"Putra Bapak umur berapa, kalau saya boleh tahu?" guman Redita yang bingung harus bicara apa ketika kemudian sosok itu hanya membisu.
"Oh, tahun ini dia sudah dua puluh enam tahun," jawab Adnan sambil tersenyum kecut, sudah sangat tua sekali ternyata dirinya ini.
"Dua puluh enam tahun dan sudah hampir selesai PPDS?" tampak Redita terkejut.
Adnan hanya mengangguk pelan, "Masuk FK umur enam belas tahun dulu."
"Wah hebat," Redita berdercak kagum.
Adnan hanya tersenyum, rasanya malah Redita lebih pantas dengan Edo daripada Adnan, benar bukan? Rasanya Adnan benar-benar gila! Jatuh cinta pada gadis kemarin sore? Sungguh diluar kendali Adnan sebenarnya.
"Ah biasa saja kok, Re. Memang dia sedikit ambis sejak dulu," Adnan menghela nafas panjang, ia mulai sedikit tidak nyaman. Rasa percaya dirinya luntur seketika.
"Pulang sekarang?" tanya Adnan sambil meletakkan cup miliknya.
"Boleh kalau Bapak tidak keberatan."
Adnan mengangguk ia kemudian bangkit dan melangkah keluar dari gerai kopi itu. Diikuti langkah Redita mengikutinya dari belakang. Suasana begitu canggung, Redita lebih banyak diam karena takut salah bicara dan membuat suasana hati Adnan menjadi jelek, sedangkan adakan sedang berperang dengan dirinya sendiri, tentang perasaan cintanya, keraguannya dan tentu saja rasa percaya dirinya.
Mereka hendak melangkah ke parkiran ketika kemudian Adnan melihat tubuh Redita sedikit limbung karena sepatunya menginjak sesuatu.
"Awas, Re!"
"Aduh ...,"
Adnan sontak menahan tubuh Redita agar tidak jatuh mencium lantai. Kedua tangan Adnan menahan bahu punggung Redita, wajah mereka sedikit lebih dekat dan Adnan bisa melihat dengan jelas bahwa wajah itu benar-benar cantik.
"Hati-hati," guman Adnan ketika kemudian ia membantu Redita berdiri tegak.
"Ma-maaf, Pak," Redita tampak sangat gugup, wajahnya memerah dan itu makin membuat Adnan gemas.
"Tidak apa-apa, ada yang sakit?" tangan Adnan masih memegang bahu dan pinggang Redita, namun sedetik kemudian ia tersadar dan melepaskan tangannya dari tubuh gadis itu.
"Ti-tidak, Pak. Saya baik-baik saja, terima kasih."
Adnan hanya mengangguk, mereka kembali melangkah menuju parkiran mobil. Melangkah dalam diam tanpa berkata apapun. Hingga kemudian mereka sampai pada tempat Toyota Land Cruisser putih itu diparkirkan. Redita melirik sosok itu, kenapa sosok itu tiba-tiba membisu? Ia tidak salah bicara bukan? Adnan buru-buru masuk dan memakai seat belt-nya, masih membisu tanpa berkata-kata apapun.
Redita menghela nafas panjang, apakah ia berbuat kesalahan lagi sehingga sosok itu hanya diam membisu seperti itu? Kenapa hari ini rasanya konsulen satu itu begitu aneh? Namun ia tidak berani banyak berkata-kata, ia ikut diam membisu di tempatnya duduk ketika kemudian Land Cruisser itu keluar dari halaman parkir mall.
"Kamu pengen kemana? Biar saya antar sekalian, Re," guman sosok itu dari balik kemudinya yang membuat Redita tersentak kaget.
"Ahh ... Langsung pulang saja, Pak. Saya tidak mau merepotkan," tolak Redita halus.
"Oke baiklah, sebenarnya sih sama sekali tidak merepotkan." guman Adnan lirih tanpa beranjak dari jalanan yang ada di depannya."Langsung pulang saja, Pak." jawab Redita kembali menegaskan.
