Suasana makan malam kali ini cukup canggung. Hal ini karena akhirnya kekhawatiran Isabelle menjadi nyata. Paman Ferdy dan bibinya meminta Isabelle untuk menerima permintaan dari Dario.
“Terimalah, Belle. Sepertinya Tuan Dario tertarik denganmu. Ia juga lelaki yang baik. Paman sangat mengenalnya,” ucap paman Ferdy. “Paman benar, Belle. Terima saja ajakan Tuan Dario. Supaya ada yang melindungi dirimu. Kami kasihan denganmu jika harus terus-menerus sendirian,” bujuk bibi. “Ada kalian bersamaku. Aku tidak sendirian, bukan?” tanya Belle. “Tetapi jika ada pasangan yang selalu bersamamu akan lebih baik,” jawab Belle. “Baiklah, beri aku waktu untuk memikirkannya terlebih dahulu,” hanya kalimat itu yang mampu keluar dari bibir Isabelle. *** Pekerjaan hari ini cukup menguras tenaga. Berbagai dokumen keuangan yang berserakan di meja Isabelle membuat gadis itu cukup kewalahan. Isabelle menoleh ke meja ketiga rekan satu departemennya. Nampaknya, mereka juga sibuk dengan pekerjaan masing-masing. “Belle, tolong serahkan berkas ini ke ruang CEO,” ujar kepala departemen keuangan yang baru saja mendatangi meja Isabelle. “Baik, Bu,” ucap Isabelle. Gadis itu lalu berdiri dan membawa setumpuk dokumen yang ada di tangannya itu. Ia membawanya ke ruangan sang CEO. Isabelle menghela nafas panjang mencoba rileks. Dirinya harus bersiap untuk bertemu dengan orang yang paling dihindarinya selama beberapa waktu terakhir ini. “Selamat siang, Pak,” ucap Isabelle setelah mengetuk pintu. “Masuk,” suara khas Dario memerintah. “Permisi, Pak. Saya ingin menyerahkan berkas dari kepala departemen keuangan,” jelas Isabelle. “Letakkan di atas meja,” jawab Dario dengan pandangan masih fokus ke arah laptopnya. Isabelle menuruti perintah itu. Ia meletakkan tumpukan dokumen yang dibawanya ke meja di hadapan Dario. Lelaki di hadapannya itu kini memandangnya. “Kamu menghindari saya?” tanya Dario dengan raut wajah tanpa ekspresi. “Tentu saja tidak, Pak. Anda adalah atasan saya,” Isabelle berusaha menjawab dengan tenang. Gadis itu sebenarnya tahu arah pembicaraan Dario kemana. Tetapi, ia berusaha mengalihkan pembicaraan. Setelah merasa urusannya selesai, ia langsung berpamitan. *** Isabelle menikmati waktu istirahat makan siang kali ini di cafe yang ada di samping perusahaannya. Ia bersama dengan ketiga rekan satu departemennya sepakat untuk membeli makan di tempat itu. “Aku sama Belle yang pesen, kalian cari tempat duduk aja, gih,” ucap Rendra. “Oke,” jawab Kak Jordan dan Kak Nindya bersamaan. Isabelle berjalan beriringan dengan Rendra menuju kasir untuk memesan. Hingga akhirnya ada sebuah suara memanggilnya. “Isabelle Sarasvati,” panggilan itu membuat Isabelle dan Rendra menoleh. Isabelle sudah hafal dengan suara itu. Tetapi, dirinya masih saja gugup dan terkejut. Ia refleks menggenggam tangan Rendra yang ada di sampingnya. Hal tersebut tak luput dari penglihatan sosok di hadapannya ini. “Selamat siang, Pak Dario,” Rendra membuka suara mencoba menyapa ramah. “Siang,” jawab Dario singkat dan datar. “Kita bisa bicara sebentar Isabelle Sarasvati?” tanya Dario yang kini beralih menatap mata Isabelle. Gadis yang ditatapnya itu mengangguk. Dario mengalihkan pandangan ke tangan Isabelle yang masih menggenggam jemari Rendra. Hal itu membuat Isabelle baru tersadar dan bergegas melepasnya. Dario membalikkan badan dan melangkah pergi. Isabelle segera mengikuti langkah besar lelaki di hadapannya itu. Ia meninggalkan Rendra yang masih diam di sana dengan ekspresi kebingungan dan bertanya dengan tatapan matanya. Nanti aja ceritanya, ucap Isabelle hanya dengan gerakan mulut tanpa mengeluarkan suara. Dario membawa Isabelle ke ruang privat yang sebelumnya mereka berdua datangi. Lelaki itu duduk di hadapan Isabelle dan menatap gadis itu intens. Hal tersebut membuat wanita berkemeja denim tersebut merasa tidak nyaman. “Kau menghindari saya, Saras,” itu bukan sebuah pertanyaan, melainkan pernyataan dari Dario. “Saras?” tanya Isabelle. “Panggilan dari kedua orang tuamu, bukan? Saya mengenal mereka,” ucap Dario lalu menyesap secangkir latte coffee pesanannya. Isabelle