“Sonya aku turut berduka atas kematian Janu, anak kamu,” ucap Sugeng saat bertemu Sonya di salah satu acara seminar kedokteran.
Sonya berjuang menelan ludahnya saat mendengar perkataan Sugeng salah satu rekan sejawatnya di rumah sakit. Sonya berjuang menutupi kesedihannya dengan senyuman manis miliknya. “Terima kasih Dokter Sugeng.”
“Aku tidak menyangka musibah itu menimpa, Janu,” ucap Sugeng dengan wajah penyesalan.
Siapa yang menyangka musibah akan menimpa seseorang? Andai musibah bisa disangka, semua orang pasti berlomba-lomba mencegahnya. Sonya menelan ludah dengan susah payah tenggorokannya tercekat. Andai ia bisa mengulang waktu, ia akan melakukan apa pun untuk mengembalikan Janu ke dunia ini.
“Sonya ....” Sugeng menyentuh lengan Sonya berusaha untuk menyadarkan Sonya dari lamunannya.
“Ah ... iya, bagaimana?” tanya Sonya sembari kembali menunjukkan senyumannya untuk menutupi kegalauan dan kesedihan hatinya.
“Aku ....”
“Sonya, Sayang sudah selesai?”
Suara lelaki di belakang Sonya membuat Sugeng menghentikan perkataannya dan menatap lelaki pemilik suara yang ada di belakang tubuh Sonya.
“Pak Emir, saya mengucapkan bela sungkawa,” ucap Sugeng saat melihat Emir yang berdiri di belakang Sonya.
“Terima kasih, Pak ....” Emir menatap Sonya yang ada di sampingnya meminta bantuan karena dirinya tidak mengetahui siapa lelaki yang saat ini berdiri di hadapannya.
“Sugeng, dia Dokter Sugeng ahli bedah di rumah sakit aku.” Sonya langsung membantu suaminya yang tidak tahu siapa Dokter Sugeng.
“Terima kasih Dokter Sugeng, ucapan Anda sangat berarti,” ulang Emir sembari menjabat tangan Sugeng dan memberikan senyuman terbaik miliknya.
“Saya benar-benar kaget mendengar beritanya dan awalnya saya menyangka kalau kematian anak Anda akan mempengaruhi hubungan Anda karena menurut kabar burung anak Anda meninggal tercebur ke kolam saat dalam pengawasan Anda, Pak Emir,” ucap Sugeng polos, dia sama sekali tidak tahu imbas dari perkataannya akan membuat Sonya terguncang dan kembali mengingat peristiwa itu.
Tubuh Sonya bergetar saat mendengar perkataan Sugeng, “Say—“
“Kami baik-baik saja, pernikahan kami baik-baik saja dan terima kasih atas perhatiannya Dokter Sugeng tapi, saya dan Sonya tetap saling mencintai dan harmonis. Kami, tetap berjuang dengan perkawinan ini,” potong Emir sembari menyusupkan jemarinya ke pinggang Sonya dan merapatkan tubuh mereka berdua berusaha untuk menahan bobot tubuh Sonya yang sudah hampir terjatuh karena lututnya terlalu lemah untuk menahan bobotnya lagi akibat mendengar perkataan Sugeng.
“Wah ... saya bersyukur mendengarnya, saya berharap pernikahan kalian berjalan sebaik mungkin dan menjadikan kejadian ini sebagai perekat pernikahan kalian bukan sebagai pemecah.” Sugeng memberikan saran pada Sonya dan Emir, pasangan yang menurut Sugeng adalah pasangan yang sangat serasi dan akan sangat disayangkan bila pasangan di hadapannya itu berpisah.
“Terima kasih atas doanya, Dok, saya dan istri saya pamit dulu,” ucap Emir sembari merangkul lebih erat pinggang Sonya dan mendorong dengan lembut pinggang Sonya agar pergi menjauhi Sugeng.
“Saya permisi dulu, Dok, saya tadi sudah izin pada panitia acara untuk pulang duluan karena kami ada acara keluarga,” ucap Sonya seraya melambaikan tangannya ke arah Sugeng.
Sonya dan Emir pun berjalan ke arah parkiran mobil dan masuk ke dalam mobil Sonya berkata pelan, “Kita jadi ke tempat ibu?”
“Iya, kita jadi ke tempat ibu.”
Sonya mencium wangi mobil Emir yang tercium wangi parfum lain, dia sangat hafal wangi parfum suaminya dan juga wangi parfum dirinya. Tapi, dia tidak hafal dengan wangi parfum mawar yang ada di mobil Emir.
