Share

02. Lamaran

Seserahan lamaran sudah tertata rapih dikediaman mempelai wanita. Cincin pertunangan sudah dibeli tepat saat hari dimana Izza pulang dari Rumah Sakit.

Izza melihat Raka dengan mata sendu. Khawatir, cinta dan sayang dari Abangnya akan berkurang karena akan dibagi dengan kekasih halalnya kelak.

Izza tertunduk lesu saat melihat calon kakak iparnya datang keruang pertunangan. Berbeda dengan Ibu dan Abangnya. Terlihat nampak jelas binar bahagia dari raut wajah mereka. Terekah senyum tak henti-hentinya menghiasi wajah Raka.

Raka yang menyadari mimik muka sang Adik, ia mengerti dan faham betul apa yang difikirkannya. Ia akan menjelaskannya nanti, setelah acara selesai.

Acara demi acara telah usai digelar. Dari penyambutan dari kedua belah pihak, pemasangan cincin yang dilakukan ibu dari mempelai pria-Lisa, penetapan tanggal pernikahan dan ditutup dengan makan-makan.

Para tamu sudah pulang kerumah masing-masing. Begitu juga dengan tanggal pernikahan yang sudah ditetapkan. Tepat satu minggu setelah wisuda Raka. Empat bulan yang akan datang.

Tinggalah dua keluarga yang akan menyatu. Serta pihak ketring dan para Asisten rumah tangga yang membereskan ruang tersebut.

Raka melihat Adiknya-Izza. Segera ia menyenderkan kepala pada sang adik.

“Ish, Abang! Malu tau, kek anak kecil,” kesalnya. Moodnya memburuk sejak fikiran itu datang. Kalut.

“Abang tau apa yang kamu fikirkan,” tanpa menghiraukan perkataan sang adik. Tetap pada posisi yang sama.

“Kamu takut Abang lebih sayang istri kan, ketimbang kamu?” tebaknya.

“Hmm ...” yang ditanyai malah menunduk lesu.

“Dek, dengar Abang. Tak ada yang bisa menggantikan posisi kamu dihati Abang,” menunjuk dada bidangnya.

“Apaan si, Abang dramatis deh,” deliknya. Memutar bola mata malas.

“Hahahaaa ...” selanjutnya malah tertawa bersama.

“Bener, Dek. Sayanyg Abang gak akan berkurang, meski nanti sudah punya pasangan halal. Kamu akan tetap menjadi adik Abang tersayang,” jelasnya menenangkan sang adik.

Mengelus kepala sang adik. Ia tahu, mood adiknya down karena fikiran takut kehilangannya. Ia faham betul sifat dan sikap adiknya ini.

“Bener, ya?!” tanyanya antusias. Memeluk sang Abang. Binar bahagia tercetak diraut wajahnya.

“Insyaa Allah,” membalas pelukan sang adik.

Nikmat mana lagi yang bisa Raka dustakan? Memliki dua senja yang sangat berarti. Ibu dan adik perempuan satu-satunya. Mereka berdua bagai senja. Menawan, berarti, indah. Rasanya, jika Raka diminta untuk memilih salah satunya, Raka lebih memilih tiada. Sebab, dia tak bisa hidup tanpa salah satunya. Raka akan mengorbankan semua hartanya, untuk kebahagiaan kedua senjanya. Nyawapun, akan Raka berikan, jika itu diperlukan. Batinya.

Matahari telah menampakkan pesonanya. Embun membasahi bumi. Ayam jantan saling bersahutan berkokok. Menyambut pagi ini dengan penuh keceriaan.

Perjalanan kali ini terlihat senggang. Mungkin, karena masih pagi. Fikir Raka. Mengemudikan mobilnya menuju bandara Soekarno-Hatta.

Pagi ini, Raka kembali terbang ke Yaman. Lusa kemarin, acara lamarannya telah usai. Kini, ia harus kembali melanjutkan pendidikannya. Yang hanya tinggal menunggu waktu kelulusan saja. Skripsi telah ia tuntaskan sebelum pulang ke Indonesia.

Ibunya menginginkan Raka menikah sebelum meneruskan perusahaan milik Ayahnya. Ia ingin, Raka ada yang memperhatikam disela-sela kesibukannya nanti.

Setelah cek-in pesawat, Raka berada diruang tunggu bersama adik dan ibunya. Tentu saja.

“Bukannya hari ini ada acara di Madrosah, ya, Dek? Kok, malah ikut nganterin Abang, si?” tanya Raka. Memecah keheningan.

Ibu dan adiknya pasti memiliki rasa berat melepasnya. Apalagi, pulang wisuda nanti Raka akan melepas masa lajangnya. Tentulah kedua senjanya akan merasa berat hati.

“Emmm, iya, Bang. Tapi udah banyak guru yang handle kok. Mana mungkin aku melepas Abang, tanpa mengantar ke Bandara,” jawabnya. Sebisa mungkin menampakkan senyum, meski berat hati.

“Lalu, kuliah kamu?” Raka tau, nada bicara adiknya kurang bersahabat. Terlihat ada rasa berat hati disana.

“Alhamdulillah aku udah izin, Bang. Dipindah ke jadwal sore nanti, insyaa Allah. Abang tenang aja, aku janji bakal kuliah yang rajin,” janjinya. Mengulangi nasehat sang Abang.

“Nah, gitu, dong. Semangat! Abang doain, semoga kamu dipermudah dalam belajarnya, Aamiin. Nurut sama ibu, ya. Jangan bandel.”

“Aamiin. Hee, emangnya aku anak kecil, masih bandel. Lagipun, Bang, akukan masih semester tiga kuliahnya, masih banyak waktu buat ngabdi ke Ibu sebelum menikah.”

