LOGINAroma mawar dan eucalyptus memenuhi ruangan ketika Clara menunduk merapikan rangkaian bunga yang baru saja ia mulai.
Tangannya bekerja cekatan, menyisipkan batang demi batang ke dalam vas kristal, membentuk kombinasi warna lembut sesuai yang dipesan pelanggan. "Jadi benar ya, Bu?" Suara Nella, salah satu pegawai Clara, memecah keheningan. Clara mendongak sedikit, pada Nella yang bersandar di meja kasir sambil mengunyah permen karet. "Apa?" "Itu loh... katanya cucu pertama Mananta Group sudah pulang ke Indonesia." Clara membenarkan posisi bunga lily yang mulai mekar. “Kamu dengar dari siapa?” “Sarah," jawab Nella cepat. Dagu lancipnya menunjuk ke arah sudut ruangan, tempat Sarah sedang memberi label harga pada pot bunga kecil. “Dia dengar dari temannya yang jadi salah satu pelayan di rumah keluarga Mananta." Jelas Nella. Clara mencoba tertawa kecil. “Iya… dia pulang.” “Oh, jadi benar?!” seru Nella sambil mengangkat alis tinggi, lalu mulai heboh memanggil Sarah.“Sarah! Cepat kemari! Kata Bu Clara, Regan Oliver benar-benar sudah kembali!"
“Nella.” Clara menghela napas, berusaha menahan ketegangan yang muncul otomatis begitu nama itu disebut.
Tapi Nella hanya tersenyum lebar. Tidak berniat berhenti untuk membahas topik menarik kali ini.
"Benar, kan? Aku juga baru lihat beritanya tadi. Ada artikel yang memberitakan kepulangan Regan Oliver." Sarah ikut bergabung, wajahnya berbinar seperti remaja yang sedang membicarakan selebriti.
“Lihat! Ini foto yang diambil di bandara. Gila! Padahal dia bukan aktor, tapi wajahnya benar-benar tampan!" Serunya, sambil memperlihatkan layar ponsel yang menyala.
"Astaga... Apa sekarang gaya rambutnya sudah diubah lagi?" Nella membuka mulutnya kaget. Seolah foto itu membuatnya terhipnotis.
"Bukankah gaya rambut undercut sangat cocok dengannya?"
"Kamu benar! Dia terlihat seperti grup idol Korea!"
Clara mendesah pelan mendengar percakapan heboh dua karyawannya.
Apa Regan sepopuler itu?
Clara menunduk untuk kembali merangkai, tetapi tawa kecil kedua karyawannya membuat wajahnya memanas tanpa alasan.
Oh, benar, bagaimana bisa ia tidak mengenali Regan malam itu?
Mereka memang sudah lama sekali tidak bertemu. Terakhir, mungkin saat masih SMA? Clara tidak begitu ingat karena mereka memang sama sekali tidak dekat.
Regan Oliver Mananta adalah manusia arogan yang hanya mau bergaul dengan orang-orang yang setara dengannya. Sifatnya benar-benar buruk sampai Clara tidak mau terlibat.
Jauh berbeda dengan Sean yang lebih sopan dan mau bergaul dengan siapapun. Sikapnya manis meski terkadang kaku.
Setelah lulus SMA, Clara tidak pernah lagi melihat Regan di kediaman Mananta. Bahkan saat pernikahan sepupunya pun, lelaki itu tidak hadir untuk sekedar mengucapkan selamat.
Tidak heran Clara tidak langsung mengenalinya. Terlebih... Dalam keadaan seperti itu. Clara buru-buru menggeleng. Berusaha mengusir ingatan yang baru saja muncul di kepala. "Bu Clara, apa Ibu baik-baik saja?" Tanya Sarah cemas.Sebelum Clara menjawab, bel pintu toko berdenting pelan.
Dan suara yang masuk membuat jantung Clara berdetak lebih cepat. “Jadi ini toko bunga yang kakek hadiahkan untukmu?" Clara mematung untuk beberapa waktu. Di sana, Regan berdiri dengan kemeja putih tergulung di lengan, celana hitam santai, dan senyum yang terlalu percaya diri. Detik itu, suasana hening dalam beberapa waktu --sebelum akhirnya ribut dalam bisikan panik.“Oh my god itu dia!”
