"Tanaya, sudah berapa lama kalian berhubungan? Ya Tuhan, Tanaya! Tak pernah terpikirkan dalam kepalaku kalau kamu akan berciuman dengan Edward. Dia teman dekatku, Tanaya."
Tanaya bergeming. Matanya sibuk memandang ke luar jendela, sedangkan Bentala duduk dengan ekspresi tak karuan. Ia tak pernah menyangka kalau Tanaya yang selalu anggun, dan minim kesalahan akan tertangkap basah mencium teman dekatnya, Edward Clarkson. Bentala pikir Tanaya adalah gadis yang tak tertarik dengan hubungan asmara. Ternyata diamnya Tanaya, karena ia tengah menjalin hubungan dengan salah satu pria. Hal yang tak pernah terlewat di kepala Bentala akan dilakukan oleh Tanaya. "Jawab aku, Tanaya!" "CUKUP, BEN!" teriak Tanaya dengan muka masam. "Cukup bertingkah sebagai tunanganku. Cukup bertanya-tanya hal yang enggak pernah kamu pedulikan. Kenapa sekarang kamu mau tahu? Kenapa Ben? Kenapa?" "Aku harus tahu, karena aku masih tunangan kamu, Tanaya." Tanaya berdecih. Ia benci tingkah Bentala terhadapnya hari ini. Selama satu setengah tahun, tak ada sedikit pun perhatian yang Bentala berikan. Pria itu terlalu dingin, dan tak terjangkau sama sekali. Untuk apa ia memberikan perasaan ke pria yang bahkan menyebutkan nama gadis lain tiap ia mabuk. Jadi, ketimbang ia memusingkan urusan Bentala, lebih baik ia mencari pria lain yang mencintainya. Toh, pertunangan keduanya juga bukan atas andil dirinya. Bukan salahnya kalau pada akhirnya ia memilih mencintai pria lain. "Lalu apa yang mau kamu lakukan?" "Kalau kamu memang mencintai Edward, ya kita putuskan saja pertunangan ini." "Tidak," sambar Tanaya langsung. Ekspresinya langsung berubah khawatir. "Tolong, Bentala! Jangan putuskan pertunangan kita. Kalau kamu memutuskan pertunangan ini, ayahku pasti akan murka. Aku benar-benar mencintai Edward. Aku enggak mau putus darinya." Bentala mengusap wajahnya. Ia benar-benar bingung. Di satu sisi, ia ingin lepas dari segala jenis pertunangannya dengan Tanaya. Namun di satu sisi yang lain hanya Tanaya yang bisa memuluskan jalan meraih segala mimpi-mimpinya. Setelah Rana memutuskan untuk meninggalkannya, dan bersembunyi darinya, Bentala tak pernah berharap bertemu gadis itu lagi. Ia kecewa, meskipun hatinya memang kesulitan melupakan Rana. Ia tak bisa mencintai Tanaya, meski sudah mencoba sebisa mungkin. Pikiran, dan hatinya masih tertuju pada Rana. "Oke, sekarang gantian aku yang tanya. Kamu maunya bagaimana?" tanya Bentala pada Tanaya. "Kalau kamu tidak memutuskan pertunangan ini, pada akhirnya kamu akan menikah denganku, Tanaya. Lalu bagaimana dengan Edward?" "Itu urusanku. Tidak masalah kalau kita sampai menikah. Lagipula Edward juga enggak masalah. Tak pernah ada masalah dengan itu, termasuk juga dengan kamu. Kita buat pernikahan kita nanti sebagai pertunangan yang menguntungkan. Kamu bisa kembali mengejar perempuan bernama Rana itu kalau kamu mau." "Kamu gila tahu enggak, Tanaya!" Tanaya mendekati Bentala, duduk di sampingnya, dan meraih tangannya. Katakan dirinya gila, tapi hanya Bentala yang bisa menolongnya. Bila ketahuan ayahnya, Tanaya pasti disuruh berpisah dengan Edward. Walau bagaimana pun menikah dengan pria asing memang bukan pilihan yang cocok untuk