Beranda / Lainnya / Di Balik Nama dan Luka / Luka yang Belum Selesai

Share

Luka yang Belum Selesai

Penulis: Mr.IA
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-22 11:04:24

Malam itu, hujan turun tanpa kompromi. Deras dan gelap, seperti ingin menghapus jejak-jejak di bumi. Di dalam warung kopi yang kecil namun hangat itu, Nayla berdiri memandangi pintu yang bergoyang karena angin.

Sudah lewat pukul sembilan malam, pelanggan terakhir baru saja pergi. Raka sedang mencuci gelas di dapur, sementara Rino tengah menutup kasir.

Nayla masih memikirkan satu hal yang mengganggu pikirannya sejak siang tadi: sepucuk surat yang datang tanpa nama, tanpa pengirim.

“Apa kamu pikir bisa melupakan semuanya begitu saja? Dunia malam itu tidak mudah melepaskan. Jangan mimpi hidupmu akan tenang.”

Hanya itu isinya. Tapi cukup untuk membuat dadanya sesak. Bukan karena takut, tapi karena ia sadar: masa lalunya belum selesai.

Keesokan paginya, Nayla memutuskan untuk berbicara pada Raka.

“Raka,” katanya pelan, saat mereka duduk berdua sebelum warung buka. “Aku… dapat surat. Anonim. Mungkin dari seseorang di tempat lama.”

Raka menatapnya, mencoba membaca ketakutan yang terselip di balik tenang wajah Nayla.

“Kamu takut mereka akan datang?”

“Aku nggak takut mereka datang, aku takut kamu harus ikut masuk ke dalam kekacauan yang aku tinggalkan.”

Raka menggeleng. “Kalau harus menghadapi masa lalu kamu, aku nggak akan mundur. Tapi kita harus siap, Nay. Kalau mereka datang, kita harus sudah punya cara untuk berdiri tegak.”

Nayla mengangguk. Tapi jauh di dalam hatinya, rasa bersalah masih mengintip, menunggu saat untuk muncul kembali.

Hari itu, seorang pria datang ke warung. Ia mengenakan jaket kulit dan topi hitam. Wajahnya keras, sorot matanya tajam. Ia memesan kopi hitam tanpa senyum, lalu duduk memandangi Nayla dari sudut ruangan.

Nayla mengenalinya. Andra.

Mantan “pengelola” tempat ia dulu bekerja. Dulu Andra adalah pria yang licik, pintar bicara, dan tahu bagaimana memanfaatkan ketakutan perempuan untuk mendapatkan uang. Nayla membenci fakta bahwa ia dulu begitu bergantung padanya.

Setelah pelanggan lain pulang, Andra mendekat ke meja bar.

“Kamu udah lupa siapa yang bantu kamu waktu kamu hampir mati dulu?” katanya sambil mengetuk meja.

“Aku gak lupa,” jawab Nayla. “Tapi itu bukan bantuan. Itu jebakan.”

Andra tersenyum miring. “Kamu pikir bisa kabur begitu aja? Dunia malam nggak seperti warung kopi ini, Nay. Orang-orang di belakangku pengen kamu balik. Minimal lunasi semua ‘hutang jasa’ kamu.”

Raka muncul dari dapur. “Ada masalah?”

Andra menatap Raka dari ujung mata. “Bukan urusan kamu. Ini antara aku dan dia.”

“Tapi kamu ada di tempat saya,” kata Raka tenang namun tegas. “Kalau kamu mau bicara dengan cara kotor, silakan keluar.”

Andra menatap Nayla sekali lagi. “Kamu pikir cowok ini bisa lindungin kamu selamanya?”

“Aku gak butuh dilindungi, Andra. Aku hanya butuh kamu pergi.”

Andra tertawa pendek lalu melangkah keluar. Tapi ancamannya tertinggal di udara.

Malam itu, Nayla tak bisa tidur. Ia duduk di teras warung, memeluk lutut, memandangi lampu jalan yang redup.

