Home / Lainnya / Di Balik Nama dan Luka / Harga dari Kebenaran

Share

Harga dari Kebenaran

Author: Mr.IA
last update Last Updated: 2025-05-22 11:06:17

Langit sore itu terasa berat. Awan menggumpal seperti perasaan di dada Raka. Di tangannya, ponsel masih menampilkan pesan ancaman yang datang beberapa menit setelah panggilan misterius berakhir.

“Kami sudah siapkan video itu. Sekali lagi kau muncul di media, kita akan tunjukkan siapa Nayla sebenarnya.”

Raka tahu video itu benar-benar ada. Nayla pernah mengaku, bahwa dulu ia sempat dipaksa oleh ‘pengelola’ lama untuk tampil dalam sesi eksklusif yang direkam secara diam-diam. Ia bahkan nyaris bunuh diri setelah tahu video itu diperjualbelikan.

Kini, hantu masa lalu itu kembali. Tapi bukan dalam bentuk kenangan, melainkan senjata.

Raka berdiri di depan kaca warung yang mulai berembun, melihat pantulan wajahnya sendiri.

“Kalau kamu tahu ada cara untuk menghentikan semua ini… tapi harus menyerah pada apa yang kamu perjuangkan, kamu bakal pilih apa?” tanya Raka kepada Rino, sahabat sekaligus karyawan setianya.

Rino mengangkat alis. “Tergantung. Kalau yang kamu perjuangkan itu orang yang bisa jalan sendiri, bukan cuma kamu dorong-dorong buat bangkit… maka dia layak diperjuangkan sampai akhir.”

“Termasuk kalau risikonya reputasi, bisnis, bahkan keselamatan?”

“Kalau semua itu bisa dibangun lagi. Tapi harga diri? Sekali kamu buang, habis.”

Raka mengangguk pelan. Itu jawabannya. Nayla bukan beban. Nayla adalah api kecil yang menuntunnya keluar dari hidup penuh kepalsuan.

Malam itu, Raka memutuskan mengadakan pertemuan dengan Nayla secara pribadi, tanpa gangguan warung.

Mereka duduk di atas loteng kecil, tempat yang dulu dibangun sebagai gudang, tapi kini jadi tempat favorit Raka membaca buku dan berpikir.

“Aku harus bilang sesuatu,” kata Raka.

Nayla menoleh.

“Mereka punya video lama kamu. Yang itu… yang kamu pernah ceritakan.”

Nayla terdiam. Nafasnya tercekat.

“Dan mereka ngancam sebarin kalau aku terus mendukung kamu. Mereka pikir, satu video bisa hancurkan segalanya.”

“Bisa,” jawab Nayla pelan. “Aku tahu video itu. Aku tahu dampaknya. Satu menit yang terekam bisa menghapus seribu hari bertahan.”

Raka mengangguk pelan. “Tapi aku juga tahu, satu kebenaran yang diakui bisa mengalahkan sejuta fitnah.”

Nayla menatapnya dengan mata basah. “Apa kamu siap kalau semua dunia tahu siapa aku?”

“Aku lebih takut kalau dunia nggak pernah tahu siapa kamu sebenarnya.”

Keesokan harinya, mereka berdua membuat keputusan besar.

Raka menghubungi seorang jurnalis independen—Dian, teman kuliahnya dulu yang kini fokus membuat dokumenter tentang penyintas kekerasan dan eksploitasi perempuan.

Dian datang sore itu, membawa kamera kecil dan mata yang jujur.

“Aku nggak mau narasi yang dramatis. Aku mau kisah yang jujur. Kalau kamu siap, Nayla, aku akan bantu kamu bicara.”

Dan Nayla—dengan segenap luka, ketakutan, dan keberanian yang terkumpul selama bertahun-tahun—duduk di depan kamera.

“Nama saya Nayla. Dulu saya adalah wanita malam. Tapi sekarang saya bukan itu. Saya adalah orang yang selamat.”

Ia bercerita, tanpa sensasi, tanpa air mata yang dibuat-buat. Ia hanya menyampaikan.

Tentang bagaimana ia dijual oleh pacarnya sendiri. Tentang hutang yang membelit dan menjadikannya barang. Tentang malam-malam tanpa tidur. Tentang pria-pria yang membeli tubuh tapi tidak pernah melihat jiwanya.

Dan tentang satu pria… yang akhirnya melihat lebih dari semua itu.

Raka duduk di sampingnya, menggenggam tangannya sepanjang pengakuan itu direkam.

Dalam waktu tiga hari, video itu dipublikasikan oleh kanal milik Dian. Tanpa sensasi, hanya judul sederhana:

“Nayla: Aku Pernah Jatuh, Tapi Aku Masih Manusia”

Awalnya hanya ratusan penonton. Lalu ribuan. Lalu puluhan ribu.

Komentar datang dari berbagai arah. Ada yang mencibir, tentu saja. Tapi banyak juga yang meneteskan air mata.

“Kisah Nayla seperti kisah kakakku. Tapi dia nggak sempat selamat.”

