Aku hampir memekik melihat adegan di depanku, dengan spontan aku kembali berlari ke kamar mandi. Jantungku berdebar menyaksikan adegan itu secara live, bagaimana pak tua itu tengah menindih tubuh mbak Mawar yang polos tanpa sehelai benangpun. Kuhidupkan kembali kran air dengan maksimal, kuambil seragam Pramuka yang sudah kotor dan bermaksud mencucinya. Namun di kamar mandi tidak kudapati sabun cuci baju, aku tidak kehilangan akal, kupakai saja sabun mandi untuk mencucinya. Aku mencuci dengan gerakan lambat, agar ketika selesai tidak lagi menyaksikan adegan porno seperti itu, tanganku bahkan gemetar ketika mengucek baju.Sungguh menjijikan sekali dunia pelacuran ini, mbak Mawar yang kunilai baik ternyata sebinal itu, ah kenapa aku lupa, dia kan memang seorang pelacur, itu adalah profesinya, tidak ada hubungannya dengan sifat baik seseorang.Setelah hampir satu jam di kamar mandi, aku memutuskan untuk membuka pintu dan mengintip, apakah mereka sudah selesai apa belum? Tenyata sudah se
"Ha? Sofian ... Sofian ... Cari perawan juga mbok ya yang kinclong dikit, gituloh. Kalau yang modelnya kayak gini, Yo mendingan aku toh, walau gak perawan tapi cantikan aku daripada dia," kata wanita yang dipanggil Dar itu dengan tatapan angkuh. Aku hanya diam saja menanggapi perkataan mereka, tatapan Dar itu terlihat sangat menghina padaku, wajahnya yang sudah begitu menor bertambah seram dengan tatapan matanya yang seperti kuntilanak. "Ya, bedalah perawan sama yang sudah sering dipakek, perawan itu masih seret, lubangnya masih sempit, masih menggigit," jawab wanita yang dipanggil Sum. "Perawan juga kalau gak punya pengalaman kayak ikan mati untuk apa? Lihatnya saja nggak bikin gairah, yang penting pelayanan yang agresif kalau mau cari pelanggan." "Saya sudah selesai, duluan ya, mbak-mbak," kataku sambil berlalu setelah selesai menjemur. "Woi, anak baru, siapa namamu?" tanya Dar dengan angkuh. "Saya Aina, mbak," jawabku dengan malas. "Mentang-mentang masih perawan gak usah bela
"Jadi menejer Herman yang mau beli keperawanan Aina, Bang?" tanya mbak Sum dengan semangat. "Kabarnya iya," jawab Sofian dengan acuh tak acuh. "Siapa menejer Herman itu?" Aku memberanikan diri bertanya. "Dia seorang menejer di perkebunan sawit, Ai. Dia dari Jakarta, istri dan anaknya juga tinggal di Jakarta, dia kadang pulang ke Jakarta tiga bulan sekali. Orangnya sering minum-minum ke sini, tapi dia gak mau berhubungan sex dengan sembarangan orang, takut kena penyakit, katanya. Makanya dia cari yang masih perawan. Tapi tahu sendiri kan, ketemu istri cuma tiga bulan sekali kadang sampai enam bulan sekali, lelaki mana yang tahan menahan hasrat, soal tarif dia gak masalah." Mbak Sum menceritakan panjang lebar tentang calon klienku itu. Dari cerita mbak Sum aku menyimpulkan, lelaki tidak bisa menahan hasrat, menejer Herman yang menjalin hubungan jarak jauh dengan istrinya tak mampu mempertahankan kesucian alat vitalnya, dia menganggap berhubungan dengan perawan akan merasa aman, bukan
POV Nur Dua Minggu yang lalu ....Hari ini akhir pekan, penghujung hari seperti ini kesibukanku justru bertambah, maklumlah, jika akhir pekan para majikan kami akan memiliki banyak waktu di rumah dan perlu dilayani. Kulihat jam sudah menunjukkan jam empat sore, tetapi kenapa Aina belum juga pulang dari sekolah? Anak itu semakin hari semakin susah dibilangin, aku sangat kuatir, diluaran sana masih berbahaya. Biasanya Aina walau akan bermain keluar paling lambat jam tiga sore sudah pulang.Aku terus berkutat di dapur, cucian piring sudah menumpuk, biasanya Aina yang akan mengerjakan semua ini. Aku baru saja menyelesaikan memasak membuat camilan untuk tuan besar dan istrinya, mereka jika akhir pekan seperti ini akan bercengkrama di meja makan sambil memakan camilan."Kau pulang?" tanya tuan Burhan, sepertinya tuan muda Hasan pulang setelah sepekan tidak terlihat."Ya," jawabnya singkat."Apa sudah selesai Diklat prajabatannya?" tanya Bu Halimah."Belum, masih satu Minggu lagi. Akhir pek
