Share

Bab 9 Mendadak beli barang banyak

 

Siang ini aku baru saja pulang belanja bersama Dona. Niatnya seusai zuhur aku akan singgah ke rumah Ibu. Membawakannya makanan dan kue yang baru saja ku beli 

 

"Alhamdulillah, sampai juga di rumah ya, Nak," seruku pada Dona yang sedang memainkan boneka kecil di aisan kangguru.

 

Tadi aku belanja keluar karena disuruh Mas Dani, katanya aku harus membelikannya beberapa baju dan aksesoris-aksesoris pula. Dia memberikan uangnya.

 

Baju suamiku sekarang hampir penuh satu lemari. Baju-bajunya bagus dan menarik. Sekalian juga aku beli beberapa baju untuk Dona dan sisanya aku belikan untuk kebutuhan rumah tangga. Biar sekalian pergi. 

 

Sekarang pikiranku tentang suami tak lagi buruk, apalagi setelah aku mengikutinya kemarin. Bahkan sepertinya aku tak pantas untuk suudzon, yang harus aku lakukan adalah berpikir baik dan berdoa.

 

Tak lama kemudian setelah menunaikan sholat zuhur, aku segera pergi ke rumah Ibu. Membawa Dona sengaja supaya kami bisa bermain bersama.

 

Jarak rumahku dan rumah Ibu mertua sekarang hanya sekitar seratus lima puluh meter. Dari yang tadinya kami hanya berjumpa beberapa kali dalam setahun, sekarang kami bisa sering-sering berjumpa karena jarak rumah yang dekat.

 

Mas Dani katanya menyewa rumah itu untuk ditempati Ibu dan Bapak. Aku bangga, dia bisa berbuat hal itu pada bapak dan ibunya.

 

Entah kenapa Mas Dani memaksa Ibu untuk pindah ke kota. Mungkin supaya kami lebih dekat saja? Ya, mungkin begitu.

 

Mas Dani bilang mencicil rumah sewa itu dari keuntungan bisnisnya. Sedangkan untuk gaji bulanan dari kantor, ia kasih tiga perempatnya padaku.

 

Bapak mertua tidak bekerja. Entah karena ia malas atau apa. Usia Ibu dan Bapak mertua sekitar empat puluh sampai empat puluh lima tahunan. Dan menurutku, seusia bapak masih bisa bekerja. Tapi, entah apa alasannya. Entah Ibu dan Bapak dapat uang darimana selebihnya selain dikasih oleh Mas Dani. Berarti, cukup muda juga mereka saat menikah.

 

Aku tidak pernah melihat Bapak mertua bekerja sesuatu apapun. Setiap kali aku ke rumah Ibu, pasti bapak cuma asyik merokok dan ngopi sambil memainkan gawainya yang lumayan keren untuk seusianya. Mungkin itu pemberian dari Mas Dani.

 

Mas Dani bilang, ia memberi uang pada Ibu dan Bapak seperempat dari uang yang ia kasih padaku. Dan itu ia berikan setiap bulan sejak beberapa bulan terakhir ini. Aku sama sekali tak keberatan saat ia memberitahu hal itu. Dia adalah seorang laki-laki yang berhak memberikan uang pada orangtuanya dalam batas kewajaran.

 

Apalagi bapak juga tidak kerja menurutku.

 

Berbeda dengan ibu dan ayahku di kejauhan sana. Ibu dan ayah rajin sekali bekerja. Menggarap kebun dan menggeluti bisnis kecilnya sebagai pemilik susu sapi perah. Sampai Ibu dan Bapak bisa menguliahkanku sampai strata satu. Itupun aku masuk tanpa biaya karena nilaiku cukup tinggi. Intinya aku mendapatkan beasiswa.

 

Aku sempat bekerja kurang lebih tiga sampai empat bulan. Namun karena tuntutan sebagai istri, yang suaminya yaitu suamiku mas Dani tak mengizinkanku untuk bekerja, dengan terpaksa aku resign dari kantor. Ya, dengan harus menerima kenyataan kalau aku belum bisa membalas jasa Ibu dan Bapakku yang telah membiayaiku sampai sebesar ini.

 

Namun Ibu dan Bapak sama sekali tak keberatan, karena itulah tugas seorang istri. Harus menurut dan patuh pada suami. Padahal seperti apa yang telah kubilang dulu. Baru bekerja di kantor sebentar, aku sudah akan di promosikan naik jabatan oleh bos. Betapa gembiranya hati ini. Namun mungkin takdir berkata lain. Dan memang mengharuskanku menjadi seorang ibu rumah tangga saja.

 

"Mbak Diandra mau kemana?" tanya seorang wanita berusia sedikit lebih tua dariku. Namanya Mbak Tita.