"Dia benar-benar tampan!"
“Dia lebih tampan dari pada di foto!" Nella dan Sarah tidak bisa menahan diri. Sementara Clara hanya berdiri mematung dengan gunting yang hampir jatuh dari tangan.Ini... Benar-benar pertemuan yang tidak pernah Clara impikan.
Regan berjalan masuk dengan langkah santai. Sejenak, ia tersenyum pada gadis-gadis muda yang sejak tadi membicarakannya dengan heboh.Kemudian mengunci tatapannya pada Clara.
“Aku mau pesan bunga,” katanya. “O—oh, tentu, Kak,” ucap Sarah cepat. “Bisa saya bantu?” Regan tersenyum, tapi ia tetap menatap Clara. “Aku mau Clara yang buat.” Nella di belakang kasir hampir tersedak permennya. Meski ia bukan ahli membaca wajah, tapi ia bisa melihat sesuatu yang gila di wajah lelaki itu. Berusaha bersikap tenang, Clara bertanya profesional. “Apa yang kamu butuhkan, Tuan Regan?” Regan berjalan mendekat, menyelipkan satu tangan di saku. “Buket bunga yang polos, cantik... dan menarik." Sarah menutupi mulutnya, sedangkan Nella menatap bergantian keduanya seperti menonton drama favorit. “Baik. Untuk warnanya?" Tanya Clara lagi, tanpa memperdulikan tatapan Regan yang seolah ingin memangsanya. Regan tidak langsung menjawab, tapi matanya menatap Clara begitu lama. Sebuah tindakan berani yang akan membuat siapapun yang melihatnya semakin curiga. “Ini bukan hanya perasaanku saja, kan?" bisik Nella yang langsung ditendang halus oleh Sarah. Clara menahan diri untuk tidak terbawa emosi. “Mau warna apa?" Ia mengulang pertanyaan dengan sedikit jengkel."Merah." Jawab Regan akhirnya.
"Baik--"
"Hmm... Apa warna kesukaanmu?"
Pada akhirnya pertanyaan itu membuat Clara mendongak. Ia menatap Regan dengan sorot mata yang seolah berbicara, 'Kenapa kamu menanyakan sesuatu yang tidak penting?'
"Putih?" Regan mengabaikan tatapan tajam Clara.
Pintu toko kembali terbuka. Kedatangan beberapa pelanggan baru mengalihkan perhatian Nella dan Sarah.
"Selama datang..." Ucap keduanya menyambut.
Clara pikir Regan akan berhenti, tapi lelaki itu tetap di sana, tidak bergeser satu senti pun.
"Atau merah muda?" Ia justru kembali pada pertanyaan konyol itu.
Clara menghela napas berat. Menjawab sambil memilih beberapa bunga. "Hitam."
"Hmm itu mengingatkanku pada gaun yang kamu pakai malam itu."
"Aw!" Clara mengaduh ketika jemarinya tidak sengaja menyentuh duri mawar. Itu semua karena ucapan Regan yang membuatnya terkejut.
"Biar kulihat."
Clara membelalak ketika Regan menarik tangannya. Gerakan itu terlalu cepat dan spontan.
Sebelum ia sempat menarik diri, bibir Regan sudah menyentuh ujung jarinya --hangat, lembap, dan terlalu berani. Lidahnya menyapu kulit Clara dengan perlahan, seolah menikmati tiap detiknya.
Clara tersentak, tubuhnya mendadak terasa aneh. Lantas buru-buru menarik tangannya kembali.
“Apa yang kamu lakukan?!” serunya, suara bergetar antara marah dan malu.Regan hanya tersenyum tipis, tatapannya tajam seperti sedang membaca reaksi tubuh Clara dengan akurat.
“Darahmu terasa manis,” gumamnya rendah, nyaris seperti bisikan yang menelusup masuk ke telinga Clara. “Apa aku boleh menjilatnya lagi?”Clara mundur selangkah, wajahnya memerah. “Apa kamu vampir?” desisnya. Ia marah namun lututnya nyaris goyah.
