Share

Bab 8 Bukti di dalam resto

Aku membuntuti suamiku yang masuk ke dalam restoran.

Langkahnya cepat sekali. Mencurigakan.

Kususuri kemana ia berjalan. Ke sebuah ruangan VVIP ternyata.

Aku melihat suamiku menghampiri tempat duduk wanita-wanita yang kupikir mereka adalah wanita-wanita kaya.

Tapi ...

"Dia mau pergi kemana?" cecarku dalam pikiran ini.

Mata ini jelas melihat Mas Dani menghampiri meja para wanita-wanita dewasa berpenampilan glamor dengan perhiasan.

Apa yang akan di lakukannya?

Aku menguntitnya dari kejauhan. Dan kini semakin mendekat.

"Permisi, Bu. Boleh saya pinjam asbaknya!"

Hah?

Itulah yang dikatakan suamiku.

Dia menghampiri ibu-ibu itu hanya untuk meminjam asbak.

Lalu dia membalikan lagi badannya ke meja kursi yang lain.

Kususuri langkahnya.

Dia melangkahkan kaki ke kursi-kursi yang di duduki banyak pria.

Mataku tak berhenti menguntit. Memastikan kemana suamiku pergi sebenarnya.

Dan ...

Suamiku duduk di kursi itu. Duduk diantara pria-pria lain.

Aku masih penasaran. Lalu berpura-pura duduk di kursi sebelah. Namun jaraknya agak sedikit jauh. Tapi suara mereka terdengar jelas oleh telinga ini.

Kuperhatikan gaya mereka bicara. Apa kepentingan mereka sebenarnya!

Mata dan telinga ini fokus pada pembicaraan mereka. Sambil aku pura-pura membaca menu yang tersaji di restoran.

Ada seorang pelayan mendekat ke arahku. Untung saja aku membawa sejumlah uang. Jadi aku bisa pura-pura pesan makanan.

Makanan di restoran itu harganya amat mahal. Bisa sampai menghabiskan uang belanjaku selama satu minggu. Dan itu hanya untuk sebuah makanan penutup. Belum lagi untuk menu utamanya, bisa-bisa uangku habis cuma untuk makan satu hari tiga kali.

"Pesan apa, Mbak?" tanya seorang pelayan berpakaian hitam putih berdasi kupu-kupu. Lengkap dan rapi sekali.

Dari atas sampai bawah ia memakai pakaian seragam yang amat rapi dan bersih. Tak heran pula, karena restoran ini pun amat mewah dan wah sekali. Kalau dandanan pelayannya jelek, pasti berpengaruh juga pada mood pengunjung.

Aku tak berbicara. Hanya menunjuk ke salah satu menu pembuka yang harganya di jajaran paling murah kedua. Ya, bukan karena sayang uangnya, tapi juga penasaran dengan rasanya. Sembari menguntit Mas Dani.

Pelayan itu segera pergi dan mengambil pesananku.

Keadaanku sepertinya tidak disadari oleh Mas Dani. Dia nampak malem-malem saja bicara dengan mereka.

"Semoga investasi kita berjalan dengan lancar. Dan juga bisnis yang sedang kita rancang, semoga tetap berjalan dengan baik," kata salah seorang.

"Ya, ya, betul-betul. Keuntungan kita semakin naik saja setiap bulan. Semoga bisnis kita di bidang properti ini benar-benar bisa memuncak!" terka seorang pria lagi yang tak ku tahu namanya.

Teg!

Aku menelan ludah.

Ternyata kecurigaanku selama ini benar-benar salah. Suamiku tak melakukan hal apapun yang menunjukkan kecurigaanku.

Lalu kenapa ia suka pulang malam?

Aku terus mencaritahu.

Sudah satu jam aku melihat kegiatan mereka. Yang aku pikir, sama sekali tak ada yang ganjal.

"Malam ini kita harus bekerja ekstra, supaya bisnis kita makin membaik. Semoga bisnis kita ini benar-benar berkah, ya!" cetus seorang pria.

Mereka berjumlah enam orang.

Benar-benar membuatku bingung. Namun aku sangat merasa bersalah tentang kecurigaan ini.

Suamiku benar-benar sedang merancang bisnisnya. Dan benar dengan apa yang dia katakan tentang bisnis properti itu.

Napasku kini menghembus lega.

Haah...

Alhamdulillah, ternyata suamiku tidak melakukan apa-apa. Dia benar-benar sedang berkumpul dengan rekan bisnisnya.

Cara berpakaian mereka memang keren, seperti akan jalan-jalan. Tapi mungkin itu karena mereka pebisnis muda.

Wajah mereka tampan-tampan pula. Hem, tapi kok aku belum pernah melihat mereka sebelumnya!

***

Sudah dua jam aku berada di restoran ini. Membuntuti suamiku yang sama sekali tak memperlihatkan keganjalan sedikitpun. Bahkan pembicaraan merekapun nampak memang sedang merencanakan sebuah bisnis.

"Aku jadi merasa bersalah. Kok aku suudzon banget!" batinku.