 

Dia mengagetkanku yang sedang melamun dan bercerita dalam hati ini.

 

Akupun tersenyum dan sedikit kaget.

 

"Biasa, mau ke rumah ibu mertua, Mbak," jawabku sopan.

 

Kami berhenti sejenak saat ngobrol saling mengulas.

 

"Oh, mau ke rumah ibu mertua? Di rumah ibu mertua Mbak lagi ada orang yang kirim paket barang-barang baru, tuh. Ada kulkas baru, TV baru dan masih banyak lagi, deh. Wah kayaknya Mbak Diandra bakalan kecipratan juga, tuh!" serunya dengan mata sedikit dimainkan.

 

Keningku mengerut menanggapi ucapan Mbak Tita. Sedikit tersenyum pula padanya.

 

"Oh, begitu ya, Mbak? Ya sudah saya lanjut jalan dulu!" pamitku kembali melangkah. Tak ingin lama-lama ngobrol dengannya. Biasanya suka jadi panjang kali lebar dan menjadi luas. Kadang dia juga suka mengada-ada dan melebih-lebihkan.

 

"Astagfirullah, maaf ya Mbak!" ulasku setelah menanggapi apa kata mbak Tita dalam hati.

 

Beberapa meter lagi aku akan sampai di rumah Ibu. Memang aku tak memakai si roda dua. Karena ku fikir lebih baik jalan kaki saja. Toh dekat ini!

 

Kini rumah ibu mertua sudah ada di depan mataku. Sedikit lagi juga sampai.

 

Aku melihat sebuah mobil pickup baru saja pergi dari halaman rumah Ibu. Mungkin benar kata mbak Tita, kalau Ibu tadi membeli beberapa barang elektronik.

 

Kini aku sudah sampai di teras rumah. Dengan keadaan mengais Dona juga membawa sekantong kresek berisi makanan yang baru aku beli tadi.

 

"Assalammualaikum!" 

 

"Waalaikum salam," jawab ibu dengan cepat dari dalam.

 

Ibu menghampiriku keluar dan segera menyuruhku masuk ke dalam.

 

Ibu menyapa kadatanganku dengan Dona penuh kehangatan. Aku langsung di giring masuk lalu duduk.

 

Ternyata benar. Rumah Ibu telah kedatangan beberapa jenis elektronik yang lumayan mewah. Harganya menurutku lumayan fantastis.

 

Kalau bapak tidak kerja, pasti ibu mendapatkan uang itu dari suamiku.

 

Yang aku lihat sekarang pula bapak sedang menyeruput kopi sambil membenarkan televisi baru. Mungkin sedang memprogram chanel TV yang belum muncul.

 

Bapak sempat menoleh ke arahku. Menyapaku dan menyapa Dona.

 

Ibu pergi ke dapur membawa minuman untukku setelah menampan makanan yang aku bawa tadi.

 

Ibu kemudian menghampiriku kembali dengan membawa segelas minuman. Air putih dan segelas jus jeruk kelihatannya.

 

Ibu kemudian duduk di samping kursi yang aku duduki.

 

"Ibu baru belanja, ya?" gumamku.

 

Ibu tersenyum.

"Iya, Ibu punya uang lebih. Ya sisa-sisa uang yang Dani kasih sama Ibu. Jadi Ibu pikir lebih baik Ibu membeli barang-barang itu semua. Kan rumah ini masih kosong pula," jawab Ibu santai.

 

Akupun hanya mengangguk dan menanggapinya dengan senyuman.

 

"Wah, sisa belanja saja sebanyak ini?" ungkapku dalam hati.

 

Aku melihat sosok Ibu yang sangat baik dan keibuan. Tapi kok dibalik itu tingkah Ibu seperti orang yang ingin terlihat mewah-mewahan.

 

Padahal di rumah sudah ada televisi dan lemari yang masih bagus. Dan dia malah membeli lagi televisi baru dan lemari baru pula.

 

Ah, biarlah, itu kan suka-suka Ibu. 

 

Ibu juga tak bersikap buruk padaku.

 

Akupun tak lama singgah di rumah ibu. Langsung bergegas pulang karena harus memasak. Menyiapkan makanan untuk mas Dani karena sebentar lagi ia akan pulang.

 

Di perjalanan aku sempat berfikir. Apa jangan-jangan Ibu dan Bapak ingin poroti uang suamiku?

 

Aku jadi suudzon lagi.

 

Apalagi aku melihat tingkah bapak yang acuh tak acuh. Seperti seorang pemalas penikmat harta anaknya.

 

Tau, ah, aku bingung!

 

–––

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status