Izza ngos-ngosan.

“Alhamdulillah, mimpi,” mengusap wajah, segera meneguk habis air putih diatas nakas.

“Sudah pukul tiga dini hari rupanya. Baiknya aku segera melaksanakan Qiyamul Lail.”

Sambil memunggu waktu shubuh tiba, Izza mempersiapkan buku-buku kuliahnya. Mana yany harus dibawa sesuai jadwal. Mengecek tugas dilaptop setelah murojaah hafalannya.

Allahuakbar ... Allahuakbar ...

“ Alhamdulillah ...”

Perasaan Izza semakin membuncah. Bagaimana jika Hilmi benar datang dan mimpi itu terwujud? Ia belum siap jika harus menikah muda di usia sembilan belas tahun. Tetapi, jika Allah sudah berkehendak, dia bisa apa?

Baiklah. Ucapkan Istighfar dan pasrahkan semuanya sama Allah. Allah maha tau, mana yang terbaik buat kamu, Izza. Batinya.

Pagi ini, cuaca mendung. Rintik hujan turun menyambut pagi ini. Bagi orang munafik, shalat shubuh dan isya adalah hal terberat baginya. Keterangan ini dijelaskan oleh Rasulullah lewat Sabdanya.

Izza sudah bersiap berangkat kuliah pagi. Melihat keadaan cuaca, ia berfikir akan minta tolong Pak Eman untuk mengantarnya ke Kampus.

Kebetulan. Pak Eman sudah ada di garasi. Tau saja, dirinya sedang membutuhkan pertolongan. Segera Ia turun ke garasi, menghampiri Pak Eman-Sopir keluarga.

“Pak Eman, aku mau minta tolong, bapak sibuk tidak?” setengah berteriak, akibat guyuran hujan yang semakin deras.

“Enggak, Nak. Bapak sedang istirahat. Ada yang bisa bapak bantu, Nak? “ tak kalah dengan Izza. Pak Eman pun, setengah berteriak.

“Aku mau minta tolong anterin ke Kampus, Pak, bisa?”

“Ohh, iya-iya Nak. Baik, Bapak siapkan mobilnya dulu!”

“Aku juga mau keatas dulu, Pak. Ambil tas dan pamitan sama Ibu,”

Hujan akhirnya sedikit reda. Mata kuliahnya telah usai beberapa menit lalu. Baiknya ia segera pesan ojek online, untuk mengantarnya ke Madrosah. Teringat, hari ini akan ada tamu istimewa ke Madrosah. Pengumuman dari Madrosan beberapa hari lalu.

Ojol yang dipesannya Perempuan. Selama masih bisa dengan yang halal, kenapa tidak? Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati?

“Berapa, Mbak?”

“Lima puluh ribu,” tersenyum dibalik masker. Menerima uang lembaran merah.

“Ambil aja kembaliannya, Mbak.” Izza tersenyum mengucapkan terimakasih.

“Saya yang berterimakasih, Mbak. Terimakasih, ya. Semoga Tuhan membalas kebaikan Mbak,” bersyukur dengan menangkupkan kedua tangan, mengucapkan syukur.

Terlihat salib dilehernya. Non Muslim rupanya, pantas tadi ‘Tuhan’ bukan Allah. Batinya.

Tak menjadi masalah. Semua amal perbuatan, akan ditanggung masing-masing sesuai kepercayaan yang dianutnya. Selama itu kebaikan, kenapa harus pilih-pilih dalam membantu? Toleransi lebih baik.

“Assalamualaikum ...” ucapan salam Izza dijawab antusian seisi ruangan.

“Wa’alaikumsalaam warohmatullah ...”

“MaaSyaa Allah. Alhamdulillah, Ustadzh Izza sudah datang. Kami sudah menunggu, silahkan duduk,” Pemilik Madrosah mempersilahkan Izza duduk.

“Em, iya, Ustadzah. Mohon maaf, saya baru selesai mata kuliahnya. Kok, menunggu saya. Kenapa?” tanya Izza heran. Biasanya Izza akan dimaklumi dan ditinggal beberapa acara disetiap agenda Madrosah.

“Kita tunggu satu orang lagi. Baru kami akan menjelasaknnya,” jelas Ustadzah Mira diseberang sana. Terhalang meja sebagai pembatas.

