Waktu berjalan cepat hari itu. Starla telah selesai meratapi nasip.
Di batas kehancurannya, Starla mengingat jika dia tidak boleh menyerah. Darma akan sangat kecewa jika tau putri semata wayangnya mudah menyerah pada keadaan.Mengingat nama sang ayah, hati Starla menjerit keras. Mungkin karena dia menentang keputusan Darma, maka dari itu sekarang dia terkena karma.Starla ingat jika Darma pernah mengatakan Bima bukan pria baik. Saat itu Starla memang sangatlah naif dan egois. Dengan pikiran pendek, dia menentang Darma dan pergi dari rumah karena lebih memilih Bima.Sekarang, jika dia pulang ke rumah, apakah Darma akan menerimanya? Akankah ayah yang tegas itu memberikan dukungan yang dia butuhkan saat dirinya tengah mengalami hal gila ini? Dirinya merasa kotor dan tidak pantas untuk pulang. Tapi dia harus ke mana lagi jika tidak kembali ke rumah?Starla menghela napas. Pipinya masih lembab karena bekas air mata. Hidung dan matanya bahkan masih sedikit merah."Aku harus pergi," putusnya final.Sempat melirik keluar jendela kamar yang sudah gelap, Starla tertawa dalam hati. Baru menyadari jika seharian ini dia hanya duduk di sudut kamar.Sekarang Starla hanya melihat kegelapan di rumah itu karena tidak ada satupun lampu penerangan yang menyala.Berdiri, Starla mulai mencari-cari saklar lampu. Dan setelah menemukannya, kamar itu menjadi terang. Starla berjalan ke almari dengan cepat, mengambil koper dan memasukkan barang-barangnya ke dalam sana.Bima belum pulang sejak pagi tadi. Membuat ia meringis perih dalam hati. Sepenting itukah Intan mengalahkan dirinya? Padahal Starla juga butuh bantuan. Dia yang mengalami kejadian buruk tapi Intanlah yang mendapatkan perhatian penuh dari Bima.Starla jadi berpikir ini adalah kesempatan yang baik untuk pergi meninggalkan rumah terkutuk ini. Gadis itu bahkan sudah muak mengingat nama dan wajah Bima. Pria menjijikkan yang tega menjual kekasihnya sendiri pada Lion.Setelah beres. Starla berdiri. Dia menyeret koper dan meraih tas kecil di atas nakas. Tas itu berisi dompet, identitas diri dan handpone. Starla keluar dari rumah dan segera berjalan menuju halte bis. Jalanan saat itu sudah gelap dan cukup sepi. Maklum saja, ini sudah pukul 7.'Krucuk ... krucuk ...'Starla mendesis karena perutnya sangat lapar. Dia baru ingat jika sejak tadi pagi bahkan kemarin malam tidak ada satupun makanan yang masuk ke perutnya.Menggigit bibir, Starla mencengkeram kopernya kuat. Perutnya terasa perih. Dia menoleh ke kanan dan kiri, mencari-cari jika ada tanda-tanda sebuah bis atau angkutan umum yang lewat. Tapi jalanan benar-benar sepi.Hingga ekor matanya menangkap sebuah warung tak jauh dari halte. Starla menyeret kembali kopernya untuk menuju warung tersebut. Aroma satai ayam langsung menyergap ke indera penciuman Starla, dan perutnya semakin terasa perih sebab minta untuk segera diisi."Satu porsi aja, Bu. Jangan dikasih sambel," pesan Starla, yang diangguki Ibu penjual di warung tersebut.Starla makan dengan lahap setelah cukup lama menunggu. Karena saking laparnya, piring itu tandas dalam hitungan menit. Starla mengakhirinya dengan meminum satu gelas teh hangat."Makasih, Bu." Starla membayar kemudian. Dia pun pergi dari warung dengan lagi-lagi menyeret koper ke halte.Halte itu gelap karena letaknya memang sedikit jauh dari rumah yang lain, bahkan dengan warung yang tadi Starla kunjungi. Starla menyandarkan tubuhnya ke tiang, angin malam yang dingin terasa menusuk kulit namun dia hiraukan saja.Kenapa belum ada satu bis pun yang lewat? batin Starla lemas.Karena tidak ingin terlalu lama ada di sana, Starla mengeluarkan handpone nya. Dia berpikir untuk naik grab online saja. Beruntung, dia mendapatkannya dengan cepat. Di seberang sana abang grab membalas pesan jika dia akan tiba dalam waktu kurang dari 10 menit."Starla!"Starla menyipitkan mata saat sebuah lampu motor menyorot terang di tempat dia berada. Saat motor itu mendekat, dugaan Starla benar. Itu adalah Bima. Dia menepikan motornya dan melepas helm. Sorot matanya terlihat bertanya-tanya namun Starla sama sekali tidak berniat menjelaskan. Alih-alih, gadis itu langsung membuang muka. Starla berdiri, dan meraih koper. Dia akan pergi sekarang!"Kamu mau