keluarga Gunawan yang notabene selalu berurusan dengan politik dalam negeri. "Kita harus menikah, Ben." Tanaya berusaha. Bentala harus setuju dengan keinginannya. "Bukankah kamu bercita-cita menjadi Presiden? Jalan satu-satunya adalah menjadi menantu Mahaka Gunawan. Kalau kamu hanya pria biasa dengan status ayahmu yang sudah tak aktif lagi di pemerintahan akan sulit bagi kamu masuk ke dalam pusaran elit politik. Kamu harus menikah denganku untuk mendapatkan tempat khusus di partai Karya Bersama Indonesia." "Kamu sudah memikirkan ini?" Tanaya mengerutkan kening, "kamu memangnya enggak?" Tanaya benar. Ia memang memikirkan jalan yang sama. Lima tahun dari sekarang, ia bisa mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakarta. Sangat mudah melenggang ke kursi nomor satu Indonesia kalau ia sudah menjabat sebagai Gubernur. Hal itu menjadi lebih mungkin, kalau ia sudah masuk ke pusaran elit politik. Sebesar partai Karya Bersama Indonesia adalah tempat yang apik. Ia mungkin akan terseok-seok langkahnya kalau tidak menjadi menantu seorang Mahaka Andromeda Gunawan. Bahkan keinginannya menjadi presiden, harus ia tunggu dua puluh hingga dua puluh lima tahun lagi. "Baiklah. Kita buat pertunangan ini berjalan mulus. setelah kita lulus tahun depan, ayo menikah! Kita buat pernikahan ini menjadi pernikahan yang menguntungkan. Menguntungkan bagi kamu, dan menguntungkan juga bagi aku." *** "Lo yakin mau nikah sama Tanaya?" Imran, dan Iskandar berdiri di belakangnya. Kedua sahabatnya tersebut itu bingung saat Bentala memberi tahu kalau dirinya akan menikah dengan Tanaya di Amerika. Ini adalah kesepakatannya dengan Tanaya, dan hingga hari ini gadis itu masih membutuhkannya untuk merahasiakan hubungannya dengan Edward. Bentala tak peduli. Toh, ia tak memiliki rasa pada Tanaya. Ia senang kalau Tanaya memiliki hubungan asmara yang membuatnya nyaman. Dengan begitu, tak pernah ada perasaan bersalah pada diri Bentala kepada Tanaya karena tak bisa memberikan cinta yang seharusnya. "Sudah sampai sini, kalian masih tanya?" "Lo memangnya cinta sama Tanaya?" Pertanyaan yang cukup aneh keluar dari mulut Imran, sang buaya darat. "Maksud gue, ini pernikahan lho." "Ya terus? Lo making love sama banyak cewek aja enggak pakai perasaan." "Ya tapi ini kan, ikatan suci pernikahan bro!" Bentala terdiam. Ia tahu dirinya salah besar. Sebuah ikatan sakral yang tidak boleh dipermainkan, justru kini menjadi senjata untuknya di masa depan. Dengan cepat, ia memohon maaf dalam hati pada Tuhan atas tindakan gila yang dirinya, dan Tanaya lakukan. "Cinta bisa datang setelah nikah." Ucapan Iskandar kali ini benar. Temannya yang satu itu memang selalu berhasil menjadi oasis di tengah gersang. "Masalahnya lo masih punya perasaan ke Rana enggak? Kalau lo menikahi Tanaya, mendingan lo lupain dulu cewek satu itu dari pikiran, dan otak lo!" Bentala menghembuskan napasnya, "Rana tahu enggak?" "Tahu. Dia enggak mungkin enggak tahu. Ya, meskipun lo enggak undang dia." "Lo masih ada perasaan ke Rana, Ben?" tanya Imran gantian. Bentala memilih menggeleng. Bukannya berbohong, tapi menolak untuk menjawab. Ia tidak mau memikirkan gadis itu di saat ia yakin menikahi Tanaya demi masa