"Makannya yang bener," pinta Awan saat melihat Haikal mencawil spaghetti-nya satu persatu menggunakan tangan. "Makan pakai garpu, Haikal," protes Hana sambil menyodorkan garpu lalu memaksa adiknya itu untuk menggunakannya, "manner."Haikal mencibir kemudian mengambil garpu dari tangan Hana, tanpa banyak kata ia mulai menggunakannya dengan malas-malasan karena menurut dia makan spaghetti menggunakan tangan itu sangat menyenangkan. "Padahal enak makan pakai tangan.""Tapi, nggak spaghetti juga Haikal, kamu mau dikutuk sama orang Italia, hah?" tanya Hana kesal dengan kelakuan adik kembarnya."Mana ada kam—""Makan Haikal," potong Sonya sambil tersenyum manis namun sorot matanya seolah memperingatkan Haikal kalau dia tidak makan dengan benar jangan harap bisa melihat matahari esok. "Oke," bisik Haikal pelan sambil memakan makanannya dengan lebih baik. Saat ini Haikal tidak akan mau membantah Sonya, melihat betapa galak dan judesnya Sonya saat menghadapi Kakeknya membuat Haikal sadar kal
Lidya berusaha untuk menutup pintu mobilnya dengan susah payah karena terlalu banyak barang bawaan miliknya. Hari ini melelahkan karena banyak sekali operasi ditambah tidak adanya Eka yang tidak ada jadwalnya hari ini membuat Lidya kewalahan. Lidya menyeret kakinya dengan malas-malasan memasuki rumah orang tuanya, hal yang pertama kali dia inginkan hanya merebahkan badannya di ranjang atau berendam air panas selama mungkin karena tubuhnya seperti mau patah. Encok. Iya diumurnya yang sudah berkepala tiga ini sahabat terbaiknya adalah balsam, parcok, minyak kayu putih, miyak GPU, dan semua bentuk gel penghangat yang bisa ditemui di apotek terdekat. Sebutkan merek benda-benda tersebut maka niscaya Lidya akan mengeluarkannya dari dalam tas jinjinnya. Saat memasuki ruang tamu langkah Lidya terhenti dan matanya membulat sempurna saat melihat dua orang pria sedang berbincang dengan penuh canda. Rasa kesal dengan cepat menjalar di seluruh tubuh Lidya hingga membuat wanita itu berteriak, "I
Eka yang sedang meminum kopi hangatnya kaget saat merasakan cengkeraman di bagian belakang kerah bajunya, "Eh ... apa ini?" tanya Eka sambil menyimpan kembali cangkir kopinya ke meja dan bergerak mengikuti tarikan di bagain belakang tubuhnya. "Ikut!" perintah Lidya menarik kerah baju Eka tanpa ampun dengan tenaga yang entah Lidya dapatkan dari mana. "Eh ... Lid, Papih lagi main catur sama Eka ini, lima langkah lagi Papih menang," protes Dandi yang kesal permainannya di interupsi oleh Lidya yang tiba-tiba menari Eka. "Papih main sendiri aja," ucap Lidya sambil terus menarik Eka ke arah pintu mobilnya, setelah sampai di depan pintu mobil Lidya membukanya. "Masuk!" "Hah? Mau ke mana? Aku masih main catur sama Papih," ucap Eka bingung karena tiba-tiba Lidya marah kepada dirinya, dia salah apa ya Tuhan! Padahal hari ini baru tadi dia bertemu dengan Lidya dan itu pun di rumah bukan di rumah sakit. "Papih? Enak aja, itu Papih aku bukan Papih kamu dan sekarang masuk!" perintah Lidya sam
"Ini sekarang kita mau ke mana?" tanya Eka sambil terus mengemudikan mobilnya menembus kemacetan ibu kota. "Ke ...." Lidya terlihat fokus dengan layar ponselnya dan tidak mengalihkan pandangannya sama sekali.Eka berdecak gemas karena wanita itu sudah hampir 10 menit mengabaikan dirinya dan berkutat dengan ponselnya. "Kamu lagi apa sih? Di telepon Mamih sama Papih? Di WA anak-anak? Atau apa?" tanya Eka penasaran."Hah ... apa?" tanya Lidya sambil menoleh sekilas lalu kembali fokus pada ponselnya."Ish ...." Eka memarkirkan mobilnya lalu mengambil ponsel Lidya, "kita mau ke mana? Dan kamu tuh lagi chat sama siapa? Sibuk bener? Ada on call dari rumah sakit?" tanya Eka kesal sambil melihat layar ponsel Lidya dan kaget dengan apa yang ada di sana."Bukan, udah sini balikin," pinta Lidya berusaha mengambil ponselnya dari tangan Eka."Ini ngapain kamu lihat kamar hotel? Mau liburan?" tanya Eka sambil mengembalikan ponsel Lidya."Siapa, yang liburan?" tanya Lidya sambil mengutak ngatik laya