"Baiklah," guman Adnan yang langsung membawa mobilnya ke arah kampus Redita.
Mereka benar-benar membisu dalam masing-masing, sebuah situasi yang jujur sangat tidak Adnan sukai. Namun mau bagaimana lagi? Kepercayaan dirinya lenyap seketika, sekali lagi selisih umur yang membuat Adnan menjadi sakit kepala. Edo dua puluh enam tahun dan Redita dua puluh satu tahun. Bahkan gadis ini lebih muda dari anak sulungnya sendiri! Astaga, kepala Adnan rasanya seperti mau pecah.
"Pengen ambil PPDS di mana besok?" Adnan akhirnya bersuara, jujur ia tidak nyaman jika hanya diam saja.
"Belum tahu, Pak, mungkin setelah ini fokus ke internship dulu." Redita tersenyum kecut, koas saja belum beres, sudah di tanya mau PPDS di mana. Masih sangat jauh sekali bukan?
Tentu saja masih sangat jauh, Redita masih harus melewati bebrapa tahapan lagi. Ia masih harus UKMPPD dan internship sebelum dapat STR dan bisa lanjut PPDS. Dan itu butuh waktu dan duit yang tidak sedikit.
"Mantapkan dulu mau kemana, jangan lupa lihat-lihat lulusan sebelumnya mereka progressnya seperti apa." nasehat Adnan dengan suara yang begitu lembut.
Redita menoleh dan menatap sosok yang begitu tenang di balik kemudinya itu. Wajahnya begitu tenang, namun mata itu menyorotkan sebuah perasaan tidak nyaman, dia kenapa? Namun Redita tanya menyimpan semua pertanyaan itu dalam dirinya. Tentu dia tidak berani bertanya lebih jauh bukan?
"Iya, Pak. Saya juga tidak mau gegabah, apalagi biaya ambil spesialisasinya nanti juga lumayan besar dengan waktu yang lama."
Adnan hanya menganguk pelan tanpa bersuara. Redita pun tidak banyak berkata-kata lagi, mereka tenggelam dalam diam masing-masing, hingga akhirnya Land Cruisser itu sampai di depan gerbang kost Redita. Redita melepaskan seat belt-nya dan menoleh ke arah Adnan.
"Terima kasih banyak untuk hari ini, Dokter Adnan." ujar Redita tulus.
Adnan tersenyum, ia hanya mengangguk perlahan, "Jangan sungkan. Selamat beristirahat, Re."
Redita hanya balas mengangguk, ia kemudian melangkah turun dari mobil. Ia melambaikan tangannya dan menatap kepergian mobil itu dengan nanar. Pernyataan tadi masih berkelebat dalam diri Redita, sebenarnya Dokter Adnan tadi kenapa?
***
Adnan memukul setirnya dengan gemas, rasanya setelah ini ia harus menghubungi Yudha, ia perlu mencoba saran Yudha untuk mendekati residen interna yang Yudha sodorkan tadi. Ia harus mundur teratur mendekati sosok itu, Adnan harus sadar diri dan segera membuah jauh-jauh perasaan salah sasaran itu pada gadis belia itu. Harus!
Namun apakah bisa ia semudah itu membunuh perasaan yang terlanjur tumbuh itu? Apakah kemudian ia bisa mencintai sosok yang Yudha sodorkan untuknya? Karena jatuh cinta tidak semudah itu bukan? Dan ia jatuh cinta dengan Redita tanpa sengaja, semua muncul dan tumbuh begitu saja. Berkembang dengan alami tanpa mampu Adnan hindari.
Adnan benar-benar jadi pusing, galau dan entah apa lagi. Ia benar-benar macam ABG yang baru kenal cinta! Ia bergegas membelokkan mobilnya ke halaman rumah, mematikan mesin mobilnya dan melangkah turun. Hal pertama yang ia lakukan adalah merogoh Smartphone dan menghubungi Yudha.
"Yudha, aku ingin ikuti saranmu!" Adnan memijit keningnya, bahkan sebelum Yudha menjawab panggilannya, Adnan sudah lebih dulu buka suara.