POV Nur"Kalau yang gajinya besar pelayan apa, Mbak?" tanyaku semakin penasaran, sudah terbayang dipelupuk mataku memutus tali kemiskinan yang mendera keluargaku."Apa ya? Mbak gak bisa jelasinnya Nur, soalnya pekerjaannya banyak. Kalau kamu berminat, aku mau kembali ke Jakarta lusa, siap-siap ya ikut sama aku," kata Gendis dengan suara lembut. Ah, Mbak Gendis sudah cantik, baik hati. Itu yang kupikirkan dulu ... yah, dulu ... kini semua pikiran itu berbanding seratus delapan puluh derajat! Aku yang senang mendapat tawaran kerja dari Gendis, segera menemui simbok dan bersiap-siap pergi. Selama dua hari menjelang pergi, aku selalu membicarakan kesuksesan Gendis menjadi seorang pelayan di Jakarta, hingga dia sukses seperti sekarang. Simbok sangat mengkwatirkan aku jika pergi sendiri di kota besar, tetapi Bapak malah senang, tidak ada raut kecemasan di matanya yang ada binar kegembiraan karena putri mereka yang masih berusia lima belas tahun akan menghasilkan pundi-pundi rupiah.Akhirn
POV Aina Hari sudah menjelang malam, aku masih sibuk membantu Bik Parti di dapur ketika mbak Sum datang mencariku dengan sikap tergesa-gesa."Aina, cepat hentikan pekerjaan ini. Kau harus segera membersihkan diri dan berdandan yang cantik.""Memangnya kenapa, mbak?""Bang Sofian memberi perintah!" ujarnya dengan tidak sabar dan menarik tanganku agar segera mengikutinya.Mbak Sum tidak membawa ke bilikku melainkan malah membawa ke bangunan utama. Suasana bangunan utama masih sepi, hanya ada beberapa preman dan pelayan laki-laki yang tengah bersiap menyambut tamu. Di sana juga ada bang Sofian, melihat kami datang, dia segera menyongsong."Cepat segera bersiap. Sum, sudah kau siapkan pakaainnya?" "Sudah, Bang. Ayo, Ai." Mbak Sum menyeret tanganku untuk mengikutinya."Mbak, mbak! Tunggu, mbak! Ini ada apa sih, mbak?" Aku berteriak agar mbak Sum menjelaskan segalanya.Mbak Sum menghentikan langkahnya, dia menatapku dengan bingung, mungkin tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan padaku.
"Sofian! Ini gadis yang kau bilang masih perawan?" seru lelaki itu dengan nada tinggi.Aku yang baru akan duduk di sofa terkejut mendengar perkataannya, sehingga kami mengurungkan niat untuk duduk. "Iya, ini. Namanya Aina ....""Kau mau menipuku atau apa Sofian?" Sepertinya menejer Herman tidak suka dengan barang pesanan yang tidak sesuai keinginannya. Perasaanku tiba-tiba sedikit lebih baik, sudut mulutku berkedekut tak kuasa menolak keinginan untuk tersenyum, aku segera menggigit bibir bawahku untuk menahannya."Barang seperti ini kau minta harga delapan belas juta? Dihargai dua juta saja sudah tidak pantas!" keluh menejer Herman lagi.Kulihat bang Sofian menelan ludah, dia tidak bisa berkata-kata, bukankah sudah kukatakan bahwa aku ini tidak berharga di bisnis seperti ini? Aku lebih berharga jadi tukang cuci piring."Bukankah menejer Herman menginginkan gadis perawan?" tanya bang Sofian kemudian setelah beberapa Jeda terdiam."Iya, tapi yang cantik, dong. Kulitnya harus putih mulu
Mendengar nanti malam akan datang yang akan membeliku, aku seharian duduk lemas di dalam kamar. Bohong jika aku tidak gugup, takut dan waspada. Sudah tiga Minggu tepat aku berada di sini, entah apa yang terjadi sepeninggal aku di sana. Sekolahku bagaimana? Mamak bagaimana? Dito? Apakah cidera Efendi dan Dimas parah? Aku sempat cemas ketika melihatnya berguling-guling ditrotoar menahan rasa sakit. Yang terlebih bagaimana kabar tuan Hasan? Lelaki itu sering datang ke dalam mimpiku, entah perasaan apa yang kupunya untuk lelaki itu, namun melihat kenyataan aku akan dijual, hatiku takut terhadap penilaian tuan Hasan terhadapku. Kenapa aku musti peduli terhadap penilaiannya? Harusnya aku peduli pada diri sendiri sekarang. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore ketika aku keluar ke dapur umum untuk mencari makan, aku tidak melihat keberadaan bang Sofian dan beberapa centeng yang biasanya akan berkumpul di beranda bangunan utama. Bik Parti juga tidak ada di dapur, biasanya jika akhir pekan