Tawa Regan pecah pelan. Tawa yang rendah namun entah kenapa membuat tubuh Clara merinding. Ia memiringkan kepala, memerhatikan Clara seperti seseorang yang sedang menikmati pemandangan paling menarik di ruangan itu.
Tatapannya lalu turun ke bibir Clara. Bibir yang sejak tadi menegang, sedikit terbuka karena kejutannya.
Ia bergerak lebih dekat—cukup dekat hingga Clara bisa merasakan embusan napasnya di wajah.
“Aku mau buket bunga merah muda,” ujarnya pelan, sengaja memberikan jeda panjang seolah ingin Clara menangkap maksud tersembunyi di balik kata-katanya.Matanya kembali turun ke bibir Clara.
“Kalau bisa…” suaranya semakin rendah, nyaris seperti bisikan nakal yang hanya ditujukan untuknya, “yang warnanya persis seperti bibirmu.”Saat itu, Clara merasa jantungnya berdetak terlalu cepat. Sementara Regan tidak berhenti menatap bibirnya.
Seolah ia sebenarnya menginginkan lebih dari sekadar buket bunga.
Aroma mawar dan eucalyptus memenuhi ruangan ketika Clara menunduk merapikan rangkaian bunga yang baru saja ia mulai.Tangannya bekerja cekatan, menyisipkan batang demi batang ke dalam vas kristal, membentuk kombinasi warna lembut sesuai yang dipesan pelanggan."Jadi benar ya, Bu?" Suara Nella, salah satu pegawai Clara, memecah keheningan.Clara mendongak sedikit, pada Nella yang bersandar di meja kasir sambil mengunyah permen karet. "Apa?""Itu loh... katanya cucu pertama Mananta Group sudah pulang ke Indonesia."Clara membenarkan posisi bunga lily yang mulai mekar. “Kamu dengar dari siapa?”“Sarah," jawab Nella cepat. Dagu lancipnya menunjuk ke arah sudut ruangan, tempat Sarah sedang memberi label harga pada pot bunga kecil. “Dia dengar dari temannya yang jadi salah satu pelayan di rumah keluarga Mananta." Jelas Nella. Clara mencoba tertawa kecil. “Iya… dia pulang.”“Oh, jadi benar?!” seru Nella sambil mengangkat alis tinggi, lalu mulai heboh memanggil Sarah. “Sarah! Cepat kemari!
Clara gugup dengan uluran tangan itu. Tangannya dingin, jemarinya bergetar. Dunia seakan berputar dan hampir membuatnya jatuh. Sendok Clara berhenti di udara.Ia bisa merasakan tatapan Regan tertuju padanya, bahkan sebelum ia menoleh.Ketika Clara akhirnya menengok ke arah laki-laki itu, Regan memang sedang menatapnya. Senyum jahil, nakal, menggodanya—senyum yang langsung menyeret ingatan Clara pada malam memalukan itu.“Baik.”Clara buru-buru mengalihkan pandangan, jantungnya memukul keras. Tangannya yang memegang sendok sedikit bergetar, enggan membalas uluran tangannya.Sean tidak menyadari apapun. Ia tetap makan, tak mengangkat kepala sama sekali. Seakan dunia lain tak berarti baginya.“Sean,” lanjut Jusuf sambil beralih menatap cucu keduanya, “aku sangat puas dengan laporan bulan ini. Kamu melakukan perkembangan besar.”Sean mengangkat dagu sedikit. “Terima kasih, Kek.”“Kamu selalu konsisten. Selalu disiplin. Tidak seperti sepupumu ini,” gumam Jusuf sambil menggeleng, membuat R
Sejak ibunya meninggal, rumah besar keluarga Mananta tidak lagi terasa hangat bagi Clara.Dulu, Mila, ibunya adalah kepala pelayan yang bekerja di rumah itu selama puluhan tahun. Sosok yang disegani dan disukai oleh para pelayan lain. Clara masih kecil ketika Mila membawanya tinggal di sana --menempati rumah pelayan yang terpisah di sisi barat halaman.Meski tinggal di lingkungan keluarga kaya, Clara tidak lupa siapa dirinya. Ia tidak pernah mengganggu pekerjaan ibunya. Sebaliknya, Clara justru membantu apa pun yang bisa dilakukan—memetik sayur di kebun, menyiram tanaman, bahkan menanam bunga di taman belakang. Karena itu para pelayan menyayanginya, dan di masa itu, Clara merasa bahagia.Tapi setelah ibunya meninggal… segalanya berubah.Clara dijodohkan dengan Sean Fernandes—cucu kedua Tuan Jusuf, pemilik Mananta Group. Sebuah perjodohan yang lahir dari balas budi karena ibunya mendonorkan jantung kepada Tuan Jusuf sebelum meninggal. Sebuah hutang nyawa yang ingin dibayar dengan ikata
