Binar membeku. Seluruh tubuhnya kaku, terpaku pada sensasi keras dan panas yang menekan bagian belakang tubuhnya. Dia bahkan menahan napas saat bisa rasakan kedutan samar dari benda keras itu.
Gerakan halus itu mengingatkannya pada malam ketika dia tidak sengaja melihat Bhaga di kamarnya, memuaskan dirinya sendiri.
Pipi Binar langsung membara, dan jantungnya berdetak kencang di dadanya. Degup yang saling berkejaran dengan milik Bhaga yang menempel di punggungnya. Ini debar takut, bingung, atau…?
Bhaga juga tidak bergerak. Napasnya berat di dekat telinga Binar. Dia tampak terperangkap dalam momen itu, dalam kedekatan yang tak semestinya ini.
“Jangan bergerak,” bisik Bhaga dengan suara rendah di telinga Binar yang memerah.
Binar bisa merasakan Bhaga menggerakkan pinggulnya perlahan, menggesek badannya pada Binar dengan gerakan yang hampir tak kentara.
Apa ini? Batin Binar kebingungan. Anehnya, badannya terasa panas. Binar menggigit bibir, menahan desah yang hampir lolos.
“Kak Bin... aku haus.”
Suara rengekan dari lorong menyelamatkan situasi canggung mereka berdua.
Mereka berdua langsung menjauh. Bhaga mundur dua langkah, wajahnya tegang menahan malu. Binar perlahan berjalan menyamping dengan wajah merah padam.
"S-Saya urus Tuan muda Ardan dulu, Tuan!" ucap Binar tanpa berani menoleh, lalu melesat keluar ruangan.
Dia menemukan Ardan berdiri di lorong dengan mata berkaca-kaca, memeluk boneka robot. Binar segera menggendongnya. Saat dia membalikkan badan, dia melihat Bhaga berdiri di pintu ruang kerjanya, dengan wajah yang masih tegang.
“Selamat malam, Tuan,” ucap Binar dengan mengangguk sopan sebagai perpisahan.
Bhaga hanya mengangguk singkat, lalu membalikkan badan dan menutup pintu ruang kerjanya dengan agak keras, meninggalkan Binar sendirian dengan Ardan yang masih mengantuk.
Ada campuran rasa di hati Binar. Dia sendiri tak mengerti, tapi perasaan itu membuat tubuhnya terasa penasaran. Dia menggelengkan kepala dan mengatur napas. Tangannya mengelus punggung Ardan pelan.
Setelah membantu Ardan minum, Binar membawanya kembali ke kamar dan menidurkannya untuk kedua kali.
Saat menatap bocah itu tertidur, rasa bersalah menyergapnya. Binar baru saja berbagi momen yang sangat tidak pantas dengan ayah dari anak yang sedang dirawatnya.
Suami dari seorang wanita yang meski menyeramkan, adalah nyonya rumahnya. Dia hanyalah seorang pembantu.
**
Pagi harinya, Binar memandikan Ardan seperti biasa. Saat menyabuni punggung kecil itu dia bertanya dengan hati-hati. “Tuan muda, kalau sama mama sering main bersama?”
Ardan menggeleng, mainan bebek karet bergerak berenang sesuai dengan gerakan tangannya. “Mama sakit,” jawabnya tanpa beban.
"Sakit? Sakit apa, Tuan muda?"
"Pipi mama selalu merah, kayak Ardan kalau demam. Terus kadang mama muntah di kamar mandi. Papa bilang mama sakit, jadi enggak boleh ganggu. Papa juga jadi suka marah karena mama sering sakit," jelas Ardan.
Binar mengerti. Ardan mengira ibunya yang mabuk sebagai penyakit. Dan amarah Bhaga yang dilihatnya adalah akibat dari "penyakit" itu. Pemahaman polosnya menyayat hati Binar.
Masih ada beberapa hal yang mengusik Binar, tapi dia merasa bukan Ardan yang tak sanggup jawab, melainkan hatinya yang tak sanggup menanggung rahasia. Maka, dia fokus menyelesaikan sesi mandi itu dengan cepat.