“Kenapa?” tanya Emir pada Sonya yang terlihat kebingungan.
“Ini wangi siapa? Kamu ganti parfum?” tanya Sonya dan membuat Emir kaget. “Kamu ganti wangi parfum kamu?”
“Hah ... nggak, apa sih ini wangi biasanya aja, kamu ngaco, Sayang,” ucap Emir sembari membuka kaca jendela Sonya dan dirinya, berusaha membuang wangi apa pun yang ada di mobil itu.
“Wanginya parfum mawar dan mirip kaya wangi parfum murahan, Emir,” ucap Sonya sembari mengendusi sekitarnya. “Kamu bawa Lo—“
“Ngarang aja kamu, Sonya,” potong Emir sembari menjalankan mobilnya ke arah kemacetan ibu kota.
***
“Sonya, Emir, Ibu senang kalian datang untuk makan malam, Ibu kesepian ini,” ucap Parwati yang datang menyambut Sonya dan Emir. Dengan cepat Parwati memeluk Sonya dan mengapit lengan Sonya.
“Kamu sehat, Sonya? Kamu makan benar kan? Kamu makan, makanan yang Ibu masakkan dan kirim ke rumah sakit setiap makan siang kan?” tanya Parwati yang sangat menyayangi Sonya seperti anaknya sendiri itu.
“Iya, Bu, Sonya makan makanan Ibu setiap hari,” jawab Sonya.
“Bagus, Ibu nggak mau kamu sakit karena makan-makanannya sembarangan ingat mag kamu,” ucap Parwati sembari berjalan ke arah meja makan dan mempersilahkan Sonya duduk.
“Emir nggak di tanya, Bu?” tanya Emir yang sedikit kesal karena tidak di sapa sama sekali oleh Parwati yang notabene adalah Ibu kandungnya.
“Emir kamu juga ibu suka kasih makan siang juga, kan.” Parwati mencium pipi anak semata wayangnya itu.
“Iya, sih, tapi, masa hanya Sonya yang di sapa aku nggak, kan aku anak Ibu,” keluh Emir.
“Eh ... kalian berdua anak-anak Ibu, Ibu sayang kalian berdua tidak ada beda,” ucap Parwati sembari duduk di kursi miliknya dan mulai meminta pembantunya untuk menyiapkan makanan.
“Ibu sehat?” tanya Sonya sembari melihat kondisi Parwati untuk memastikan kalau mertuanya ini dalam keadaan sehat walafiat walaupun memiliki penyakit jantung yang sudah parah hingga sudah dipasang tiga buah ring di jantungnya.
Parwati menggenggam tangan Sonya dan berkata lembut, “Ibu akan selalu sehat, Nak, selama kalian berdua sehat dan akur.”
Sonya memaksakan senyumannya saat mendengar perkataan Parwati, bahu Sonya terasa berat seolah tertimpa beton yang sangat besar dan membuat bahunya sangat sakit. “Iya, Bu ....”
“Walau Ibu tahu semenjak kematian Janu, ini semuanya akan berat. Ibu paham, Nak, Ibu ....” Parwati mengusap air matanya dengan menggunakan punggung tangannya.
“Bu, kami baik-baik saja, Ibu tidak usah khawatir,” ucap Sonya sembari menggenggam tangan Parwati berusaha memberikan kekuatan pada mertuanya walaupun sejujurnya saat ini dirinyalah yang sangat membutuhkan sokongan dari orang lain.
“Kalau ada apa-apa kasih tahu Ibu, Ibu mohon Sonya, Ibu sayang sama kamu,” ucap Parwati yang langsung di jawab anggukkan oleh Sonya dan mereka kembali makan malam dengan penuh kehangatan keluarga yang menurut Sonya sangat semu.
***
Setelah sampai ke rumah Sonya langsung ke kamar mandi dan membersihkan dirinya, saat Sonya keluar dari kamar mandi ia mendapati Emir yang sedang duduk di sofa sembari menatap kolam renang yang ada di samping kamar mereka.
“Emir ....”
“Ya?” jawab Emir sembari mengalihkan pandangannya dari kolam renang ke arah Sonya.
“Kenapa kamu bunuh anak kita?” tanya Sonya.
“Maksud kamu apa, Sonya?”
