"Lisa... Angkat jemuran!" suara Bu Marni menggelegar dari luar memanggil Lisa menantunya."Iya Bu.. tunggu sebentar! Kiki masih menangis!" jawab Lisa, sambil menyusui bayi perempuannya yang baru berumur tiga bulanan.Tiba-tiba Bu Marni sudah berdiri di depan Lisa dan langsung merebut bayi Lisa yang masih menyusu kemudian menaruhnya begitu saja diatas tempat tidur. Tentu saja Bayi itu menangis dengan sangat keras karena terlepas dari susunya."Dia ini masih bayi. Nangis juga wajar! Ditinggal juga gak bakal lari!"Lisa tertegun, hatinya teriris perih.Kenapa perempuan separuh baya ini tidak punya perasaan sedikitpun? Seharusnya sebagai seorang Nenek, dia bisa sedikit perhatian kepada cucunya sendiri. Minimal menggendong Kiki agar tidak menangis selagi dia menyuruh Ibunya.Namun Lisa tidak berani Protes sedikitpun karena itu hanya akan sia-sia dan hanya akan menambah kebencian Mertua Perempuannya itu pada dirinya."Cepat angkat jemuran! Kamu nggak lihat itu mendung udah mau jatuh? Malah b
Mendengar ucapan Tomi, Hati Lisa terasa teriris kembali.Jika sedang membahas anak, lagi-lagi Tomi selalu membahas masalah itu lagi. Dimana dulu Tomi pernah menyuruhnya untuk menggugurkan kandungannya saja karena Tomi belum siap memiliki anak. Dia masih ingin mengejar cita-citanya sebagai seorang Dokter Spesialis.Sebenarnya Lisa sudah merasa muak dan bosan dengan ucapan yang selalu dikatakan Tomi selama ini. Jika ada pertengkaran dalam rumah tangga ia selalu mengungkit kesalahan Lisa yang memaksa untuk melahirkan bayinya dan tidak mau menganggap Kiki ada.Jantung Lisa mulai bergemuruh hebat menahan amarah sekaligus kesedihan. Bahkan suhu tubuhnya kini mulai panas dingin. Lisa mengeraskan rahangnya menatap tajam kearah Tomi. Wanita berusia sembilan belas tahun itu kini mulai mengepalkan tangan menahan amarah yang selama ini terpendam atas perkataan dan perbuatan suaminya.Mata Tomi menantap kearah Lisa yang saat ini menatapnya dengan tatapan tajam dan tatapan itu tak seperti tatapan b
Pagi hari ini,Lisa masih menyusui Kiki di kamar. Tiba-tiba ibu Mertuanya muncul di ambang pintu dan menghempaskan uang yang langsung jatuh di tubuh Kiki.Lisa menatap selembar uang pecahan dua puluh ribu itu tanpa mengerti maksud Ibu Mertuanya. Lisa tertegun, masih diam membisu tanpa meraih uang itu kemudian menoleh ke arah Mertuanya untuk bertanya, tapi belum juga sempat bertanya, Bu Marni sudah berkata kasar duluan,"Kenapa malah melotot? Cepat cari sayuran! Udah siang begini masih saja malas-malasan!" Lisa mengangguk. "Iya Bu. Tapi tunggu sebentar. Kiki masih menyusu." Lisa mencoba meminta pengertian Mertuanya.Tapi bukannya mengerti jika menantunya masih menyusui cucunya, Bu Marni malah meraih tubuh mungil bayi itu dan meletakkan di atas kasur untuk memisahkan Kiki dari asi Ibunya.Bayi itu langsung menangis kencang, melihat itu Lisa memohon pada Ibu Mertuanya,"Bu. Biarkan Lisa selesaikan memberi asi Kiki dulu, Lisa janji akan segera membeli sayur,"Lisa mencoba menerobos masuk
Lisa sejak tadi berdiri di depan lemari kaca. Dia memandang wajahnya yang sekarang tidak lagi secantik dulu. Kini wajahnya terlihat kusam dan penuh jerawat. Itu mungkin karena Lisa sekarang tidak pernah lagi merawatnya.Tomi masuk kedalam kamar dan melirik Lisa yang sejak tadi belum juga bersiap-siap. Tomi memandang istrinya dengan tatapan kesal."Masih berdiri disitu aja kamu? Mau ikut atau tinggal dirumah!"Lisa menoleh ke arah suaminya, Tomi yang sudah selesai berganti langsung keluar kamar dan berkumpul dengan orang tuanya diruang tamu.Tak ingin Suaminya menunggu lama, Lisa langsung memilih baju. Tapi Ketika dia memilih baju, Lisa bingung untuk memilih pakaian mana yang pantas untuk dikenakan ke pesta pernikahan. Tidak ada lagi baju yang pantas, karena sisa baju di lemari hanyalah bawaan gadis dulu. Selama menikah dengan Tomi, satupun baju Lisa tidak pernah terbeli.Akhirnya, Lisa hanya memakai baju yang menurutnya masih layak untuk ke pesta daripada yang lain, dengan makeup sea
