Share

Lontar

Kami duduk berhadap-hadapan, di depan kamar hotel. Laki-laki itu menyeruput kopi hitam, tangan sebelahnya memegang seputung rokok.

Bibir lelaki itu tidak berhenti menyedot rokok, sesekali ia menghembuskan nafas berat.

Resah, itu yang aku baca dari sikapnya.

Jarak duduk kami yang dekat, membuat aku bisa mencium badannya yang wangi sabun khas hotel.

Aku agak jengah, sedikit menepi.

Walaupun ia sudah membantuku, tetap agak risih berdekatan dengan laki-laki asing seperti ini.

Anak-anak masih tidur, kami gunakan kesempatan ini untuk berbicara.

Setelah kuamati, wajahnya cukup tampan, hidungnya mancung, rahangnga kokoh, kulitnya ke coklatan, rambutnya ikal, badannya tegap tapi tidak berotot yang menonjol.

Selain sikapnya yang dingin, luka bakar di pipi sebelah kirinya, yang membuat ia kelihatan mengerikan.

Kenapa aku jadi menilai dia ya? ada yang salah dengan otakku.

“Apa yang kakak ketahui, tentang pekerjaan suami kakak?”

“Dia kerja di pemerintahan dan mempunyai beberapa bisnis.”

Aku menjelaskan sambil memandang wajahnya, mulai terbiasa melihat wajah yang tak ramah di depanku.

Laki-laki itu tersenyum sinis, matanya menyorot tajam melihatku.

“Hanya itu?”

Aku mengangguk mantap, sesuai dengan yang di sampaikan oleh bang Rey selama ini.

Laki-laki itu menghela nafas, mata nya yang kelam semakin gelap, kepalanya mendongak ke atas, sebelum berbicara lagi.

Aku menunggu dengan hati berdebar, sikap misterius mulai kemarin yang aku terima, membuatku waspada untuk menunggu.

Dan selama ini aku terdidik, menjadi perempuan yang bisa menahan diri di situasi yang menjepit.

“Kami berasal dari dunia yang sama dulunya, sebelum ada suatu peristiwa yang akhirnya membuat aku mundur dari  jalan itu. Kami adalah orang-orang, yang seringkali mengerjakan pekerjaan sulit yang tidak bisa di kerjakan orang biasa. Kami terlatih, bekerja di senyap, dan tepat sasaran. Apakah kakak paham?”

Aku hanya melongo mendengar penjelasannya, dan mengeleng.

“Boleh dikatakan kami adalah “orang khusus.”

“Orang khusus?” Tanyaku masih kebingungan oleh penjelasan laki-laki di depanku yang berputar.

Laki-laki itu masih dengan tatapan yang dingin, tangan mengenggam cangkir kopi.

Belum tuntas kebingungannya, suara telp berbunyi di dalam kamar, aku terlonjak, pasti itu telp dari Pita.

Mulai tadi malam, Pita sangat sulit aku hubungi.

“Ta, ada apa ini sebenarnya?” tanpa basa basi aku bertanya pada Ita.

Pita di seberang menghela nafas,”Jadi kamu udah tahu ya May?”

“Belum, aku tidak tahu apa-apa, dan tidak faham maksud semua ini”

“Mayang, kamu dengarkan penjelasan Lontar, aku tidak bisa menjelaskan lewat telpon, terlalu riskan. Apapun yang dia jelaskan, aku harap kamu dapat menerima dan percaya.”

Pita mematikan telpon, berjanji akan menelpon lagi bila kondisi kondusif.

Kondusif!? Aneh sekali, bukan sebaliknya aku sekarang yang tidak aman.

Oh, jadi laki-laki di depanku ini bernama Lontar.

Kepalaku berdenyut-denyut, di tambah kondisi tubuh yang masih letih, sehingga otakku juga sangat lambat dalam mencerna.

Aku yang hanya ingin lepas dari laki-laki toxic, suami penyiksa mental dan fisik istri.

Kenapa di hadapkan situasi yang rumit di kepala?

Lontar dan bang Rey adalah satu team kerja, pada awalnya Lontar menganggap apa yang dia kerjakan adalah pekerjaan yang lurus dan semestinya. Mengolah data, turun ikut mengamankan peristiwa besar yang sedang terjadi, mengintai orang-orang yang di anggap  membahayakan negara.

Namun belakangan Lontar menyadari, bahwa team mereka bekerja bukan untuk pemerintah. Tapi untuk pejabat yang korup, dan melakukan kegiatan yang ilegal.

Fakta yang mengagetkan, ternyata bang Rey sudah lama di pecat dari pekerjaanya.

Tidak di ketahui dengan siapa bang Rey sekarang bekerja.

Mengetahui hal tersebut, Lontar berusaha keluar dari team yang di ketuai oleh bang Rey. Membuat bang Rey murka, dan menganggap Lontar berkhianat.

********

Saat ini posisi Lontar pun tidak ada ubahnya dengan Mayang, mereka adalah buronan bang Rey.

Badan Mayang merosot lemas mendengar penjelasan Lontar.

Bang Rey memang orang yang temperamental dan suka menyiksanya.

Mayang tidak meyangka suaminya orang yang lebih berbahaya dari yang ia bayangkan.

********

Badanku masing gemetar mendengar cerita Lontar, sulit percaya.

“Apakah kakak, pernah di ajak ke kantor suami kakak?” tanya Lontar menyelidik, aku menggeleng.

“Apa kenal dengan teman kantornya?”

Aku mengangguk ragu, tapi kemudian menggeleng. Yang aku tahu anak buah bang Rey banyak sekali.

Aku tidak pernah tahu kantor tetap bang Rey, laki-laki itu tidak pernah mengajakku.