Eka menahan kepala Lidya agar menerima kejantanan miliknya, dengan tenang ia memaju mundurkan pinggulnya untuk meraih kenikmatan disetiap inci batang kenikmatan miliknya yang keras dan mendamba sentuhan lidah Lidya yang bergerak sensual di sana. Mencengkeramnya tanpa ampun dan menyeretnya kedalam kenikmatan duniawi yang memabukkan.Tangan Lidya bergerak menurunkan celana Eka agar ia bisa mencengkeram bokong Eka, lidahnya bergerak menorehkan rasa nikmat di kejantanan Eka dengan gerakan erotis yang mampu membuat kupingnya mendengar erangan Eka berkali-kali saat ia menjilat bagian pucuk batang kenikmatan Eka.Tangan Eka bergerak membenarkan rambut Lidya, mata Eka berkabut akan gairah saat melihat mulut Lidya yang mungil dipenuhi kejantanannya terlihat sensual dan mencambuk gairahnya. Lidya mengecupi dan menjilati setiap inci bagian tersensitif miliknya hingga membuat Eka mengerang dan tanpa sadar menarik rambut Lidya."Diam juga kamu, Lid," bisik Eka sambil mengusap garis leher Lidya hing
Lidya menggerakkan tubuhnya dan membelitkan selimut ke tubuh telanjangnya, entah jam berapa dia tidur. Lidya sudah lupa, yang dia ingat dia tertidur di atas tubuh Eka yang sudah tak kuasa lagi menghadapi gairah liar Lidya.Tangan Lidya bergerak-gerak seolah ingin mencari sesuatu di sampingnya, kasur itu terasa dingin dan lembut di kulit Lidya. Lidya dengan cepat berpikir kenapa kasur itu dingin? Bukankah, semalam dia tidur bersama Eka? Kok bisa dingin? Jangan bilang Eka meninggalkannya di ranjang sendirian! Nyebelin!Lidya dengan cepat bangun dari tidurnya dan melihat sekeliling kamar yang kosong, tidak ada tanda-tanda Eka ada di sana. Dengan kesal ia tarik selimut untuk menutupi tubuhnya lalu berdiri dan berjalan ke arah ponsel miliknya yang tergeletak di bawah lantai, mungkin jatuh saat ia bercinta dengan Eka."Ih ... apa sih, Eka ini. Udah bercinta malah kabur, nggak ada manis-manisnya. Udah kaya habis manis sepah dibuang, nyebelin!" maki Lidya sambil berjongkok dan mengambil ponse
Sonya yang sedang asik membaca bukunya di meja makan kaget saat mendengar dering ponselnya, dengan malas ia mengambil ponsel dan mendapati Lidya menelepon dirinya. Senyuman merekah di bibir Sonya saat melihat nama Lidya di ponselnya, dengan cepat ia mengangkat teleponnya, "Hai ... apa kabar.""Hahaha ... apa sih, apa kabarnya nggak banget," kekeh Lidya saat mendengar nada suara Sonya. "Abis, mau nyebut apa?" tanya Sonya sambil menutup bukunya dan berjalan ke arah sofa, sepertinya ia akan banyak berbicara dengan Lidya. Mereka butuh berghibah, dan berbicara mengenai banyak hal."Hmm ... Sonya, aku mau ngasih tahu kamu sesuatu," bisik Lidya seolah takut ada yang mendengar perkataannya dengan Sonya."Apa? Kamu mau bilang apa? Kenapa harus bisik-bisik, sih? Dan kebetulan aku juga ada yang harus aku bilang ke kamu," ucap Sonya bersemangat karena dia ingin mengangetkan Lidya dengan rencan pernikahan dirinya dan Awan yang akan dilangsungkan bulan depan.Ayolah ... siapa yang tidak akan kage
"Sudah tidak ada lagi yang harus saya urus hari ini?" tanya Sonya pada Surya yang saat ini sedang melihat map rekam medisnya."Nggak ada, Dok, nanti kalau ada apa-apa suster kepala ruang bedah yang bakal hubungi Dokter," ucap Surya sambil menyerahkan rekam medis yang sudah ia isi untuk pasien yang dijadwalkan operasi esok hari."Jadi, aman kalau aku keluar sekarang, kan?" tanya Sonya sambil melihat sekelilingnya untuk memastikan tidak ada hal lain yang harus ia lakukan. "Aman, Dok, nanti on call aja," jawab Surya sambil mengambil map, "oh ... sama saya ucapkan selamat sebelumnya karena Dokter katanya mau menikah dengan Kak Awan.""Lah ... kamu kenal Awan?" tanya Sonya kaget."Kenal, Dok, dia Kakak tingkat saya," ucap Surya sambil tersenyum pada Sonya, "Nggak nyangka dia nikah sama Dokter.""Emang kenapa? Nggak boleh saya nikah sama Awan, Hah?" tanya Sonya judes karena merasa kalau perkataan Surya menyentil ego-nya."Bukan ... bukan gitu, Dok." Surya langsung salah tingkah, tubuhnya b