Sudah lima kali Clara membersihkan diri di kamar mandi. Meski tubuhnya terasa licin oleh sabun, rasa kotor itu tetap menempel kuat. Ia merasa jijik pada dirinya sendiri—lebih dari rasa jijik yang ia rasakan pada Sean.Saat Clara keluar dari kamar mandi, Sean baru saja pulang. Matanya melirik Clara sekilas, tapi hanya sebatas itu. Tidak lebih, tidak ada ketertarikan sama sekali. Padahal… Clara hanya menggunakan handuk pendek. Penampilan yang cukup membuatnya malu di depan seseorang yang bahkan tidak pernah menganggapnya sebagai seorang wanita. "Baru pulang?" Clara berusaha menjaga nada suaranya tetap netral. Berjalan menuju lemari untuk mengambil pakaian. "Hmm. Semalam aku tidur di kantor," jawab Sean tanpa menatap.Pembohong. Aku tahu kamu tidur di hotel dengan selingkuhanmu.Clara memaki dalam hati, namun bibirnya tetap kelu."Oh begitu," hanya itu yang sanggup ia ucapkan sebelum akhirnya menanggalkan handuk dan mengganti pakaian tepat di hadapan Sean. Tapi lagi-lagi lelaki itu
Clara memejamkan matanya rapat ketika bibir lelaki itu menyentuh lehernya. Sentuhan panas itu membuat tubuhnya menegang sekaligus gemetar. Di bawah cahaya kamar hotel yang temaram, ia meremas ujung rok dress hitamnya agar tetap sadar. Pengaruh alkohol membuat dunia berputar, tetapi lengan kekar itu menangkap pinggangnya—mengangkat tubuhnya dengan mudah sebelum membawanya ke tempat tidur. “Emh…” Clara tersenyum kecil. Rasa malu dan sakit hati yang tadi membakar dadanya tergantikan oleh getaran aneh yang selama ini hanya ia bayangkan. Ia sudah menunggu ini selama satu tahun. Menunggu Sean. Menunggu suaminya sendiri. Ketika lelaki itu berhenti bergerak, Clara membuka mata. Ia berada di bawah. Dia berada di atas. Posisi yang seharusnya Clara impikan. “Kenapa berhenti?” bisiknya cemas. Ada ketakutan liar bahwa Sean akan menolaknya lagi—seperti dulu. Seperti saat ia menawarkan diri hanya untuk dibuang mentah-mentah. Tak ingin kesempatan itu hilang, Clara mendadak membalik keadaan. Ta
"Dasar brengsek! kalau kamu memang tidak mencintaiku, kenapa kamu setuju menikah denganku?!" Clara Favietra menenggak segelas minuman panas sampai tandas.Sudah hampir dua jam wanita dengan dress mini hitam itu duduk di meja bar. Menghabiskan dua botol minuman panas sambil menangis dan meracau sendirian. Barista yang melayaninya tidak sedikitpun bertanya. Clara bukan satu-satunya pelanggan yang mengalami hal serupa. Entah putus cinta atau kesulitan menghadapi masalah hidup, orang-orang selalu memilih club sebagai tempat meringankan beban. Saat Clara hampir ambruk, Barista itu berbicara. "Nona, mau saya panggilkan taksi online?"Clara melambaikan tangan tanpa membuka mata. Kepalanya terasa berat tapi ia masih memiliki sedikit sisa kesadaran. "Tidak usah.""Baiklah."Memegangi satu sisi kepala yang semakin berat, Clara meraih ponsel yang tergeletak di samping minuman ketika benda persegi itu bergetar singkat. Seseorang mengirimkan pesan. Sial. Ia bahkan kesulitan melihat layar. Cla