“Terima kasih sudah bicara. Dunia butuh lebih banyak keberanian seperti ini.”

“Saya juga mantan PSK. Sekarang saya jadi guru PAUD. Kamu bukan sendirian, Nay.”

Tapi hari kelima setelah video itu viral, warung mereka didatangi oleh dua pria berpakaian gelap. Bukan Andra, tapi orang yang jelas-jelas datang dengan maksud intimidasi.

“Kalian pikir video itu akan menyelamatkan kalian?” kata salah satu dari mereka, menggebrak meja kasir. “Kalian sudah buka mulut terlalu lebar.”

Raka maju, berdiri di antara mereka dan Nayla.

“Kalian sudah terlambat. Dunia sudah dengar. Dan kali ini, kalian nggak bisa sembunyi di balik bayang-bayang.”

Pria itu menarik kerah baju Raka. Tapi sebelum kekerasan terjadi, suara sirene polisi mendekat. Dian—jurnalis itu—sudah melapor sebelumnya bahwa Nayla mendapat ancaman fisik.

Dua pria itu ditangkap. Mereka bagian dari jaringan lama yang dulu mengelola banyak tempat hiburan ilegal. Termasuk yang pernah menjerat Nayla.

Malam itu, warung mereka kembali penuh. Tapi bukan karena gosip.

Orang-orang datang membawa bunga. Beberapa mantan pekerja malam datang untuk memeluk Nayla. Ada juga ibu-ibu yang dulunya mencibir, kini datang dengan mata menyesal.

Dan untuk pertama kalinya, Nayla berdiri di depan semua orang tanpa merasa ingin sembunyi.

Ia tidak lagi takut dengan masa lalunya. Karena kini, ia sudah memiliki nama baru. Nama yang bukan sekadar milik, tapi kemenangan.

Bersambung ke Bab 7…

Bab 7 nanti akan membawa kita ke titik penting: keputusan Raka soal masa depannya — apakah tetap menjalani hidup sederhana bersama Nayla, atau menerima tawaran ayahnya yang datang tiba-tiba dengan permintaan tak terduga.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Balik Nama dan Luka   Luka Bukan Akhir, Tapi Arah Baru

    Rumah Luka tampak lebih hidup dari biasanya. Sejak Nayla pulang dari forum internasional, relawan berdatangan, permintaan wawancara berdentang seperti pintu yang tak berhenti diketuk. Tapi dari semua itu, ada satu yang membuat Nayla terdiam paling lama: undangan dari Kementerian Sosial untuk menjadikan Rumah Luka sebagai proyek percontohan nasional.“Bayangkan, Nay,” kata Bu Dirjen saat pertemuan tertutup di gedung kementerian. “Program ini bisa diperluas ke 30 kota. Nama kamu akan masuk sejarah sebagai penggerak perubahan.”Nayla hanya tersenyum tipis. Bukan karena ia tidak tersentuh. Tapi karena ia tahu, semakin besar nama yang dibawa, semakin besar pula risiko yang ditanggung.⸻Malam harinya, ia berbincang panjang dengan Raka.“Kalau ini berkembang, aku nggak akan bisa melindungi semua orang di Rumah Luka dari media, gosip, atau bahkan politisasi.”Raka memegang tangannya. “Tapi kamu juga akan menjangkau perempuan yang belum punya suara. Kamu bisa jadi gema untuk mereka.”Nayla te

  • Di Balik Nama dan Luka   Nama yang Dikenal, Luka yang Diterima

    Sorotan lampu panggung itu hangat, tidak menyilaukan, tapi cukup terang untuk membuat bayangan siapa pun yang berdiri di sana tampak utuh. Aula besar di Singapura itu dipenuhi ratusan orang dari berbagai negara. Di spanduk belakang panggung tertulis besar:“Southeast Asia Women’s Forum 2025 — Breaking The Silence”Nama Nayla tertera sebagai salah satu keynote speaker. Tidak lagi sebagai “mantan wanita malam” atau “istri konglomerat misterius.” Tapi sebagai Founder Rumah Luka dan aktivis pemulihan martabat perempuan.Di kursi barisan depan, duduk Raka, ibunya, dan perwakilan Rumah Luka—Ayu, gadis muda yang dulu tak berani menulis namanya di formulir.Nayla mengenakan kebaya modern warna abu-abu lembut. Tidak mencolok, tapi anggun. Ia berdiri di podium, membuka pidatonya dengan kalimat yang membuat aula sunyi seketika:“Saya tidak pernah bangga dengan masa lalu saya. Tapi saya selalu bersyukur karena ia tidak membunuh saya. Ia membentuk saya.”⸻Dalam lima belas menit, Nayla berbicara t