“Iya-iya, Abang percaya, kok. Yaa, justru itu, makin nambah tingkatan cari ilmu, makin berat ujiannya.” Raka menjadi dewasa ketika menasehati adiknya. Melirik sang Ibunda.

“Bu,” meraih tangan sang ibunda, dengan tatapan yang sulit diartikan. Lisa yang sejak tadi menyimak kedua putranya, terkejut Raka berbicara serius seperti itu. Kemana Raka yang selalu terlihat santai dalam menyikapi sesuatu?

“Ibu juga pasti berfikiran sama kan, seperti Izza? Bu, Raka akan selalu mengutamakan ibu, baru Izza dan istri Raka. Raka janji, Bu,” mencium tangan sang ibunda dengan ta'dzim.

Raka tau, menjadi Orang Tua tunggal bukanlah hal yang mudah. Begitu banyak pengorbanan sang Ibunda. Menjadi Ibu, sekaligu Ayah bagi Raka dan Izza.

Rasanya seperti mimpi. Rasanya ... Baru kemarin Raka ditinggal Ayahnya. Seperti baru kemarin, hari pertama Raka masuk sekolah dasar diantar Ibu. Seperti baru kemarin, Raka masuk sekolah menengah pertama. Proses pendewasaan, dengan Izza yang menjadi bagian tanggung jawabnya. Seperti baru kemarin, Raka masuk Sekolah Menengah Atas. Meninggalkan adiknya-Izaa, dikarenakan pindah tempat. Berbeda saat SMP dan Sekolah Dasar yang masih satu lingkungan.

Rasanya baru kemarin, Izza menangisi kepergian Raka ke Yaman untuk mengemban ilmu. Rasanya, semua itu baru terjadi kemarin. Faktanya, sudah sekitar dua puluy tahun yang lalu.

Raka mengingat itu semua. Kemudian menatap kedua senjanya satu persatu. Kemudian, memeluk mereka secara bersamaan. Tangis ketiganya pecah dalam dekapan erat pelukan masing-masing.

“Sudah, sudah. Kalo begini terus, kapan Raka berangkatnya, hum? Bagian informan sudah mengumumkan, pesawat jurusan Yaman akan berangkat lima menit lagi. Kamu siap-siap gih,” Lisa menguraikan pelukan. Bermaksud memberikan kekuatan pada kedua puteranya.

“Kalo gitu, Raka pamit ya,, bu. Izza? Ingat pesan Abang, ya,” melihat satu persatu senjanya. Kemudian tersenyum, menyalaminya satu persatu.

08.00 WIB

Pesawat jurusan keberangkatan Yaman sudah terbang.

“Fii Amanillah, Bang. Semoga Allah melindungi Abang sampai tujuan,” batinya berdoa.

“Yukk, kita pulang, Nak,” ajak Lisa. Membuyarkan lamunannya.

Pagi ini, masa terakhir ia bebas memeluk Abangnya-Raka. Saat ia kembali dari Yaman? Entahlah. Mungkin statusnya sudah menjadi suami orang. Meski berat, tapi inilah takdir adik perempuan. Harus rela membagi Abangnya dengan istrinya kelak.

Sepanjang perjalanan Izza terus memikirkan Abangnya. Kadang bermonolog sendiri. Kebiasaan Izza saat moodnya tak baik. Ahh, Izza, tak pernah berubah sejak kecil. Selalu begitu.

“Mah, aku mau langsung ke Madrosah saja. Mamah duluan pulang. Aku turun di depan ya, Pak Eman-Sopir pribadi keluarganya,”

“Baik, Nak,” begitulah Izza. Selalu rendah hati. Tak ingin dipanggil Non oleh semua pekerja keluarganya. Katanya; lebih enak ‘Nak’ ketimbang ‘Non’.

“Bu, kemungkinan aku pulang dzuhur, setelah acara Madrosah selesai,” sebelum ibunya bertanya, Izza lebih dahulu memberi jawaban.

Tak ingin membuat ibunda khawatir. Izza langsung memberi penjelasan. Kemana dan sampai jam berapa ia keluar Rumah.

“Aku pamit ya, Bu. Assalamualaikum,” pamitnya menyalami tangan Lisa.

Izza merasa beruntung. Meski hanya memiliki Orang Tua tunggal, Izza tak pernah kekurangan kasih sayang. Apalagi segi harta. Izza sangat diayomi semua keinginannya dari segi duniawi. Selama itu bermanfaat dan menjadi kebutuhan Izza, keluarganya selalu menomor satukan.

Berjalan kaki menuju Madrosah yang tak jauh dari tempat turunnya tadi, bibir Izza tak hentinya merapalkan hamdallah. Bersyukur pada Sang Kholiq, telah memberikan nikmat yang begitu besar seperti ini. Sampai detik ini, Izza tak pernah merasa kehilangan sosok Ayah. Karena Raka-Abangnyalah, yang mengantikan posisi tersebut. Memberikan segalanya.

“Tolong ... Tolong ...” suaranya semakin mengecil.

Izza berusaha melepaskan kuncian tangan seseorang dari belakang tubuhnya. Izza sekuat tenaga mengeluarkan suara meminta pertolongan, meski hasilnya nihil. Suara Izza tak terdengar oleh siapapun. Efek Alkohol yang tekandung dari obat bius yang diberikan Orang dibelakangnya, membuat pandangannya menjadi remang, kunang-kunang, berakhir menjadi gelap.

“Brukk!”

Tubuh Izza Ambruk dalam dekapan seseorang.

“Cepat, bawa dia! Sebelum ada orang yang datang,” perintah seseorang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status