Redita menghempaskan tubuhnya ke atas kasur kamar kostnya. Kenapa ia jadi galau macam ini sih? Kok bisa sih dia jadi nggak karu-karuan macam ini? Kenapa ia bisa begitu tidak nyaman dengan sikap dingin dokter bedah tadi? Kenapa ada rasa tidak terima atas sikap dingin sosok itu terhadapnya?
Dokter Adnan Sanjaya, memang sudah tidak muda lagi, bahkan anak sulungnya aja sudah dua puluh enam tahun, tapi kenapa rasanya Redita begitu suka melihat raut wajah itu? Sangat suka ada di dekat sosok itu? Kecuali kalau sedang di dalam OK saja sih, dia ogah liat scalpel dan genangan darah di dalam perut pasien, ngeri! Sosok itu begitu hangat dan lembut, Redita dapat merasakanya.
Apa dia jatuh hati pada sosok itu? Ahh ... Masa iya sih? Kenapa tidak pada sosok Andaru saja yang jelas-jelas sangat kelihatan tertarik padanya. Mana masih muda lagi, lah dengan Dokter Adnan? Lebih tua Dokter Adnan lho dari bapaknya sendiri, gila kan? Bapaknya lima puluh satu, sedangkan Dokter Adnan, lima puluh lima tahun! Sejak kapan orientasi Redita berpaling pada laki-laki dewasa seperti ini? Bukan hanya dewasa lagi malah, tapi sudah mendekati masa lansia!
"Aduh kenapa sih Dokter Adnan Mulu!" teriak Redita gemas. Ia benar-benar tidak mengerti dengan dirinya sendiri.
"Masa iya suka sama om-om?" Redita bicara pada dirinya sendiri, "Eh bukan om-om juga ya? Kan udah setengah abad lebih."
Redita garuk-garuk kepala, lantas apa sebutannya? Bapak-bapak? Atau malah aki-aki? Tapi masa aki-aki sih? Dokter Adnan masih gagah gitu, masih awet muda, kejam amat dipanggil aki-aki? Kulit wajahnya masih kencang dan segar, tidak nampak kerutan atau flek hitam, masa iya dipanggil aki-aki?
Redita menghela nafas panjang, dipejamkan matanya erat-erat, ingat ketika Dokter Adnan menemukan dirinya tengah menangis sesegukan di tangga darurat karena hari itu Rico, mantan kekasihnya itu resmi menikahi bidan magang di tempatnya internship karena sudah terlanjur hamil. Ya ... pacarnya yang bahkan belum sama sekali menyentuhnya itu harus menikah kerena sudah menghamili gadis lain!
"Rico sialan!" desis Redita ketika kembali teringat laki-laki berengsek itu.
Darahnya mendidih luar biasa ketika mengingat sosok yang dulu pernah amat dia cintai itu. Sosok yang sejak dulu menemani dia dari pre-klinik. Namun dengan kejam Rico malah mengkhianati dirinya hingga sedalam itu. Menghamili gadis lain padahal di sini dia menanti janji Rico yang katanya akan melamar dan menikahinya selepas Rico selesai internship.
"Laki-laki itu sama aja! Buaya semua!" kembali Redita memaki, tangannya sibuk memukul-mukul guling dalam pelukannya.
"Siapa yang buaya?" Yanven anak fakultas hukum yang bersebelahan kamar dengan Redita itu mendadak muncul di balik pintu kamar Redita lalu melangkah masuk setelah menutup pintu kamar kost Redita.
"Laki-laki, semua laki-laki itu buaya!" ulang Redita sambil berbaring di atas ranjangnya.
"Masih keringat mantanmu?" Yanven duduk di pinggir kasur Redita, ia tahu betul pengkhianatan macam apa yang diterima sosok itu, ditinggal menikah karena sudah menghamili gadis lain? Benar-benar sialan memang laki-laki satu itu.