***
“Kenapa kamu bisa lalai dan membuat Janu meninggal, Emir?” Sonya memperbaiki pertanyaannya yang tadi terlalu frontal. “Sonya, aku sudah bilang sama kamu berkali-kali aku ke kamar mandi dan aku nggak tahu kalau Janu jalan balik lagi ke kolam renang,” bisik Emir menahan amarahnya akibat pertanyaan awal Sonya sembari menyembunyikan wajahnya di antara kedua tangannya merutuki kebodohannya karena melakukan sebuah kesalahan fatal saat menjaga anak semata wayangnya yang mengakibatkan anaknya itu meninggal akibat tercebur ke kolam renang. “Kamu ngapain di kamar mandi? Kamu ngapain sampai selama itu di kamar mandi, setengah jam Janu berjuang di kolam, Emir?!” sentak Sonya sembari menunjuk kolam renang di samping rumahnya dengan telunjuk yang bergetar akibat menahan amarah dan kesedihan. “Aku sudah bilang kalau aku di kamar mandi, Sonya?!” teriak Emir dengan nada suara yang sama-sama tinggi, dia benar-benar tidak mau disalahkan atas kematian Janu. Ego lelakinya memaksa
Sonya mengambil botol air dari kulkas, lalu meminumnya hingga tandas. Berharap air itu bisa mencairkan kebekuan pikirannya karena ulah suami dan beban pekerjaan. Bayangan sosok Janu, membawa langkah kaki Sonya menuju kamar putra semata wayangnya. Janu yang didapatkannya dengan susah payah melalui proses bayi tabung, harus pergi meninggalkannya secepat itu. ia bahkan belum sempat menghabiskan banyak waktu bersama Janu karena kesibukannya di rumah sakit. Pukul sembilan malam dan itu hari kedua Emir meninggalkan rumah setelah pernikahan mereka. Langkahnya gontai menuju lemari menatapi rak demi rak di mana pakaian Janu berada. Air matanya keluar tak henti sejak tadi. Hatinya terasa sangat kosong seakan hidup yang dijalaninya sekarang pun tak ada gunanya. Sepasang pakaian rumah yang paling sering dikenakan Janu, tenggelam di tangannya. “Nak ... maafin, Mamah,” isak Sonya sembari berbaring di kasur milik Janu. Sonya meringkuk di ranjang anaknya itu berusaha untuk m
Air hangat mengguyur kepalanya dengan deras, suara gemercik air terdengar hampa di kuping Sonya, sehampa kehidupannya yang porak-poranda. Sonya menutup mata dan meremas spons yang sudah bercampur sabun, perlahan ia mengusap bagian tubuhnya yang tadi dikecupi Emir dengan keras, berusaha menghilangkan setiap jejak yang Emir torehkan di tubuhnya. “Mama ... jangan pulang lama, ya. Bantu aku susun puzzle. Sama papa nggak asyik.” Entah dari mana tiba-tiba saja suara Janu masuk ke dalam kepala Sonya, mengingatkannya pada kenangan manis antara dirinya dan Janu. “Ma ... Janu sayang Mama nggak banyak. Janu bisa sayang yang banyak kalau Mama pulang cepet dan peluk Janu sambil tidur, Janu kangen dipeluk Mama.” Sonya kembali menangis saat mengingat apa yang dikatakan oleh Janu, sebuah permintaan kecil yang sangat diinginkan oleh Janu yang belum bisa Sonya penuhi karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit. Andai waktu bisa diputar kembali, Sonya pasti
"Kamu udah enakan, Sonya?" tanya Lidya sembari menyodorkan teh hangat ke tangan Sonya yang bergetar. "Aku mau mati, Lid ... aku nggak kuat, aku nggak sanggup," bisik Sonya dengan tatapan hampa dan kosong menatap dinding putih di hadapannya. Entah bagaimana caranya Sonya bisa menjalankan mobilnya dan selamat sampi di rumah Lidya dalam keadaan histeris dan menangis di sepanjang jalan. Mungkin semesta masih menginginkan Sonya hidup dan menyiksanya lebih berat lagi, Sonya tidak tahu padahal Sonya sangat menginginkan dirinya kecelakaan dan mati, dia benar-benar sudah lelah dengan hidupnya ini. "Sonya ... jangan ngomong gitu," bisik Lidya sembari merangkul sahabatnya itu dan menahan tangisnya, hatinya terenyuh melihat penderitaan Sonya yang disia-siakan suaminya. "Aku udah nggak sanggup, Lidya, ke mana suami aku yang dulu sayang dan cinta sama aku? Ke mana laki-laki yang selalu menghargai aku dan mendukung aku meraih semua mimpi aku? Ke mana dia?" tanya Son
