Seorang aktris terkenal seperti Rana Diatmika mungkin tak pernah menyangka akan dihadapkan pada kisah cinta yang rumit. Setelah enam tahun berlalu, Ia pikir tak akan ada lagi kisah antara dirinya dengan Bentala Pradaya Byakta, si calon gubernur yang sosoknya tengah naik daun. Rana berusaha terus menolak kehadiran Bentala, meskipun kenyataannya sosok itu sangat sulit untuk Ia lupakan. Di sisi lain, Bentala tak gentar. Ia tak akan membiarkan Rana pergi lagi. Ia tak akan membiarkan cinta pertamanya kembali meninggalkannya seperti malam panas mereka enam tahun lalu. Ia tak peduli, meskipun harus mempertaruhkan image yang telah dibangunnya di publik. Ia juga tak peduli, meskipun kenyataannya sudah ada istri di kartu keluarganya. Lalu apakah Rana akan luluh pada perjuangan Bentala? Apakah Rana akan menerima kehadiran Bentala? Apakah Rana siap apabila harus menjadi yang kedua?
Lihat lebih banyak"Hai Bentala! It's me, Rana! Walau terlambat, tapi selamat karena diterima di Stanford. Selamat juga atas pertunanganmu."
Tulisan itu terkesan ceria di selipan bunga peony yang sangat cantik. Tapi bukan sebentuk ucapan, atau karangan bunga yang dibutuhkan pria tinggi bernama Bentala Pradaya Byakta tersebut. Ia lebih butuh bertemu dengan si pengirim bunga, dan akhirnya setelah melewati wisuda, Bentala pun bertemu dengan Rana Diatmika Husada di malam terakhirnya di Indonesia. Rana tengah menyesap anggur merah. Tampak menikmati, sementara sang empunya rumah tengah sibuk mengantar beberapa temannya ke teras. Malam sudah menjelang pukul setengah satu, namun Rana tak bergegas pulang seperti yang lain. "Rana, gue sama Camilla duluan ya," ujar Indira memberi tahu. Indira tak ingin meninggalkan Rana, tapi ia tak sanggup kalau harus mengurus dua wanita mabuk bersamaan. "Tadi gue sudah minta Ben untuk antar lo pulang. Ok?" Rana hanya mengangguk sembari tersenyum tipis. Ia masih sadar. Tak sepayah Camilla yang sudah tak jelas mengoceh apa. Pesta perpisahan Bentala memang menjadi penuh tawa, dan kegilaan setelah mereka bermain truth or dare. Rana, dan Camilla yang lebih suka dare, tentu saja memilih menghabiskan satu gelas anggur. Mereka berdua tipe yang menyimpan rapat masalah pribadi. Suka kejujuran, tapi tak lantas mengumbarnya dengan asal-asalan. Apalagi itu menyoal perasaan. "Gue titip Rana, tolong lo antar pulang. Jangan lo apa-apain. Inget tiga hari yang lalu lo baru aja tunangan sama Tanaya. Lo masih waras kan, Ben?" Ben mengangguk, meskipun kepalanya memang mulai terasa berat. "Sedikit mabuk, tapi enggak apa-apa. Gue masih sanggup bawa Rana pulang. Lo antar Camilla aja. Lagipula gue enggak gila begituan ya, kayak Imran. Enak aja lo!" "Ya kali. Kita sama-sama tahu kalau lo bucin banget sama Rana." "Tapi gue sudah punya tunangan, Indira." Indira tak menanggapi. Ia hanya mengangguk, dan memilih percaya pada Bentala. Indira pun pergi setelah menaruh Camilla ke dalam mobil. Ia kembali mengingatkan Bentala. Sehebat apa pun pengendalian diri Bentala, cinta tetap bisa membutakan siapa saja. Bentala sendiri juga sadar diri. Ia sama sekali tak menyangkal kalau dirinya begitu tergila-gila pada Rana. Namun tak lantas ia berpikiran macam-macam, dan akhirnya menyesalinya di kemudian hari. "Aku rasa enggak bisa pulang deh, Ben." Celetukan Rana tersebut membuat Ben mau tak mau duduk di hadapannya. Rana memang tampak kepayahan, meskipun masih sadarkan diri. "Aku enggak bisa ke mana-mana. Aku rasa akan