depannya yang lebih penting. "Ini jawabannya enggak punya perasaan, atau enggak tahu?" desak Imran yang langsung dapat tinju dari Bentala. "Iya, iya, gue enggak tanya lagi. Tapi, kasihan Tanaya enggak sih, Ben?" "Itu urusan gue. Lo berdua enggak perlu tahu. Sekarang tugas lo berdua hanya jadi pendamping pernikahan. Jangan tanya apa-apa lagi!" Bukannya Bentala tidak mau cerita. Tapi, ini bukan saat yang tepat. Siapa saja bisa datang, dan menguping. Rahasianya, dan Tanaya harus tersimpan rapat. Paling tidak sampai dirinya menjadi Gubernur nantinya. ***"Kamu tahu enggak arti dari cincin ini?"Delapan bulan kemudian segalanya berjalan dengan sangat cepat. Rana membutuhkan waktu lebih dari lima bulan untuk menyiapkan segala pernikahannya. Karena kegiatannya di dunia entertainment yang memang sedang rehat, maka tak ada satu pun media, atau rekan artis yang mengetahui rencana pernikahannya. Rana, dan Bentala pun dengan tenang menjalankan pernikahan mereka di Bali dengan sangat tenang, dan intim.Kini, di bulan kedua pernikahan mereka, Bentala akhirnya bisa benar-benar menemukan waktu untuk berbulan madu. Meskipun tak lagi menjadi aktris, Rana tetap saja disibukkan dengan kegiatannya sebagai salah satu direksi di rumah sakit Husada. Ia bersama-sama dengan Latisha bekerja, meskipun kini berada di dunia yang sama sekali berbeda."Aku enggak tahu," jawab Rana sambil menggelengkan kepala. "Memang apa artinya? Aku pikir ini hanya sebuah bentuk. Karena cantik, jadi kupikir itu alasan kamu memilihnya. Ternyata ada artinya, ya?"Bentala terkekeh
"Besok bahkan baru malam tahun baru. Tidak bisakah kamu menunggu hingga besok? Ya, aku memang menyuruhmu untuk pulang, tapi maksud aku pulanglah setelah tahun baru. Bukannya sekarang. Ben, kamu mendengarkan aku, kan?"Pertanyaan itu membuat Rana benar-benar kesal, karena Bentala tampak tak mengacuhkannya sejak tadi. Pria itu sejak tadi hanya mondar-mandir merapikan segala barangnya ke dalam koper besar yang Rana pastikan kalau isinya terlalu sedikit di sana. Rana pun beranjak dari kasur, mendekati Bentala yang sibuk memasukkan semua kemejanya ke koper. Ia tarik kerah pria itu, agar Bentala bisa fokus hanya padanya.Bentala tersenyum. Ia melingkarkan tangannya di pelukan Rana dengan erat. Ia bawa gadis itu ke pelukannya, dan ia cium gadis itu dengan sepenuh jiwa. Rana jelas tak menolak, bersama Bentala memang membuat kepalanya selalu bodoh dalam hal tolak menolak."Kamu sekarang merengek, agar aku tak pergi." Bentala berkata setelah ia melepaskan ciumannya. "Kemarin, kamu melepaskan ak
"Gue benar-benar senang, karena lo sudah sadar, Na. Maaf ya, gue enggak bisa melihat lo langsung ke Australia. Karena gue pikir-pikir keadaannya pasti enggak memungkinkan dan gue enggak pernah ke Australia sebelumnya. Gue takut jatuhnya ngerepotin Indira yang lagi sibuk ngurusin lo, dan kerjaannya."Hanya sebuah gelengan yang mampir di wajah Rana saat mendengar managernya, Latisha meminta maaf. Ia tak pernah mempermasalahkan siapa yang berada di sampingnya saat sakit. Baginya di mana pun berada, Rana sudah cukup dengan doa. Rana tahu obat mujarab terampuh bagi orang sakit adalah doa dari orang yang benar-benar tulus menginginkan kesembuhan diri kita.Latisha sendiri merasa sangat bahagia. Meskipun hanya bisa melihat Rana dari panggilan video, tapi gadis itu sudah merasa cukup puas. Melihat Rana meresponnya dengan senyum tercantik yang Rana punya, sudah membuat Latisha merasa sangat lega."Tidak masalah kok," jawab Rana jujur. Ia tersenyum lemah. "Lo jangan maksain diri buat ke sini. L
