Share

Malam penyerangan

Malam terbungkus pekat, saat insan manusia terbuai impian, entah pukul berapa, telingaku mendengar suara pintu di buka. Tapi, mataku rasanya lengket enggan untuk membuka.

Aku menjerit, sebuah tangan dengan kasar membekap. Tanganku reflek terayun berontak, otakku bekerja ada yang terjadi.

“Sstt diam, dengarkan aku, jangan menjerit” suara berat yang beberapa hari ini aku kenali.

Lontar.

Laki-laki itu masih memakai baju yang sama seperti kemarin.

“Ada yang datang, bangunkan anak-anak, kalo mau selamat, cepat!” masih dengan berbisik di telingaku, aroma rokok tercium kuat.

Aku bangun dengan tubuh limbung, hampir saja aku terjatuh, Lontar menangkap tubuhku.

“Anak buah Rey datang”

Demi mendengar nama itu, kepalaku seperti di pukul dengan godam.

Aku meloncat menghampiri anak-anak, dengan panik aku bangunkan mereka.

Diluar kamar terdengar gaduh dan suara banyak langkah.

“Si*l, kita terlambat” maki Lontar

Lontar menarik aku dan anak-anak ke pojok ruangan. Laki-laki itu membalikkan tempat tidur dan menyuruh kami berlindung.

Aku dan anak-anak meringkuk di baliknya dengan ketakutan.

Suara langkah semakin mendekat, Lontar semakin waspada, matanya tajam melihat pintu.

Grubrak!!

Pintu kamar terdobrak dari luar, empat orang berpakain hitam dan berjaket kulit masuk, salah satunya aku kenali, anak buahnya bang Rey.

“Oh, elu si cacat, dasar penghianat” seru salah satu dari mereka. Kata-kata makian saling bersahutan.

Aku membelalakkan mata, berarti benar seperti yang di katakan Lontar tadi pagi.

Lontar tidak menanggapi, ocehan ke empat laki-laki berjaket hitam tersebut. Dengan sigap Lontar menarik benda panjang yang aku baru sadar, ternyata di pinggang bagian belakangnya terselip dua pedang pendek.

Sedangkan empat laki-laki itu membawa senjata tajam dengan bentuk yang bervariasi.

Dua orang yang di depan langsung memasang kuda-kuda, menyerang Lontar dengan pisau terhunus. Sigap Lontar menghindar, seperti menari laki-laki itu memainkan dua pedang dengan lincah. Bunyi senjata tajam yang beraduk berdentang di kamar, memecah kesunyian malam.

Aku menyaksikan perkelahian itu dengan dada berdentum kuat, berkali-kali lipat kecemasan menghampiriku. Perkelahian yang tidak sepadan, dengan sadar aku mendoakan lelaki yang beberapa hari ini hadir pada saat sulitku.

Perkelahian semakin sengit, tendangan dan hujaman senjata tajam terus mereka arahkan pada Lontar, di sertai makian dan kata kotor.

Dua laki-laki, yang di belakangnya memasang sikap siap, mereka mencari celah untuk menyerang Lontar. Dan sepertinya mereka juga mencari cara agar dapat mengapai tempat tidur yang melindungi aku dan anak-anak.

Namun Lontar tidak kurang akal, gerakan pedanganya berkilat terus mengarah dua sisi, sehingga menghalangi mereka menghampiri kami.

Brukk!

Sesosok tubuh terjerembab, salah satu orang dari dua orang yang maju pertama tadi terkulai sambil memegang perut. Dari sela-sela jarinya mengucur darah segar, erangannya memenuhi kamar.

Aku hampir terpekik kaget, mulut langsung kubekap.

Melihat temannya terjatuh bersimbah darah, ketiga orang yang lainnya maju serempak dengan brutal melakukan perlawanan.

Gerakan Lontar semakin liar, sabetan dua pedangnya tidak berhenti, menangkis hujaman senjata  dari ketiga pria tersebut.

Satu orang dari mereka dengan telak mendapat tendangan keras dari kaki Lontar, tepat di ulu hati. Tubuh laki-laki itu terhuyun dan tersandar di tembok.