kemana?" Bima menahan tangan Starla."Lepas!" seru Starla sembari menyentakkan tangannya."Starla...," lagi-lagi Bima meraih tangan Starla yang membuat Starla kesal."Lepas!" ulang Starla, berusaha menyentak dan menarik tangannya. Namun Bima mencengkeramnya kuat."Kamu mau ke mana?" Bima mengulangi pertanyaannya.Starla membalikkan badan lalu menatap Bima dingin dan sinis, membuat Bima tersentak.Ini bukanlah Starla yang dia kenal. Starla yang Bima kenal adalah gadis cantik dengan tatapan ramah yang menyenangkan. Starla selalu menatapnya penuh cinta dan rasa kagum. Namun sekarang, sepertinya Starla tidak main-main. Gadis itu sudah amat sangat membenci dirinya."Starla ...,""Pergi ke manapun asal aku nggak lihat muka kamu!" jawaban Starla memotong ucapan lembut Bima.Tubuh Bima menegang, dan merasa jika ada sebuah pisau menikam hatinya. Rasanya sakit tapi tidak berdarah."Starla, maafkan—,""Kamu pikir kamu bisa di maafkan setelah apa yang kamu lakukan?!" desis Starla. Tangan yang masih dalam genggaman Bima dia sentakkan dengan kasar, lalu dia menunjuk wajah Bima penuh murka. "Sampai kapanpun Bima, aku nggak akan pernah maafin kamu! Kamu adalah pria paling brengsek* dan nggak punya hati nurani yang pernah aku temui. Aku benar-benar menyesal pernah bertemu dan kenal sama kamu! Aku, jika waktu bisa diputar kembali, aku nggak akan pernah mau bertemu apalagi mendengar nama kamu!"Ucapan-ucapan itu menusuk jantung Bima tanpa ampun. Menyakitinya hingga jauh ke dalam.Kenapa? Kenapa semuanya bisa sekacau ini? Padahal Bima berniat baik. Dia tidak ada niat untuk menjual Starla. Bima hanya mengatakan pada Lion jika dia tidak akan kabur dan akan segera mencarikannya wanita lain pengganti Intan untuk memuaskan nafsu bejatnya. Namun yang Lion tangkap malah Starla.Ini semua karena kebodohan Bima sendiri. Seharusnya, dia memikirkannya baik-baik sebelum bertindak. Sekarang, perbuatannya benar-benar tidak termaafkan.Lutut Bima terjatuh. Dia menunduk dalam, berlutut di depan Starla. Matanya memerah dan berkaca-kaca. Dia benar-benar menyesal dengan semua yang telah terjadi."Maaf... Aku benar-benar minta maaf," suara Bima serak dengan isakan tertahan. Air matanya sudah menetes membasahi pipi namun dia masih tetap menunduk. Dia tidak ingin melihat wajah dingin dan kebencian dari mata Starla pada dirinya. Bima ingin, Starla-nya yang hangat kembali lagi seperti dulu.Pemandangan itu juga menyakiti Starla. Tanpa bisa dia tahan, Starla juga menangis dalam diam, menatap Bima yang berlutut di depannya dengan rasa bersalah.Namun jika ingat lagi kejadian kemarin malam, Starla benar-benar tidak bisa memaafkan Bima. Ini semua di luar batas kemampuannya untuk memaafkan.Starla menggeleng, membekap mulutnya agar tidak menangis. Dia mundur dan langsung berbalik. Dia tidak sanggup ada di sana lebih lama lagi."Starla—"Tepat saat itu, sebuah mobil hitam berhenti di sana, mencegah Starla untuk berjalan lebih jauh lagi. Bima mendongak dan merasa waspada, namun tidak untuk Starla. Gadis itu justru mendesah lega. Mungkin ini abang grab yang tadi dia hubungi.Karena tidak ingin abang grab itu melihatnya menangis, Starla segera menyeka air matanya. Dia lalu melangkah menuju mobil itu."Starla! Jangan ke sana!" teriak Bima. Pria itu berdiri untuk mencegah Starla yang tidak menghiraukannya sama sekali.Lalu saat pintu belakang terbuka, tubuh Starla jadi kaku. Matanya membelalak terkejut melihat siapa yang ada di dalam sana.Lion?Luna sudah menyeberang jalan ketika iris mata hitam Yuda menangkap sesuatu di atas tanah yang berkilauan. Ia mengernyit, lantas menunduk dan mengambil benda tersebut.Sebuah kalung emas dengan bandul huruf L yang di kedua sisinya terdapat ukiran sayap mungil, tak lain dan tak bukan adalah milik Luna. Yuda ingat pernah melihatnya di leher Luna. Berniat ingin mengembalikan, Yuda sempat berlari mengejar Luna. Akan tetapi tidak berlanjut sebab ia kehilangan jejak Luna.Yuda pun kembali ke bawah pohon, memasukkan kalung tersebut ke dalam tas. Ia pikir besok akan langsung mengembalikannya pada Luna.Yuda mengambil selimut yang dibawakan oleh Luna, berikut dengan tas ransel pink bergambar princess. Satu kotak yang berisi buah juga ditinggalkan Luna, katanya untuk makan malam Yuda.Bocah lelaki umur 7 tahun itu tersenyum tipis. Merogoh saku di mana ada uang 15 ribu dari sana. Yuda tidak mengemis, hanya saja kemarin ada kakak-kakak baik hati yang memberi uan
