Beranda / Lainnya / Di Balik Nama dan Luka / Mata Dunia dan Kata Maaf

Share

Mata Dunia dan Kata Maaf

Penulis: Mr.IA
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-18 11:45:27

Bising dunia maya tidak pernah terasa sekeras ini bagi Nayla.

Sejak video pengakuannya tayang tiga hari lalu, warung kopi kecil di gang sempit itu tak lagi sama. Banyak yang datang bukan untuk kopi, bukan pula untuk makanan, tapi untuk melihat langsung perempuan yang menggemparkan dunia digital. Yang katanya dulunya wanita malam. Yang katanya berani melawan stigma.

Yang katanya… wanita yang tak tahu malu.

Di kursi pojok, dua perempuan muda berbisik-bisik sambil memandangi Nayla. Di luar jendela, seseorang memotret diam-diam. Bahkan tukang koran pagi tadi dengan tanpa malu melemparkan headline ke meja kasir:

“Bekas PSK Jadi Istri Bos Warung? Simpati atau Sensasi Murahan?”

Nayla menatap koran itu tanpa ekspresi. Ia tak menangis. Tidak hari ini. Air matanya seolah sudah kering dibasuh ribuan penghakiman.

Raka mendekat. Ia baru selesai menyajikan dua cangkir kopi ke meja pelanggan yang datang dari luar kota hanya untuk “melihat langsung si Nayla”.

“Berita yang sama?” tanya Raka, melihat koran di meja.

“Lebih tajam,” jawab Nayla. “Tapi nadanya tetap sama. Mereka selalu butuh musuh yang mudah dibenci.”

Raka duduk di hadapannya. Wajahnya letih, tapi matanya tetap menatap Nayla seperti biasa—tanpa ragu, tanpa jijik, tanpa takut.

“Aku bukan musuh mereka,” bisik Nayla.

“Bukan. Tapi kamu jadi cermin. Dan orang paling takut lihat bayangan sendiri.”

Nayla mengangguk pelan. Ia sadar betul, keberaniannya bukan tanpa harga. Tapi hari itu, harga itu terasa mahal sekali.

Pukul lima sore, seorang perempuan paruh baya datang. Bajunya sederhana, matanya sembab. Ia berdiri di depan meja kasir dengan ragu, lalu berkata lirih, “Saya bisa ketemu Bu Nayla?”

Nayla yang sedang membereskan meja langsung menghampiri. “Saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?”

Perempuan itu menggenggam tangannya. Erat.

“Saya cuma mau bilang… terima kasih. Anak saya dulu… dia juga pernah terjebak di dunia itu. Tapi dia nggak sekuat Ibu. Dia memilih pergi…”

Suaranya pecah. Air matanya tumpah.

“Saya pikir dia malu pada saya. Tapi setelah lihat Ibu bicara di video itu… saya baru sadar, mungkin saya yang nggak pernah cukup peluk dia.”

Nayla menggenggam tangan wanita itu balik, kali ini lebih erat.

“Kita semua pernah jadi korban dari kebisuan,” ucap Nayla pelan. “Dan sekarang, saatnya kita bersuara—bersama-sama.”

Wanita itu mengangguk sambil terisak. Mereka berpelukan cukup lama, hingga beberapa pelanggan ikut berdiri dan menunduk dengan hormat.

Hari itu, Nayla sadar: bukan hanya ia yang sedang sembuh. Tapi banyak hati di luar sana yang ikut menyembuhkan diri dari luka yang tak kelihatan.

Namun di balik simpati, tak sedikit pula yang datang dengan kebencian.

Malam itu, ketika warung hampir tutup, seseorang menyelipkan amplop tanpa nama ke bawah pintu. Isinya satu lembar kertas:

“Pelacur tetap pelacur. Dunia bisa kasihan sekarang, tapi sebentar lagi mereka bosan. Dan kamu akan kembali ke tempatmu—di selokan.”

Tulisan itu dicetak rapi, tanpa identitas. Tapi bau kebencian itu jelas. Raka langsung mengepalkan tangan, matanya merah.

“Aku cari orang ini!” serunya.

“Buat apa?” Nayla memandangnya tenang. “Kita nggak bisa matikan kebencian dengan amarah. Tapi kita bisa bikin mereka muak sendiri dengan diam kita.”

“Tapi—”

“Kalau kita biarkan mereka menang, semua perjuangan sia-sia.”

Raka terdiam. Ia tahu Nayla benar. Tapi sebagai pria yang mencintainya, ia sulit melihat Nayla terus menjadi sasaran dunia yang tak tahu apa-apa.

Keesokan harinya, Dian—jurnalis independen yang dulu mewawancarai Nayla—datang dengan kabar penting.

“Video kamu ditonton lebih dari 2 juta orang, Nay. Dan aku dihubungi oleh komunitas internasional. Mereka undang kamu jadi pembicara di Forum Perempuan Asia.”

Nayla membelalak. “Aku?”

“Iya. Mereka bilang, kamu simbol dari harapan yang sesungguhnya. Ceritamu menyentuh perempuan-perempuan dari Nepal sampai ke Filipina.”