"Indira, boleh saya bicara sama kamu sebentar?"Tak mungkin Indira tak kaget. Ia menengadah, dan memastikan kalau yang bicara padanya memang benar-benar seorang Emir Dikara Husada. Selama hampir dua minggu, pria itu pura-pura tak mempedulikannya, hari ini, di hari di mana Rana sadar sepenuhnya, Emir akhirnya mau mengajaknya bicara. Bukannya Rana berharap, tapi ia ingin antara dirinya, dan Emir berhenti memikirkan menyoal masa lalu, serta terjebak di dalamnya.Indira pun mengangguk, meskipun Arnold sempat menggeleng. Ia menatap Arnold seraya tersenyum meminta pengertian. Arnold pun melihat pada Indira, dan akhirnya memperbolehkan gadis itu menyelesaikan segala masalahnya dengan pria brengsek yang ternyata adalah sahabat baik Rana. Jujur, saat mengetahuinya, Arnold jelas kaget bukan main. Ia sungguh merasa luar biasa, karena ternyata Rana, dan juga Indira masih bisa menjalin pertemanan yang sangat baik."Tunggulah di sini," pinta Indira yang langsung disanggupi oleh Arnold. "Aku akan ba
"Maaf, mengganggu waktumu, Ben. Tapi, saya harus memberikan ini secara langsung untukmu. Kamu diundang khusus sebagai best man-saya dalam pernikahan saya dengan Tanaya. Ya, saya tahu kondisinya tidak memungkinkan. Tapi, tak apa-apa. Saya hanya ingin memberikan ini sebagai tanda bahwa hanya kamu yang berhak untuk posisi itu."Tentu saja Bentala terhenyak. Bukan soal undangannya, tapi bagaimana Edward selalu memperlakukannya dengan spesial. Berbeda dengan dua temannya yang lain, Edward baginya sudah seperti saudara yang ia temukan di benua lain. Dia selalu merawat, memperhatikan, bahkan memperlakukan Bentala seperti dirinya adalah orang yang layak mendapat perlakuan tersebut. Tak hanya Edward, Tanaya pun demikian.Untuk itulah, Bentala rela melakukan banyak hal bodoh hanya untuk menjaga mereka tetap bahagia. Sebab, di saat ia tak punya siapa-siapa di negeri orang, hanya Edward, dan Tanaya yang membantunya. Hanya mereka berdua yang rela bersusah payah untuk seorang Bentala."Kamu membuat
"Aku tahu harusnya enggak ninggalin kamu. Tapi, aku minta maaf. Aku tahu kamu pasti mengerti. Hanya tiga hari, aku janji. Senin, aku akan kembali ke sini. Aku janji akan nemenin kamu lagi di sini. Kamu pasti akan merasa sedih kan, kalau pekerjaanku enggak beres? Jadi, aku pulang sebentar ya. Aku tahu, aku akan kangen kamu banget, Rana."Tatapan Bentala begitu dalam, dan berat. Ia sama sekali enggan meninggalkan Rana dalam kondisi yang masih belum ada kejelasan, tapi ia juga tak bisa meninggalkan pekerjaannya. Ada banyak orang yang bergantung hidupnya pada Bentala, dan ia tak serta merta melupakan mereka hanya untuk memajukan keinginannya. Bila Rana bangun pun, gadis itu pasti memilih untuk melepasnya.Dengan erat, ia genggam tangan kekasihnya. Ia cium tangan itu penuh rasa sayang. Meskipun hampir dua minggu di rumah sakit, wangi lavender yang khas masih tercium begitu nyata dari tubuh Rana, membuat Bentala makin berat untuk melepasnya. Tapi, apa mau dikata. Hidup nyatanya harus tetap