"Saran yang mana?" tanya Yudha dari seberang.
"Tentang tawaranmu untuk berkenalan dengan residenmu tadi."
"Oh jadi kamu setuju?" tampak Yudha tertawa dari ujung telepon.
"Jangan mengejekku, Yud!" Adnan sedikit tidak suka mendengar tawa Yudha itu.
"Bukan begitu, hanya saja kenapa kamu secepat itu berubah dan membuat keputusan?"
"Aku minder, serius. Rasanya aku harus mundur dan sadar diri," Adnan menghela nafas panjang, ia duduk dengan lesu di kursi terasnya.
"Sudahlah, jangan kau pikirkan. Besok aku atur untuk bisa berkenalan dengan dia."
Adnan hanya mengangguk, rasanya ini keputusan yang tepat, kan? Ia tidak pantas dengan Redita, gadis itu terlalu muda, terlalu jauh jarak umur mereka, jadi lebih baik Adnan menyingkir dan pergi dari hidup gadis itu bukan?
Redita hendak kembali pulang selepas jaga malam pagi itu ketika ia mendapati Land Cruisser yang ia tahu betul adalah milik sang suami sudah terparkir di halaman parkir rumah sakit. Tak beberapa lama sosok itu turun dari mobil, tersenyum begitu manis ke arahnya.Rasanya Redita ingin berlari dan menjatuhkan diri di pelukan sang suami kalau saja mereka tidak sedang berada di halaman rumah sakit saat ini. Jadi Redita sekuat tenaga menahan keinginannya untuk melakukan hal itu, ia melangkah perlahan mendekati sang suami yang tersenyum begitu lebar ke arahnya.“Hai suamiku,” sapa Redita lalu mengulurkan tangannya, bergegas mencium punggung tangan Adnan begitu uluran tangannya terbalas.“Hai juga isteriku, kamu tampak lelah. Bisa kita pulang sekarang? Aku rindu dengan jagoan kecilku.”Redita sontak mencebik, ia memanyunkan bibirnya yang sukses membuat Adnan terkekeh melihat perubahan wajahnya itu.“Jadi pulang cuma kangen sama
Beberapa hari kemudian ... “Dokter!” Redita setengah berlari mengejar langkah dokter Ricard, beliau adalah dokter bedah yang bertanggung jawab pada sang nenek pasca operasi kemarin. Dan hari ini adalah visiting terakhir, bukan? Kondisi sang nenek sudah lebih baik, dan itu artinya dia sudah boleh pulang. Untuk itu Redita ingin melihat wajahnya, mungkin untuk terakhir kalinya dia bisa melihat wajah-wajah yang dulu menorehkan luka dengan begitu dalam di relung hati Redita itu. “Ada apa, Re?” tanya dokter Richard yang tampak mengerutkan kening melihat Redita berlari-lari menghampirinya itu. “Boleh saya ikut visiting, Dok?” mohon Redita dengan nafas terenggah-enggah. “Tentu boleh, bukan kah pasien itu pertama kali datang kamu yang pegang?” tampak dokter Ricard tersenyum, ia sudah hendak kembali melangkah ketika kemudian tangan Redita mencekal tangan dokter Richard, mencegahnya melangkah lebih jauh. “Dok, tunggu sebentar!” Dokter Ric
Redita tersenyum menatap sosok itu yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Beberapa alat medis masih menempel di tubuh renta itu. Ia sudah berhasil melewati masa kritisnya, tinggal menanti dia kembali sadar dan kondisinya pulih.Redita meraih tangan berkeriput itu, meremasnya perlahan dengan hati yang teramat pedih. Bayangan masa lalu dimana sosok itu dengan tangan yang saat ini Redita genggam, sering menamparnya, menjewer telinga Redita sampai memerah, mecubit pahanya sampai memar membiru dan terkadang memukul kakinya dengan gagang sapu. Belum lagi, mulut yang sekarang terpasang ventilator itu, dulu begitu pedas tiap mengata-ngatai dirinya, mencaci-maki Redita yang bahkan dulu masih begitu kecil dan tidak paham apa-apa.Redita menghela nafas panjang, berusaha melupakan semua itu meskipun rasanya begitu sulit dan tidak semudah yang ia katakan. Redita melirik jam dinding, sudah pukul setengah enam, ia bergegas merogoh saku snelli-nya, mengambil masker medis yang
