Share

6. Angkat Rokmu

Penulis: Keke Chris
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-30 10:22:36

Tubuh Binar terhuyung ke samping dan kakinya membentur kursi kayu. Dia memejam erat sambil menggigit bibirnya dan meringis. Menahan sakit yang menusuk.

Telinga Binar berdengung. Kepalanya terasa berputar dan nyeri di pipinya terasa sangat perih. Suara tamparan itu seperti masih bergema di telinganya.

Binar terdiam di tempat, matanya berkaca-kaca menahan tangis. Tidak. Tidak boleh menangis di depan nyonya, nanti dia akan makin kesal, pikir Binar.

Binar merasakan tangan kecil menggenggam roknya di belakang. Saat menoleh, dia melihat Ardan bersembunyi di belakangnya sambil menangis.

“Dasar pembantu kurang ajar! Berani-beraninya menghalangiku!” teriak Celia, nafasnya masih berbau alkohol tajam. Tangannya sudah siap untuk menampar untuk kedua kalinya.

Tiba-tiba, sosok Maryam muncul dari balik pintu dapur. “Nyonya! Nyonya, tenanglah!” serunya dan dengan berani menahan lengan Celia yang akan melayang.

Beberapa pelayan lain yang sedang mempersiapkan makan malam, akhirnya berkerumun dengan wajah ketakutan.

“Lepaskan, Maryam! Aku akan memberikan pelajaran pada si bocah kampung ini!”

Celia masih terus memberontak dan berusaha menggapai Binar. Tak peduli Ardan yang menangis histeris dan meringkuk dalam pelukan Binar

“Apa yang terjadi di sini?”

Suara Bhaga terdengar penuh penekanan dan wibawa. Auranya tegang, membawa amarah yang tertahan, membuat semua orang terdiam.

Dia masuk dengan langkah lebar, matanya memindai sekeliling dan tertahan pada satu titik untuk sesaat. Melihat Binar dengan bekas tangan di pipi, ditambah Ardan yang menangis yang menangis di belakangnya.

Dengan cepat dia menoleh pada istrinya yang masih dalam cengkeraman Maryam. Wajahnya berubah dari heran menjadi dingin yang mengerikan.

“Bhaga! Kamu pulang, Sayang! Lihatlah pembantu barumu ini! Dia berani menghalangi aku untuk mendekati anakku sendiri!” Celia melepaskan diri dari Maryam dan berteriak.

Bhaga meletakkan tasnya dengan perlahan. Dia tidak menjawab istrinya, malah berjalan mendekati Binar.

Di hadapan semua orang, jari-jarinya yang panjang menyentuh dagu Binar, mengangkat wajahnya untuk memeriksa luka di pipi.

Celia melongo di belakangnya. “Apa-apaan ini, Bhaga?” tapi suaminya tak menggubrisnya.

Binar menahan nafas. Meski dengan wajah menahan marah, sentuhan Bhaga entah kenapa terasa lembut. Kalau bisa, Binar ingin kabur. Tapi tubuhnya hanya bisa membeku.

“Bawa Ardan ke kamar,” bisik Bhaga, suaranya serak. “Luka ini, oleskan salep.”

Binar mengangguk, terlalu shock untuk bicara. Dia mengambil Ardan yang masih menangis dan buru-buru meninggalkan ruangan, merasakan pandangan semua orang di punggungnya.

Begitu Binar pergi, Bhaga berbalik kepada Celia. Amarah yang dia tahan akhirnya meledak.

“Cukup, Celia!” raungnya, suaranya menggelegar. “Lihat dirimu! Kau pulang dalam keadaan mabuk, menakuti anakmu sendiri, dan memukul seorang gadis yang hanya melakukan pekerjaannya!”

“Pekerjaannya?! Pekerjaannya adalah merampas anakku dariku?” Celia membalas, tapi sedikit gentar melihat amarah Bhaga.

“Dia tidak merampas siapa pun! Dia ada di sini untuk Ardan karena kau tidak pernah ada! Kau pikir aku tidak tahu? Aku memblokir kartu-kartumu bukan untuk menyakitimu, Celia! Tapi karena uangku bukan untuk dibelanjakan untuk foya-foya dan pesta poramu yang memalukan!”