Raka duduk di sebelahnya. Tak bicara, hanya menunggu.

“Aku malu sama kamu,” bisik Nayla.

“Kenapa?”

“Karena aku pikir aku bisa keluar dari masa lalu tanpa menyeret kamu. Tapi nyatanya, masa lalu itu ikut duduk di meja kita, ikut mengganggu tidur kita.”

Raka menyentuh bahunya. “Nay, kamu nggak pernah sendiri dari awal. Bahkan waktu kamu belum percaya siapa pun, hatimu udah teriak minta dikeluarin. Sekarang aku di sini, dan aku nggak akan pergi.”

Nayla menatap matanya. “Kalau sesuatu terjadi sama kamu karena aku—”

“Kalau kamu terus berpikir kamu bawa sial, kamu akan terus merasa sendirian. Tapi kamu lupa satu hal: kamu bukan lagi wanita yang butuh diselamatkan. Kamu wanita yang lagi menyelamatkan diri sendiri. Dan aku cuma ikut nemenin.”

Besoknya, Nayla membuat keputusan besar.

Ia menghubungi yayasan yang dulu membantu perempuan keluar dari dunia malam. Ia minta kesempatan bicara, bukan sebagai penerima bantuan, tapi sebagai penyintas yang ingin berdiri di depan.

Mereka mengundangnya jadi narasumber dalam acara komunitas. Tema acaranya: “Memaafkan Diri Sendiri dan Memulai Ulang”.

Awalnya ia gugup. Tapi ketika berdiri di depan puluhan perempuan dengan luka yang mirip dirinya, Nayla merasa sesuatu dalam dirinya runtuh—dan lahir kembali.

“Aku dulu berpikir aku hanya bisa bertahan kalau ada laki-laki yang menyelamatkan. Tapi sekarang aku tahu, penyelamat itu ada di diri sendiri. Dan laki-laki yang menemani bukan penyelamat. Dia saksi. Dia teman jalan.”

Di belakang ruangan, Raka menonton dengan mata berkaca-kaca.

Setelah acara itu, warung mereka mulai dikenal bukan hanya sebagai tempat ngopi, tapi juga tempat rehabilitasi informal. Beberapa mantan wanita malam datang, bukan untuk cari kerja, tapi untuk belajar berdiri lagi.

Raka, Nayla, dan Rino mengubah bagian belakang warung jadi ruang kecil untuk diskusi dan kelas keterampilan.

Warung itu bukan sekadar tempat jual kopi. Ia menjadi rumah.

Tapi masalah belum selesai.

Sore itu, saat Raka sedang membereskan stok bahan, ia mendapat telepon dari nomor tak dikenal.

Begitu diangkat, suara di seberang langsung bicara cepat.

“Kami tahu siapa wanita itu. Kalau kamu terus melibatkan diri dalam urusan ini, kamu akan kehilangan lebih dari sekadar perusahaan. Kami punya video lama Nayla. Dan kami akan sebar kalau kamu terus sok jadi pahlawan.”

Raka menggenggam ponsel erat. Rahangnya menegang.

“Kalau kamu pikir video bisa menjatuhkan seorang wanita yang udah berdiri sendiri, kamu terlalu meremehkan dunia.”

Ia memutus sambungan, lalu berjalan ke luar. Nayla berdiri di sana, menatapnya penuh tanya.

“Ada apa?”

“Musuhmu… sekarang musuh kita,” jawab Raka. “Dan ini belum selesai.”

