Gabriel mengangguk.Setelah pamit, James melangkah ke luar, diikuti oleh Gabriel dan pengawalnya yang sigap menunggu di luar pintu.Hening meliputi ruangan sejenak, hingga Noah baru menyadari keberadaan Vincent yang menghilang.Ia menyenggol pelan lengan Ethan. “Tadi Vince di sini. Kemana dia?” bisik Noah.Ethan menoleh dan ikut mencari keberadaan Vincent dengan ekor matanya. Ia menggeleng.“Apa dia masih marah dan belum bisa menerima mu?” bisik Noah lagi. “Ah, dia memang selalu menjadi yang tersulit untuk ditaklukkan,” keluhnya.Ethan tersenyum, lalu menepuk lengan Noah dan berujar ringan. “It’s okay. Aku masih bisa meladeninya beberapa kali pun.”“Siapkan saja mentalmu, Kawan.”Tidak ada jawaban dari Ethan, selain satu senyuman kecil.Pria itu lalu berjalan pelan mendekati tempat tidur Catelyn.Tangannya menggenggam tangan gadis itu dengan erat. &
Angin sore menggugurkan dedaunan cokelat dari ranting-ranting tua di luar jendela kamar VIP rumah sakit.Sinar matahari terakhir hari itu menyusup di sela tirai putih, melukiskan bayangan lembut di dinding ruangan yang tenang.Aroma antiseptik masih kentara, namun suasana di dalam kamar terasa hangat—sehangat tatapan mata pria tua yang baru saja melangkah masuk.Catelyn terdiam.Pandangannya terpaku pada sosok agung yang berdiri di ambang pintu.Pria itu berperawakan tinggi, bahunya tegap, namun sorot matanya teduh dan penuh kasih.Jas panjang wol hitam yang dikenakannya tampak kontras dengan musim gugur di luar sana, tetapi wajahnya—ya, wajah itu sangat familiar dari berbagai media finansial dan majalah eksekutif dunia.Namun demikian, Catelyn meragu dan tentu saja tidak pernah berani membayangkan figur legenda bisnis itu akan dapat ia lihat secara langsung.Pria itu tersenyum dan melangkah pelan.“Ini
Noah langsung tertawa, menepuk pahanya sendiri. “Oh, jangan cuma ganti yang tua, Eth. Kakakku satu ini harusnya minta versi terbarunya! Bagaimana dengan varian XLT tahun ini?”“Atau—kau tahu—sekalian King Ranch! Tujuh atau delapan puluh ribu dolar pasti bukan masalah untukmu kan, Eth? Aku yakin kau bisa urus itu dalam sehari,” ucapnya lagi sambil memasukkan suapan lainnya.Ethan mengangkat alis dan tersenyum kecil. “Kau tahu? Itu bukan ide buruk.”Gabriel memutar bola matanya dengan ekspresi jengkel setengah geli. “Noah…” gumamnya memperingatkan.“Apa kau gila, Noah? Mobil itu setara dengan biaya kuliah dua tahun di CU Boulder lengkap dengan asrama dan buku!” omel Catelyn ikut menyambar.“Atau biaya asuransi keluarga kita selama lima tahun,” Gabriel mengangguk.Noah mengangkat sebelah tangan, pura-pura tak bersalah. “Apa? Aku hanya membantu adik ipar kita menunjukkan rasa terima kasih.”Catelyn berdecak. “Kau sedang memeras Ethan.”Melihat perdebatan kecil itu, Ethan tertawa kecil lagi
Bibir Ethan melekuk ke atas. “Sungguhkah?”Catelyn mengangguk pelan.Lagi, Ethan tersenyum lalu memiringkan wajahnya dan mengecup Catelyn singkat. “Terima kasih. Kitty.”Ia menjauhkan wajah, untuk bisa menatap Catelyn dan kembali meyakinkan dirinya sendiri, bahwa Catelyn benar-benar ada di hadapannya. Bernapas. Dan mencintainya.Suasana hening itu lalu terpecah pelan oleh derit pintu kamar yang terbuka.Gabriel melangkah masuk terlebih dahulu, sosoknya tinggi dan kokoh, wajahnya menyiratkan ketenangan seperti danau pegunungan di pagi hari.Di belakangnya, Noah menyusul dengan ekspresi yang lebih hangat dan penuh harap.Mata keduanya langsung tertuju pada adik perempuan mereka, yang kini terbaring di atas ranjang dengan selimut tersampir rapi.Ethan segera berdiri, hendak memberikan ruang bagi mereka, namun Gabriel hanya mengangkat satu tangan, memberi isyarat agar pria itu tetap duduk dan melanjutkan kegiatannya.Tak satu pun dari mereka berbicara.Yang terdengar hanyalah bunyi pelan
Langit Basalt perlahan meredup, cahaya keemasan matahari terhalang gugusan awan tipis yang bergelayut rendah.Pepohonan di luar rumah sakit telah menggugurkan sebagian besar daunnya, menyisakan ranting-ranting yang menari pelan tertiup angin musim gugur.Di dalam ruang dokter, aroma antiseptik menyambut tiga pria yang tengah berdiri mengelilingi meja, tempat seorang dokter paruh baya sedang menjelaskan kondisi adik mereka.“Tidak ada luka serius,” ujar sang dokter, suaranya tenang namun tegas. “Hanya memar di beberapa bagian tubuh dan lutut kiri yang terkilir. Untungnya sabuk pengaman melindunginya dari benturan parah.”Gabriel mengangguk kecil, matanya menyiratkan rasa lega yang masih tertahan.Vincent tetap tegak dengan raut wajah kaku, sementara Noah menghembuskan napas panjang, menepuk bahu Vincent dengan lembut sebelum ketiganya berjalan menuju ruang rawat terbaik di sayap timur rumah sakit kota kecil itu.Ketika mereka sampai di depan pintu kaca yang setengah terbuka, langkah me
Angin menggigit. Daun-daun luruh dari pohon ek dan maple, membentuk karpet emas-kemerahan di sepanjang lereng.Langit kelabu menekan, pekat dan berat, seolah ikut menahan napas.Semua mata tertuju pada sebuah Ford F-150 tua yang terguling di kemiringan tanah, nyaris tergelincir lebih dalam ke dasar jurang yang berkabut.Dari tepi tebing, Vincent Adams berdiri kaku, jaket dinasnya berdebu dan wajahnya tegang.Ia telah mengerahkan bala bantuan, namun ketika tiba di lokasi kecelakaan, ia tak menyangka mobil yang dikendarai Catelyn dalam posisi nyaris mustahil dijangkau oleh mereka.Di sampingnya, Gabriel memandang ke bawah dengan rahang mengeras.Noah, lebih pucat dari biasanya, menggenggam pinggiran sabuk kulitnya erat-erat.Di belakang mereka, beberapa petugas Basalt berdiri berjaga, siap dengan tali dan tandu darurat, tapi tak satu pun cukup dekat untuk menjangkau mobil tua yang hampir tergelincir itu.“Apa yang harus kita lakukan?!” Noah berseru panik. Kedua matanya memerah dan mulai