"Kenapa aku nggak mati aja, sih, Bu?" tanya Sonya dengan tatapan kosong. "Nak, nggak boleh ngomong gitu," Parwati yang sedang menyuapi Sonya menahan tangisnya saat mendengar perkataan Sonya, hatinya benar-benar sakit saat mendengar perkataan menantu kesayangannya itu. "Kadang aku ngerasa kalau semua kesakitan di hidupku, nggak ada habisnya," ungkap Sonya pelan. "Sonya Tuhan tidak akan mungkin memberikan cobaan pada umatnya bila umatnya tidak sanggup melaluinya, Sonya," bisik Parwati mencoba menyemangati Sonya sembari menyuapkan makan siang ke mulut Sonya. Dengan malas Sonya membuka mulutnya dan berjuang mendorong makanan yang mertuanya itu suapkan. "Tapi, Sonya udah nggak sanggup, Bu. Sonya nggak sanggup, Sonya mau mati aja, Bu," isak Sonya. "Sonya ... Sonya maafkan Ibu, tapi, Ibu harus menandatangani surat persetujuan tindakan medisnya, mereka bilang kamu harus secepatnya dioperasi kalau tidak nyawa kamu tidak tertolong," isak Parwati sembari
"Gimana?" tanya Sonya santai sama sekali tidak terpancing emosinya sama sekali."Maksudnya apa? Kenapa kamu tiba-tiba menjalani operasi pengangkatan rahim tanpa persetujuan aku!? Kamu gila atau apa? Kamu nggak mau punya anak lagi, hah!?" tanya Emir yang marah karena mengetahui kalau istrinya saat ini sudah tidak memiliki rahim lagi dan tidak mungkin bagi mereka berdua mendapatkan kembali anak. Padahal, Emir sangat menginginkan Sonya untuk hamil kembali."Kamu dari mana aja?" Sonya sama sekali tidak menjawab pertanyaan Emir.Emir menatap manik mata Sonya tidak percaya karena istrinya ini malah bertanya balik dan bukan menjawab pertanyaannya sama sekali. Dengan kesal Emir menutup pintu kamar rumah sakit, "Sonya, aku tanya sama kamu. Kenapa kamu melakukan prosedur operasi pengangkatan rahim tanpa persetujuan aku?"
1 tahun kemudian ...."Sonya udah," bisik Lidya yang kaget melihat Sonya mencabik-cabik tisu seperti orang kurang waras."Kenapa ibu maksa bangat bikin acara kaya gini, sih?" tanya Sonya semaput karena Parwati tiba-tiba meminta dirinya untuk mengadakan acara ulang tahun perkawinan dirinya dengan Emir."Ya ... mungkin dia ingin liat kamu sama Emir bahagia?" canda Lidya sembari mengambil gumpalan tisu yang sudah Sonya cabik-cabik."Wow ... bahagia banget hidup aku sama Emir, saking bahagianya aku senang banget dia nggak pernah pulang ke rumah," jawab Sonya sembari membawa gelas berisikan champagne dan menegaknya hingga habis."Dia beneran nggak pulang?" tanya Lidya yang mulai khawatir dengan kehidupan pernikahan Sonya yang benar-
15 menit sebelumnya ...."Kamu kenapa?" tanya Miska bingung saat melihat Emir yang menekuk wajahnya selama mereka berduaan di pojokkan rumah Sonya, bersembunyi dari para tamu undangan.Miska sudah tau status dirinya yang hanya dijadikan selingkuhan oleh Emir, Miska sama sekali tidak berkeberatan karena dia tahu kalau hubungan Emir dan Sonya sama sekali tidak bisa diselamatkan lagi tapi, mereka masih bersama demi kesehatan ibu kandung Emir."Kamu kenapa, Emir? Kamu sakit?" tanya Miska sembari menyapukan jemarinya di rambut Emir yang tebal.Emir yang merasakan sentuhan di kepalanya langsung menepis tangan Miska, dia sedang tidak mood untuk disentuh oleh selingkuhannya ini. Hatinya benar-benar panas saat mendengar perkataan Sonya yang mengatakan kalau selama ini tidak pernah terpuaskan olehnya. Ingin rasanya Emir sobek mulut Sonya saat mendengar hal tersebut, apakah dirinya semenyedihkan itu sampai tidak bisa membuat Sonya orgasme?"Mir, kamu kenapa?"