Saat mereka turun untuk sarapan, Bhaga sudah duduk di meja makan, membaca tablet. Dia tidak menyapa, tetapi ketika Binar menyuapi Ardan, dia berkata tanpa menatap, "Ardan sudah bisa makan sendiri. Jangan manjakan dia terlalu berlebihan."
Binar terkejut. "Tapi, Tuan—"
"Biarkan dia belajar mandiri," potong Bhaga, akhirnya menatapnya. Tatapannya tajam, tapi akhirnya Binar paham.
"Baik, Tuan," jawab Binar lembut. Dia meletakkan sendok dan tersenyum pada Ardan. “Tuan muda kan sudah besar. Walau makan sendiri, kakak tetap menemani di sini.”
Binar menyerahkan sendok pada Ardan dan membiarkannya mulai mencoba menyuapi sendiri.
Awalnya Ardan ragu, tapi akhirnya mau mencoba walau masih sering berjatuhan makanannya.
Bhaga mengamati sebentar, lalu meletakkan tabletnya. "Ayo, Boy. Pegang sendoknya seperti ini," ujarnya, tiba-tiba berdiri dan membetulkan genggaman Ardan.
Itu adalah momen langka di mana Bhaga menunjukkan sisi kebapakan yang lembut, dan Binar terpesona. Dia sampai lupa berkedip.
Tetapi detik berikutnya, dia sadar dan memalingkan muka. Binar mundur sedikit, berdiri di belakang Ardan. Membiarkan momen itu dinikmati oleh keduanya.
Setelah itu, Bhaga berangkat kerja dengan wajah masih dingin, tetapi sempat melirik Binar sebentar sebelum pergi.
Tak lama kemudian, Celia pulang.
Dia masuk dengan langkah terhuyung-huyung, mengenakan gaun hitam ketat yang sudah kusut. Riasan wajahnya berantakan, lipstik memudar di sekitar bibir, eyeliner-nya menghitam di bawah mata. Aroma alkohol dan parfum tercium menyengat begitu dia melewati pintu.
"Bhaga! Di mana kamu?! Keluar!" teriaknya dengan intonasi tak jelas, tangannya sibuk melepas sepatu hak tingginya dengan kasar, dan melemparnya sembarang arah.
Para pelayan, termasuk Maryam, langsung menghilang ke belakang, menghindar jauh. Binar masih berdiri dengan Ardan di gendongannya.
"Kartu kreditku! Aku mau belanja! Dia berani-beraninya masih memblokirnya!" gerutu Celia entah pada siapa.
Dia menoleh. Matanya lalu jatuh pada Binar. "Kamu! Pembantu baru! Bilang pada majikanmu yang pelit itu untuk buka blokir kartuku! Sekarang!"
"Tuan sudah pergi ke kantor, Nyonya," jawab Binar dengan suara kecil, memeluk Ardan lebih erat.
Ardan memeluk leher Binar, ketakutan melihat ibunya marah-marah.
Celia menggerutu dan akhirnya berjalan cepat ke atas, ke kamarnya, sambil terus mengumpat. Tak lama, terdengar bunyi barang-barang yang pecah.
Binar tak mau ambil pusing. Dia memilih menenangkan Ardan dengan mengajaknya bermain.
Beberapa jam kemudian, menjelang petang, saat Binar menemani Ardan menggambar di ruang keluarga, Celia muncul lagi. Wajahnya masih merah, tapi dia sudah berganti baju tidur berbahan sutra. Meski terlihat lebih segar, tapi Binar tahu kalau wanita itu masih sedikit mabuk.
"Ardan, sayang Mama..." Celia mendekat dengan langkah sempoyongan dan mencoba memeluk Ardan.
Ardan ketakutan dan menjauh, bersembunyi di balik punggung Binar.
Celia cemberut, dia mencebik manja. Lalu berpura-pura memasang wajah sedih dengan mata berkaca-kaca.
“Kamu harus bantu Mama, ya, Sayang. Papa kamu sengaja enggak menafkahi Mama dan mau mengurung Mama di sini. Bilang ke Papa kamu untuk buka kartunya, ya? Bilang kalau Papa itu jahat.”
Tangan Ardan semakin keras meremas pakaian Binar.
Hati Binar seperti diremat kuat saat mendengarnya. "Nyonya, tolong. Jangan. Tuan muda masih kecil. Dia tidak seharusnya—"
"Jangan ikut campur, kamu!" potong Celia dengan suara melengking. Dia mencoba meraih lengan Ardan. "Dengar Mama, Ardan."
Binar dengan spontan melangkah, menghalangi Celia dan dengan lembut menjauhkan Ardan. "Nyonya, dia hanya anak-anak. Ini bukan urusannya. Mari saya antar Nyonya kembali ke kamar."
Wajah Celia yang tadinya lembut menatap Ardan, kini berubah marah dengan mata membara. Penolakan dan perlindungan Binar terhadap Ardan dianggapnya sebagai pembangkangan. “Pembantu kurang ajar!”
"Beraninya kau menghalangiku dari anakku sendiri?”
Sebelum Binar bisa bereaksi, tangan Celia yang penuh cincin sudah melayang dengan cepat dan keras.
PLAK!
Tamparan itu mendarat di pipi Binar dengan suara yang kencang, meninggalkan bekas merah dan rasa perih juga nyeri.
Ucapan Bhaga membuat Binar tersentak dan pipinya memerah malu. “M-maaf, Tuan, saya—ah!”Binar terlonjak mundur begitu ujung jari Bhaga menyentuh kain roknya. Rasanya seperti tersengat listrik. Jantungnya berdebar kencang, hampir keluar dari dadanya. Darahnya berdesir hebat, dia membasahi tenggorokan dengan susah payah.Binar bisa merasakan jemari Bhaga menyentuh lututnya. “Angkat rok kamu lebih tinggi. Biar saya obati sekalian.”Wajah Bhaga mendekat ke bagian bawah Binar, tangannya sudah dengan sigap memegangi satu lutut. Tangan satunya lagi sudah naik, mengelus-elus lebam di paha mulus itu.“T-Tuan. Jangan!” lirihnya malu. Dia melirik Bhaga dengan kedua tangan mencengkeram erat roknya. Wajahnya merah padam. Malu, bingung, dan sedikit ... tergoda. Tapi dia segera mengusir pikiran itu.Bhaga terdiam. Tangannya masih terulur di antara paha Binar. Detik berikutnya, ekspresinya berganti dengan rasa tak enak karena merasa ditolak. Dia menarik napas panjang dan menurunkan tangannya.“Baikla
Tubuh Binar terhuyung ke samping dan kakinya membentur kursi kayu. Dia memejam erat sambil menggigit bibirnya dan meringis. Menahan sakit yang menusuk.Telinga Binar berdengung. Kepalanya terasa berputar dan nyeri di pipinya terasa sangat perih. Suara tamparan itu seperti masih bergema di telinganya.Binar terdiam di tempat, matanya berkaca-kaca menahan tangis. Tidak. Tidak boleh menangis di depan nyonya, nanti dia akan makin kesal, pikir Binar.Binar merasakan tangan kecil menggenggam roknya di belakang. Saat menoleh, dia melihat Ardan bersembunyi di belakangnya sambil menangis.“Dasar pembantu kurang ajar! Berani-beraninya menghalangiku!” teriak Celia, nafasnya masih berbau alkohol tajam. Tangannya sudah siap untuk menampar untuk kedua kalinya.Tiba-tiba, sosok Maryam muncul dari balik pintu dapur. “Nyonya! Nyonya, tenanglah!” serunya dan dengan berani menahan lengan Celia yang akan melayang.Beberapa pelayan lain yang sedang mempersiapkan makan malam, akhirnya berkerumun dengan waj
Binar membeku. Seluruh tubuhnya kaku, terpaku pada sensasi keras dan panas yang menekan bagian belakang tubuhnya. Dia bahkan menahan napas saat bisa rasakan kedutan samar dari benda keras itu.Gerakan halus itu mengingatkannya pada malam ketika dia tidak sengaja melihat Bhaga di kamarnya, memuaskan dirinya sendiri.Pipi Binar langsung membara, dan jantungnya berdetak kencang di dadanya. Degup yang saling berkejaran dengan milik Bhaga yang menempel di punggungnya. Ini debar takut, bingung, atau…?Bhaga juga tidak bergerak. Napasnya berat di dekat telinga Binar. Dia tampak terperangkap dalam momen itu, dalam kedekatan yang tak semestinya ini.“Jangan bergerak,” bisik Bhaga dengan suara rendah di telinga Binar yang memerah.Binar bisa merasakan Bhaga menggerakkan pinggulnya perlahan, menggesek badannya pada Binar dengan gerakan yang hampir tak kentara.Apa ini? Batin Binar kebingungan. Anehnya, badannya terasa panas. Binar menggigit bibir, menahan desah yang hampir lolos.“Kak Bin... aku