Luna bersiap pergi ke taman kota sekitar pukul 9 pagi seperti biasa. Dengan rambut dikuncir dua, Luna pamit pada Starla.“Mom sudah menyiapkan banyak bekal makanan untukmu. Semuanya sudah Mom masukkan dalam tas,” ucap Starla, mengelus rambut hitam Luna. “Masih tidak mau menceritakan pada Mom siapa temanmu itu?”Luna menggeleng polos. Sebenarnya dia ingin, namun Yuda melarangnya entah karena alasan apa.Starla menghela napas, mengecup kedua pipi Luna. “Baiklah jika kau masih menyimpan rahasia tentang temanmu itu. Tapi ingat pesan Mom, tetap hati-hati. Kau tidak tau dia punya niat jahat atau tidak.”“Dia baik, Mom,” kekeh Luna kecil.“Tetap saja kau harus berhati-hati. Ini Indonsesia, bukan Belanda di mana ayahmu mempunyai kekuasaan. Mengerti?”Lun
Seperti bocah 5 tahun pada umumnya, Luna masih suka sekali bermain di luar rumah. Seperti siang hari ini, ia meminta ijin pada Starla untuk mengelilingi komplek perumahan, dan mampir ke taman bermain jika ia pulang agak lama.“Hati-hati, okay? Jangan menyeberang sembarangan. Jika ada orang asing yang memberimu makanan apapun, kau tidak boleh menerima. Masih ingat bukan, apa yang kau pelajari dari Mom dan Dad dulu tentang bagaimana menghadapi orang asing yang tidak kau kenal?” tanya Sivia sambil memasangkan sebuah tas ransel di punggung Luna.“Yes, Mommy. Aku tidak boleh mempercayai siapa pun,” jawab Luna sambil mengangguk-anggukkan kepala.“Good! Kau juga ingat bukan, jika beberapa hari yang lalu ada yang mencuri tasmu?”Luna meringis hingga barisan gigi putihnya terlihat s
Tidak pernah sekalipun dalam bayangan Yuda bahwa ia akan mengalami nasib seperti ini. Dulu, ibu yang selalu ada untuknya telah tiada, karena penyakit yang dokter sebut sebagai kangker perut. Saat itu usia Yuda tepat 5 tahun.Selama hidup bersama ibu, Yuda tidak pernah mengenal ayah. Ibu tidak pernah bercerita apapun tentang pria itu. Pun Yuda tidak pernah bertanya. Entah kenapa ia merasa Ibu akan merasa sedih jika ia membahas tentang ayah.Namun, tepat 7 hari setelah ibu meninggal dan membuat Yuda hidup sebatang kara, datang seorang pria yang mengaku sebagai ayahnya. Namanya Heru.Heru memiliki penampilan bak preman, sesuai dengan siapa dirinya. Ia sering mabuk dan bermain judi. Tak jarang, ia juga membawa perempuan-perempuan asing ke rumah, menidurinya di setiap sudut rumah dan sama sekali tidak masalah jika Yuda melihat.Tak
“Luna! Ayo!” Darma berseru pada cucu perempuannya sambil menggandeng tangan kecil Ken.Kemarin, ia telah berjanji pada dua cucunya untuk mengajak mereka jalan-jalan. Dan sejak pagi tadi, Luna sudah merengek pada Darma, menuntut janji tersebut.Namun sekarang lihatlah siapa yang malah terlambat keluar dari kamar dan membuat Darma menunggu?“Iya, Kakek! Tunggu sebentar!” sahut Luna.Benar saja, tak lama kemudian gadis cilik itu keluar dari kamar. Dengan rambut hitam dikuncir dua, Luna juga membawa sebuah tas ransel.“Wah, cantik sekali cucuku!” puji Darma. Ia mengambil sepatu Luna dari rak kemudian menyuruh Luna untuk memakainya sendiri.“Ayo!” seru Luna setelah selesai memakai sepatu. Ia menggandeng tangan kiri Darma, sementara Ken menggandeng tangan kanan.
Pesisir putih di sebuah pantai Malaysia tengah didekorasi sedemikian rupa dengan nuansa warna putih. Terdapat altar kecil dengan hiasan bunga-bunga, beberapa kursi yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, juga sebuah meja panjang berisi beberapa makanan sederhana.Matahari baru saja muncul sekitar satu jam yang lalu, namun karena termasuk salah satu negara tropis, hawa dingin yang terasa bukan menjadi masalah bagi Isaac. Seorang pria yang sudah rapi dengan balutan jas berwarna hitam. Rambutnya disisir rapi ke belakang, hal yang sangat jarang ia lakukan bahkan ke undangan-undangan pesta sekalipun.Tapi hari ini hari spesial untuk Isaac. Dengan hati berdegup kencang, matanya terus mengawasi dengan cemas ke arah karpet merah terbentang.“Ehem! Jadi, di mana mempelai wanitanya?” seorang kepala pastur bertanya dengan tidak sabar.