menginap di sini saja." "Rana, kamu tahu kan, di sini cuma ada satu kamar tidur. Aku enggak menerima siapa pun menginap. Termasuk kamu." Rana mengernyit, "oh ya?" "Ya." Bentala menjawab dengan yakin. "Aku akan mengantar kamu pulang." Bentala hendak berdiri, namun Rana menarik tangannya. Pria itu pun kembali duduk di posisi semula. Mereka kembali bertatapan. Setelah dua bulan lebih keduanya tak saling bertemu, entah karena kesibukan, atau Rana yang menghindarinya. Bentala sebenarnya ingin mencecar Rana dengan berbagai pertanyaan. Namun permainan truth or dare yang diusungnya tetap gagal membuat Rana jujur. Gadis itu memilih untuk mabuk, ketimbang mengungkap perasaannya sendiri. "Kamu enggak akan mengantar aku pulang. Aku enggak akan ke mana-mana. Ini mungkin malam terakhir aku ketemu kamu sebelum kamu benar-benar pergi ke US untuk waktu dua tahun lebih. Aku enggak bisa memandangi kamu, karena setelah besok kamu akan menjadi milik Tanaya. Dia sudah nunggu kamu di US. Kalian akan bersama. Aku akan benar-benar kehilangan kamu, Bentala." "Kalau begitu, mengapa kamu nyuruh aku pergi? Mengapa kamu nyuruh aku tunangan sama Tanaya? Mengapa Rana?" Rana tak langsung menjawab. Binar matanya mulai sayu. Ia mulai kehilangan arah, dan dengan mudahnya ingin jujur saja. Sayangnya ia tak mau, dan tak bisa, meskipun semua kejujuran sudah berada di ujung lidahnya. "Aku tak mau memberitahumu apa-apa. Jadi, jangan mencoba bertanya apa pun. Permainannya sudah selesai tadi." "Kalau kamu masih enggak mau menjawab semua pertanyaanku, maka ayo pulang. Pulang ke tempatmu, Rana. Jangan membuat segala hal menjadi sulit. Ayo, Rana!" "Aku enggak akan ke mana-mana, Bentala!" seru Rana pada Bentala. Ia menatap wajah Bentala yang mulai lelah dengan galak. "Aku akan menginap. Aku enggak akan ke mana-mana. Aku akan tetap di sini, Bentala. Jangan suruh aku pulang. Berhentilah menyuruhku pulang. Titik." Bentala menggeleng dengan keras. "Aku tidak bisa membiarkanmu di rumahku semalaman hingga esok siang, Rana. Selain karena aku sibuk, aku juga enggak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Aku enggak sehebat itu, Rana. Memandangimu dalam jarak sedekat ini saja membuatku rasanya ingin mati." "Kalau begitu lakukan!" Rana menantang. Bentala pikir, alkohol sudah benar-benar merusak akal pikiran gadis kesayangannya. "Lakukan, Ben. Aku sudah bilang ingin menginap bukan? Di sini cuma ada kita berdua. Tidak ada yang lain. Tidak juga Tanaya. Apa yang mau kamu lakukan? Ayo kita lakukan sebelum malam ini berakhir." "Jangan gila, Rana!" hardik Bentala kesal. "Ayo, pulang!" Bentala kembali ingin berdiri, namun lagi, dan lagi Rana menahannya. Gadis itu bahkan memajukan tubuhnya, dan mencium bibir Bentala. Tanpa aba-aba yang membuat Bentala jelas sangat kaget. Ia tak menyangka sama sekali Rana yang selalu menjaga dirinya dengan baik, melakukan hal gila tersebut. Namun, kepala Bentala yang tak benar-benar waras, jelas menerimanya. Ia melumat bibir itu, merasai tempat yang paling membuatnya penasaran. Meskipun ia bukanlah pria yang liar, tapi beberapa kali Bentala pernah merasakan bibir gadis lain yang pernah menjadi teman dekatnya. Rasanya jelas beda. Kali ini lebih manis, lebih candu dari yang pernah terlintas di pikirannya. "Kamu membalas ciumanku." Bentala mengambil napas, tak menggubris perkataan Rana. "Kamu benar-benar jatuh cinta padaku ya, Bentala?" "Ya. Bagaimana mungkin kamu masih bertanya setelah enam