Pagi itu matahari bersinar hangat menembus jendela kaca tinggi gedung Aurora Development Group.
Suasana departemen Urban Development Planning perlahan hidup, diiringi suara papan ketik dan deru mesin kopi otomatis.
Catelyn duduk di kubikel biasa yang sudah menjadi wilayah sunyinya. Rambutnya dikuncir rendah, rapi namun tetap sederhana. Ia mengenakan blouse putih dan blazer biru navy, tampak kalem dan berusaha tampak biasa.
Tapi damai pagi itu sontak pecah.
"Aaaah! CATELYN!!!"
Misha berlari seperti badai kecil, heels-nya berdetak heboh di lantai marmer, seolah-olah satu kantor harus tahu bahwa dia menemukan sesuatu yang penting.
Tanpa basa-basi, ia menyelonong masuk ke sisi kubikel dan bersandar dramatis di pembatas partisi.
"Kau pikir kau bisa bersembunyi dariku?! Hah?! Siapa pria tampan bermata biru semalam itu?! Yang datang tiba-tiba di tengah-tengah kita dan—ya Tuhan, dia menatapmu seperti kau satu-satunya perempuan di planet
Interior pesawat itu seperti dunia lain—lantai berkarpet tebal warna krem, kursi kulit putih gading yang terstruktur elegan, pencahayaan ambient yang hangat dan lembut, serta panel kayu gelap yang memantulkan kilau halus. Layar datar tertanam di dinding kabin, dan minibar kecil tampak terisi lengkap.Catelyn nyaris lupa bernapas. “Ini… seperti yang kulihat di film,” gumamnya, nyaris pada diri sendiri.Ethan menoleh dan tersenyum lembut.Senyum yang hanya dimiliki laki-laki yang tahu persis bahwa ia tengah mengejutkan dunia seorang perempuan.Ia membimbing Catelyn duduk di salah satu kursi panjang di sisi kabin, memastikan sabuk pengaman melingkari pinggangnya dengan nyaman.“Kita… sebenarnya mau ke mana, Ethan?” tanya Catelyn akhirnya, suaranya masih diliputi kebingungan dan keterpesonaan. “Aku… Aku belum menyiapkan apa-apa… terutama lagi, aku belum mengatakan apa-apa pada kakak-kakakku, aku akan pergi jauh.”Ethan membalas dengan tatapan penuh arti. Ia mengangguk ke arah layar di had
Sore menjelang dengan lembut di jendela kaca gedung Aurora Development Group.Sinar matahari bergeser miring, membias pada lantai marmer dan pantulan bayangan lampu gantung yang mulai menyala satu per satu.Di dalam ruangan Departemen Urban Development Planning, suasana santai mulai terasa.Para pegawai mulai merapikan meja, beberapa telah mengambil tas mereka, bersiap menuju akhir hari.Tawa Catelyn pecah, ringan namun tulus, kala Misha, Inez, dan Dana kembali menggoda dirinya dengan semangat tak kalah dari anak SMA yang merencanakan pesta kecil."Ayolah, Cat!" Misha berseru sambil menarik lengan Catelyn. "Kau tidak bisa menghindar dari kami malam ini! Cerita tentang Ethan Wayne belum selesai!"Inez menambahkan, "Kami harus tahu. Sejak kapan kalian mulai? Kapan pertama kali dia menyatakan cinta? Apa dia—""Dan bagaimana rasanya berciuman dengan pria semempesona itu," potong Misha cepat, menutup mulutnya sendiri sambil tertawa heboh.Dana hanya menggeleng pelan, tetapi bibirnya menyun