Nayla tak langsung menjawab. Ia memandangi tangannya sendiri. Bekas luka di pergelangan masih ada. Luka dari masa lalu yang dulu nyaris membuatnya bunuh diri.

Sekarang tangan itu justru diminta menjangkau perempuan lain.

“Aku nggak tahu harus bilang apa…”

Raka tersenyum. “Bilang ya.”

“Tapi… siapa aku?”

“Seorang penyintas. Seorang pejuang. Seorang yang bisa menyelamatkan banyak Nayla lain di luar sana.”

Diam-diam, Nayla mengusap pipinya. Kali ini bukan karena luka. Tapi karena ia tahu: kata “maaf” tak selalu datang dari luar. Kadang ia harus diberi pada diri sendiri.

Dan hari itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Nayla berkata:

“Aku memaafkan diriku.”

Malam itu, langit di atas gang kecil warung kopi terlihat bersih. Hujan belum turun, tapi aroma tanah seolah sudah menyambut.

Raka dan Nayla duduk di depan warung, masing-masing memegang secangkir kopi.

“Kalau kamu harus pergi ke forum itu, berapa lama?” tanya Raka.

“Empat hari. Tapi mungkin akan jadi lebih panjang kalau mereka minta aku bantu pelatihan.”

Raka menatap wajah Nayla yang diterangi lampu warung.

“Kamu tahu, waktu pertama lihat kamu, aku nggak lihat masa lalu kamu.”

“Apa yang kamu lihat?”

“Perempuan yang duduk paling diam, tapi matanya paling keras menolak untuk kalah.”

Nayla tertawa kecil.

“Dan kamu?” tanyanya pelan. “Kalau dunia terus membenciku… kamu nggak akan menyerah?”

Raka menarik napas dalam. “Aku nggak cinta kamu karena dunia. Jadi aku juga nggak akan tinggalkan kamu karena mereka.”

Di penghujung malam, Nayla menulis di buku jurnal kecilnya. Buku yang dulu dia pakai untuk mencatat mimpi—sekaligus daftar dosa yang ia pikir tak akan bisa dimaafkan Tuhan.

Tapi sekarang, halaman itu berubah.

Ia menulis:

“Kalau besok dunia masih menghakimi, biarlah. Karena aku tahu, aku bukan cerita buruk mereka. Aku adalah cerita yang mereka takutkan—bahwa orang seperti aku bisa bangkit dan berdiri.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Di Balik Nama dan Luka   Langkah yang Lebih Jauh

    Deru pesawat mendarat di Bandara Heathrow, London, seperti gema dari takdir yang makin nyaring. Maya menatap keluar dari jendela pesawat, melihat kota asing yang kini menjadi bagian dari perjuangan barunya. Ia menggenggam tangan Nayla yang duduk di sebelahnya. Hangat, tegas, dan tak lagi ragu.“Ini bukan cuma panggung baru, Nay,” gumam Maya. “Ini babak baru.”Nayla tersenyum. “Aku siap. Bahkan untuk berlari.”**Mereka dijemput oleh delegasi dari International Women’s Justice Council, organisasi global yang selama ini Maya hanya baca di jurnal-jurnal hukum dan kemanusiaan. Kini, mereka menjadi tuan rumah untuk acara Global Voices of Survivors, forum dunia yang mempertemukan tokoh-tokoh perubahan dari berbagai negara—dan Maya menjadi keynote speaker.Hotel mereka menghadap Sungai Thames. Namun pemandangan indah itu tidak membuat Maya santai. Ia tahu, forum ini bukan sekadar tempat berbagi kisah. Ini adalah medan diplomasi, arena kebijakan, dan ladang kemungkinan baru. Dunia benar-benar

  • Di Balik Nama dan Luka   Dunia yang Menoleh

    Pagi itu, Jakarta seperti membuka mata dengan lebih lebar dari biasanya. Gedung-gedung pencakar langit memantulkan cahaya mentari pagi, seolah ikut bersaksi atas langkah baru seorang wanita yang pernah dibungkam oleh stigma dan luka. Maya berdiri di depan kaca kamar hotel di lantai 29, menyaksikan dunia yang dulu mengabaikannya—kini mulai menoleh.Di belakangnya, Nayla sedang mengenakan sepatu. Gaun biru langit membungkus tubuhnya yang masih dalam proses pemulihan. Bekas luka di kakinya belum sepenuhnya hilang, tapi sorot matanya memancarkan sesuatu yang jauh lebih kuat dari rasa sakit: keberanian.“Kau yakin siap?” tanya Maya sambil menoleh.Nayla tersenyum tipis. “Aku tidak pernah merasa sekuat ini.”Hari itu, mereka akan menghadiri Konferensi Internasional tentang Perempuan, Keadilan Sosial, dan Hak Asasi Manusia. Maya dijadwalkan menjadi pembicara utama, sementara Nayla akan tampil sebagai pembicara tamu, berbagi kisah hidupnya sendiri—sesuatu yang beberapa bulan lalu bahkan tak s