penasaran terkait hal tersebut. Namun, ini bukan saatnya untuk menanyakan hal itu. Masih ada urusan lain yang harus diselesaikan. “Mereka berdua sudah menyampaikannya kepadamu, bukan?” tanya Dario. Isabelle mengangguk mengiyakan. Apalagi kalau bukan ajakan pria itu untuk menikah. Isabelle bingung harus menjawab apa sekarang. “Apakah itu jalan satu-satunya?” tanya Isabelle. “Jalan satu-satunya untuk apa?” Dario berbalik bertanya, berpura-pura tidak mengerti apa yang diucapkan oleh gadis di hadapannya itu. “Untuk membebaskan Leon. Saya mendengar semuanya, Pak,” ucap Isabelle dengan menundukkan wajahnya. Mendengar hal itu membuat Dario terkekeh pelan. Sesuai dugaannya, wanita incarannya itu menghindarinya karena mendengar semua pecakapan malam itu. “Saya pebisnis, Saras. Tidak ada sesuatu yang gratis,” jawab Dario. “Kenapa harus menikah dengan saya, Pak? Apakah tidak ada persyaratan lain?” Isabelle bertanya dengan ekspresi memelas. “Kamu sudah dengar bahwa orang tua saya ingin saya segera menikah, bukan? Menurut saya kamu orang yang tepat. Asal usulnya jelas. Dan tidak memalukan untuk mendampingi saya,” jelas Dario dengan pandangan lurus ke Isabelle. “Lagi pula kalau saya bilang saya jatuh cinta ke kamu tanpa alasan, kamu juga tidak akan percaya, bukan?” tanya lelaki bersetelan jas biru tua itu. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Isabelle. Ia bimbang untuk menerima ajakan Dario tersebut. Sepanjang mengenal Dario sebagai atasannya, lelaki itu bukanlah seorang yang jahat. Hanya saja sosoknya sangat dingin dan tak banyak berekspresi. Namun, untuk menikah bukan hanya hal itu yang dibutuhkan, bukan. Isabelle bahkan belum tahu bagaimana Dario secara personal. Tak mau ambil pusing, ia menghela napas dan menyesap matcha di hadapannya. Dario berdiri dan melangkahkan kaki di hadapan Isabelle. Ia berlutut menyamakan tingginya dengan gadis di hadapannya itu. Jarak wajah mereka hanya beberapa senti. Dario mengikis jarak keduanya dan mengecup bibir Isabelle. Ia menahannya selama beberapa detik dan melumatnya lembut. “Ada matcha di bibirmu,” ucapnya setelah melepas ciuman singkat itu dan beranjak pergi, membiarkan Isabelle mematung di sana.Senja mulai mencuri masuk lewat daun jendela kaca kafe kecil itu; lampu temaram menciptakan bayangan hangat di atas meja kayu, sementara aroma kopi hitam dan kue almond menyelimuti udara.Isabelle melangkah masuk dengan langkah hati-hati, menutup mantel terang yang berkibar pelan. Leon sudah duduk di pojok, wajahnya tegang namun tenang, membuka tas kulitnya perlahan.Leon menghela napas dalam sebelum menyodorkan setumpuk dokumen — laporan keuangan, cetak biru proyek, dan email internal — terhampar di atas meja. "Aku menemukan ketidakwajaran di laporan triwulan ketiga…" suaranya rendah, matanya menyapu dokumen. Isabelle meraih salah satu lembar, pandangannya tertuju pada angka yang saling bertolak belakang.Dia mengangkat alis. "Ini... terlalu banyak kejanggalan." Ada jeda. Isabelle mengusap bibir bawah, menarik napas. "Kamu percaya ini sabotase?" tanyanya tenang, sambil matanya tak lepas dari angka.Leon mengangguk, memutar kursi sedikit untuk memastikan tidak ada yang menguping. "Aku
Rapat internal Dynamic Group pagi itu berubah menjadi arena ledakan emosi. Dario, sang CEO, duduk di ujung meja dengan wajah gelap, matanya menatap tajam ke arah lima orang yang duduk di hadapannya: Bu Nikki, Leon, Kak Nindya, Renda, dan Kak Jordan. Suasana hening, tegang, seolah udara pun enggan bergerak.“Dua puluh persen!” Dario membanting dokumen ke meja.“Kita kehilangan dua puluh persen dari anggaran keuangan proyek ini, dan tak satu pun dari kalian bisa memberi penjelasan yang masuk akal!”Kelima orang itu terdiam. Tidak ada yang berani angkat bicara. Masing-masing menunduk, entah karena merasa bersalah, bingung, atau takut. Dario menatap mereka satu per satu, mencoba membaca sesuatu dari ekspresi wajah mereka. Namun yang dia dapat hanya kebisuan.“Ini bukan kesalahan kecil,” katanya, nadanya tajam.“Ini adalah pengkhianatan. Dan saya akan cari tahu siapa yang bermain curang.”Tanpa menyelesaikan rapat, Dario berdiri dan pergi. Suara langkah sepatunya menggema di ruang rapat, l
