Share

03. Malaikat Penolong

" Hallo, kantor Polisi? Saya sedang mengikuti pelaku Penculikan. Segera datang ke Lokasi yang saya kirim,” hanya respon anggukan dari seberang telepon.

“Tuttt ...” telepon terputus.

Mobil jeep hitam itu berhenti di Rumah bercat putih. Rumah minimalis dengan hiasan beberapa pohon mangga itu terlihat asri. Siapa penculik dan korban penculikan itu? Bertanya-tanya, masih dalam mobil sedan putih miliknya.

“Cepat, turunkan dia!” perintahnya dengan wajah sangar.

Ada masalah apa sampai dia menculik perempuan tersebut? Jika demi uang tebusan, sepertinya tidak mungkin. Melihat ada dua sepeda motor dibagian garasi miliknya. Dia teihat tidak kekurangan apapun dari segi materi.

“Tolong ... Lepaskan Saya! Kenapa kalian menculik saya? Ada masalah apa dengan saya? Hiks,”

“Ada masalah apa kamu tanya?! Hah?! Lupa dengan adik saya yang kamu penjarakan?!” Keluar sudah amarahnya kali ini. Membalaskan dendam sang adik yang perempuan sok suci ini penjarakan.

“T-tapi, dia bersalah dan harus bertanggung jawab atas kesalahannya,” dengan ketakutan, Izza menatap pria sangar dihadapannya.

“Hahaha, kenapa? Takut?! Bawa dia masuk!” perintahnya. Diangguki kedua anak buahnya.

Tak tega melihat perempuan berjilbab hitam syar'i itu menangis. Semakin ia menangis dan banyak bertanya, semakin kasar anak buah itu menyeretnya.

“Bugh!” sebelum pintu dibuka, pemuda itu lebih dulu menyerang mereka.

“Lepaskan dia! Jangan kasar sama perempuan!” ia tak tahan lagi untuk tidak menghajar mereka.

Tak terima ada Malaikat disiang bolong, terjadilah perkelahian yang tak bisa dielakkan. Satu lawan tiga. Tak adil, bukan?

Dengan gesit, pemuda tersebut segera menangkis serangan lawan. Dua orang sudah tumbang.

“Hahahaa! Angkat tangan, kalo mau selamat! Atau, perempuan ini gue tembak!” ancamnya.

Menodongkan pistol kepelipis Izza. Tentu pemuda itu panik dan segera mengangkat tangan sesuai perintahnya.

“Bugh!”

“Perbuatan rendahan, menyerang lawan setelah angkat tangan,” darah segar keluar dari mulutnya.

Licik! Meski sudah mengangkat tangan, ia masih ditembak tepat di dada bidangnya.

Sebelum pandangannya gelap sempurna, terdengar ledakan pistol kembali.

“Dorr! Angakat tangan kalian, tempat ini sudah dikepung oleh Polisi!”

“Po-Polisi ...” lepas sudah cahaya menjadi gelap sempurna.

“Ngiungg ... Ngiungg ... Ngiungg ...”

Sirine mobil Polisi telah pergi bersamaan dengan Ambulance yang membawa korban Penculikan dan tembakan yang tak sadarkan diri.

Dimobil lain, Polisi sudah meringkus ketiganya untuk diadili.

“Izzaaa! Kamu gak pa-pa, sayang?” Lisa datang setelah diberitahu pihak berwajib.

“Ibu ... Gak pa-pa, kok. Tadi ada yang nolongin Izza, ibu udah ketemu sama dia?” suara yang masih lemas, membuat Izza kesusahan saat bertanya.

“Hah?! Si-siapa? Ibu gak tau, Nak. Polisi hanya memberitahu kamu korban penculikan dan dilarikan ke Rumah sakit ini,”

Memang benar. Polisi tak memberihatu identitas yang menolong Izza atas permintaan seseorang.