tahun ini aku selalu ada di sisimu? Jadi, diamlah, Rana. Kalau kamu ingin aku melakukannya, maka aku akan melakukannya. Jangan pernah suruh aku berhenti. Ini semua karena permintaanmu yang gila." Bentala jelas sudah kehilangan akal sehatnya. Bukannya menyudahi kedekatan mereka, Bentala justru membawa tubuh Rana yang indah ke atas pangkuannya. Ia kembali mencium bibir penuh Rana dengan sepenuh hati, merasai segala hal yang selalu menjadi pertanyaan dalam benaknya. Ia ingin gadis itu sepenuhnya, meskipun beberapa menit sebelumnya Bentala jelas-jelas mengatakan tidak. Rana sendiri tahu ia sudah gila. Tapi, apa yang dilakukannya malam itu adalah sebuah cara untuk mengungkap perpisahan. Perpisahan paling menyakitkan untuk cinta pertamanya. Cinta pertama yang kemungkinan tidak akan Rana miliki seumur hidupnya. ***"Kamu tahu enggak arti dari cincin ini?"Delapan bulan kemudian segalanya berjalan dengan sangat cepat. Rana membutuhkan waktu lebih dari lima bulan untuk menyiapkan segala pernikahannya. Karena kegiatannya di dunia entertainment yang memang sedang rehat, maka tak ada satu pun media, atau rekan artis yang mengetahui rencana pernikahannya. Rana, dan Bentala pun dengan tenang menjalankan pernikahan mereka di Bali dengan sangat tenang, dan intim.Kini, di bulan kedua pernikahan mereka, Bentala akhirnya bisa benar-benar menemukan waktu untuk berbulan madu. Meskipun tak lagi menjadi aktris, Rana tetap saja disibukkan dengan kegiatannya sebagai salah satu direksi di rumah sakit Husada. Ia bersama-sama dengan Latisha bekerja, meskipun kini berada di dunia yang sama sekali berbeda."Aku enggak tahu," jawab Rana sambil menggelengkan kepala. "Memang apa artinya? Aku pikir ini hanya sebuah bentuk. Karena cantik, jadi kupikir itu alasan kamu memilihnya. Ternyata ada artinya, ya?"Bentala terkekeh
"Besok bahkan baru malam tahun baru. Tidak bisakah kamu menunggu hingga besok? Ya, aku memang menyuruhmu untuk pulang, tapi maksud aku pulanglah setelah tahun baru. Bukannya sekarang. Ben, kamu mendengarkan aku, kan?"Pertanyaan itu membuat Rana benar-benar kesal, karena Bentala tampak tak mengacuhkannya sejak tadi. Pria itu sejak tadi hanya mondar-mandir merapikan segala barangnya ke dalam koper besar yang Rana pastikan kalau isinya terlalu sedikit di sana. Rana pun beranjak dari kasur, mendekati Bentala yang sibuk memasukkan semua kemejanya ke koper. Ia tarik kerah pria itu, agar Bentala bisa fokus hanya padanya.Bentala tersenyum. Ia melingkarkan tangannya di pelukan Rana dengan erat. Ia bawa gadis itu ke pelukannya, dan ia cium gadis itu dengan sepenuh jiwa. Rana jelas tak menolak, bersama Bentala memang membuat kepalanya selalu bodoh dalam hal tolak menolak."Kamu sekarang merengek, agar aku tak pergi." Bentala berkata setelah ia melepaskan ciumannya. "Kemarin, kamu melepaskan ak
"Gue benar-benar senang, karena lo sudah sadar, Na. Maaf ya, gue enggak bisa melihat lo langsung ke Australia. Karena gue pikir-pikir keadaannya pasti enggak memungkinkan dan gue enggak pernah ke Australia sebelumnya. Gue takut jatuhnya ngerepotin Indira yang lagi sibuk ngurusin lo, dan kerjaannya."Hanya sebuah gelengan yang mampir di wajah Rana saat mendengar managernya, Latisha meminta maaf. Ia tak pernah mempermasalahkan siapa yang berada di sampingnya saat sakit. Baginya di mana pun berada, Rana sudah cukup dengan doa. Rana tahu obat mujarab terampuh bagi orang sakit adalah doa dari orang yang benar-benar tulus menginginkan kesembuhan diri kita.Latisha sendiri merasa sangat bahagia. Meskipun hanya bisa melihat Rana dari panggilan video, tapi gadis itu sudah merasa cukup puas. Melihat Rana meresponnya dengan senyum tercantik yang Rana punya, sudah membuat Latisha merasa sangat lega."Tidak masalah kok," jawab Rana jujur. Ia tersenyum lemah. "Lo jangan maksain diri buat ke sini. L