"Ya gimana mau lupa sih? Baru aja kejadian kemarin dan sampai sekarang masih kerasa banget kan sakitnya!" desis Redita kesal, ia kembali mendidih jika teringat laki-laki itu.
"Move on dong, ayolah. Laki-laki masih banyak," bisik Yanven yang kemudian bangkit dan meraih toples milik Redita yang berisi camilan itu, sebuah hobi Yanven kalau main ke kamar kost Redita, menghabiskan isi toples milik sang empu kamar.
"Iya ya, dokter juga banyak. Yang koas, internship atau spesialis juga banyak kan?" desis Redita sambil menerawang langit-langit kamar kostnya.
"Astaga, belum kapok pacaran sama dokter?" tanya Yanven gemas.
"Entah," desis Redita sambil memejamkan matanya, memang mau cari yang dari kalangan mana lagi? Kalau dari pagi sampai malam ia ketemunya sama orang-orang sejenis macam dia?
"Sama advokat aja deh, cocok juga kok kalau dipasangkan sama dokter," guman Yanven mengompori, mulutnya penuh dengan camilan.
"Nggak minat, ntar nikah aku disuruh stop praktek lagi, nggak mau!"
"Ya kalau dia pendapatan lebih gede ngapain sih kamu masih susah-susah praktek?" Yanven kembali mengompori, tidak bisa dipungkiri, para advokat, lawyer kalau sudah dapat nama tentu penghasilannya begitu luar biasa bukan?
"Lha terus gunanya aku kuliah kedokteran apa, Ven?" desis Redita gemas, ia benar-benar ingin bisa mengabdikan diri untuk membantu sesama dengan ilmu kedokterannya.
"Ya biar dapat jodoh dokter," jawab Yanven asal.
"Nah, kamu sendiri kan yang bilang, berarti aku harus dapat suami dokter, titik." guman Redita mengultimatum, tentu ia sangat takut jika dapat suami yang bukan dokter dan kemudian memaksanya berhenti praktek karena merasa penghasilannya lebih besar darinya nanti.
Yanven memanyunkan bibirnya, "Serah deh, kalau dokternya buaya lagi tahu rasa!"
***
"Bapak mau makan sekarang?" tanya Indah yang tiba-tiba sudah muncul sambil meletakkan segelas jus jeruk.
"Nanti sajalah," jawab Adnan sambil tersenyum kecut, ia meraih gelas itu dan meneguk jus jeruknya.
"Baik, Pak," Indah bergegas pergi meninggalkan majikannya itu seorang diri di halaman belakang. Ia tahu betul kalau majikannya itu sedang duduk sendiri di belakang rumah, itu artinya dia sedang tidak ingin diganggu. Itu sudah mutlak dan tidak bisa dibantah lagi.
Adnan menghela nafas panjang, ia jadi pusing. Kenapa begini amat sih kisah cintanya? Jatuh cinta lagi di usia yang tidak muda itu memang merepotkan! Kadang ia malu dengan anaknya sendiri. Edo saja masih belum jelas pelabuhan hatinya mau kemana, eh bapaknya malah mau selangkah lebih depan.
"Maaf Pak, ada tamu," guman Indah yang kembali muncul di depan pintu.
"Siapa?" Adnan mengerutkan dahinya, memang siapa yang mencarinya? Tumben amat sih ada yang mencarinya sampai datang kerumah?
"Dokter Yudha, Pak."
"Oh, sudah disuruh masuk?" Adnan sontak bangkit, ia bergegas melangkah ke ruang tamu.
"Sudah Pak, permisi saya buatkan minum dulu."
"Iya tolong ya, Ndah!"
Benar-benar sahabat sejati sosok satu itu, tahu Adnan lagi galau ia menyempatkan diri kemari. Senyum Adnan langsung mengembang ketika melihat sosok itu sudah duduk di sofa ruang tamunya.
"Eh calon besan, ada perlu apa nih?" seloroh Adnan sambil tersenyum jahil.