Bersambung ke Bab 6…

Pada bab berikutnya, kita akan mulai menyentuh konflik eksternal yang lebih intens — ancaman nyata, reputasi yang dipertaruhkan, dan keputusan besar tentang masa depan Raka dan Nayla.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Di Balik Nama dan Luka   Luka Bukan Akhir, Tapi Arah Baru

    Rumah Luka tampak lebih hidup dari biasanya. Sejak Nayla pulang dari forum internasional, relawan berdatangan, permintaan wawancara berdentang seperti pintu yang tak berhenti diketuk. Tapi dari semua itu, ada satu yang membuat Nayla terdiam paling lama: undangan dari Kementerian Sosial untuk menjadikan Rumah Luka sebagai proyek percontohan nasional.“Bayangkan, Nay,” kata Bu Dirjen saat pertemuan tertutup di gedung kementerian. “Program ini bisa diperluas ke 30 kota. Nama kamu akan masuk sejarah sebagai penggerak perubahan.”Nayla hanya tersenyum tipis. Bukan karena ia tidak tersentuh. Tapi karena ia tahu, semakin besar nama yang dibawa, semakin besar pula risiko yang ditanggung.⸻Malam harinya, ia berbincang panjang dengan Raka.“Kalau ini berkembang, aku nggak akan bisa melindungi semua orang di Rumah Luka dari media, gosip, atau bahkan politisasi.”Raka memegang tangannya. “Tapi kamu juga akan menjangkau perempuan yang belum punya suara. Kamu bisa jadi gema untuk mereka.”Nayla te

  • Di Balik Nama dan Luka   Nama yang Dikenal, Luka yang Diterima

    Sorotan lampu panggung itu hangat, tidak menyilaukan, tapi cukup terang untuk membuat bayangan siapa pun yang berdiri di sana tampak utuh. Aula besar di Singapura itu dipenuhi ratusan orang dari berbagai negara. Di spanduk belakang panggung tertulis besar:“Southeast Asia Women’s Forum 2025 — Breaking The Silence”Nama Nayla tertera sebagai salah satu keynote speaker. Tidak lagi sebagai “mantan wanita malam” atau “istri konglomerat misterius.” Tapi sebagai Founder Rumah Luka dan aktivis pemulihan martabat perempuan.Di kursi barisan depan, duduk Raka, ibunya, dan perwakilan Rumah Luka—Ayu, gadis muda yang dulu tak berani menulis namanya di formulir.Nayla mengenakan kebaya modern warna abu-abu lembut. Tidak mencolok, tapi anggun. Ia berdiri di podium, membuka pidatonya dengan kalimat yang membuat aula sunyi seketika:“Saya tidak pernah bangga dengan masa lalu saya. Tapi saya selalu bersyukur karena ia tidak membunuh saya. Ia membentuk saya.”⸻Dalam lima belas menit, Nayla berbicara t

  • Di Balik Nama dan Luka   Menyusuri Jalan Pulang Tanpa Topeng

    Langit sore menggantung jingga saat kereta perlahan melaju menuju arah timur—menuju sebuah desa kecil di kaki pegunungan, tempat di mana nama Nayla dulu dikubur oleh bisik-bisik tetangga dan cibiran keluarga. Di dalam gerbong kelas eksekutif, Nayla duduk dengan tenang. Di pangkuannya, ada seikat bunga sedap malam dan sebungkus kue bolu pisang yang dibungkus kertas minyak. Oleh-oleh kecil, untuk rumah tua yang pernah disebutnya rumah ibu. Di sampingnya, Raka menggenggam tangannya. Mereka tidak banyak bicara. Tidak perlu. Keduanya tahu, perjalanan ini bukan sekadar pulang—ini penebusan yang tak pernah diminta siapa-siapa, tapi penting bagi jiwa Nayla sendiri. ⸻ Kampung itu belum banyak berubah. Warung kopi masih di pojok gang. Masjid masih menyiarkan adzan dari pengeras suara yang sama. Hanya satu yang berubah: usia. Anak-anak yang dulu bermain petak umpet kini remaja. Orang-orang tua sudah lebih ringkih, lebih pendiam, tapi tetap menyimpan ingatan yang tajam. Nayla dan Raka berjala