"Iya Sayang, stok ASIP Adta sudah ready banyak di kulkas, jangan khawatir ya." Redita tersenyum, malam ini ia harus jaga IGD sampai besok pukul tujuh pagi. Dan Adnan sudah ribut khawatir dengan Adta katanya."Benar? Apa perlu aku balik ke sana sekarang?"Sontak Redita tertawa, ah lebay sekali bapak tiga orang anak itu? Sebelum mereka kembali bertemu, toh Adta baik-baik saja jika dia ada jaga malam, kenapa sekarang dia jadi begitu khawatir?"Sudah, tenang saja! Jagoan kecil kita aman dan akan baik-baik saja, Sayang." guman Redita lirih, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semua akan baik-baik saja."Yasudah, kabari aku terus ya. Aku benar-benar khawatir dengan kalian berdua."Redita tersenyum, hatinya berbungga-bungga mendengar nada kekhawatiran itu meluncur dari bibir sang suami. Rasanya ia begitu bahagia mendengarnya. Bagaimanapun, setua apapun laki-laki yang menjadi suaminya ini, dia benar-benar sosok yang begitu peduli dan penyayang. Ah ... sung
Adnan tersenyum ketika mendapati panggilan dari nomor itu, nomor yang ia tunggu untuk memberinya kabar perihal perkembangan pendaftaran itsbat nikahnya. Semoga semuanya lancar dan tidak perlu waktu lama ia bisa mendaftarkan pernikahannya dan memperoleh apa yang sudah ia janjikan kepada sang isteri sejak dulu.“Halo, gimana Fan?” tanya Adnan yang sudah sangat tidak sabar itu.“Berkasnya sudah masuk, Dok. Sudah diurus sama isteri saya, nanti tinggal tunggu kabar persidangannya saja ya, Dok.”Wajah Adnan makin cerah, senyumnya mengembang sempurna mendengar hal itu. Redita pasti akan sangat bahagia mendengar kabar ini, bukan? Impiannya untuk bisa segera memiliki buku nikah dan menikahi Redita secara resmi akan terwujud.“Baik, saya berterima kasih sekali padamu, Fan. Sampaikan ucapan terima kasihku pada isterimu juga, ya.”Adnan menyandarkan tubuhnya di kursi, hatinya tengah berbunga-bunga. Rupanya inilah kebahagiaan
Adnan mematikan mesin mobilnya ketika ia sudah sampai di halaman rumahnya. Mobil Edo dan Arra masih ada, itu artinya dia masih di sini, belum kembali ke Jogja dan Arra belum balik ke rumah Yudha. Ya ... memang seperti itu, bukan? Selama Edo masih harus pendidikan di Jogja, Edo harus terpisah dari sang isteri karena Arra sudah dinas di salah satu rumah sakit swasta di Solo dan sebuah klinik. Jadi lah tiap Edo di Jogja Arra lebih memilih pulang ke rumah orang tuanya karena di rumah Adnan ini ia merasa kesepian.Adnan bergegas turun, melirik arlodjinya dan masuk ke dalam rumah. Sudah pukul setengah lima. Bisa lah dia mandi besar dulu lalu sholat subuh dan bersiap berangkat ke rumah sakit. Adnan bergegas naik kelantai atas, hanya dapur yang sudah tampak menyala lampunya, yang artinya dua asistennya sudah sibuk menyiapkan sarapan dan melakukan pekerjaan lain.Adnan bergegas masuk ke dalam kamar, mandi dan bersiap sholat. Ia tersenyum menatap kamarnya itu. Kelak kamar ini ak