"Mau nyariin mama mertua buat anakku nih, gimana?" Yudha balas menggoda, tersenyum jahil sambil mengulurkan tangannya pada Adnan.
"Sialan, ngeledek aku nih?" Adnan tersenyum kecut sambil menjabat erat-erat tangan Yudha.
"Kenyataannya begitu kok, sini cerita dulu. Kenapa kamu jadi begitu cepat berubah pikiran?"
Adnan menghela nafas panjang, "Janji dulu jangan ketawa?"
Yudha hanya mengangguk dan tersenyum, "Percaya padaku, tujuanku baik mau nolong kamu, Nan, bukan mau menertawakan kamu!"
Adnan tersenyum, sungguh punya sahabat sebaik Yudha memang jadi anugerah tersendiri untuknya bukan? Sejak dulu Yudha selalu ada dalam kondisi apapun, pada saat ia terjatuh sekalipun Yudha selalu ada untuk menemani dirinya, memberinya semangat.
"Jadi ceritanya ...."
Redita hendak kembali pulang selepas jaga malam pagi itu ketika ia mendapati Land Cruisser yang ia tahu betul adalah milik sang suami sudah terparkir di halaman parkir rumah sakit. Tak beberapa lama sosok itu turun dari mobil, tersenyum begitu manis ke arahnya.Rasanya Redita ingin berlari dan menjatuhkan diri di pelukan sang suami kalau saja mereka tidak sedang berada di halaman rumah sakit saat ini. Jadi Redita sekuat tenaga menahan keinginannya untuk melakukan hal itu, ia melangkah perlahan mendekati sang suami yang tersenyum begitu lebar ke arahnya.“Hai suamiku,” sapa Redita lalu mengulurkan tangannya, bergegas mencium punggung tangan Adnan begitu uluran tangannya terbalas.“Hai juga isteriku, kamu tampak lelah. Bisa kita pulang sekarang? Aku rindu dengan jagoan kecilku.”Redita sontak mencebik, ia memanyunkan bibirnya yang sukses membuat Adnan terkekeh melihat perubahan wajahnya itu.“Jadi pulang cuma kangen sama
Beberapa hari kemudian ... “Dokter!” Redita setengah berlari mengejar langkah dokter Ricard, beliau adalah dokter bedah yang bertanggung jawab pada sang nenek pasca operasi kemarin. Dan hari ini adalah visiting terakhir, bukan? Kondisi sang nenek sudah lebih baik, dan itu artinya dia sudah boleh pulang. Untuk itu Redita ingin melihat wajahnya, mungkin untuk terakhir kalinya dia bisa melihat wajah-wajah yang dulu menorehkan luka dengan begitu dalam di relung hati Redita itu. “Ada apa, Re?” tanya dokter Richard yang tampak mengerutkan kening melihat Redita berlari-lari menghampirinya itu. “Boleh saya ikut visiting, Dok?” mohon Redita dengan nafas terenggah-enggah. “Tentu boleh, bukan kah pasien itu pertama kali datang kamu yang pegang?” tampak dokter Ricard tersenyum, ia sudah hendak kembali melangkah ketika kemudian tangan Redita mencekal tangan dokter Richard, mencegahnya melangkah lebih jauh. “Dok, tunggu sebentar!” Dokter Ric
Redita tersenyum menatap sosok itu yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Beberapa alat medis masih menempel di tubuh renta itu. Ia sudah berhasil melewati masa kritisnya, tinggal menanti dia kembali sadar dan kondisinya pulih.Redita meraih tangan berkeriput itu, meremasnya perlahan dengan hati yang teramat pedih. Bayangan masa lalu dimana sosok itu dengan tangan yang saat ini Redita genggam, sering menamparnya, menjewer telinga Redita sampai memerah, mecubit pahanya sampai memar membiru dan terkadang memukul kakinya dengan gagang sapu. Belum lagi, mulut yang sekarang terpasang ventilator itu, dulu begitu pedas tiap mengata-ngatai dirinya, mencaci-maki Redita yang bahkan dulu masih begitu kecil dan tidak paham apa-apa.Redita menghela nafas panjang, berusaha melupakan semua itu meskipun rasanya begitu sulit dan tidak semudah yang ia katakan. Redita melirik jam dinding, sudah pukul setengah enam, ia bergegas merogoh saku snelli-nya, mengambil masker medis yang
