Langkah kaki itu semakin mendekat, dan tak lama kemudian pintu utama terbuka. Beberapa pria muncul, membawa senjata yang siap digunakan, mata mereka penuh dengan tekad. Maria dan Laras hanya memiliki satu pilihan—berhadapan dengan mereka, atau menyerah pada takdir yang lebih gelap dari yang bisa mereka bayangkan.
Langkah kaki itu semakin mendekat, memecah keheningan yang menekan di sekitar mereka. Maria dan Laras bertukar pandang sejenak, tatapan mereka penuh dengan perhitungan. Ada sedikit harapan yang semakin memudar di dalam diri mereka—mereka tahu bahwa mereka berada di ujung jurang, dan tidak ada jalan mundur. Mereka sudah masuk ke dalam perangkap yang telah disiapkan dengan sempurna, namun di tengah ketegangan yang memuncak, ada satu hal yang tetap jelas di dalam benak Maria: mereka tidak akan menyerah begitu saja.
Pintu yang terbuat dari besi
Malam itu terasa berbeda. Gelap, sunyi, dan penuh dengan ketegangan yang meluap-luap, Maria bisa merasakannya di setiap detak jantungnya. Setelah berhari-hari bersembunyi, berlari, dan menghindari ancaman yang semakin nyata, malam ini terasa lebih berat. Ada perasaan tidak nyaman yang membayangi rumahnya, sebuah kesan bahwa sesuatu yang buruk sedang menunggu di luar sana, mengintai setiap gerakan.Maria duduk di meja makan, menatap dua anaknya—Putri dan Arif—yang sedang bermain dengan tenang, tidak menyadari betapa dekatnya bahaya yang mengintai. Ia mencoba menenangkan dirinya, berusaha untuk tidak membiarkan ketakutan yang semakin mendalam menguasainya. Namun, ia tahu bahwa ancaman itu bukan hanya datang dari luar rumah, tapi juga dari dalam dirinya sendiri. Rizal, yang selama ini mengancam hidupnya, kini berusaha mengakhiri semuanya. Ia tahu bahwa malam ini, konfrontasi itu tak terhindarkan.
Langkah kaki itu semakin mendekat, dan tak lama kemudian pintu utama terbuka. Beberapa pria muncul, membawa senjata yang siap digunakan, mata mereka penuh dengan tekad. Maria dan Laras hanya memiliki satu pilihan—berhadapan dengan mereka, atau menyerah pada takdir yang lebih gelap dari yang bisa mereka bayangkan.Langkah kaki itu semakin mendekat, memecah keheningan yang menekan di sekitar mereka. Maria dan Laras bertukar pandang sejenak, tatapan mereka penuh dengan perhitungan. Ada sedikit harapan yang semakin memudar di dalam diri mereka—mereka tahu bahwa mereka berada di ujung jurang, dan tidak ada jalan mundur. Mereka sudah masuk ke dalam perangkap yang telah disiapkan dengan sempurna, namun di tengah ketegangan yang memuncak, ada satu hal yang tetap jelas di dalam benak Maria: mereka tidak akan menyerah begitu saja.Pintu yang terbuat dari besi
Dengan ketegangan yang tak kunjung surut, Maria dan Laras melarikan diri lebih jauh, menyusuri jalan yang lebih sepi, mencari tempat berlindung. Mereka tahu bahwa meskipun mereka telah melarikan diri untuk sementara waktu, mereka hanya memiliki sedikit waktu sebelum mereka dikejar lagi. Tetapi saat itu, mereka tahu satu hal yang pasti—mereka harus bergerak lebih cepat, lebih cerdas. Tidak ada waktu lagi untuk ragu.Maria dan Laras melaju dengan kecepatan penuh melalui jalanan yang gelap, meninggalkan bayangan-bayangan mengejar mereka. Meski malam sudah larut, tidak ada rasa tenang yang bisa mereka nikmati. Mobil itu meraung di jalanan kosong, semakin menjauh dari pertempuran yang baru saja terjadi, namun ancaman itu tidak pernah menghilang. Maria bisa merasakan ketegangan yang mengalir melalui tubuhnya, setiap detik yang berlalu semakin berat, seolah waktu itu sendiri menekan mereka untuk berlari lebih cepat.
Maria merasakan amarah mulai membakar, tetapi ia tidak akan membiarkan emosi menguasainya. Ia memandang Laras, yang kini berdiri dengan lebih siap. Mereka tahu bahwa perlawanan ini bukan sekadar bertahan hidup—ini adalah tentang menghancurkan segala sesuatu yang telah mereka bina, mengungkapkan kejahatan yang telah bersembunyi di balik nama besar."Tunggu," bisik Laras dengan suara pelan, matanya memeriksa saku tasnya, kemudian meraih beberapa alat kecil. “Aku punya ide. Tetapi kita harus cepat."Dengan gerakan yang cepat dan terampil, Laras mengeluarkan beberapa alat elektronik yang sudah disiapkan—sebuah perangkat penyadap kecil yang bisa mengirimkan sinyal kebingungannya kepada pihak luar. Maria tahu mereka tidak bisa mengandalkan lebih banyak teknologi. Jika mereka terjebak di sini terlalu lama, mereka akan kehilangan kesempatan untuk mengungkapkan segalanya.
Maria merasa jantungnya berdebar kencang saat mendengar keputusan Farhan. Rizal sudah menghilang, dan itu artinya mereka harus bergerak lebih cepat, lebih cerdas, dan lebih hati-hati daripada sebelumnya. Setiap langkah mereka sekarang adalah taruhannya—kehidupan mereka, masa depan anak-anak mereka, dan masa depan banyak orang yang belum tahu betapa dalamnya cengkeraman Lingkaran Hitam.Maria memandang Laras yang berdiri di sampingnya. Wajah temannya itu tampak penuh ketegangan, tapi di baliknya ada satu hal yang tak bisa disembunyikan—keberanian. Mereka telah sampai di titik ini, dan tak ada jalan mundur lagi.“Ini bukan hanya soal kita lagi, Laras,” kata Maria, suaranya keras namun penuh dengan ketegasan. “Kita harus melawan, dan kali ini kita akan mengungkap semuanya. Rizal akan berpikir kita mundur. Tapi kita akan membuat mereka
Maria merasakan kepalanya mulai pusing, tetapi ia tahu bahwa tidak ada ruang untuk ragu. Lingkaran Hitam sudah sangat dekat, dan mereka harus bergerak cepat. “Kita akan ke tempat yang aman,” katanya dengan suara tegas. “Aku akan menghentikan mereka, Laras. Apapun yang mereka lakukan, aku tidak akan membiarkan mereka merusak apa yang sudah aku bangun.”Laras menatap Maria dengan ekspresi serius. “Maria, kita tahu apa yang sedang terjadi. Mereka sudah melacak kita. Mereka tidak akan berhenti sampai kita semua hancur.”Maria menggigit bibirnya, matanya tetap tertuju ke jalan yang berkelok-kelok. “Mereka bisa mencoba menghancurkan kita, Laras. Tetapi mereka tidak akan pernah menghancurkan semangat kita.”Peristiwa berlanjut: Ketika mereka akhirnya sampai di tempat yang lebih aman, Maria dan Laras