Berada disalah satu ruangan khusus para Asatidz dan Asatidzah (Guru Madrosah) membuatnya sedikit canggung. Sebenarnya ada apa? Batin dan otaknya saling bertanya.

Satu jam menunggu. Hujan sudah menjadi sinar mentari terik. Pertanda akan segera memasuki waktu dzuhur. Tetapi yang ditunggu tak kunjung datang.

“Mohon maaf, saya sudah menunggu satu jam. Tapi yang ditunggu tak kunjung datang. Jika berkenan, saya izin mau pulang duluan. Abang saya besok mau pulang, jadi harus saya siapkan penjemputannya,” pamit Izza menucapkan salam pada semua orang dengan sopan.

“Tunggu! Ustadzah Izzatun Nisa,” seseorang menahannya dengan menyebut namanya dengan lengkap.

“Saya Ikut!”

Hening.

“Ustadzah Izza?!” mengulang nama sang empu dengan sedikit keras.

“I-iya? Bo-boleh. Dengan siapa?” Suara Izza terbata-bata.

Masih bingung, siapa sosok yang memanggil namanya dengan lengkap? Lupa-lupa ingat. Seperti pernah bertemu, tapi siapa? Seperti ... Ah! Tak mungkin. Mereka sangat berbeda dari segi pakaian. Dia berjas dan dihadapannga? Bak pangeran turun dari Surga. Sarung hitam, kemeja putih, tersemat kopiah hitam dikepalanya. Sungguh! Izza kebingungan.

“Dia Ustadz Hilmi khoirullah. Yang akan menjadi donasi tetap di Madrosah dan ...” Pemilik Madrosah-Ustadz Haris menjelaskan.

Akhir kalimat Ustadz haris menggantungnya. Membuat Izza semakin penasaran. 

"Dan akan melamar kamu, Ustadzah Izza!” sambung Ustadzah Mira sumringah.

Semua yang ada di Ruangan tersebut tersenyum.

“Iya, Beliau sudah izin kepada saya untuk meminang kamu, Ustadzah Izza,” Ustadz Haris menjelaskan dengan singkat.

“Bagaimana? Saya tidak berbohong kan, soal kemarin?”

Izza belum juga ngeh dengan semuanya. Seperti mimpi.

“Ekhem. Baiklah, kamu boleh datang besok. Setelah Abang saya datang dari Yaman. Ayah saya sudah Almarhum, jadi Abang saya yang menjadi ganti Wali. Bicarakan dengan Abang saya. Nanti saya minta no telepon kamu dari pihak Madrosah dan menghubungi jika Abang saya sudah ada di Rumah,”

“Assalamualaikum ...” menangkupkan kedua telapak tangannya.

“Wa’alaikumsalaam warohmatullah ...” semuanya ikut berbahagia untuk Hilmi Khoirullah.

Mendoakan semoga berhasil. Pasalnya, Izza dan keluarga tidak kekurangan materi. Jadi materi yang Hilmi punyai, tidak akan berpengaruh akan keluarga Izza. Melainkan, imannya yang akan dipertanyakan.

“Emm .. Bu. Anu, ada yang mau datang kesini, boleh?”

“Boleh dong, temen, kan?” balik bertanya, tanpa menatap obyeknya. Memindahkan nasi goreng dari wajan ke piring sebagai menu sarapan kali ini.

Asisten disini hanya untuk bersih-bersih rumah saja. Mencuci pakaian, Izza yang melakukan. Masak, Lisa yang menyajikan. Lisa ingin, putera dan puterinya selalu merasakan kasih sayang dari sentuhan masakan yang dibuatnya. Ia tidak ingin, kedua puteranya kekuarangan kasih sayang, walau dari segi penyajian makanan. Sesibuk apapun, Lisa sebisa mungkin menyajikan makanan bagi mereka. Memastikan makanan sehat yang masuk kedalam perut puteranya.

Rudi-iparnya. Mengurus perusahaan untuk saat ini, sampai Raka putra supungnya selesai kuliah di Yaman. Hari-harinya disibukan di butik miliknya. Butik atas nama RaZa, plesetan dari nama Raka dan Izza.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status