"Iya Sayang, stok ASIP Adta sudah ready banyak di kulkas, jangan khawatir ya." Redita tersenyum, malam ini ia harus jaga IGD sampai besok pukul tujuh pagi. Dan Adnan sudah ribut khawatir dengan Adta katanya."Benar? Apa perlu aku balik ke sana sekarang?"Sontak Redita tertawa, ah lebay sekali bapak tiga orang anak itu? Sebelum mereka kembali bertemu, toh Adta baik-baik saja jika dia ada jaga malam, kenapa sekarang dia jadi begitu khawatir?"Sudah, tenang saja! Jagoan kecil kita aman dan akan baik-baik saja, Sayang." guman Redita lirih, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semua akan baik-baik saja."Yasudah, kabari aku terus ya. Aku benar-benar khawatir dengan kalian berdua."Redita tersenyum, hatinya berbungga-bungga mendengar nada kekhawatiran itu meluncur dari bibir sang suami. Rasanya ia begitu bahagia mendengarnya. Bagaimanapun, setua apapun laki-laki yang menjadi suaminya ini, dia benar-benar sosok yang begitu peduli dan penyayang. Ah ... sung
Adnan tersenyum ketika mendapati panggilan dari nomor itu, nomor yang ia tunggu untuk memberinya kabar perihal perkembangan pendaftaran itsbat nikahnya. Semoga semuanya lancar dan tidak perlu waktu lama ia bisa mendaftarkan pernikahannya dan memperoleh apa yang sudah ia janjikan kepada sang isteri sejak dulu.“Halo, gimana Fan?” tanya Adnan yang sudah sangat tidak sabar itu.“Berkasnya sudah masuk, Dok. Sudah diurus sama isteri saya, nanti tinggal tunggu kabar persidangannya saja ya, Dok.”Wajah Adnan makin cerah, senyumnya mengembang sempurna mendengar hal itu. Redita pasti akan sangat bahagia mendengar kabar ini, bukan? Impiannya untuk bisa segera memiliki buku nikah dan menikahi Redita secara resmi akan terwujud.“Baik, saya berterima kasih sekali padamu, Fan. Sampaikan ucapan terima kasihku pada isterimu juga, ya.”Adnan menyandarkan tubuhnya di kursi, hatinya tengah berbunga-bunga. Rupanya inilah kebahagiaan
Adnan mematikan mesin mobilnya ketika ia sudah sampai di halaman rumahnya. Mobil Edo dan Arra masih ada, itu artinya dia masih di sini, belum kembali ke Jogja dan Arra belum balik ke rumah Yudha. Ya ... memang seperti itu, bukan? Selama Edo masih harus pendidikan di Jogja, Edo harus terpisah dari sang isteri karena Arra sudah dinas di salah satu rumah sakit swasta di Solo dan sebuah klinik. Jadi lah tiap Edo di Jogja Arra lebih memilih pulang ke rumah orang tuanya karena di rumah Adnan ini ia merasa kesepian.Adnan bergegas turun, melirik arlodjinya dan masuk ke dalam rumah. Sudah pukul setengah lima. Bisa lah dia mandi besar dulu lalu sholat subuh dan bersiap berangkat ke rumah sakit. Adnan bergegas naik kelantai atas, hanya dapur yang sudah tampak menyala lampunya, yang artinya dua asistennya sudah sibuk menyiapkan sarapan dan melakukan pekerjaan lain.Adnan bergegas masuk ke dalam kamar, mandi dan bersiap sholat. Ia tersenyum menatap kamarnya itu. Kelak kamar ini ak