Pagi itu matahari bersinar hangat menembus jendela kaca tinggi gedung Aurora Development Group.Suasana departemen Urban Development Planning perlahan hidup, diiringi suara papan ketik dan deru mesin kopi otomatis.Catelyn duduk di kubikel biasa yang sudah menjadi wilayah sunyinya. Rambutnya dikuncir rendah, rapi namun tetap sederhana. Ia mengenakan blouse putih dan blazer biru navy, tampak kalem dan berusaha tampak biasa.Tapi damai pagi itu sontak pecah."Aaaah! CATELYN!!!"Misha berlari seperti badai kecil, heels-nya berdetak heboh di lantai marmer, seolah-olah satu kantor harus tahu bahwa dia menemukan sesuatu yang penting.Tanpa basa-basi, ia menyelonong masuk ke sisi kubikel dan bersandar dramatis di pembatas partisi."Kau pikir kau bisa bersembunyi dariku?! Hah?! Siapa pria tampan bermata biru semalam itu?! Yang datang tiba-tiba di tengah-tengah kita dan—ya Tuhan, dia menatapmu seperti kau satu-satunya perempuan di planet
Langit malam menyelimuti kota seperti tirai beludru pekat, hanya diterangi oleh lampu jalan yang memantulkan cahaya kuning keemasan di atas bodi hitam mobil SUV yang meluncur tenang di antara lalu lintas yang mulai lengang.Di balik kemudi, Axel duduk tegak, mengenakan setelan hitam tanpa cela.Pandangannya tertuju lurus ke depan, ekspresinya datar seperti marmer. Bahkan cermin spion pun tak mendapat kehormatan tatapan darinya.Di kursi penumpang belakang, Misha bersandar sambil menyilangkan kaki, bibirnya membentuk senyum penuh intrik.“Baiklah, Tuan Misterius, kau tahu kami bertiga hampir mati penasaran, kan?” katanya genit sambil mencondongkan tubuh ke depan, seolah ingin menyusup ke ruang pribadi Axel yang sangat dijaga.Axel tak menggubris. Tangannya tetap mantap menggenggam setir.“Serius, kau ini siapa, sih? Agen rahasia? Teman masa kecil Catelyn? Kakak sepupunya yang posesif?” lanjut Misha, setengah bercanda,
Malam itu, di depan The Velvet Room.Udara malam tidak menyimpan sisa hangat musim panas dan hanya menghantar embusan dingin khas musim gugur.Langit bersih bertabur bintang, kontras dengan suasana kacau yang baru saja Catelyn dan ketiga rekannya tinggalkan dari dalam bar.Di depan pintu utama Velvet Room, suara sirine samar terdengar di kejauhan, tapi di area parkir yang remang, hanya ada tawa kecil yang mengambang dan embusan napas dari lelah yang tertahan.Dana, Inez, dan Misha berdiri setengah mabuk, cekikikan sambil sesekali mengalihkan pandangan mereka pada pria yang berdiri tegak di samping Catelyn—Axel, si penyelamat malam ini.Kemeja hitam Axel tampak berantakan oleh sisa kekacauan, namun sorot matanya tetap dingin dan tajam, seperti sedang terus memindai kemungkinan ancaman.Catelyn berdiri di tengah mereka, masih terengah, napasnya menghangatkan udara dingin malam.Mini dress hitam yang dikenakannya tampak kontras den
Malam menebar kabut kelabu di sudut kota tua St. Louis yang jauh dari riuh kehidupan.Gedung tua bergaya industrial itu berdiri membisu di pinggir pelabuhan terlantar.Cahaya redup dari lampu-lampu gantung menggoreskan bayangan panjang di lantai beton yang dingin. Aroma besi berkarat dan minyak tua memenuhi udara, menyatu dengan dingin yang menggigit.Di tengah ruangan yang sunyi, terdengar derap langkah pelan namun pasti.Seorang pria tinggi bersetelan gelap berdiri membelakangi pintu, memandangi peta yang terbentang di atas meja besi.Sosoknya diliputi aura kekuasaan dan kegelapan. Wajahnya tak sepenuhnya tampak, tersembunyi oleh cahaya yang hanya menyentuh sebagian rahangnya yang tegas.Dia The Ironshade, begitu para pengikutnya menyebutnya — pemimpin dari jaringan bawah tanah paling ditakuti di wilayah timur.Pintu logam tua itu berderit terbuka.Dua pria bertubuh tegap memasuki ruangan. Keduanya mengenakan jaket kulit hitam dengan emblem perisai perak di dada kiri—simbol kelompok