Reno masuk menemui Satria di kamarnya, dia heran Rieke cepat sekali meninggalkan pesta. Tidak biasanya Satria melepas para perempuan penghibur itu dengan waktu singkat karena Satria akan bermain sepuas hati bahkan sering membuat perempuan-perempuan itu kapok melayani Satria yang dingin dan tak berperasaan.“Tumben kupu-kupu pulang cepat?” Reno menyodorkan sekaleng minuman kepada Satria.“Apa dia bukan tipe kamu?” tanya lelaki itu lagi setelah Satria menyambut minuman itu dan menyesapnya. Satria hanya berdecak pelan dan menyunggingkan senyumnya yang miring.“Tiba-tiba saja aku gak selera dengan dia,” jawab Satria lalu menyulut sebatang rokok. Dirinya mulai jenuh dengan petualangan cinta semalam ini.“Gak biasanya kamu begini, bahkan terkadang kamu malah mengencani tiga perempuan dalam semalam.” Reno mengamati Satria yang tampak sama sekali tidak bergairah, dia sama sekali tidak terpengaruh dengan suara hingar bingar musik di ruang depan.“Kamu lagi ada masalah?” selidik Reno pada teman
Satria sudah sangat fasih menggendong Rangga, orang-orang yang melihat mereka pastinya tidak akan menduga jika mereka sama sekali tidak memiliki pertalian darah meskipun wajah mereka mirip. Kedekatan mereka sudah terjalin pada keduanya, Rangga sudah sangat mengenali Satria yang selalu menemaninya di waktu senggang Satria. Mata Rangga akan berbinar-binar dan tangan kecilnya akan menggapai-gapai ke arah Satria jika mereka bertemu.Sebuah taman kecil yang asri tak jauh dari perumahan itu tempat ketiganya bertemu. Liany akan membawa Rangga di saat Liany akan berbelanja kebutuhan dapur atau rumah juga kebutuhan Rangga. Sebenarnya Liany agak sungkan untuk bertemu dengan laki-laki yang bukan siapa-siapa Liany. Mereka hanya dekat sebagai teman saja, tetapi perempuan itu melihat ada kasih sayang besar di mata Satria untuk Rangga. Walaupun, di rumah om Rudy laki-laki itu juga memberikan perhatian dan kasih sayang yang sama besarnya.“Halooo Anak Tampan, sini… sini… Om gendong!” seru Satria ket
“Kenapa mendadak begitu mau pindah Lia?” tanya Tante Katrin dengan dahi berkerut. Sekilas ekor mata Liany melirik om Rudy kemudian dia menunduk lagi berbicara kepada Tante Katrin.“Sebenarnya rencana ini sudah lama, Tante, Lia hanya menunggu Rangga sudah bisa MP-ASI supaya Lia bisa bekerja. Maaf, Tante kalau saya tidak ngomong sebelumnya, tadinya setelah dapat rumah atau kamar sewa baru Liany mau ngomong sama Tante.”“Aduuuh Lia, kenapa harus pindah sih? Kami gak pernah keberatan loh kamu tinggal di sini, malah senang karena ada kamu dan Rangga.” Tante Katrin mendekati Liany dan mengusap-usap bahunya lembut.“Sudah waktunya Lia mandiri, Tante. Biar Liany berjuang untuk membesarkan Rangga dengan tenaga dan keringat Lia sendiri,” jawab Liany yang masih menunduk. Terdengar helaan napas panjang dari om Rudy yang tak jauh dari mereka.“Biar Papa nanti yang carikan Lia rumah ya, Ma, paling tidak kita bisa carikan rumah tinggal yang layak untuk Rangga.” Usul om Rudy membuat Liany dan Bi Inah
Myla agak bangun siang, kepalanya pusing karena minuman semalam, padahal dia tak minum sebanyak itu dan masih bisa menyetir mobil pulang ke rumah. Ditambah akhir pekan jadi Myla tak perlu ke kantor. Gadis itu hendak membuka jendela kamarnya tetapi urung dilakukannya, dari balik tirai dia melihat Om Rudy yang sedang menggenggam tangan Liany mesra, sementara sepupunya itu hanya mengangguk beberapa kali. Dari gesturnya Liany ingin melepaskan genggaman tangan Om Rudy tetapi papanya menahan tangan Liany. Myla tak pernah melihat ekspresi papanya seperti itu, raut wajah yang sedih dan sulit digambarkannya lagi.“Papa kenapa ya sama Lia? Kok mereka berdua kayak lagi ada masalah gitu?” Myla meninggalkan kamarnya ketika Om Rudy berbalik meninggalkan Liany. Dicarinya sosok Om Rudy yang dikiranya masuk ke ruang tengah. Akhirnya dia menemukan papanya di dalam ruang kerjanya.“Pagi, Pa, Mama bilang semalam kalau Papa lagi sakit ya?” Myla menyapa papanya yang terlihat seperti sedang termenung di de
