Share

Di mana Rindu ini Kutitipkan
Di mana Rindu ini Kutitipkan
Penulis: akhmad fatoni

Pelataran dan Sebuah Perkenalan

Bertemu, penasaran, rindu, dan berakhir pada perpisahan.

Siklus cinta yang selalu saja membuatku terjatuh berkali-kali dan anehnya aku tidak pernah takut terjatuh. Sampai detik ini, aku pun belum bisa menemukan titik paling absurd yang sulit dijamah. Titik yang mempertemukan dua belah jiwa.

                                                          *

Mbak Lila, perempuan manis penunggu ruang tamu. Yah, aku lebih suka menyebutnya dengan perempuan penunggu ruang tamu daripada resepsionis. Tapi, jangan menganggap tempat kerjaku di sebuah hotel. Aku bekerja di sebuah kantor penerbitan. Mbak Lila, inilah yang dengan telaten dan piawai mengatur jadwal pertemuan antara para penulis, distributor, dan para tamu. Dan entah, ia rasanya tak pernah kehabisan bekal senyuman. Aku diam-diam sering mengamatinya, bukan hanya karena wajah cantiknya itu tetapi bagaimana ia selalu saja mampu meramu senyum yang membuat ia makin menawan dan lebih manis.

Sejak kali pertama aku datang ke kantor ini, ia juga yang menyambutku pertama dan meminta menunggu di kursi tamu. Ramah, lembut, dan tentu dengan senyum manisnya. Aku masih ingat betul waktu itu. Waktu di mana aku melamar pekerjaan di kantor ini. Aku sebagai seorang yang membutuhkan pekerjaan merasa diberi sebuah kenyamanan dengan sambutan yang begitu ramah. Aku menunggu di kursi tetap di sebelah kanan meja resepsionis. Aku sesekali melirik Mbak Lila. Duh, cantiknya.

“Saudara Adi Nugraha.” Suara lembut Mbak Lila membuyarkan lamunanku, “silakan menuju ruang wawancara.” sambil ia menunjuk sebuah ruang di sebelah kiri. 

Bayangan wajahnya yang cantik itu, tidak bisa lepas dari ingatakanku sampai ketika aku menemui petugas yang mewawancaraiku wajah cantik resepsionis itu masih terekam jelas. Perasaan itu membuat ras deg-degan sejak pertama masuk kantor ini, seketika lenyap, bahkan saat aku duduk di kursi wawancara ini. Aku bisa menyodorkan senyum paling manis yang kumiliki.

Hal itulah yang membuatku merasa nyaman setiap mengawali kerja. Ya, setiap pagi senyum dan sapa Mbak Lila itulah yang membuatku merasa nyaman bekerja. Pekerjaan yang masih baru dan asing.

Pak Tarman, office boy yang tidak lagi muda. Wajahnya beruban dan aku taksir berumur 50-an. Pak Tarman inilah orang kedua setelah Mbak Lila yang kukenal pertama di kantor ini. Perangainya membuatku terpana. Santun, sopan, dan ramah, seperti Mbak Lila. Setelah aku bekerja di kantor ini, barulah kutahu Pak Tarman selain menyapu, mengepel, dan membersihkan kantor ini, juga memiliki tugas ganda: membuatkan kopi dan teh untuk semua karyawan. Aku sempat kaget ketika pertama Pak Tarman menanyakan mau minum kopi atau teh. Tentu saja, aku yang kolot langsung menjawab tidak perlu. Bukan alih-alih takut merepotkan, tetapi takut diminta untuk membayar. Otakku memang terlalu matematis.

“Silakan Mas kopinya. Melihat dari bibirnya yang berwarna agak gelap, pasti Mas Adi Nugraha seorang perokok. Tentu perokok itu, lebih suka minum kopi daripada minut teh.” Sembari melihat papan nama kecil di mejaku.

“Oh iya, terimakasih. Panggil saja nama saya Nugie, N-U-G-I-E.” Sembari meraba dompet dari saku celana belakang.