"Indira, boleh saya bicara sama kamu sebentar?"Tak mungkin Indira tak kaget. Ia menengadah, dan memastikan kalau yang bicara padanya memang benar-benar seorang Emir Dikara Husada. Selama hampir dua minggu, pria itu pura-pura tak mempedulikannya, hari ini, di hari di mana Rana sadar sepenuhnya, Emir akhirnya mau mengajaknya bicara. Bukannya Rana berharap, tapi ia ingin antara dirinya, dan Emir berhenti memikirkan menyoal masa lalu, serta terjebak di dalamnya.Indira pun mengangguk, meskipun Arnold sempat menggeleng. Ia menatap Arnold seraya tersenyum meminta pengertian. Arnold pun melihat pada Indira, dan akhirnya memperbolehkan gadis itu menyelesaikan segala masalahnya dengan pria brengsek yang ternyata adalah sahabat baik Rana. Jujur, saat mengetahuinya, Arnold jelas kaget bukan main. Ia sungguh merasa luar biasa, karena ternyata Rana, dan juga Indira masih bisa menjalin pertemanan yang sangat baik."Tunggulah di sini," pinta Indira yang langsung disanggupi oleh Arnold. "Aku akan ba
"Maaf, mengganggu waktumu, Ben. Tapi, saya harus memberikan ini secara langsung untukmu. Kamu diundang khusus sebagai best man-saya dalam pernikahan saya dengan Tanaya. Ya, saya tahu kondisinya tidak memungkinkan. Tapi, tak apa-apa. Saya hanya ingin memberikan ini sebagai tanda bahwa hanya kamu yang berhak untuk posisi itu."Tentu saja Bentala terhenyak. Bukan soal undangannya, tapi bagaimana Edward selalu memperlakukannya dengan spesial. Berbeda dengan dua temannya yang lain, Edward baginya sudah seperti saudara yang ia temukan di benua lain. Dia selalu merawat, memperhatikan, bahkan memperlakukan Bentala seperti dirinya adalah orang yang layak mendapat perlakuan tersebut. Tak hanya Edward, Tanaya pun demikian.Untuk itulah, Bentala rela melakukan banyak hal bodoh hanya untuk menjaga mereka tetap bahagia. Sebab, di saat ia tak punya siapa-siapa di negeri orang, hanya Edward, dan Tanaya yang membantunya. Hanya mereka berdua yang rela bersusah payah untuk seorang Bentala."Kamu membuat
"Aku tahu harusnya enggak ninggalin kamu. Tapi, aku minta maaf. Aku tahu kamu pasti mengerti. Hanya tiga hari, aku janji. Senin, aku akan kembali ke sini. Aku janji akan nemenin kamu lagi di sini. Kamu pasti akan merasa sedih kan, kalau pekerjaanku enggak beres? Jadi, aku pulang sebentar ya. Aku tahu, aku akan kangen kamu banget, Rana."Tatapan Bentala begitu dalam, dan berat. Ia sama sekali enggan meninggalkan Rana dalam kondisi yang masih belum ada kejelasan, tapi ia juga tak bisa meninggalkan pekerjaannya. Ada banyak orang yang bergantung hidupnya pada Bentala, dan ia tak serta merta melupakan mereka hanya untuk memajukan keinginannya. Bila Rana bangun pun, gadis itu pasti memilih untuk melepasnya.Dengan erat, ia genggam tangan kekasihnya. Ia cium tangan itu penuh rasa sayang. Meskipun hampir dua minggu di rumah sakit, wangi lavender yang khas masih tercium begitu nyata dari tubuh Rana, membuat Bentala makin berat untuk melepasnya. Tapi, apa mau dikata. Hidup nyatanya harus tetap
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen