Share

7. Jangan, Tuan!

Penulis: Keke Chris
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-30 10:27:32

Ucapan Bhaga membuat Binar tersentak dan pipinya memerah malu. “M-maaf, Tuan, saya—ah!”

Binar terlonjak mundur begitu ujung jari Bhaga menyentuh kain roknya. Rasanya seperti tersengat listrik. Jantungnya berdebar kencang, hampir keluar dari dadanya. Darahnya berdesir hebat, dia membasahi tenggorokan dengan susah payah.

Binar bisa merasakan jemari Bhaga menyentuh lututnya. “Angkat rok kamu lebih tinggi. Biar saya obati sekalian.”

Wajah Bhaga mendekat ke bagian bawah Binar, tangannya sudah dengan sigap memegangi satu lutut. Tangan satunya lagi sudah naik, mengelus-elus lebam di paha mulus itu.

“T-Tuan. Jangan!” lirihnya malu. Dia melirik Bhaga dengan kedua tangan mencengkeram erat roknya. Wajahnya merah padam. Malu, bingung, dan sedikit ... tergoda. Tapi dia segera mengusir pikiran itu.

Bhaga terdiam. Tangannya masih terulur di antara paha Binar. Detik berikutnya, ekspresinya berganti dengan rasa tak enak karena merasa ditolak. Dia menarik napas panjang dan menurunkan tangannya.

“Baiklah. Maaf,” gumamnya. “Oleskan juga salepnya di situ. Memarnya akan cepat hilang dan es bisa mengurangi bengkaknya.”

Tanpa menunggu respon Binar, Bhaga berbalik dan meninggalkan kamar dengan langkah cepat. Meninggalkan Binar sendirian dengan napas terengah.

**

Keesokan hari, suasana rumah terasa bagai diselimuti kabut. Celia tidak turun untuk sarapan, sedangkan Bhaga sudah berangkat lebih awal.

Pipi Binar masih sedikit merah dan membengkak, tapi dia berusaha menjalani rutinitasnya seperti biasa. Tapi bayangan semalam terus berputar dan rasa sesak itu malah semakin menjadi.

Saat sore datang, Binar membawa Ardan ke taman di belakang rumah. Mengajaknya bermain sambil belajar seperti biasa.

Dia mendorong Ardan di ayunan, mencoba tersenyum dan mengajak bercanda agar bocah itu kembali ceria.

Dia sedang menggelitiki Ardan dalam pelukannya, tertawa bersama dan bercanda sambil mendengarkan celotehan Ardan.

Tiba-tiba, suara langkah yang belakangan mulai familier mulai mendekat. Langkah arogan dari sepatu hak tinggi beradu lantai.

Celia berjalan menghampiri keduanya. Wajahnya terlihat pucat dengan mata yang sedikit membengkak, tapi auranya masih terlihat menakutkan. Dia mengabaikan Binar dan langsung memeluk Ardan yang baru saja diturunkan dari gendongan Binar.

“Sayangku, maafkan mama ya,” bisiknya pada Ardan. Lalu, tanpa melihat ke arah Binar, dia berkata, “Aku dan Ardan akan menghabiskan waktu bersama. Kamu tidak diperlukan.”

Binar hanya mengangguk patuh. “Baik, Nyonya.”

Dia sudah hampir pergi, tapi lengannya ditahan dari belakang. Cengkeramannya begitu kuat dan Binar menahan diri untuk tidak meringis.

Celia mendekat. Wajah keduanya kini begitu dekat dan Celia berbisik tajam.

“Aku melihat caramu memandang suamiku, dasar jalang. Kamu cuma pembantu di sini, jangan berani-beraninya kamu dekati dia.”

Binar membeku. Dia hanya mengangguk patuh dan tidak berani membantah.

Sepanjang hari, Binar berusaha menghindari kedua majikannya. Dia menyibukkan diri dengan membereskan kamar Ardan dan semua mainannya. Tanpa menyadari kalau Bhaga mendekat.

“Di mana Ardan?”

Binar langsung berdiri tegap mendengar suara Bhaga tiba-tiba dari belakang, tapi karena grogi dan masih teringat akan ancaman Celia, dia kehilangan keseimbangan. Kakinya tersandung karpet.

Bhaga dengan cepat meraih lengan Binar dan menahannya. Membantunya untuk berdiri, tapi tak kunjung melepaskan. Seolah tangannya nyaman bertengger di lengan Binar.

“Tuan muda ... bersama nyonya, tadi saya cek sudah tidur, Tuan,” jawab Binar lirih.

Seketika itu juga, genggaman Bhaga mengendur. Ekspresinya berubah masam.

“Kamu biarkan Celia mendekati Ardan?”

Binar menelan ludah. Bhaga terlihat kecewa sekali mendengar Celia bersama Ardan. Tentunya, kejadian kemarin masih menyisakan amarah Bhaga.

