"Tunggu." Aku menghentikan langkahku dan menoleh ke belakang, lelaki itu sudah menibakkan kertas koran yang menutupi wajahnya, wajah tampannya terpampang jelas di hadapanku. Tanpa kusadari aku menjadi gugup, detak jantungku bertalu dengan cepat hingga aku serasa susah bernapas. "Kemarilah, duduk di sini," ujar lelaki itu sambil menunjuk sebuah kursi bambu di depannya. Dengan ragu aku melangkah dan duduk di depan lelaki itu. Dia segera duduk dari pembaringan dan menyeruput kopinya yang masih panas, aku terkesima, takut dia marah karena telah menambahkan sesendok gula. "Hmm, enak. Kau yang membuatnya?" Aku segera mengangguk, dadaku yang tadinya sesak terasa plong dengan ucapannya. Dia tidak marah walau aku menambahkan gula. "Apa Tuan Hasan menyukainya?" Aku nekad bertanya "Ya, rasanya sedikit berbeda, tapi aku suka." Sudut bibirnya melengkung sedikit. "Tapi aku menambahkan sesendok gula tadi, maaf ya," ujarku. "Oh ya? Pantas ada manis-manisnya gitu ...." Entah kenapa perkataa
Aku buru-buru datang ke balkon setelah mendengar panggilannya, lelaki itu masih seperti posisi kemarin, berbaring di kursi panjang. Melihatku datang, lelaki itu segera duduk dan meraih kopi yang kubawa sebelum kuletakkan di atas meja. Dia menyesap kopi dengan perlahan, meraih biskuit malkis di dalam toples yang sudah kubuka tutupnya dan mencelupkan biskuit ke dalam kopi sebelum memakannya."Tolong bacakan buku ini, Ai. Mataku sakit membacanya," ujar lelaki itu, lagi-lagi alasan matanya sakit.Aku mengambil buku yang dia sodorkan, sebuah buku berjudul 'psikologi presuasi' sampulnya bergambar sebuah mata besar berwarna coklat."Apakah mata Tuan bermasalah? Rabun jauh atau rabun dekat misalnya?" tanyaku hati-hati."Entahlah, mataku sering lelah jika membaca terlalu lama," jawabnya."Sebaiknya tuan periksa ke dokter mata, jika ada gejala rabun bisa mengenakan kaca mata," ujarku."Aku tidak sempat ke dokter mata, jika ingin membaca kan ada kau yang bisa membacakan, suara artikulasi dan int
"Ini, pakailah seragamku waktu SMA dulu, masih bagus kok, cuma mungkin agak kebesaran saja kalau kau yang pakai," ujar lelaki itu menyerahkan pakaian yang terlipat rapi kepadaku.Aku terpaku menatap pakaian itu, lelaki itu tersenyum lembut kembali menyodorkan kepadaku. Dengan tangan sedikit gemetar aku menerima pakaian itu. Wajarkah aku begitu senang dengan perhatian besar seperti ini? Pantaskah aku menjadi begitu tersanjung dengan apa yang dia lakukan saat ini? Bagi orang lain mungkin ini hanya perhatian kecil, tapi bagiku, sebagai tuan muda terhormat perbuatannya ini adalah perhatian yang sangat besar kepada babu jelek sepertiku.Saking menggeleparnya perasaan ini, aku sampai lupa mengucapkan terima kasih. Aku segera mengganti pakaianku di kamar, memang pakaian ini agak kebesaran untukku, tapi tak masalah karena bagian bawah kumasukkan ke rok sehingga tidak tampak kegodoran. Kulihat penampilanku di cermin, memakai pakaian bekas lelaki itu membuatku merinding, entah perasaan apa yang
Sesuai rencana sebelum pulang kami mampir dulu ke RRI, jarak dari perpustakaan wilayah dengan gedung RRI hanya sekitar tiga ratus meter, sehingga kami menempuhnya dengan berjalan kaki. Sandi walau anak yang pendiam dia lumayan asyik di ajak mengobrol, tema yang kami angkat hanya seputar buku-buku yang tengah kami pinjam. Aku meminjam dua buah novel karya NH Dini, sedang dia meminjam buku tentang geografi dan perjalanan. Sesampainya di gedung RRI kami langsung menuju tempat pembelian atensi, aku membeli tiga lembar dengan harga seribu perlembar, sebelum mengisinya aku bingung atensi itu mau kutujukan pada siapa karena aku tidak memiliki banyak teman. Yang jelas satu untuk Sandi, dia tadi sudah berpesan, yang dua untuk siapa ya? Karena waktu sudah keburu siang, aku menuliskan nama yang terlintas di pikiranku dan menulis jam siarannya. Sandi sendiri hanya menemaniku, dia tidak tertarik mengisi atensi sepertiku. Setelah pulang hari sudah jam setengah dua siang, di halaman rumah kulihat S