  • Di Balik Nama dan Luka   Menyusuri Jalan Pulang Tanpa Topeng

    Langit sore menggantung jingga saat kereta perlahan melaju menuju arah timur—menuju sebuah desa kecil di kaki pegunungan, tempat di mana nama Nayla dulu dikubur oleh bisik-bisik tetangga dan cibiran keluarga. Di dalam gerbong kelas eksekutif, Nayla duduk dengan tenang. Di pangkuannya, ada seikat bunga sedap malam dan sebungkus kue bolu pisang yang dibungkus kertas minyak. Oleh-oleh kecil, untuk rumah tua yang pernah disebutnya rumah ibu. Di sampingnya, Raka menggenggam tangannya. Mereka tidak banyak bicara. Tidak perlu. Keduanya tahu, perjalanan ini bukan sekadar pulang—ini penebusan yang tak pernah diminta siapa-siapa, tapi penting bagi jiwa Nayla sendiri. ⸻ Kampung itu belum banyak berubah. Warung kopi masih di pojok gang. Masjid masih menyiarkan adzan dari pengeras suara yang sama. Hanya satu yang berubah: usia. Anak-anak yang dulu bermain petak umpet kini remaja. Orang-orang tua sudah lebih ringkih, lebih pendiam, tapi tetap menyimpan ingatan yang tajam. Nayla dan Raka berjala

  • Di Balik Nama dan Luka   Di Balik Jatuhnya Nama, Ada yang Tetap Bertahan

    Pagi itu, langit Jakarta tampak biasa saja. Tapi suasana hati Nayla tidak. Ia baru saja menerima panggilan dari salah satu sahabatnya, Nadia, yang terdengar panik.“Nay… kamu harus lihat TV sekarang!”Nayla menyalakan layar datar di ruang tamu Rumah Luka. Dan di sana, wajahnya terpampang jelas di sebuah program gosip pagi:“Terkuak! Mantan PSK yang Kini Jadi Tokoh Perempuan—Benarkah Semua Cuma Rekayasa?”Di layar, muncul video lama—rekaman saat Nayla masih menjadi “teman malam”—diedit secara kejam dan diberi narasi yang menjatuhkan. Potongan suara, bayangan wajah, bahkan suara tawa kasar dijadikan pengiring.Bukan hanya itu. Salah satu “narasumber anonim” mengklaim bahwa Rumah Luka hanyalah “tempat mencuci dosa dengan cara menjual kesedihan.” Nama Nayla dibakar hidup-hidup di media.⸻Raka segera pulang dari galeri seni. Ia menemukan Nayla duduk diam, memeluk lututnya di sofa. Matanya kosong. Tangannya menggenggam remote, tapi tidak menekan apapun.“Ini perang, Rak,” bisiknya. “Mereka

  • Di Balik Nama dan Luka   Luka yang Tak Meminta Dimaafkan, Tapi Dimengerti

    Rumah Luka telah berjalan hampir dua bulan. Di hari-hari yang sunyi, tempat itu menjadi pelabuhan kecil bagi mereka yang kehilangan arah. Tapi di hari-hari yang penuh cahaya, tempat itu menjadi mercusuar—menerangi jalan bagi mereka yang ingin bertarung, tapi tak tahu ke mana melangkah.Nayla mulai terbiasa dengan rutinitas barunya: menyeduh teh untuk para penghuni, mengatur jadwal pelatihan, dan menulis jurnal refleksi di malam hari. Ia merasa damai. Tenang. Tapi kedamaian kadang seperti air yang tenang sebelum badai.Pagi itu, sebuah surat tanpa pengirim ditemukan di kotak pos. Kertasnya sudah agak lecek, lipatannya tidak rapi. Nayla membuka pelan-pelan. Di dalamnya hanya ada tiga paragraf, ditulis tangan, dengan huruf miring yang seperti tergesa.Nayla,Aku tahu aku tak pantas menulis ini. Tapi aku tak bisa mati sebelum minta maaf padamu. Aku adalah salah satu orang yang menghancurkan hidupmu dulu—aku, si pria yang membawamu pertama kali ke “rumah itu”.Aku tak minta dimaafkan. Aku

  • Di Balik Nama dan Luka   Warna-Warna yang Tak Pernah Dilihat Dunia

    Udara Jakarta siang itu hangat, dengan langit yang tampak lebih jernih dari biasanya. Di salah satu sudut kota, sebuah rumah bertingkat dua dengan cat putih dan jendela lebar dibuka untuk umum. Di pagar depannya, terpasang sebuah papan nama sederhana bertuliskan:“RUMAH LUKA – Tempat Berteduh, Tempat Bertumbuh.”Nayla berdiri di depan pintu, menyambut satu per satu tamu undangan yang datang. Di sampingnya, Raka menggenggam tangannya erat. Hari itu adalah hari peresmian lembaga yang telah lama mereka impikan—sebuah rumah pemulihan untuk para perempuan yang terjebak dalam dunia gelap, seperti dirinya dahulu.Bukan panti. Bukan tempat tinggal sementara. Tapi rumah—dengan semua makna pulang di dalamnya.⸻Di ruang tamu rumah itu, ada satu lukisan besar hasil karya Raka. Bukan gambar wajah atau pemandangan. Tapi abstrak. Campuran warna hitam, merah tua, kuning terang, dan biru lembut.Seorang jurnalis bertanya, “Apa makna dari lukisan ini?”Raka menjawab, “Itu warna-warna yang tak pernah d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status