Sepanjang jalan aku selalu memikirkan bagaimana jika sampai rumah besar? Apa yang akan terjadi jika bertemu dengan Mamak dan semua penghuni rumah besar? Apakah akan heboh? Mengharu biru atau bagaimana? Setelah sampai rumah, sebagian sesuai dengan prediksiku, Mamak memelukku dan menangis hingga meraung. Setiap bagian tubuhku dia teliti dengan seksama membuat dadaku semakin sesak, aku yakin dia pasti sangat kuatir, aku juga mendengar ketika aku hilang, Mamak sangat shock hingga harus di rawat di rumah sakit sampai empat hari. Mamak bahkan bersimpuh di hadapan tuan Hasan, mengucapkan terima kasih tak terhingga, membuat laki-laki itu terasa jengah, dia segera meraih tubuh Mamak agar berdiri. Bu Halimah, Ayuni dan pak Seno mengucapkan rasa syukur dengan tulus, mereka bahkan satu persatu memelukku. Tuan Burhan dan Haris hanya menontonku, sedangkan Wulan terlihat acuh tak acuh. Kudengar Sasya sudah pergi ke Jakarta selepas EBTANAS, dia akan melanjutkan kuliah di sana. Malam hari kami kumpu
Sudah lima bulan aku berada di Kuala Tungkal, tempat ini sungguh bersahabat, aku memiliki banyak teman di sini, mereka welcome menerimaku dengan tangan terbuka. Mungkin karena daerah pinggir laut, sehingga kulit mereka eksotis satu server denganku, sehingga kami merasa tidak ada perbedaan. Selepas pulang sekolah, teman-temanku akan mengajakku ke pinggir hutan bakau, atau ke pantai yang pasirnya hitam untuk mencari kerang laut, kepiting atau gurita. Aku suka berada di sana, walau selalu berjemur matahari hingga warna rambutku yang hitam berubah kemerahan, serasa menyatu dengan alam. Walau rasanya ada yang sudut yang kosong di hati ini, entah itu apa, tapi ketika memandang garis pantai, aku seolah melihat seluet bayangan lelaki itu berdiri di tepi laut. Pak Seno juga sering membawaku memancing dengan kapal nelayan ke tengah laut, mendapatkan ikan kakap yang cukup besar membuatku ketagihan ingin melaut. Pak Seno orang yang mandiri, di rumah dia juga sering membantu mengerjakan pekerjaan
Sesudah makan malam, Ayuni mengajakku ke kamarnya untuk mempersiapkan pakaian yang akan dibawa liburan ke rumah abangnya, aku membantunya menyusun pakaian di koper, dia dengan riang bercerita tentang prestasinya di kelas yang menduduki rangking 3. Dia menyayangkan aku sekolah jauh darinya sehingga tidak bisa lagi mengajari matematika.Ayuni memintaku tidur bersamanya malam ini, hingga Bu Halimah datang mengetuk pintu kamar."Ayuni, kau sudah tidur?""Belum, Bu. Ada apa?" katanya sambil membuka pintu kamar."Oh, ada Aina juga di sini?" kata Bu Halimah setelah melihatku ada di kamar Ayuni."Ayo, turun. Itu abangmu pulang," lanjut Bu Halimah."Abang? Abang siapa? Abang Haris?" Seru Ayuni dengan mata berbinar."Bang Hasan," jawab Bu Halimah."Ha?"Ayuni begitu terkejut, begitu juga denganku. Dia segera berlari ke lantai satu, aku dan Bu Halimah mengikutinya."Bang Hasan! Kenapa Abang pulang?" pekik anak itu sambil memeluk abangnya."Kenapa? Kau tidak suka Abang pulang?""Aku berencana aka
"Bagaimana sekolahmu?" tanyanya mengawali obrolan kami."Baik," jawabku singkat."Apakah kau dapat ranking di sekolah?""Yah, Alhamdulillah dapat juara umum di sekolah," jawabku masih dalam mode malas, aku sebenarnya ingin sekali mengakhiri perbincangan ini agar perasaanku tidak terjebak terlalu jauh. Namun sisi hatiku yang lain menahanku agar selalu menempel dengan pria ini, merasa ini adalah kesempatan langka yang mungkin tidak akan aku dapati lagi di masa depan."Sudah kuduga, kau gadis yang pintar dan juga gadis yang mandiri, aku lega melihatmu hidup dengan baik," ujarnya dengan nada yang masih lembut, bibirnya tersenyum ceria, binar di matanya, membuatku tak kuasa menatap.Bibirku bergetar mendengar ucapannya yang seperti sebuah nada indah, ucapannya di teligaku terasa seperti sebuah pujian, sanjungan dan perhatian khusus. Hati, biarkan aku menikmati sebentar momen ini, tak mengapa jika di hati lelaki ini sama sekali tak tertulis namaku, seperti tekadku dulu waktu diselamatkannya