Dua orang yang tersisa masih melakukan perlawanan,  melihat dua temannya yang sudah tumbang, rupanya tidak menyurutkan langkah mereka.

Trang!

Bunyi besi saling bertabrakan, menimbulkan percikan api menunjukkan kuatnya benturan.

Senjata tajam dari salah satu orang tersebut terlempar, dengan cepat Lontar mengayunkan pedangnya ke arah tangan pemilik senjata. Darah merah segar mengucur, membasahi lantai kamar. Laki-laki yang tangannya terluka itu mencaci maki,  ke arah Lontar.

Tinggal satu orang yang tersisa, melihat temannya yang saling terkapar di lantai, laki-laki itu menghentikan serangannya ke Lontar.

Senjatanya di buang, lalu tubuhnya merosot ke lantai.

“Ampun, gue cuma orang suruhan, kasihani gue” cicitnya memelas.

Lontar mendengus, melihat laki-laki itu bersujud di kakinya.

“Sampah”

Tanpa belas kasihan Lontar menendang wajahnya.

Bertubi-tubi Lontar melayangkan pukulan dan tendangan.

Seperti kesetanan Lontar menghajar laki-laki itu, ketiga temannya juga tidak luput dari amukannya. Suara ampunan dan maaf mereka, seperti angin lalu di telinga Lontar, yang malam ini menunjukkan sisi beringasnya.

Lontar berhenti setelah dengan puas ia melihat keempat laki-laki itu tidak berdaya.

Kuusap wajahku, hampir tidak percaya.

Dari sela-sela tempat tidur, aku melihat wajah buas Lontar, bajunya basah oleh keringat. Air berlelehan dari wajah dan sela rambutnya.

Lontar menarik tubuh dari salah satu mereka dengan kasar.

“Dengar, sampaikan salamku untuk Rey, dia salah berurusan denganku” bisik Lontar dengan suara beratnya di telinga salah satu orang tersebut.

Aku mengenali dia adalah orang yang beberapa kali menemani bang Rey keluar kota.

Berarti memang Bang Rey tidak main-main, sedang mengejar kami.

Lontar menghampiri kami dengan langkah terseret, membuka kasur yang menjadi tameng. Laki-laki itu mengambil tubuh Arjuna  yang mengigil hebat ketakutan. Dengan suara beratnya ia menyuruhku mengambil barang, dan mengikutinya.

Bergegas aku mengikuti laki-laki yang mengandeng Arjuna, dan mengendong salah satu si kembar untuk cepat meninggalkan tempat yang sudah tidak aman buat kami.

Sambil berjalan,  kupandangi punggung tegap di depan, perasaanku campur aduk.

Aku menjerit ketika mengambil tubuh Sadewa, dari gendongan Lontar, bajunya penuh noda merah. Kubolak-balik badan Dewa, tidak ada luka.

“Abang?’ mataku membelalak, baju hitam laki-laki itu basah pekat, bau anyir tercium.

Tubuh Lontar goyang, aku berusaha menahan, ia menolaknya.

“Ayo cepat, sebelum teman mereka yang lainnya datang, bisa jadi aku tidak sanggup menahan mereka lagi”

Laki-laki itu masih sempat menenangkan Arjuna, yang mulai menangis. Airmataku ikut meleleh melihat ketakutan ketiga buah hatiku, benarkah jalan yang aku tempuh ?

Mobil hitam kembali menderu berpacu dengan waktu, meninggalkan hotel yang tampak baik-baik saja di depan. Tanpa terlihat di salah satu kamarnya, empat laki-laki bayaran yang mengerang kesakitan.

Berhenti di salah satu swalayan yang masih buka, aku membeli peralatan medis seadanya.

Lontar membuka bajunya, luka sayatan pisau cukup panjang dan dalam, aku bergidik.

“Jangan di lihat kalo tidak terbiasa” pintanya.

“Biar aku saja” aku menawarkan diri ketika melihat Lontar menutup lukanya dengan kapas yang sudah di beri alkohol.

Hidup dengan bang Rey, bertahun-tahun seringkali mengalami luka lebam, tapi untuk luka yang berdarah seperti ini aku masih belum terbiasa.