  • Di Balik Nama dan Luka   Di Balik Jatuhnya Nama, Ada yang Tetap Bertahan

    Pagi itu, langit Jakarta tampak biasa saja. Tapi suasana hati Nayla tidak. Ia baru saja menerima panggilan dari salah satu sahabatnya, Nadia, yang terdengar panik.“Nay… kamu harus lihat TV sekarang!”Nayla menyalakan layar datar di ruang tamu Rumah Luka. Dan di sana, wajahnya terpampang jelas di sebuah program gosip pagi:“Terkuak! Mantan PSK yang Kini Jadi Tokoh Perempuan—Benarkah Semua Cuma Rekayasa?”Di layar, muncul video lama—rekaman saat Nayla masih menjadi “teman malam”—diedit secara kejam dan diberi narasi yang menjatuhkan. Potongan suara, bayangan wajah, bahkan suara tawa kasar dijadikan pengiring.Bukan hanya itu. Salah satu “narasumber anonim” mengklaim bahwa Rumah Luka hanyalah “tempat mencuci dosa dengan cara menjual kesedihan.” Nama Nayla dibakar hidup-hidup di media.⸻Raka segera pulang dari galeri seni. Ia menemukan Nayla duduk diam, memeluk lututnya di sofa. Matanya kosong. Tangannya menggenggam remote, tapi tidak menekan apapun.“Ini perang, Rak,” bisiknya. “Mereka

  • Di Balik Nama dan Luka   Luka yang Tak Meminta Dimaafkan, Tapi Dimengerti

    Rumah Luka telah berjalan hampir dua bulan. Di hari-hari yang sunyi, tempat itu menjadi pelabuhan kecil bagi mereka yang kehilangan arah. Tapi di hari-hari yang penuh cahaya, tempat itu menjadi mercusuar—menerangi jalan bagi mereka yang ingin bertarung, tapi tak tahu ke mana melangkah.Nayla mulai terbiasa dengan rutinitas barunya: menyeduh teh untuk para penghuni, mengatur jadwal pelatihan, dan menulis jurnal refleksi di malam hari. Ia merasa damai. Tenang. Tapi kedamaian kadang seperti air yang tenang sebelum badai.Pagi itu, sebuah surat tanpa pengirim ditemukan di kotak pos. Kertasnya sudah agak lecek, lipatannya tidak rapi. Nayla membuka pelan-pelan. Di dalamnya hanya ada tiga paragraf, ditulis tangan, dengan huruf miring yang seperti tergesa.Nayla,Aku tahu aku tak pantas menulis ini. Tapi aku tak bisa mati sebelum minta maaf padamu. Aku adalah salah satu orang yang menghancurkan hidupmu dulu—aku, si pria yang membawamu pertama kali ke “rumah itu”.Aku tak minta dimaafkan. Aku

  • Di Balik Nama dan Luka   Warna-Warna yang Tak Pernah Dilihat Dunia

    Udara Jakarta siang itu hangat, dengan langit yang tampak lebih jernih dari biasanya. Di salah satu sudut kota, sebuah rumah bertingkat dua dengan cat putih dan jendela lebar dibuka untuk umum. Di pagar depannya, terpasang sebuah papan nama sederhana bertuliskan:“RUMAH LUKA – Tempat Berteduh, Tempat Bertumbuh.”Nayla berdiri di depan pintu, menyambut satu per satu tamu undangan yang datang. Di sampingnya, Raka menggenggam tangannya erat. Hari itu adalah hari peresmian lembaga yang telah lama mereka impikan—sebuah rumah pemulihan untuk para perempuan yang terjebak dalam dunia gelap, seperti dirinya dahulu.Bukan panti. Bukan tempat tinggal sementara. Tapi rumah—dengan semua makna pulang di dalamnya.⸻Di ruang tamu rumah itu, ada satu lukisan besar hasil karya Raka. Bukan gambar wajah atau pemandangan. Tapi abstrak. Campuran warna hitam, merah tua, kuning terang, dan biru lembut.Seorang jurnalis bertanya, “Apa makna dari lukisan ini?”Raka menjawab, “Itu warna-warna yang tak pernah d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status