“Siapa Sayang, kok enggak disuruh masuk?” “Mau apa Anda ke sini?” tanya Mas Bagas. “Mana anakmu?” tanya Ayah mertua. Belum juga kupersilahkan duduk dia sudah lebih dulu menghempaskan bobot tubuhnya di kursi tamu. Pandanganku seketika beralih pada Ibu yang tengah berada di dapur. Dia lebih memilih memasuki kamarnya. Enggan untuk sekedar menyapa suaminya. Padahal, mereka belum resmi cerai masih di urus di pengadilan. “Ayah dengar anakmu punya kelainan bukan?” “Anda kesini hanya untuk menghina anak saya, pergi! pergi dari sini!” Belum apa-apa Mas Bagas sudah naik pitam. “Wah, sudah berani mengusir kamu. Punya apa sekarang sampai berani mengusir Ayahmu sendiri?” Masih dengan wajah sombongnya yang tak pernah luntur. “Saya tidak pernah punya Ayah seperti Anda yang membuang dan menyembunyikan kematian anaknya sendiri.” Mas Bagas mengatakannya dengan tegas. “Sebaiknya Anda pergi dari sini, jangan mengganggu keluarga kami lagi!” sambar Ibu mertua yang tiba-tiba sudah berada di ruang tam
Mendekati waktu subuh, kantuk mulai datang kupaksakan untuk tetap terjaga mengingat sebentar lagi azan berkumandang. Sedang lelakiku masih terlelap di ranjang. Kusiapkan sarapan seperti biasa, meski hatiku sakit karena perbuatannya, tetap kutunaikan kewajibanku melayaninya.“Dek, Mas mau keluar kota kayaknya seminggu.”“Iya.” Bolehkah sekali saja bersikap acuh padanya? Entah apa yang dia sembunyikan di belakangiku.“Sayang, kenapa sih dari tadi cuekin Mas terus?” Disentuhnya tanganku dengan lembut.“Makan dulu Mas, biar kusiapkan pakaian yang harus dibawa.”“Ga usah di sana juga udah ada pakaian kok.” Sambil memasukkan roti ke mulutnya dia mengatakannya tanpa beban. Kutatap matanya dengan penuh selidik, akhir-akhir ini sejak lahirnya Arya. Dia kerap pergi keluar kota kadang 2 atau 3 hari, tapi kali ini satu minggu rasanya terlampau lama.“Di mana?” tanyaku.Mas Bagas sampai terbatuk dibuatnya. Gelagatnya sungguh mengundang curiga.“Ya di sana, ‘kan banyak yang jual baju, tapi kalau Ad
“Mana Mas Bagas? Suruh dia keluar!” pintaku pada perempuan itu.“Mas Bagas siapa, Mbak? A-aku enggak kenal,” jawabnya sedikit gelagapan. Kulangkahkan kaki agar semakin dekat dengan wanita itu, lantas membelai rambutnya, dapat kulihat tangannya gemetar. Padahal, aku hanya ingin membisikkan sesuatu padanya.“Cepat suruh keluar Mas Bagas dari kamarmu atau kamu mau warga yang menyeret paksa? Kamu tahu hukuman masa itu jauh lebih kejam dari pada hukuman aparat penegak hukum atau memang kamu mau wajah mulusmu ini hancur ditangan warga?” bisikku ditelinganya.Dia langsung mendongakkan wajahnya ke arahku, sedang senyum ini terus mengembang seiring dengan tatapan ketakutan perempuan itu padaku. Seluruh anggota tubuhnya ikut gemetar, dia benar-benar takut dengan ucapanku, padahal itu hanya gertakan saja. Tanpa pikir panjang perempuan itu masuk ke dalam kamarnya.Teriakan warga bergemuruh seiring dengan keluarnya Mas Bagas dari kamar kos. Kuperhatikan penampilan suamiku dari atas sampai bawah, s
Perlahan kucoba membuka mataku, mengerjap-ngerjap beberapa kali, menyesuaikan cahaya yang menyeruak masuk. Jam menunjukkan pukul 5 sore. Aku masih mencoba meraba di mana tempatku berbaring sekarang, sembari mengedar pandang ke setiap sudut ruangan, bisa kutebak ini di rumah sakit, tetapi di mana Mas Bagas. Sosok yang kunantikan kehadirannya tak dapat kutemukan, sudah hilangkah rasa pedulinya padaku.Ya Tuhan, apa yang kupikirkan? Baru saja kukatakan padanya untuk mengakhiri ikatan pernikahan yang membelenggunya selama ini, sekarang malah dialah orang pertama yang ingin kutemui.Kecewa.Itulah yang kurasa ketika menggantungkan harapan pada hamba Allah, dengan segala keterbatasannya lagi dengan hawa nafsu yang melekat pada dirinya.Terdengar suara pintu terbuka, netraku langsung tertuju ke sana. Sosok tinggi, putih, lengkap dengan setelan jas berwarna hitam keluar dari balik pintu. Kelegaan tampak dari ekspresi wajahnya. Seutas senyum tak lupa dia lemparkan padaku. Dia Andre, laki-laki