"Mr. James sangat menyukai apa yang anda lakukan dengan kebun kelapa sawit keluarga anda. Dia berharap kerja sama ini akan sangat menguntungkan bagi anda, dan juga Mr. James. Terima kasih banyak, Mr. Byakta. Nanti kita bertemu lagi di Jakarta dua minggu ke depan. Have a nice day."Tak hanya Bentala, Danish pun menunjukkan senyum profesionalnya kepada CFO Perusahaan yang akan bekerja sama dengan Bentala dalam pembuatan pabrik kelapa sawit di Riau. Bentala sungguh bersyukur, karena CFO perusahaan yang ia tuju adalah orang Indonesia. Ibu Martina Larasati Adams yang adalah orang Sulawesi Utara pergi jauh ke Sydney untuk bekerja bersama suaminya yang berasal dari London. Bentala pun teringat pada Edward yang melobi CEO perusahaan ini untuk bekerja sama dengannya. Bentala harus mentraktirnya nanti saat sampai di Jakarta.Bentala, dan Danish pun sangat puas. Tak sia-sia waktu yang mereka habiskan untuk meraih kontrak kerja sama. Sekarang setelah segala kontrak sudah ditandatangani, Bentala b
"Ben, lo bisa pulang ke hotel buat urus kepindahan lo. Di depan juga sudah ada asisten lo nungguin. Jangan lupa makan. Terakhir lo makan tuh, kemarin sore. Lo skip makan malam, sama sarapan, Ben. Jangan sampai deh, lo ikut-ikutan tumbang. Makan ya, Ben."Hanya sebuah anggukan yang Bentala berikan kepada Indira. Gadis itu sudah jauh lebih rapi, sedangkan Bentala tampak kusut tak terurus. Tiga hari sudah, dan tak ada tanda-tanda Rana akan bangun. Dokter hanya mengatakan kalau Rana hanya trauma. Hanya butuh waktu sampai gadis itu siap, dan membuka matanya.Sayangnya Bentala tak sabar. Masalahnya rindunya sudah menggunung, dan butuh dituntaskan. Hausnya masih terasa meskipun ia sudah menenggak kehadiran Rana sejak tiga hari lalu. Tapi, apalah arti raga, tanpa jiwa yang benar-benar hidup."Tolong ya, jaga Rana. Kalau ada kabar baik, hubungi gue." Bentala berpesan, dan Indira langsung mengiyakan apa yang pria itu inginkan. "Kalau bisnis ini enggak penting, gue mungkin akan ada di sini terus
"Ben, kamu sudah berangkat kerja? Ben? Hei, Ben! Kamu sedang apa di sana? Ada apa?"Dengan cepat, Edward menghampiri Bentala yang terduduk di karpet dekat tempat tidurnya. Pria itu tampak terdiam, kaku, dan belum benar-benar menyadari keberadaannya. Sebelum berangkat lari pagi, Edward melihat Bentala masih baik-baik saja dengan makan makanan cepat saji, minum kopi, dan kemudian mandi. Namun setelah Edward kembali, ia mendapati pria itu tampak tak berdaya, dan tak baik-baik saja.Edward pun mencoba membuat pria itu berhenti melamun dengan menggoyangkan bahunya. Bentala akhirnya menengadah, namun baru kali itu tatapan pria itu benar-benar kosong. Edward pun menjadi ikut takut."Ben, ada apa?" tanya Edward lagi lebih keras. "Katakan, ada apa?""Rana, Ed, Rana," lirih Bentala dengan suara tercekat. Kalau dia adalah Tanaya, mungkin tangisnya sudah merebak keluar. "Dia kecelakaan Ed. Bagaimana ini? Bagaimana, Ed? Aku harus ke Australia. Aku harus ke sana. Sekarang juga. Ya Tuhan, mengapa in