Semua pelayan menunduk, berusaha membuat diri mereka tidak terlihat.  Lalu berlalu pergi ke belakang dalam diam. Rahasia umum itu akhirnya dikuak begitu saja di depan semua orang.

Celia seperti ditampar keras. Wajahnya memerah dengan emosi. “Kamu... kamu—”

“Jangan melawan lagi. Kamu pikir aku tidak tahu yang kamu lakukan di belakangku? Aku memiliki buktinya. Sekarang, pergi dari pandanganku sebelum aku membuatmu menyesal,” geram Bhaga, menunjuk ke arah tangga.

Celia membanting sembarang barang yang ada di dekatnya. Dengan tatapan penuh kebencian, dia akhirnya berbalik dan berjalan ke atas, membanting pintu kamarnya dengan keras.

**

Malam hari, setelah Binar berhasil menidurkan Ardan yang masih terlihat gelisah, dia kembali ke kamar kecilnya. Pipinya masih terasa perih dan panas. Dia duduk di tepi tempat tidurnya, mencoba memproses segala yang terjadi hari ini.

Tangannya baru saja terangkat ingin menyentuh pipinya, tapi ketukan pelan di pintu membuatnya terkejut.

“Siapa?” panggilnya pelan.

Pintu terbuka perlahan, dan Maryam berdiri di sana. Tangannya membawa sebuah mangkuk kecil berisi es batu yang dibungkus handuk dan sebuah tube salep.

“Ini dari Tuan Bhaga. Cepatlah obati wajahmu, sebelum semakin parah.”

Binar mengangguk dan berjalan masuk ke kamar mandi. Dia terdiam sesaat. “Dari Tuan Bhaga katanya. Apa iya?”

Binar memandangi bayangannya di kaca. Pipinya bengkak akibat tamparan Celia. Badannya juga ngilu setelah terbentur kursi kayu.

“Sini, biar kuobati.”

Binar terkesiap mendengar suara itu. Dia menoleh ke arah pintu kamar mandi. Bhaga berdiri di sana, melangkah mendekatinya.

Bhaga mengambil salep dan memiringkan kepalanya menatap wajah Binar. Tangannya menyentuh pipi Binar, dengan lembut mengoleskan salep.

Tubuh Binar menegang, gugup merasakan kontak fisik dengan majikannya itu. “T-Tuan. Terima kasih. Tapi tidak perlu repot-repot.”

Bhaga hanya diam dan memperhatikan pipi Binar. “Celia... dia melampaui batas.”

“Nyonya sedang marah, Tuan. Mungkin karena mabuk,” Binar mencoba membela, meredakan amarah Bhaga.

“Jangan membelanya,” potong Bhaga dengan tajam. Lalu, nadanya melunak. “Dia memang seperti itu.”

Mendengar kalimat panjang dari seorang Bhaga adalah hal yang tidak terduga. Binar hanya bisa mengangguk. “Tidak apa-apa, Tuan.”

Ada keheningan yang canggung. Bhaga meletakkan tube salep. “Segera istirahat. Besok pagi, kamu bisa izin kalau masih sakit.” Seolah tidak tahan dengan rasa canggung, dia berbalik untuk pergi.

“Baik, Tuan,” jawab Binar dengan sopan.

Binar buru-buru membereskan botol salep, handuk, dan mangkuk es. Saat hendak berputar, pahanya menabrak sisi meja kecil, Binar pun mengaduh dan meringis.

“Aduh.” Tangannya mengelus pahanya dari luar roknya, berusaha mengurangi rasa sakit.

Tetapi, yang tak pernah dia duga, tangan Bhaga tiba-tiba menyentuh ujung rok dan menyingkapnya sedikit ke atas.

Binar tersentak kaget dan menahan roknya. “Eh, Tuan. Mau apa?”

“Biar sekalian kuobati. Mana sini, saya lihat lukanya.”

Mata Binar terbelalak kaget. “Ta-tapi, saya malu, Tuan.”