Dario membuka sebuah ruangan yang tersembunyi di bawah tanah mansionnya. Sebuah ruangan yang sudah lama tidak dibuka oleh lelaki itu. Dario menyalakan lampu ruangan yang temaram untuk memberikan sedikit penerangan.Lelaki berkaos hitam itu menatap seorang perempuan dengan rambut acak-acakan. Kedua tangan wanita itu terikat secara terentang di kanan dan kiri. Dario lalu mendekat ke sebuah lemari yang ada di sudut ruangan.Ia menarik kain yang menutupi benda tersebut. Di dalam lemari kaca tersebut terpampang berbagai senjata tajam yang mampu membuat orang yang melihatnya merinding. Dario memandangi benda yang sudah lama tidak digunakannya itu.Pandangan Dario beralih dengan perempuan yang ada di hadapannya. Perempuan itu sudah berlinang air mata. Dario dengan langkah pastinya mendekat ke arah perempuan tersebut.“Maafkan saya, Tuan,” Sera memohon dengan tangisannya.Sedangkan Dario hanya memandang perempuan tersebut dengan tatapan dinginnya. Ia hanya melihat apa yang sedang dilakukan ol
Isabelle masih bersimpuh di depan kanvas lukisannya yang sudah rusak. Karya yang sudah dibuatnya dengan sepenuh hati itu bahkan sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Perasaannya campur aduk.Dario memasuki ruang lukis Isabelle itu dengan langkah besarnya. Di belakangnya sudah ada orang-orang berbadan besar yang merupakan suruhannya. Dario ikut bersimpuh di samping Isabelle.Emosi lelaki itu berada di atas ubun-ubun. Amarahnya membara karena mengetahui ada orang yang berani melakukan hal ini terhadap istrinya. Namun, Dario berusaha untuk bersikap tenang-tidak ingin membuat Isabelle merasa takut.“Saras,” panggilnya lembut.Isabelle dengan wajah masih berlinang air mata menoleh ke arah suaminya. Ia menyandarkan kepalanya ke lengan kekar Dario. Lelaki dengan kaos hitam itu mengganti posisinya menjadi memeluk Isabelle dari samping.“Aku sudah menemukan pelakunya,” ujar Dario dengan tenang.“Menurutmu apa yang harus aku lakukan untuk pelakunya?” tanya.“Apapun, Kak. Buat dia jera,” Isabelle be
“Sarapan dulu, Kak,” ujar Isabelle pada Dario yang sedang duduk bersandar di sandaran tempat tidur mereka.Wanita itu datang dengan membawa nampan berisi satu set makanan di atasnya. Ia membawakan semangkuk bubur yang disiapkan oleh juru masak mereka. Isabelle menyodorkan mangkuk tersebut kepada Dario. Namun, laki-laki itu tidak bergegas menerimanya.Isabelle mendengus kecil. Ia mengerti maksud suaminya itu. Isabelle mengambil sesendok bubur dan menyuapkannya kepada Dario. Lelaki itu tersenyum tipis dan menerimanya.“Sepertinya aku harus tetap bekerja hari ini, Saras,” ujar Dario di sela menikmati sarapannya.“Apa ga bisa libur dulu,Kak? Kamu itu masih belum pulih loh, Kak,” protes Isabelle“Kau tahu sendiri Saras, sedang ada masalah keuangan di kantor. Aku harus turun tangan sendiri,” jelas Dario.“Bagaimana kamu bisa cepat sembuh kalau sedang sakit masih banyak pikiran?” wajah Isabelle berubah sendu, tetapi sedikit.“Aku hanya demam, Saras,” Dario menoel pipi Isabelle sekilas.Namun
Isabelle sedang menikmati waktunya dengan membaca buku di ruang tengah. Kegiatan itu sengaja dipilih untuk mengisi waktu luang.“Saras,” suara yang sangat familiar terdengar di telinga Isabelle.Panggilan itu membuat Isabelle menoleh. Wanita itu cukup terkejut melihat suaminya sudah kembali ke rumah. Padahal hari masih siang, jarum pendek jam dindingnya baru menunjuk ke angka 11.“Kak, tumben udah pulang?” tanya Isabelle penasaran.Dario tidak menjawab. Pria itu berjalan menuju ke arah Isabelle. Lalu merebahkan diri di sofa yang sedang diduduki istrinya itu. Dario mendaratkan kepalanya di pangkuan Isabelle dan memejamkan kedua matanya.Isabelle heran melihat tingkah suaminya tersebut.“Kamu kenapa, Kak?” tanya Isabelle sembari membelai rambut Dario dengan jemarinya.Isabelle tersentak kaget ketika tangannya tak sengaja menyentuh kulit wajah Dario.“Kamu demam, Kak,” seru Isabelle khawatir.“Cuma agak pusing aja,” jawab Dario pelan.“Ayo pindah ke kamar, Kak. Istirahat di kamar,” Isabe