Bangun. Kerjamu sudah selesai. Bukan di sini tempatmu tidur."Suara berat dan tegas itu membangunkan Binar dari tidurnya. Matanya perlahan terbuka, melihat siluet tinggi seorang pria yang berdiri di hadapannya, dan untuk sesaat, dia linglung.Namun, setelah menyadari bahwa pria itu adalah Tuan Bhaga, Binar langsung duduk tegak, rasa tak enak hati dan merasa bersalah langsung menghinggapi."Ma-Maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud..."Bhaga tidak menjawab. Dia hanya memandangnya sebentar sebelum berbalik dan meninggalkan kamar Ardan, memberi isyarat bahwa Binar harus mengikutinya.Binar menegakkan tubuh dengan cepat, segera membenarkan bajunya yang kusut setelahnya, lalu mengikuti Bhaga keluar, menutup pintu kamar Ardan dengan hati-hati.Di koridor yang temaram, suara rendah Bhaga terdengar jelas. “Kamu kelihatan lelah.”Binar menggeleng cepat, "Ah, enggak, Tuan. Saya sudah biasa mengurus anak kecil. Di kampung, saya dulu biasa momong adik teman sampai anak tetangga."Bhaga hanya mendengus
Ruang kerja Tuan Bhaga adalah perwujudan dari dirinya sendiri. Megah, elegan, namun dingin dan tanpa sentuhan personal. Dinding yang dipenuhi buku hukum dan bisnis, meja kayu solid yang berantakan dengan dokumen.Pria itu sedang menandatangani seberkas dokumen ketika Maryam masuk, membawa nampan dengan secangkir kopi dan air putih."Kopinya, Tuan," ucap Maryam dengan hormat, meletakkan nampan di atas meja.Bhaga mengangguk singkat tanpa mengangkat kepalanya. "Maryam," ujarnya tiba-tiba, membuat gerak kepala pelayan berhenti. "Pembantu baru itu, Binar, benar? Dia yang akhir-akhir ini sering menemani Ardan?"Maryam mengernyit, tapi tetap menjawab dengan sopan, "Ya, Tuan. Tuan muda Ardan tampak sangat menyukainya. Dia mau makan, belajar, dan mandi tanpa merengek jika ditemani Binar.”"Baik. Dari sekarang, tugas utamanya adalah sebagai pengasuh pribadi Ardan. Urusan rumah tangga lainnya sudah bukan urusannya. Dia yang akan bertanggung jawab penuh atas jadwal dan kebutuhan Ardan.""Baik, T
Teriakan Nyonya Celia bagai sambaran petir di siang bolong. Binar membeku, jantungnya berdentum kencang hampir keluar dari dada. Apalagi saat tiba-tiba pintu terbuka. Insting untuk bertahan hidup langsung bekerja.Binar membiarkan bola kristal Ardan tergeletak di lantai dan bersembunyi di balik tirai tebal yang menggantung tak jauh dari sana. Tubuhnya sedikit gemetar, mencoba sebisa mungkin tak terlihat menonjol, dengan menahan semua tubuhnya menempel ke dinding.Dari balik tirai, dia bisa mendengar segalanya dengan jelas."Kau pikir dengan memblokir kartu-kartuku, aku akan menurutimu?!" teriak Celia, suaranya melengking dan penuh amarah. "Aku bukan budakmu, Bhaga!"Suara barang pecah membuat Binar menggigit tangannya, menahan keterkejutan yang hampir terdengar."Yang kubutuhkan darimu bukan uang, Celia. Tapi kehadiranmu untuk anak kita!" suara Bhaga terdengar rendah namun penuh tekanan. "Ardan hampir tidak mengenal ibunya. Kau selalu keluar, berpesta, berbelanja, seolah tidak punya t