“Maaf, Tuan… Nyonya sendiri yang meminta ingin berdua saja dengan Tuan Muda,” balas Binar takut-takut.

Bhaga cuma menghela napas sebelum melihat ke Binar kembali. “Kamu sendiri? Sudah mau tidur?”

Binar menunduk dengan kikuk. “I-ini saya mau kembali ke kamar, Tuan …”

Bhaga tidak menjawab, alih-alih mengangkat tangan, sangat perlahan, jari-jarinya hampir menyentuh pipi yang masih menyisakan memar.

Tapi tiba-tiba, suara langkah dari hak tinggi yang khas terdengar dari lantai atas.

Bhaga menarik tangannya.

“Pergi ke kamarmu. Sekarang,” bisiknya pada Binar, suaranya mendesak.

Binar, dengan hati berdebar-debar ketakutan, mengangguk cepat dan berbalik untuk lari.

Perintah itu membuatnya semakin ketakutan. Terlebih saat naik ke lantai dua, dia melihat Celia di ujung lorong sedang berjalan ke arahnya.

“Sayang.”

Lalu, dia mendengar langkah Bhaga yang berat berjalan menuju tangga, memenuhi panggilan istrinya.

Binar dengan cepat bersembunyi di samping lemari besar dan memundurkan dirinya di sudut. Jantungnya berdegup kencang.

Sementara itu, suara langkah kedua majikannya terdengar mendekat dan berhenti di dekat lemari tempat bersembunyinya.

“Apa, Celia?” balas Bhaga dengan nada datarnya yang biasa.

Suara Celia berubah memanja. “Jangan galak-galak. Aku kangen, Sayang.” Dia mendekat dan memeluk leher Bhaga, menempelkan tubuh dengan gerakan menggoda.

Binar mengintip. Entah kenapa penasaran, ingin tahu reaksi Bhaga.

Tangan Bhaga berusaha melepaskan tangan istrinya. “Celia—”

Kata dari bibir Bhaga terputus, dibungkam oleh lumatan dan cecapan dari bibir Celia.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Di Ranjang Majikanku   7. Jangan, Tuan!

    Ucapan Bhaga membuat Binar tersentak dan pipinya memerah malu. “M-maaf, Tuan, saya—ah!”Binar terlonjak mundur begitu ujung jari Bhaga menyentuh kain roknya. Rasanya seperti tersengat listrik. Jantungnya berdebar kencang, hampir keluar dari dadanya. Darahnya berdesir hebat, dia membasahi tenggorokan dengan susah payah.Binar bisa merasakan jemari Bhaga menyentuh lututnya. “Angkat rok kamu lebih tinggi. Biar saya obati sekalian.”Wajah Bhaga mendekat ke bagian bawah Binar, tangannya sudah dengan sigap memegangi satu lutut. Tangan satunya lagi sudah naik, mengelus-elus lebam di paha mulus itu.“T-Tuan. Jangan!” lirihnya malu. Dia melirik Bhaga dengan kedua tangan mencengkeram erat roknya. Wajahnya merah padam. Malu, bingung, dan sedikit ... tergoda. Tapi dia segera mengusir pikiran itu.Bhaga terdiam. Tangannya masih terulur di antara paha Binar. Detik berikutnya, ekspresinya berganti dengan rasa tak enak karena merasa ditolak. Dia menarik napas panjang dan menurunkan tangannya.“Baikla

  • Di Ranjang Majikanku   6. Angkat Rokmu

    Tubuh Binar terhuyung ke samping dan kakinya membentur kursi kayu. Dia memejam erat sambil menggigit bibirnya dan meringis. Menahan sakit yang menusuk.Telinga Binar berdengung. Kepalanya terasa berputar dan nyeri di pipinya terasa sangat perih. Suara tamparan itu seperti masih bergema di telinganya.Binar terdiam di tempat, matanya berkaca-kaca menahan tangis. Tidak. Tidak boleh menangis di depan nyonya, nanti dia akan makin kesal, pikir Binar.Binar merasakan tangan kecil menggenggam roknya di belakang. Saat menoleh, dia melihat Ardan bersembunyi di belakangnya sambil menangis.“Dasar pembantu kurang ajar! Berani-beraninya menghalangiku!” teriak Celia, nafasnya masih berbau alkohol tajam. Tangannya sudah siap untuk menampar untuk kedua kalinya.Tiba-tiba, sosok Maryam muncul dari balik pintu dapur. “Nyonya! Nyonya, tenanglah!” serunya dan dengan berani menahan lengan Celia yang akan melayang.Beberapa pelayan lain yang sedang mempersiapkan makan malam, akhirnya berkerumun dengan waj