Siapa yang menyangka, kejadian Lisa malam-malam berjalan kaki sepulang dari Pesta sambil menggendong bayinya itu dilihat beberapa tetangga.Mereka menggosipkan keluarga Mertua Lisa yang kejam dan tidak punya perasaan pada Lisa. "Suaminya juga sama saja. Eh, malah sekarang gila sama janda!"Bu Marni yang mendengar langsung kesal dan mengadu pada Tomi yang baru saja pulang dari rumah Juli.Tanpa bertanya lagi, Tomi segera pergi ke kamar untuk membuat perhitungan dengan Lisa.Lisa yang masih termenung di tepi tempat tidur terkejut melihat Tomi masuk dan menatapnya dengan penuh marah."Mas,"PLAK!Baru saja Lisa ingin menegur, tangan Tomi sudah mendarat di pipinya. "Kenapa tidak menungguku menjemput, malah pulang jalan kaki! "Kamu sengaja ingin membuat aku malu kan?"Lisa menangis, meraba pipinya yang terasa sakit dan panas. "Bukan begitu Mas. Aku pikir ini sudah sangat malam. Aku kasihan Kiki.""Orang-orang membicarakan aku! Gara-gara kamu Lisa! Kamu itu benar-benar bikin malu! Sudah
Jantung kedua orang itu masih berdetak kencang sambil menatap api besar yang melahap mobil yang baru saja meledak tadi. Tiba-tiba Pemuda yang baru saja ditolong oleh Lisa tadi memegangi dadanya dengan suara rintihan kesakitan.Lisa menoleh dan bertanya, "Mas, kamu kenapa?"Lisa beranjak ingin menolong tapi bertepatan dengan Kiki yang menangis."Astagfirullahaladzim.. Mbak, Bayimu. Cepat tolong dulu." ucap pemuda itu."I,iya." Lisa juga panik, langsung berlari ke arah bayinya. Mungkin kini terbangun karena merasa tidak nyaman tidur di bawah pohon. Lisa malah khawatir jika Kiki digigit oleh serangga. Lisa cepat meneliti tubuh bayinya. Tapi semua aman.Baru saja Lisa menggendong bayinya dan berbalik badan untuk menghampiri kembali pemuda tadi, dia terkejut melihat pemuda itu memuntahkan darah segar dari mulutnya."Ya Allah!" Lisa berlari, cepat menopang tubuh pemuda itu dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya menahan bayinya."Bagaimana ini?" Lisa tentu sangat panik. Dia menahan tu
Gilang menatap suster yang baru saja masuk kedalam ruangan untuk memeriksanya, dia kemudian bertanya, "Sus, apa orangtua saya sudah dihubungi?""Sudah Mas. Mereka masih dalam perjalanan kemari. Tunggu ya?"Gilang bernafas lega. Dia mengingat jika saat akan berangkat ke desa ini, Mamanya sempat mencegah. Menyuruh agar Gilang menunggu Papanya saja dan berangkat bersama. Tetapi karena Gilang pernah berjanji pada Papanya jika akan menyelesaiikan Proyek itu seorang diri, dia akhirnya berangkat sendiri tanpa menunggu Papanya yang memang masih banyak pekerjaan di Perusahaan.Gilang tidak pernah tahu jika Mamanya berusaha mencegah mungkin karena sudah mempunyai firasat tidak baik.Gilang merasa sangat beruntung bisa ditolong oleh wanita itu. Wanita yang dia belum tahu siapa namanya. Tanpa dia, mungkin Gilang saat ini sudah tinggal nama. Bagaimana tidak dia berpikir seperti itu, dia melihat sendiri bagaimana mobilnya meledak dan terbakar habis.Pintu ruangan terbuka membuyarkan lamunan Gilang.
Beberapa hari ini Lisa berada di rumah orang tuanya.Siang itu, seorang pria utusan dari Tomi datang mengantar surat cerai. Sebenarnya Lisa sempat menjatuhkan air mata saat menatap nama Tomi yang sudah lengkap dengan tanda tangannya di dalam surat cerai itu, lalu melirik nama atas dirinya yang masih kosong dari tanda tangan.Tapi dia lalu memantapkan hatinya. Ketika Pak Usman mengangguk ringan padanya, Lisa mengangkat pena dan tanpa ragu, Lisa membubuhkan tanda tangan diatas namanya.Saat orang itu pergi, Lisa langsung menangis tersedu sambil memeluk ibunya. "Jangan dipikirkan lagi Lisa. Sudah, sudah. Ini jalan terbaik yang dipilih Allah untuk kamu, Nak?" Ibu mengelus elus punggung Lisa.Lisa masih menangis, dia menumpahkan seluruh air mata terakhirnya untuk Tomi hari ini dan berjanji tidak akan mengingatnya kembali.Hari hari berlalu,Lisa sudah mulai merasa tenang. Dia juga sedikit demi sedikit sudah bisa melupakan kesedihan dan luka di dalam hatinya karena perceraiannya dengan To