Binar kira, Bhaga akan berhenti. Tapi pria itu malah mendengus geli dengan suara rendahnya.

“Untuk apa malu? Kamu saja pernah mengintip saya waktu itu, dan kamu melihat semuanya, kan?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Di Ranjang Majikanku   7. Jangan, Tuan!

    Ucapan Bhaga membuat Binar tersentak dan pipinya memerah malu. “M-maaf, Tuan, saya—ah!”Binar terlonjak mundur begitu ujung jari Bhaga menyentuh kain roknya. Rasanya seperti tersengat listrik. Jantungnya berdebar kencang, hampir keluar dari dadanya. Darahnya berdesir hebat, dia membasahi tenggorokan dengan susah payah.Binar bisa merasakan jemari Bhaga menyentuh lututnya. “Angkat rok kamu lebih tinggi. Biar saya obati sekalian.”Wajah Bhaga mendekat ke bagian bawah Binar, tangannya sudah dengan sigap memegangi satu lutut. Tangan satunya lagi sudah naik, mengelus-elus lebam di paha mulus itu.“T-Tuan. Jangan!” lirihnya malu. Dia melirik Bhaga dengan kedua tangan mencengkeram erat roknya. Wajahnya merah padam. Malu, bingung, dan sedikit ... tergoda. Tapi dia segera mengusir pikiran itu.Bhaga terdiam. Tangannya masih terulur di antara paha Binar. Detik berikutnya, ekspresinya berganti dengan rasa tak enak karena merasa ditolak. Dia menarik napas panjang dan menurunkan tangannya.“Baikla

  • Di Ranjang Majikanku   6. Angkat Rokmu

    Tubuh Binar terhuyung ke samping dan kakinya membentur kursi kayu. Dia memejam erat sambil menggigit bibirnya dan meringis. Menahan sakit yang menusuk.Telinga Binar berdengung. Kepalanya terasa berputar dan nyeri di pipinya terasa sangat perih. Suara tamparan itu seperti masih bergema di telinganya.Binar terdiam di tempat, matanya berkaca-kaca menahan tangis. Tidak. Tidak boleh menangis di depan nyonya, nanti dia akan makin kesal, pikir Binar.Binar merasakan tangan kecil menggenggam roknya di belakang. Saat menoleh, dia melihat Ardan bersembunyi di belakangnya sambil menangis.“Dasar pembantu kurang ajar! Berani-beraninya menghalangiku!” teriak Celia, nafasnya masih berbau alkohol tajam. Tangannya sudah siap untuk menampar untuk kedua kalinya.Tiba-tiba, sosok Maryam muncul dari balik pintu dapur. “Nyonya! Nyonya, tenanglah!” serunya dan dengan berani menahan lengan Celia yang akan melayang.Beberapa pelayan lain yang sedang mempersiapkan makan malam, akhirnya berkerumun dengan waj

  • Di Ranjang Majikanku   5. Pembantu Kurang Ajar

    Binar membeku. Seluruh tubuhnya kaku, terpaku pada sensasi keras dan panas yang menekan bagian belakang tubuhnya. Dia bahkan menahan napas saat bisa rasakan kedutan samar dari benda keras itu.Gerakan halus itu mengingatkannya pada malam ketika dia tidak sengaja melihat Bhaga di kamarnya, memuaskan dirinya sendiri.Pipi Binar langsung membara, dan jantungnya berdetak kencang di dadanya. Degup yang saling berkejaran dengan milik Bhaga yang menempel di punggungnya. Ini debar takut, bingung, atau…?Bhaga juga tidak bergerak. Napasnya berat di dekat telinga Binar. Dia tampak terperangkap dalam momen itu, dalam kedekatan yang tak semestinya ini.“Jangan bergerak,” bisik Bhaga dengan suara rendah di telinga Binar yang memerah.Binar bisa merasakan Bhaga menggerakkan pinggulnya perlahan, menggesek badannya pada Binar dengan gerakan yang hampir tak kentara.Apa ini? Batin Binar kebingungan. Anehnya, badannya terasa panas. Binar menggigit bibir, menahan desah yang hampir lolos.“Kak Bin... aku