Liany baru saja selesai cuci piring dan mengelap tangannya yang basah, teh yang ditunggunya menghangat sudah siap di meja dengan sepotong brownies yang dibuatnya tadi. Rangga masih tertidur pulas dan hanya dia sendiri di dapur. Setelah beraktifitas seharian dia bisa melepaskan sejenak lelahnya dengan meminum teh dan menikmati sensasi coklat di kue brownies itu. Tatapannya tertuju pada layar ponselnya untuk mencari lowongan pekerjaan atau bisnis yang tepat untuknya.“Liany, Om mau bicara,” ujar Om Rudy yang tiba-tiba saja sudah duduk di hadapannya.“Silakan, Om. Apa Om mau secangkir teh juga?” tawar Liany. Om Rudy hanya menggeleng untuk menolak tawaran perempuan itu.“Lia, aku tidak bermaksud untuk melecehkanmu, sungguh. Itu diluar kesadaranku, aku sudah jujur padamu jika aku benar-benar jatuh cinta padamu.” Om Rudy memandang lurus ke arah Liany.“Om, tolong kita tidak perlu bahas ini lagi. Posisiku sudah jelas, status Om pun sangat jelas, aku ini keponakan Tante Katrin, Om sudah berke
Liany menatap gedung yang ada di depannya, sangat jelas sekali tertulis jika salah satu dari kantor di dalam sana adalah gedung kantor Sparkling ADV dan dia belum lupa jika Satria Abimana adalah owner dan sekaligus CEO dari perusahaan periklanan itu. Dibacanya sekali lagi alamat yang dikirim oleh Dora lewat pesan obrolan, dan memang sudah benar itu adalah alamat yang harus ditujunya bahkan memang letak daycare tak jauh dari gedung itu. Walaupun ragu Liany tetap melangkahkan kakinya menuju lobi kantor.“Lia! Kesini!” seru Dora begitu gembira melihat Liany yang tiba tepat waktu.“Dora, apa kamu kerja di Sparkling?” tanya Liany ragu. Gadis tomboy itu mengiyakan dengan wajah ceria.“Pak Bos aku sendiri yang akan mewawancarai kamu, ayo aku antar ke ruangannya.” Dora melangkah cepat menuju lift dan mengantarkan mereka ke lantai lima belas kantor Sparkling.“Naah, ini ruangan Pak Bos, kamu yang tenang yaa, Pak Bos memang kadang galak tetapi percaya aku, dia sebenarnya laki-laki yang baik ba
Om Rudy duduk termenung di kursi kerjanya, dia menatap kamar Liany dari kejauhan yang tidak lagi berpenghuni. Rasa sesak dan sedih berusaha ditutupinya sekuat mungkin. Seminggu sejak kepindahan perempuan muda itu Om Rudy merasa separuh hatinya ikut terbawa. Di depan Tante Katrin dan Myla dia berusaha terlihat baik-baik saja. Namun, ketika dia masuk ke ruangan ini hatinya seperti diremas, kerinduan menusuknya tanpa ampun.“Andai saja kau tahu Lia, betapa aku menyayangimu, sepenuh hatiku. Aku tahu aku salah aku tak dapat mengontrol dirimu sehingga menciummu seperti itu, aku ingin memilikimu dan meletakkan kebahagiaan di genggamanmu,” gumam Om Rudy lirih. Dibukanya ponselnya dan mencari ruang folder yang disembunyikannya dengan sandi, ada foto-foto Liany yang diambilnya diam-diam.“Aku akan mengunjungimu dan melihat Rangga juga.” Om Rudy seakan sedang berbicara dengan Lia lewat foto perempuan itu. Bibir lelaki itu menyunggingkan senyum yang hambar, kini ruang hatinya bukan hanya milik Ta
Satria memalingkan wajahnya dari tatapan tajam Liany. Dia menengok ke dalam rumah untuk mencari sosok bayi yang dirindukannya.“Aku ingin bertemu dengan baby boy-ku,” ujar Satria melewati Liany yang masih penasaran dengan bungkamnya Satria.“Sat, kamu belum jawab aku, ada apa dengan Myla sampai kamu menolak dia? Kurang apa Myla, Sat? Dia pasangan yang ideal untukmu tapi—““Aku mencintaimu, Liany. Sebelum bertemu dengan Myla aku lebih dulu bertemu denganmu dan aku jatuh cinta padamu. Myla bukan pilihan untukku jadi jangan bertanya lagi tentangnya, mengerti?” Satria menegaskan pandangannya ke arah Liany yang membuat perempuan itu tak berkutik dengan pernyataan laki-laki itu.“Aku mau main sama Rangga dulu, tiga hari di luar kota bikin aku kangen banget, Mama Rangga gak boleh ganggu kami, sini … sini… My Boy, jagoan Papa Satria!” seru Satria yang kehadirannya seakan sudah ditunggu-tunggu oleh bayi itu. Rangga merespon dengan tawa dan teriakan kecilnya juga terlihat bergembira. Tangan mun