  • Di Balik Nama dan Luka   Cahaya di Balik Nama

    Pagi itu, sinar matahari terasa berbeda. Bukan hanya karena cuacanya cerah, tapi karena sesuatu di dalam dada Maya terasa lebih ringan, lebih lapang. Meski belum sepenuhnya usai, satu babak besar telah mereka lewati—dengan luka, dengan air mata, dan dengan kebenaran yang akhirnya keluar dari persembunyian.Di Rumah Cahaya, suasana seperti perayaan kecil. Beberapa penyintas sibuk membersihkan halaman, menggantung lampion warna-warni, dan menyiapkan makanan sederhana.Hari itu adalah hari pertama Nayla keluar dari rumah sakit. Meski jalannya masih pelan dan tubuhnya belum sepenuhnya pulih, semangat di matanya tak bisa dibungkam oleh siapa pun.Maya menyambut Nayla dengan pelukan panjang.“Selamat datang kembali di tempat yang kita bangun dengan air mata dan harapan,” bisik Maya.Nayla tersenyum. “Terima kasih sudah menyelamatkan aku… berkali-kali.”**Sore harinya, sebuah pertemuan kecil digelar. Tak hanya penyintas dan relawan, beberapa tokoh masyarakat, aktivis HAM, bahkan perwakilan

  • Di Balik Nama dan Luka   Harga dari Sebuah Kebenaran

    Nama Rinaldi Kusuma akhirnya mencuat ke permukaan publik. Tayangan dokumenter Nayla mengundang reaksi beragam—dari pujian, dukungan, hingga kecaman yang menakutkan. Beberapa pihak menyebut Maya dan timnya sebagai “pembawa harapan”, sementara yang lain menuduh mereka sebagai pengganggu tatanan politik dan sosial.Namun, apa pun reaksi yang datang, satu hal pasti: kebenaran mulai bergerak, dan Rinaldi tahu waktunya semakin sempit.**Di sebuah ruang rapat gelap dan tertutup, Rinaldi duduk di ujung meja besar. Di sekelilingnya, beberapa pengusaha dan pejabat tampak tegang.“Kita harus hentikan ini sekarang,” kata salah satu pria tua dengan suara gemetar. “Gadis itu, Nayla, terlalu pintar. Dokumenternya membongkar semua celah yang kita lindungi selama ini.”“Jangan panik,” jawab Rinaldi tenang, namun dingin. “Publik punya ingatan pendek. Kita serang balik—bukan dengan senjata, tapi dengan opini.”Salah satu tangan kanannya mengangguk. “Kita bisa sebar hoaks. Buat seolah-olah Maya punya mo

  • Di Balik Nama dan Luka   Di Balik Nama yang Tak Pernah Diucap

    Nama itu akhirnya muncul dalam dokumen resmi: Rinaldi Kusuma. Pejabat tinggi dengan reputasi bersih di permukaan, namun di balik jas mahal dan pidato berapi-api, tersembunyi jejak kotor yang nyaris tak terlihat. Nama yang selama ini hanya berbisik dalam rapat rahasia, kini tercetak hitam di atas putih sebagai salah satu penggerak jaringan eksploitasi malam.Tapi menyebut nama itu di ruang publik adalah pilihan berani—dan berbahaya.**Di studio kecil Nayla yang juga dijadikan pusat dokumentasi, suasana tak lagi tenang. Sejak berita soal Rinaldi mulai menyebar lewat saluran alternatif, ancaman datang bertubi-tubi. Mulai dari pesan anonim, email gelap, bahkan beberapa rekan Nayla dibuntuti secara terang-terangan.Namun semangat Nayla tak surut. Ia tahu, jika mereka mundur sekarang, perjuangan yang dibangun Maya dan para penyintas akan sia-sia.Sore itu, Nayla memutar ulang video wawancara rahasia dengan salah satu mantan staf Rinaldi—seorang pria muda yang sempat bekerja sebagai asisten

  • Di Balik Nama dan Luka   Sisa Luka di Balik Nama

    Langit Jakarta pagi itu bersih, tapi ada sesuatu yang belum bersih dari hati Maya. Ia duduk di taman kecil samping tempat rehabilitasi, memandangi daun-daun yang berguguran pelan. Musim kemarau mulai datang, dan udara sedikit lebih kering. Tapi bayangan-bayangan masa lalu belum juga lenyap dari pikirannya.Sudah dua minggu sejak Dino dan anak buahnya ditangkap. Pengadilan mulai memproses kasusnya. Nama-nama besar di balik jaringan malam itu satu per satu mulai terbongkar. Tapi Maya tahu, masih ada yang tersembunyi. Masih ada yang belum tersentuh oleh hukum.“Masih mimpi buruk?” suara Nayla memecah lamunannya.Maya menoleh dan mengangguk pelan. “Kadang-kadang. Tapi bukan soal mereka lagi.”“Lalu soal apa?”“Nama-nama yang belum sempat kusebut. Orang-orang penting yang terlibat, tapi aku tak punya bukti cukup.”Nayla duduk di samping kakaknya. Di pangkuannya, sebuah laptop kecil yang hampir tak pernah lepas dari genggamannya belakangan ini. Ia menunjuk ke layar.“Aku sedang investigasi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status