  • Di Ranjang Majikanku   4. Keras dan Panas

    Bangun. Kerjamu sudah selesai. Bukan di sini tempatmu tidur."Suara berat dan tegas itu membangunkan Binar dari tidurnya. Matanya perlahan terbuka, melihat siluet tinggi seorang pria yang berdiri di hadapannya, dan untuk sesaat, dia linglung.Namun, setelah menyadari bahwa pria itu adalah Tuan Bhaga, Binar langsung duduk tegak, rasa tak enak hati dan merasa bersalah langsung menghinggapi."Ma-Maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud..."Bhaga tidak menjawab. Dia hanya memandangnya sebentar sebelum berbalik dan meninggalkan kamar Ardan, memberi isyarat bahwa Binar harus mengikutinya.Binar menegakkan tubuh dengan cepat, segera membenarkan bajunya yang kusut setelahnya, lalu mengikuti Bhaga keluar, menutup pintu kamar Ardan dengan hati-hati.Di koridor yang temaram, suara rendah Bhaga terdengar jelas. “Kamu kelihatan lelah.”Binar menggeleng cepat, "Ah, enggak, Tuan. Saya sudah biasa mengurus anak kecil. Di kampung, saya dulu biasa momong adik teman sampai anak tetangga."Bhaga hanya mendengus

  • Di Ranjang Majikanku   3. Sentuhan Pertama

    Ruang kerja Tuan Bhaga adalah perwujudan dari dirinya sendiri. Megah, elegan, namun dingin dan tanpa sentuhan personal. Dinding yang dipenuhi buku hukum dan bisnis, meja kayu solid yang berantakan dengan dokumen.Pria itu sedang menandatangani seberkas dokumen ketika Maryam masuk, membawa nampan dengan secangkir kopi dan air putih."Kopinya, Tuan," ucap Maryam dengan hormat, meletakkan nampan di atas meja.Bhaga mengangguk singkat tanpa mengangkat kepalanya. "Maryam," ujarnya tiba-tiba, membuat gerak kepala pelayan berhenti. "Pembantu baru itu, Binar, benar? Dia yang akhir-akhir ini sering menemani Ardan?"Maryam mengernyit, tapi tetap menjawab dengan sopan, "Ya, Tuan. Tuan muda Ardan tampak sangat menyukainya. Dia mau makan, belajar, dan mandi tanpa merengek jika ditemani Binar.”"Baik. Dari sekarang, tugas utamanya adalah sebagai pengasuh pribadi Ardan. Urusan rumah tangga lainnya sudah bukan urusannya. Dia yang akan bertanggung jawab penuh atas jadwal dan kebutuhan Ardan.""Baik, T

  • Di Ranjang Majikanku   2. Tukang Ngintip

    Teriakan Nyonya Celia bagai sambaran petir di siang bolong. Binar membeku, jantungnya berdentum kencang hampir keluar dari dada. Apalagi saat tiba-tiba pintu terbuka. Insting untuk bertahan hidup langsung bekerja.Binar membiarkan bola kristal Ardan tergeletak di lantai dan bersembunyi di balik tirai tebal yang menggantung tak jauh dari sana. Tubuhnya sedikit gemetar, mencoba sebisa mungkin tak terlihat menonjol, dengan menahan semua tubuhnya menempel ke dinding.Dari balik tirai, dia bisa mendengar segalanya dengan jelas."Kau pikir dengan memblokir kartu-kartuku, aku akan menurutimu?!" teriak Celia, suaranya melengking dan penuh amarah. "Aku bukan budakmu, Bhaga!"Suara barang pecah membuat Binar menggigit tangannya, menahan keterkejutan yang hampir terdengar."Yang kubutuhkan darimu bukan uang, Celia. Tapi kehadiranmu untuk anak kita!" suara Bhaga terdengar rendah namun penuh tekanan. "Ardan hampir tidak mengenal ibunya. Kau selalu keluar, berpesta, berbelanja, seolah tidak punya t

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status