Setelah semakin lama tak ada yang merasa harus aku curigai, aku memutuskan untuk hengkang. Pulang ke rumah. Apalagi waktu sudah menunjukkan pukul enam lebih. Aku memutuskan untuk singgah ke mushola terlebih dahulu sebelum pergi.

Rasanya tak ada hasil apapun dalam penguntitan hari ini.

Toh suamiku benar-benar sedang membicarakan bisnisnya. Tapi, waktu itu dia keluar, pergi kemana ya?

Bukannya pelayan restoran bilang kalau suamiku sering kesini dan pergi keluar?

Aneh!

Kalau aku mengikuti kegiatannya sampai malam gimana, ya?

Tapi dari tadi aku tak mendengar sesuatu yang ganjal sedikitpun. Obrolan mereka hanya tentang bisnis. Tak ada pula menyebut-nyebut tentang wanita, obat-obat terlarang, atau sejenisnya.

Setelah lama tak ada juga bukti yang memberatkan kalau suamiku tak melakukan hal-hal aneh, aku memutuskan untuk pulang. Kasihan pula Ibu jika harus menemani Dona sampai malam.

Aku telah mencurigai suami yang jelas-jelas tak melakukan hal apapun. Kalau ia main wanita atau hal-hal yang buruk, pasti dari tadi juga sudah ia mulai.

Semoga saja kecurigaanku mulai sekarang segera menghilang.

Dia, suamiku yang banting tulang bekerja setiap hari. Bahkan ia geluti bisnisnya seusai pulang kerja. Ya ampuun, kok aku malah bisa-bisanya berprasangka buruk padanya.

Jelas-jelas ia sedang mencari nafkah tambahan untuk kami. Atau mungkin ia akan belajar berbisnis sendiri, supaya tak selamanya berada di ujung telunjuk orang lain.

Aku enggak nyangka, Mas, kalau kamu akan segigih ini. Aku doakan semoga suatu saat kamu bisa dengan jujur mengakui bisnis kamu.

Kamu pasti ingin memberitahukan semuanya setelah bisnis kamu benar-benar sukses.

"Mas Dani, kamu benar-benar laki-laki yang penuh tanggung jawab sekali."

"Kamu tampan, dan ... ah, membuatku makin sayang sama kamu, Mas."

Otakku tak berhenti memuji mujinya. Memuji seorang pria yang telah menjadi imamku beberapa tahun ini.

Aku pun segera bergegas pulang. Meninggalkan Mas Dani yang masih tetap dalam posisinya. Kedengarannya masih membicarakan bisnis properti dan investasinya yang mereka geluti secara gotong royong.

Akhirnya, malam ini aku bisa tidur dengan nyenyak. Dan aku juga akan segera menjelaskan pada Ibu tentang kecurigaan kami selama ini.

***

Keesokan harinya.

Pagi hari ini rasanya senyumku lepas. Tak ada beban pikiran suudzon pada Mas Dani.

Segera kuhidangkan sarapan spesial. Lontong sayur dan temannya untuk ia makan pagi ini.

Aku merias makanan seindah mungkin, supaya dia makin semangat bekerja.

Saat aku sedang menghidangkan lontong sayur yang telah kubuat sejak sebelum fajar tiba, Mas Dani datang menghampiriku dari belakang.

"Hem, wangi sekali. Kamu masak semua ini untuk kita?" tanyanya kegirangan.

Aku mengangguk sambil tersenyum.

"Ya, buat siapa lagi, Mas? Aku juga tadi sudah mengirimnya untuk ibu pagi-pagi sekali," jawabku lugas.

Dia mencubit pipiku mesra dan langsung duduk.

Mas Dani sudah dalam keadaan rapi. Tinggal sarapan dan berangkat ke Kantor.

Aku segera meraih Dona yang sedang duduk di lantai beralaskan karpet.

"Wah, aku jadi ngiler lihatnya. Jadi pengen cepet-cepet makan, nih!" kata suamiku dengan pandangan gombalnya.

Akhirnya kami pun sarapan bersama.

Senangnya hati ini.

Setiap pagi biasanya aku selalu ketus dan curiga oleh sikapnya. Tapi, sekarang aku sudah tahu apa yang terjadi pada suamiku.

Kami pun mulai sarapan setelah membaca doa sebelum makan.

Kulihat Mas Dani makan dengan lahap.

Memakan lontong sayur plus krupuk yang aku hidangkan. Tak lupa pula dengan tempe mendoan hangat kesukaannya.

Sungguh aku sangat berdosa tentang kecurigaan ini. Akhirnya dengan bantuan ibu yang menjaga Dona, semua kecurigaanku telah terbukti.

Suamiku benar-benar sedang merancang bisnisnya.

Kenapa mereka hanya bekerja di dua malam itu? Mungkin waktu luang rekan-rekannya memang di hari itu.

Sejenak aku lupakan pikiran yang terus dihantui rasa bersalah.

Kini aku fokus makan sambil tak henti-hentinya mengucap syukur pada Tuhan.

–––

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
njrit, kebanyakan gaya si fiandra tolol. selamat kau berhasil dikelabui
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status