Mamak kulihat tengah asyik di dapur menyiapkan makan malam, rupanya di dapur juga ada Bu Halimah. Aku segera menuju westafel tempat cuci piring, di sana piring, gelas dan mangkuk terlihat menggunung harus segera kueksekusi. Bu Halimah dan mamak nampak tengah berdiskusi untuk menyiapkan hidangan malam ini. "Masak gulai tempoyak ya Nur, Hasan paling suka dengan tempoyak pedasikan patin," ujar Bu Halimah sambil mengulek bumbu di cobek. Aku menghentikan sejenak aktivitas mencuci piring, setiap nama Hasan disebut, entah kenapa perutku tiba-tiba melilit, jantungku berdebar tak karuan, penyakit apa ini? Mamak masih serius memasak gulai tempoyak, setelah memberi instruksi hidangan apa saja yang harus dibuat, Bu Halimah meninggalkan kami di dapur. Tepat setelah aku selesai mencuci piring dan bersiap untuk menyiram tanaman, sosok lelaki yang membuatku kelimpungan itu turun dari mobil Ford Ranger-nya. Aku mencoba menghindari lelaki itu, sepertinya aku bisa demam jika berdekatan dengan lelak
"Hai, Betty La Fea!" sapa pemuda itu sambil tersenyum, dia melangkahkan kakinya perlahan ke arahku."Fendi?" Aku benar- benar antusias dengan sosok mengejutkan di depanku.Hampir tiga bulan tidak melihatnya, tidak banyak perubahan yang kulihat, namun sepertinya posturnya lebih tinggi beberapa centi."Sepertinya kau sehat dan baik-baik saja, gadis dekil! Kau pergi begitu saja tanpa memberitahuku, kau anggap apa aku ini? Kau benar-benar melupakan pacar tampanmu ini, ya?" ujarnya dengan nada penuh penekanan.Aku selalu membayangkan jika bertemu Fendi, apa yang akan anak itu katakan pertama kali padaku, aku tidak menyangka dia mengatakan kalimat arogan seperti itu, seolah-olah aku pacar sungguhan."Kau juga terlihat baik-baik saja, Pacar pura-puraku. Aku senang melihatmu baik-baik saja," jawabku sambil tersenyum sumringah."Ais, menyesal aku sudah mengkwatirkanmu!" ujarnya sambil mencebik.Aku tertawa mendengar perkataannya. Aku senang bisa bertemu lagi dengannya, biar bagaimanapun dia or
"Fendi! Fendi SMA 2? Wah punya nyali juga kau main-main ke sini." Tiba-tiba panggilan frontal membuyarkan kekakuan di antara kami, berganti dengan situasi terkejut dan waspada.Dua anak muda dengan pakaian putih abu-abu berada di atas motor gede, salah satunya memakai helm, setelah kaca terbuka tampaklah siapa yang ada di dalamnya "Ha, ternyata bapak pejabat Dimas Anggara?" dengus Fendi sinis.Apakah mereka masih musuhan? Bukankah dulu sudah didamaikan di lapangan sekolah kami? Ternyata mereka secara diam-diam masih ada percikan permusuhan."Masih belum kapok rupanya kau mengganggu cewek di SMA kami?" hardik Dimas."Cewek mana? Ini?" kata Fendi sambil menunjukku."Dia tetap cewek, kan?"Fendi tertawa terbahak, melihat Fendi tertawa seperti itu membuatku sedikit tersinggung, biar bagaimana jeleknya aku, aku masih tetap seorang perempuan kan?"Dimas ... Dimas ... Asal kau tahu ya, cewek ini pacarku. Apa hakmu ngelarang aku menemui pacarku. Kau tahu gak, kalau dia baru pindah dari SMA k
Aku ke sekolah sedikit terlambat, ketika bel sekolah berbunyi aku baru sampai halaman sekolah. Aku setengah berlari menuju ke ruang kelas yang cukup jauh dari halaman, karena tergesa-gesa aku menabrak seseorang sehingga aku terjatuh dan terjerembab, hal itu cukup membuatku meringis kesakitan. "Woi, jalan pakai mata! Dasar cewek jelek!" Lawan tabrakan seorang anak lelaki kelas sebelah yang memiliki temperamen sombong dan sok kecakepan, setiap bertemu denganku dia akan selalu mengejekku dan membuatku sebagai bahan leluconnya, tapi aku tidak pernah menanggapinya. "Maaf, maaf ya aku gak sengaja," ujarku sambil berusaha bangkit, namun aku kesulitan karena tulang ekorku masih terasa sakit. "Gak sengaja kau bilang?" Aku tidak menyangka anak itu bangkit dan menjambak rambutku dengan kuat sehingga aku berteriak. "Vino! Lepaskan! Dia bilang tidak sengaja! Dia juga kesakitan jatuh tadi," seseorang memegang tangan Vino dan membuat anak itu melepas tangannya dari rambutku. "Kenapa kau bela-