Sejak malam itu aku memang tidak pernah lagi berkomunikasi dengan tuan Hasan, karena ternyata siangnya dia harus melapor ke kantor gubernur dan pulang sangat larut, aku juga kembali tidur di paviliun.Pagi-pagi sekali mereka pergi ke Jakarta diantar oleh pak Seno sampai bandara, aku hanya menyaksikan kepergian mereka dari balkon lantai atas, karena aku tengah membersihkan ruangan itu. Sebelum masuk mobil, kulihat tuan Hasan celingukan seperti mencari sesuatu, hingga ketika matanya mendongak ke atas, aku tak bisa mengelak dari tatapannya. Lama tatapan kami bertaut dari jauh, jika aku tidak menyadari statusku dan dia, mungkin aku akan menduga jika dia keberatan meninggalkan aku."Abang! Cepat nanti kita ketinggalan pesawat!"Hingga panggilan keras Ayuni menyadarkannya dan menaiki mobil, namun kaca jendelanya tetap dibuka, tatapannya masih mengarah padaku. Tanpa sadar aku melambaikan tangan padanya, hingga dia membalas melambaikan tangan dan tersenyum penuh misteri.Sebelum libur berakh
POV Dimas Tiga tahun yang lalu ....Semalam aku tidak bisa tidur memikirkan kejadian tadi siang, benarkah apa yang kulihat? Aku benar-benar melihat dengan nyata, itu bukan mimpi ... wajah Aina yang di siram Laras menjadi putih bersih, walau sekilas aku melihatnya, karena dia segera menutupi wajahnya, aku bisa melihat betapa cantik sekali parasnya.Aku tidak berani menanyakan, takut dia tersinggung, takut kalau aku hanya salah lihat. Akan tetapi wajahnya yang sekilas itu malah melekat di kepalaku. Jam 2 tengah malam aku terbangun dan hati-hati menuju kamar Desi, di mana Aina juga tidur di sana. Akan kubuktikan kalau yang kulihat itu benar adanya. Kubawa sebuah singlet putih yang telah kubasahi ke sana, ternyata Aina tengah tertidur, aku hanya butuh melihat kulitnya walau secuil. Kuusap kain basah itu perlahan ke tangannya, hanya secuil, namun alangkah terkejutnya aku, warna hitam itu berubah menjadi putih, warna hitam itu lekat pada kain itu dengan jelas.Aku bergegas keluar kamarnya
POV Aina Ha! Ini lucu, siapa yang barusan bilang dia sangat merindukanku? Sepertinya Dimas tidak bisa melupakan pacar cantiknya ini. Lihatlah gadis itu? Sekarang ada di sana, duduk berdekatan dengan Bu Arumi, keduanya tampak akrab.Gadis itu menatap kami dengan tercengang, mungkin dia merasa tidak yakin siapa yang berdiri di samping kekasihnya kini, atau dia tidak percaya bahwa aku mengenal keluarga Dimas, bukankah selama ini dia terlalu meremehkanku? Aku sebenarnya tidak membencinya, juga tidak ingin berurusan dengannya, namun melihat tingkahnya yang pura-pura polos seperti putri salju, sementara teman-temannya bertingkah seperti kawanan serigala membuatku sedikit muak."Wah, ada Aina di sini? Tante, beneran ya Aina itu sepupu Dimas?" Suara yang mencicit sok lugu itu membuatku sedikit muak."Oh, bukan. Aina itu anak sahabat Ayah Haikal, dia putrinya om Seno," jawab Bu Arumi membuatku sedikit lega, Bu Arumi tidak mengungkapkan jika aku hanya putri angkatnya."Duh, senangnya di datang
Aku memperhatikan pemuda yang tengah tersenyum dengan kalem, wajahnya mirip Bu Halimah, karena Bu Halimah perempuan yang cantik, pemuda itu juga tampan. Pasti ini yang dibilang pak Seno anak angkatnya. "Halo, Tuan. Saya Aina, pembantu di sini," ujarku sambil mengulurkan tangan. Pemuda itu tidak membalas salamku, dia justru menangkupkan kedua tangannya di depan dada. "Assalamualaikum, Aina. Aku Syarif Fasha. Panggil saja aku bang Syarif." Aku segera menarik tanganku yang menggantung, rasanya malu tanganku tidak disambut. Pemuda ini sungguh alim, aku tidak menyangka anak yang tamat dari perguruan tinggi negeri bisa sangat alim seperti baru saja keluar dari pondok pesantren. "Oh, walaikumsalam, Bang." "Oh ya, Ai. Kudengar dari mamakmu, kau tengah mencari pekerjaan untuk biaya kuliah?" tanya Bu Halimah. "Iya, Bu." "Sudah dapat?" "Belum sih, Bu. Cuma ada panggilan jadi SPG di Ramayana plaza, Bu." "Em, bagaimana kalau kau kerja sama Syarif saja? Dia tengah mencari orang untuk menja