“Maaf Mas N-U-G-I-E, semua karyawan tidak boleh memberikan uang tips. Ini sudah pekerjaan saya. Setiap karyawan harus saya buatkan minuman, tentunya setelah saya membersihkan semua ruangan di kantor ini.. Dan semuanya gratis kok.” ucapnya seolah mengerti kegagapan wajahku sebagai karyawan baru.

Pekerjaan baru ini membuatku makin betah. Tentunya karena kesukaanku dengan buku-buku. Aku memang tidak pernah suka membawa pulang pekerjaan, itulah yang kadang membuatku sering pulang malam. Dan Pak Tarman rela bekerja lembur hanya menungguiku.

“Pak Tarman pulang saja duluan, sebentar lagi pekerjaan saya sudah selesai kok.”

“Tidak apa-apa Mas, toh ini kewajiban saya. Melayani setiap pekerja. Sebelum semua pekerja pulang, berarti jam kerja saya belum selesai.”    

Jika sudah seperti itu, aku pasti tidak bisa memaksanya lagi. Beliau memang orang yang amat patuh. Semua pekerjaan selalu berusaha dikerjakan serapi mungkin. Tidak pernah ditunda-tunda. Yah, darinya aku banyak belajar disiplin. Selalu menyelesaikan mengedit naskah yang akan segera diterbitkan tepat waktu. Jika memang pekerjaan belum selesai, sedangkan waktu sudah malam barulah aku memilih untuk kukerjakan di rumah. Sebab jika aku menyelesaikan di kantor, Pak Tarman pun mau tidak mau harus lembur menungguiku. Namun, aku selalu menjawab bila ditanya Pak Tarman kalau pekerjaanku sudah selesai. Kebaikan Pak Tarman itu, membuatku meminta pada atasanku untuk memberi uang lembur kepadanya tiap kali aku harus melembur semua pekerjaan kantor.   

Adanya Pak Tarman yang selalu menemaniku lembur, membuat aku merasa lembur di rumah. Begitu juga ketika di rumah, aku tidak pernah mau santai sebelum pekerjaan kantorku benar-benar rampung. Aku kerap tidur larut. Ibu selalu menegurku jika aku tiap malam terus begadang. Namun teguran-teguran itu, selalu saja kuabaikan. Dan jika sudah seperti itu, ibu tak pernah menggerutu. Nampaknya ialah orang terbaik yang harus selalu aku kenalkan ke dunia.

“Masih banyak kerjaannya?” Sembari menaruh secangkir kopi di meja kerjaku.

“Lumayan Bu, besok harus dipresentasikan soalnya. Aku harus membacanya sampai tuntas.”

“Oh iya, Alex tadi ke sini tapi kamu belum pulang.”

“Sama siapa dia Bu?” tanyaku.

“Kayaknya sendirian. Dia juga tidak lama kok. Baru datang, langsung mau balik. Ibu tanya ada pesan yang perlu disampaikan, katanya nanti ia telepon saja. Memangnya dia belum telepon kamu?” sembari berjalan meninggalkanku.

“Sudah si Bu, tapi tadi aku tidak tahu pas dia telepon. Setelah ini, biar aku telepon balik.”             

 Ah, tinggal 10 halaman lagi. Biar aku lanjutkan dulu, baru nanti setelah itu telepon Alek.

Setelah semuanya rampung. Laptop kumatikan. Eh, tiba-tiba hapeku berbunyi.

“Ya, halo…katanya kamu tadi habis dari rumah? Ada apa? Sory tadi aku lembur. Biasa dikejar deadline, besok harus presentasi.”

“Wah, dasar pemburu dolar. Eh, masih membujang saja sudah bekerja sekeras ini, apalagi nanti kalau sudah punya istri dan anak, pasti lupa padaku dan tidak lagi bisa ngopi bareng.”

“Dasar, bukannya begitu kawan. Tuntutan profesi.”

“Iya, iya…aku pasti kalah kalau beradu argumenmu.”

“Asem…, oh iya ada apa tadi ke rumah?”

“Besok ada acara di gedung pemuda. Acaranya teman-teman. Datang yuk!”