Lontar mencengkeram kemudi ketika dengan tangan gemetar aku menempelkan kapas tersebut. Aku berujar minta maaf ketika mulut laki-laki itu mendesis menahan perih.

“Maaf” kataku sambil menunduk, tanganku masih sibuk menutup lukanya dengan perban.

Lontar tidak bergeming, tanpa suara ia menatapku.

“Maaf, aku tidak percaya dengan abang, karena aku masih bingung” sesalku

“Wajar, kalo kamu tidak mudah percaya, Rey orang yang pandai memanipulatif keadaan” kata Lontar.

“Sekarang, apa yang harus kita, eh maksudku, yang harus aku lakukan” kataku agak tergagap.

Aku memperbaiki kalimatku, karena tidak mungkin aku akan terus mengandalkan laki-laki di depanku.

“lari sejauh mungkin, dari jangkauan Rey”

“Dan jangan terpikir untuk lari keluar negeri, jaringan Rey terlalu kuat, baru saja Kakak menginjak bandara mungkin Kakak sudah tertangkap”

“Terus aku harus kemana? Aku tidak punya tempat tujuan”

Aku menunduk sedikit malu, mengedepankan emosi, tapi aku sendiri tidak bisa berpikir panjang.

“Ada tempat disisi timur yang mungkin aman buat Kakak dan anak-anak, aku dan bu Ita sudah mempertimbangkan”

“Bagaimana dengan Ita? Hubunganmu?” tanyaku dengan hati-hati.

“Bu Pita dan pak Arga adalah orang yang telah menolongku dalam keterpurukan. Saat aku sendiri tanpa siapapun, tanpa anak dan istri”

Tanganku berhenti, menatap mata Lontar, ada duka yang teramat dalam.

“Kenapa dengan mereka?”

“Meninggal saat rumah kami kebakaran” ucapnya lirih.

“Dan luka itu?”

“Iya, aku dapatkan saat menolong mereka”

Kata maaf kembali aku ucapkan, tentu sangat sakit menceritakan kembali orang yang kita sayangi, yang terlebih dulu telah pergi.

“Dan Ita dalam hal ini?” tanyaku penasaran.

“Biarkan bu Ita sendiri yang akan menceritakan pada Kakak, aku tidak berhak untuk hal itu”

Aku tidak mendesaknya lagi.

“Abang bisa panggil aku Mayang, sepertinya umur abang di atasku”

Aku teringat dengan sahabatku Puspita, anak angkat mendiang Papa, atau saudara angkatku. Papa menemukan Pita di bawah jembatan, tinggal dengan neneknya yang sudah tua rentah. Gadis yatim piatu yang bersekolah sambil memulung, membuat papa meneteskan airmata. Dan membawa gadis manis itu ke rumah menjadi temanku, hingga kami sama-sama dewasa, bersekolah bersama dan menikah.

Gadis yang seringkali menjadi tameng kebandelanku menghadapi papa, gadis yang rela maju paling depan ketika teman sekolah pada julid oleh kecantikan dan ketenaranku.

Gadis yang tanpa iri, menyiapkan baju sekolahku, menemani belanja, atau berjam-jam kami bergosip membicarakan pemuda pujaan masing-masing.

Perempuan yang meraung paling keras ketika papa meninggalkan kami karena kecelakaan mobil, menyusul mama yang telah bertahun lalu menghadap Ilahi. Sedangkan aku, berkali-kali pingsan, untuk mengantar papa ke pemakaman saja, aku tidak mampu.

Di depan pusaran papa, gadis itu berjanji untuk selalu menjagaku.

Pita, banyak rahasia yang kamu simpan.

Aku melihat sesekali lelaki di sampingku, wajahnya sedikir pucat, kadang meringis menahan perih luka di perutnya.

Namun tetap tidak di ijinkan aku mengganti posisinya di belakang kemudi, mobil masih tetap berjalan stabil dan kencang.

Semilir angin malam menyertai kembali pelarian kami, entah akan kemana arahnya. Berusaha untuk tidak menyulitkan, menerima dan menciptakan angan yang positif.

Kepalaku terkantuk-kantuk ketika terdengar suara benturan dari belakang mobil.

Brakk!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status