“Abi ada kerjaan sayang, nanti Abi balik lagi.” Mas Bagas berjongkok menyesuaikan posisinya, sejajar dengan Arumi anak keduaku.“Kenapa tasnya gede banget abi?” Tanya Arumi.“Iya, karena Abi perginya agak lama.” Dipeluknya Mas Bagas dengan erat oleh Arumi.“Abi janji ‘kan bakal pulang lagi?” Arumi semakin menenggelamkan pelukannya pada Mas Bagas, sedetik kemudian Mas Bagas mengelap wajahnya berkali-kali. Mungkinkah perasaan seorang anak begitu peka, hingga dia mengerti keadaan kami yang tak baik-baik saja, tanpa pernah ada penjelasan sama sekali.Lihatlah Mas buah dari perbuatanmu, apakah rasanya? manis atau pahit? Seharusnya tak kau membiarkan dirimu dikuasai nafsu setan yang membara.Bukankah istri tidak punya masa kadaluwarsa, kamu bisa pulang dan melakukannya bersamaku kapan pun kamu mau, tapi kamu malah memilih jalan yang sulit lagi salah. Apakah yang haram lebih menantang? Percayalah suatu hari ketika telah haram bagi kita untuk bersentuhan, maka pada saat itulah kamu akan lebih
“Saya memang belum menikah Bu, tapi saya beneran hamil anaknya Mas Bagas.” Akhirnya perempuan itu mau mengakui yang sebenarnya.“Kamu tahu Bagas sudah menikah?” tanya Ibu mertuaku“Sa saya tahu, Bu.”“Ya sudah tanggung sendiri akibatnya.”“Tapi, bagaimanapun ini cucu Ibu.”“Dari mana saya bisa yakin kalau itu cucu saya kalau dari awal saja kamu sudah bohong mengaku sudah menikah dengan anak saya,” jawab Ibuku.“Cukup Bu, saya ini masih punya harga diri kalau ibu tak mengakuinya saya tidak akan memaksa.”“Kalau kamu ingin dihargai orang lain, hargai dulu dirimu sendiri. Jangan merendahkan martabatmu! Sebagai wanita mau-maunya di sentuh pria yang tidak ada ikatan resmi denganmu." ucap Ibu mertuaku, akhir-akhir ini kuperhatikan dia jadi lebih berani mengutarakan perasaannya. Perempuan itu tampak kesal dengan semua ucapan yang ibu lontarkan, mukanya merah padam menahan emosinya yang memuncak.Sebagai sesama perempuan bisa kurasakan seperti apa perasaannya saat ini, dulu ayah mertuaku sela
Kini memang sudah waktunya jam pulang. Aku masih berlari menjauh dari Andre. Lelah juga ternyata. Sudah lama aku tak pernah berlari sejauh ini. Kuhempaskan bobot tubuhku di kursi panjang yang berada di taman belakang trotoar.Kamu tahu Ndre, single parent dengan 4 anak itu tak mudah. Kebutuhanku banyak, dengan gaji yang tak ada apa-apanya bagimu inilah menjadi satu-satunya sumber untuk menyambung kehidupanku. Sudah lama sekali tak pernah kuinjakkan kaki di dunia luar. Hidup mewah yang di berikan Mas Bagas membuatku melupakan kalau suatu hari dia bisa berpaling dariku meninggalkanku sendiri di sini. Aku bisa saja bersamanya tapi untuk apa? Kalau hanya takut miskin, bukankah harta itu bisa dicari? Namun, kewarasan jiwa, harus kucari ke mana obatnya?“Minum, Neng?” Seorang lelaki tua menyodorkan sebotol minuman dingin padaku“Boleh Pak, berapa?”“5.000 aja,” katanya, lantas kuserahkan uang sesuai dengan yang dia sebutkan. Minuman ini cukup melegakan dahagaku membasahi tenggorokanku yang
Jantungku rasanya mau jatuh, mungkinkah video viral itu, yang mereka tonton barusan. Suara pintu rumah terbuka, tak lama Meisya keluar dari balik pintu. Wajahnya merah padam, sedang air matanya terus mengalir membasahi wajahnya, lengkap dengan ponsel dalam genggamannya. Mata kami bertemu. Meisya menatapku dengan penuh kecewa.Maafkan Uma Sayang, bukan maksud Uma menyembunyikan semuanya dari kamu. Maaf, karena kamu harus mengetahuinya dari orang lain.“Meisya, sini sayang,” panggilku, tak banyak bicara lagi Meisya langsung berlari memelukku.“Maafin Uma ya, bukan maksudnya nyembunyiin ini semua.” Kuusap pucuk kepala sulungku yang terbalut jilbab. Dia hanya menggeleng pelan sambil terus terisak dalam pelukanku.“Sayang dengerin, walaupun Uma dan Abi udah enggak sama-sama lagi, Meisya masih bisa kok ketemu Abi.” “Meisya maunya Uma sama Abi tetap sama-sama. Enggak mau kayak gini.” “Sayang ....”“Malu Uma, tadi teman-teman Meisya nunjukkin video Abi yang di lempar batu sama sendal, kalau