“Baiklah. Semoga dia baik-baik saja dan semoga, suatu saat aku dipertemukan untuk berterimakasih padanya, Bu,” harapnya. Menatap nanar dinding bercat putih dihadapannya.

“Aamiin ...”

Izza hanya syok, terdapat beberapa luka lebam dibagian lutut dan lengan. Ia diperbolehkan pulang hari ini.

Izza rindu Madrosah dan kuliahnya. Acara Madrosah kemarin ia tak hadir karena insiden penculikan dan Kuliah ia kembali izin tidak masuk sampai benar-benar pulih.

Bosan. Izza menyalakan televisi. Beberapa channel menayangkan adegan yang menurutnya kurang berfaedah. Adegan bucien, perebutan materi dan perebutan kasih sayang suami. Segera mengganti channel, menekan beberapa nomor.

“Pemirsa. Barita hari ini, pemuda yang mempunyai karis gemilang. Dengan ilmu bela diri yang mumpuni. Shalih, rajin ibadah, serta pintar mengaji. Membuat para kaum Hawa tergila-gila, siapakah sosok pemuda tersebut?

Hilmi Khoirullah. Pemuda asal jabodetabek ini menggebrak dunia dengan karirnya yang gemilang. Berikut data keseharian beliau ...”

“Bentar, kok kayak pernah lihat, ya,” Izza mencoba mengingat setelah melihat foto Hilmi Khoirullah. Nihil, Izza malah menjadi pusing dan tak mengingat apapun.

“Ah, sudahlah. Mungkin nanti juga ingat sendiri. Lebih baik aku segera bersiap mengajar ke Madrosah. Sebentar lagi Ashar tiba,” peringatnya pada diri sendiri. Mematikan televisi dan menaiki anak tangga menuju kamarnya.

Allahuakbar ... Allahuakbar ...

Panggilan dari Sang Kuasa tiba. Mensucikan diri. Menggelar sajadah dan melaksanakan sunnah dua rakaat sebelum wajibnya. Sayang jika Izza lewatkan, pahalanya sama dengan shalat dua rakaat sebelum shubuh.

“Assalamualaikum warohmatullah ... Assalamualaikum warohmatullah ...” mengucapkan salam kekanan dan kekiri. Kemudian berdoa, meminta hajat pada Illahi.

“Ceklek ...”

“Izza? Kamu sudah selesai Nak, shalatnya?”

“ Alhamdulillah, sudah, Bu,” menatap sang Ibu sejenak, kembali melipat mukenahnya.

“Kamu hari ini mau ngajar ke Madrosah, Nak?”

“Iya, Bu. Kenapa? Ibu khawatir?”

Lisa mengangguk lesu. Pertanda meng-iyakan ungkapan puterinya.

“Bu ... Ibu tenang aja. Allah kan ada sama aku, Allah akan menjaga aku, kok. Lagipun, ini kan, menuju jalan kebaikan, Allah pasti selalu ada. Yaudah, kalo ibu masih khawatir, satu minggu ini aku diantar jemput sama Pak Eman ke Madrosah dan Kuliah. Asal ibu kasih izin aku buat keluar, gimana?”

“Baiklah, ibu kasih izin. Tapi tetap harus hati-hati, ya. Kabari ibu kalo ada apa-apa,” memeluk puteri bungsunya.

Deru mesin mobil hitam BMW pribadi milik keluarga Almarhum Kamal Hendrawan melaju membelah jalan raya pagi ini. Izza diantar Pak Eman-supir pribadi keluarga. Sudah lima hari ini, Izza selalu diantar jemput olehnya. Sesuai perjanjian Izza dan Lisa-ibunya.

Padahal mentari baru muncul menyinari, jalanan kota sudah dipadati kendaraan. Semoga tidak terlambat masuk kuliah. Batinya.

“Alhamdulillah. Terimakasih, Pak,” pamitnya membuka pintu sendiri. Ia tak ingin merepotkan Pak Eman seperti majikan muda yang lain. Selalu semena-mena pada pekerjanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status