  • Di Ranjang Majikanku   5. Pembantu Kurang Ajar

    Binar membeku. Seluruh tubuhnya kaku, terpaku pada sensasi keras dan panas yang menekan bagian belakang tubuhnya. Dia bahkan menahan napas saat bisa rasakan kedutan samar dari benda keras itu.Gerakan halus itu mengingatkannya pada malam ketika dia tidak sengaja melihat Bhaga di kamarnya, memuaskan dirinya sendiri.Pipi Binar langsung membara, dan jantungnya berdetak kencang di dadanya. Degup yang saling berkejaran dengan milik Bhaga yang menempel di punggungnya. Ini debar takut, bingung, atau…?Bhaga juga tidak bergerak. Napasnya berat di dekat telinga Binar. Dia tampak terperangkap dalam momen itu, dalam kedekatan yang tak semestinya ini.“Jangan bergerak,” bisik Bhaga dengan suara rendah di telinga Binar yang memerah.Binar bisa merasakan Bhaga menggerakkan pinggulnya perlahan, menggesek badannya pada Binar dengan gerakan yang hampir tak kentara.Apa ini? Batin Binar kebingungan. Anehnya, badannya terasa panas. Binar menggigit bibir, menahan desah yang hampir lolos.“Kak Bin... aku

  • Di Ranjang Majikanku   4. Keras dan Panas

    Bangun. Kerjamu sudah selesai. Bukan di sini tempatmu tidur."Suara berat dan tegas itu membangunkan Binar dari tidurnya. Matanya perlahan terbuka, melihat siluet tinggi seorang pria yang berdiri di hadapannya, dan untuk sesaat, dia linglung.Namun, setelah menyadari bahwa pria itu adalah Tuan Bhaga, Binar langsung duduk tegak, rasa tak enak hati dan merasa bersalah langsung menghinggapi."Ma-Maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud..."Bhaga tidak menjawab. Dia hanya memandangnya sebentar sebelum berbalik dan meninggalkan kamar Ardan, memberi isyarat bahwa Binar harus mengikutinya.Binar menegakkan tubuh dengan cepat, segera membenarkan bajunya yang kusut setelahnya, lalu mengikuti Bhaga keluar, menutup pintu kamar Ardan dengan hati-hati.Di koridor yang temaram, suara rendah Bhaga terdengar jelas. “Kamu kelihatan lelah.”Binar menggeleng cepat, "Ah, enggak, Tuan. Saya sudah biasa mengurus anak kecil. Di kampung, saya dulu biasa momong adik teman sampai anak tetangga."Bhaga hanya mendengus

  • Di Ranjang Majikanku   3. Sentuhan Pertama

    Ruang kerja Tuan Bhaga adalah perwujudan dari dirinya sendiri. Megah, elegan, namun dingin dan tanpa sentuhan personal. Dinding yang dipenuhi buku hukum dan bisnis, meja kayu solid yang berantakan dengan dokumen.Pria itu sedang menandatangani seberkas dokumen ketika Maryam masuk, membawa nampan dengan secangkir kopi dan air putih."Kopinya, Tuan," ucap Maryam dengan hormat, meletakkan nampan di atas meja.Bhaga mengangguk singkat tanpa mengangkat kepalanya. "Maryam," ujarnya tiba-tiba, membuat gerak kepala pelayan berhenti. "Pembantu baru itu, Binar, benar? Dia yang akhir-akhir ini sering menemani Ardan?"Maryam mengernyit, tapi tetap menjawab dengan sopan, "Ya, Tuan. Tuan muda Ardan tampak sangat menyukainya. Dia mau makan, belajar, dan mandi tanpa merengek jika ditemani Binar.”"Baik. Dari sekarang, tugas utamanya adalah sebagai pengasuh pribadi Ardan. Urusan rumah tangga lainnya sudah bukan urusannya. Dia yang akan bertanggung jawab penuh atas jadwal dan kebutuhan Ardan.""Baik, T

  • Di Ranjang Majikanku   2. Tukang Ngintip

    Teriakan Nyonya Celia bagai sambaran petir di siang bolong. Binar membeku, jantungnya berdentum kencang hampir keluar dari dada. Apalagi saat tiba-tiba pintu terbuka. Insting untuk bertahan hidup langsung bekerja.Binar membiarkan bola kristal Ardan tergeletak di lantai dan bersembunyi di balik tirai tebal yang menggantung tak jauh dari sana. Tubuhnya sedikit gemetar, mencoba sebisa mungkin tak terlihat menonjol, dengan menahan semua tubuhnya menempel ke dinding.Dari balik tirai, dia bisa mendengar segalanya dengan jelas."Kau pikir dengan memblokir kartu-kartuku, aku akan menurutimu?!" teriak Celia, suaranya melengking dan penuh amarah. "Aku bukan budakmu, Bhaga!"Suara barang pecah membuat Binar menggigit tangannya, menahan keterkejutan yang hampir terdengar."Yang kubutuhkan darimu bukan uang, Celia. Tapi kehadiranmu untuk anak kita!" suara Bhaga terdengar rendah namun penuh tekanan. "Ardan hampir tidak mengenal ibunya. Kau selalu keluar, berpesta, berbelanja, seolah tidak punya t

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status