Karena kantornya sering berpindah-pindah, dari satu kota ke kota lain.

Dan aku percaya.

Dipaksa untuk percaya, pikiranku sibuk memikirkan pernikahan yang mencekam.

“Bagaimana dengan seragam yang dia pakai, saat pergi dinas?”

“Bagaimana dengan amplop gaji yang aku terima tiap bulan?”

Lontar tergelak,”Kak, ibarat binatang, kami mudah sekali berganti bulu.”

Mataku kosong menatap taman hotel yang gersang, sebanding lurus dengan bangunannya yang sederhana.

Laki-laki itu mengeluarkan foto dan beberapa lembar kertas dan menaruh di atas meja.

Foto bang Rey dan Lontar, mereka berdiri berrangkulan di pinggang masing-masing lelaki itu terselip senjata api.

Aku menatap foto itu dan wajah Lontar bergantian, mencari kejujuran di wajah laki-laki yang menatapku acuh tak acuh.

Tidak mungkin, mataku nanar membaca surat perintah yang atas nama bang Rey, tanda tangan yang kukenal selama ini, kertas kumal, ada sedikit noda darah.

Sepertinya ini asli, tapi jaman serba canggih seperti sekarang ini, apapun bisa di buat. Seperti kata Lontar “bagai binatang berganti bulu”

Mengingat sikap bang Rey yang brutal bila menyiksaku, rasanya cerita Lontar tidak berlebihan.

Setelah si kembar lahir, aku pernah hamil muda. Terjadi pertikaian antara aku dan bang Rey, dengan emosi yang memuncah bang Rey mendorongku. Naas pada saat itu posisiku dekat tangga, tubuhku terguling bebas kebawah. Akibatnya janin berumur dua bulan itu, harus aku relakan.

 “Dengar Nyonya, kamu harus pergi dari rumah ini” Suara dokter Yasir sangat pelan, matanya sesekali melirik ke pintu kamar tamu. Dokter setengah baya, yang sudah menjadi langganan kami. Bang Rey tidak suka bila di antara kami sakit, pergi ke rumah sakit atau klinik.

Dokter yang secara rutin tiap bulan, akan di bawah ke ruang kerja bang Rey, dengan pengawalan yang ketat.

“Maaf, tidak bisa dokter” kataku sambil meringis, setelah berjuang melawan sakit di perut yang luar biasa.

“Bodoh, harus bisa” desis dokter Yasir.

“Ini neraka bukan rumah”

“Pikirkan anak-anakmu, aku tidak ingin kesini suatu saat memeriksa jasadmu” desak dokter Yasir masih dengan suara tertahan. Dia tahu sudah melanggar kode etiknya, tapi sebagai seorang dokter yang di bayar mahal, nuraninya saat ini lebih kedepan.

Ada sekian puzzle yang sepertinya harus aku rangkai, terlalu dini aku mengambil kesimpulan.

Dan aku tidak tahu harus mulai dari mana, menahan desakan, kepalaku menggeleng.

Lontar mengambil foto dan kertas itu dari atas meja dengan kasar.

“Intinya bukan ini, kakak percaya atau tidak bukan jadi urusan. Tugasku hanya mengantar Kakak sampai tujuan, dan jangan di persulit” kata Lontar kasar.

“Kenapa abang membantuku? bukankah abang musuh suamiku.” Aku sedikit memberi tekanan pada lelaki ini, tersinggung juga melihat sikapnya.

Jangan sampai aku masuk kandang Buaya lepas ke kandang Singa. (seperti kata netizen)

“Aku tidak membantumu, kalo bukan karena bu Ita yang sudah banyak berjasa, enggan rasanya hari ini aku disini”

Orang pendiam sekali ngomong, mulutnya memang pedas.

“Baik, kalo begitu anggap tugas abang sudah selesai, terima kasih”

Aku meninggalkan laki-laki kaku itu masuk kamar. Aku memang butuh pertolongan, tapi aku juga butuh kenyamanan.

Nanti bila Pita telpon, akan aku tanya berapa ongkos jerih payah orang yang telah menolongku.

Aku hanya ingin bernafas, sekian tahun hidup dalam ketakutan dan kekangan.

Sekarang aku bebas, salahkan bila oksigen ini aku hirup dengan rakus.

Anak-anak sudah bangun, sambil tersenyum kupeluk ketiga jagoan kecilku.

Melihat mereka memakai baju yang kucel dan apek, hatiku terenyuh.

“Ayo, setelah ini kita jalan-jalan, beli baju dan mainan”

“Hore,hore”

Anak-anak bersorak riang, berrebut mereka mengandeng tanganku.

“Mama, Arjuna pingin makan ayam goreng”

Sulungku memohon dengan mata nya yang bening.

“Baik kita makan ayam goreng”

“Yeahh” sorak jagoanku.

Aku melirik ke kamar sebelah.

Entah laki-laki itu masih di hotel ini atau sudah keluar.

Nanti saja aku tanyakan ke resepsionis di depan, sekalian aku akan menambah hariku bermalam.

Kubawa anak-anak ke pusat ke ramaian terdekat.

Membelikan mereka pakaiaan ganti, mainan dan camilan. Senyumku terus mengembang, yang aku belikan mainan sederhana, lebih mahal dengan yang mereka punya di rumah. Tapi rasanya sangat beda.

Seharian kuhabiskan waktu dengan anak-anak dengan bermain dan menonton TV.

Esok hari kami akan keluar hotel, dan melanjutkan perjalanan, entah akan kemana.

Yang pasti dengan uang bang Rey di tas ini, aku bisa keliling pulau ini dulu. Sambil memikirkan akan singgah di mana.

Merangkai hari dengan anak-anak dalam ketenangan, mengapai mimpi yang tertunda. Semoga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status