“Besok ya….”

“Ah, ayolah…jangan lembur lagi. Rayu bosmu. Minta konpensasi sehari saja, untuk besok. Kau juga sudah lama tidak refresing. Hitung-hitung menyegarkan otak, mengembalikan pada posisi nol.”

“Baiklah, aku usahakan. Besok seusai rapat, aku kabari. Aku tak melobi pak bos.”

“Oke deh…”

                                                                *

Presentasi berjalan dengan lancar. Buku lolos. Satu pekerjaan telah selesai.

“Saya memang tidak salah memilihmu.” Tiba-tiba saya dikagetkan dengan tepukan tangan Pak Bram.

“Ah, Bapak terlalu berlebihan. Saya menjadi seperti ini karena bimbingan dari Bapak,” Tiba-tiba aku ingat ajakan Alex. “oh iya Pak. Nanti saya pulang lebih awal ya. Sebab nanti ada keperluan.

“Ah, ada acara apa? Tentu saja Nugie, bahkan untuk cuti pun akan saya beri. Kamu sudah bekerja keras untuk perusahaan ini.”

“Tidak Pak, hanya acara pertunjukan teater. Saya tidak bisa lembur untuk hari ini, saya ada undangan untuk menghadiri acara tersebut.”

“Oh tentu, silakan. Jika kamu memang nanti butuh cuti. Tinggal hubungi Lila.” Sembari meninggalkanku yang merapikan alat-alat presentasiku.

Pak Bram, owner penerbit tempatku bekerja. Tidak banyak bicara, tegas, dan masih muda. Aku salut melihatnya. Jika aku melihat, umurnya nampaknya hanya berselang beberapa tahun di atasku. Salah satu hal yang aku suka darinya yaitu selalu saja memberi ucapan selamat kepada setiap pegawainya bila mampu mengerjakan sesuatu dengan baik. Tidak hanya itu, ia juga selalu mendidik dengan telaten, bila melihat pegawainya masih belum mampu mengerjakan tugas dengan baik. Ia selalu bercerita tentang pengalaman orang-orang hebat dalam meniti kariernya. Itulah yang membuat kami semua selalu saja segan kepadanya.

Setelah usai, aku langsung memberi kabar kepada Alex kalau nanti bisa berangkat. Alex, salah satu teman karibku. Ia sahabatku sejak di bangku SMA. Teman-teman bahkan sering mengatakan di mana ada Alex, pasti di situ ada Nugie. Ya, kami memang selalu saja bersama. Meskipun saat ini, kita tidak bekerja di tempat yang sama. Kita masih saja kerap nongkrong dan jalan-jalan berdua. Entahlah, aku selalu saja menemukan kesamaan. Tentunya intensitasnya ketika kami bekerja sudah tidak seperti dulu.

                                                                *

Setiba di sana, suasana masih nampak sepi dan tenang-tenang saja. Hanya nampak  beberapa orang yang bercelana hitam dan berkaos putih. Mungkin panitia acara. Aku dan teman-teman memarkirkan motor. Setelah itu, celingak-celinguk mencari warung kopi di sekitar kantor. Ah, nihil. Akhirnya aku memilih duduk di tikar-tikar yang sudah disiapkan panitia. Sembari menunggu acara dimulai.

“Sebentar, aku mau masuk. Aku tadi janjian dengan temanku.” Seru Nana.

“Oh iya, kita duduk di sini. Jika nanti mencari.” Jawabku.

Aku berangkat ke acara bersama 6 orang. Aku berboncengan dengan Nana, Alex dengan Wedar, dan Wulan dengan Sam. Ketika aku sedang asik ngobrol dengan Alex, tiba-tiba pandanganku tercuri dengan sosok perempuan yang berjalan bersama Nana. Elegan sekali. Aku menatapnya dengan tamat. Cukup memukau dan mampu mencuri perhatianku. Duh, ada apa denganku?

Aku kembali ngobrol dengan Alex dan teman-teman. Bercerita perihal pekerjaan dan kesibukan masing-masing. Gayeng. Tiba-tiba obrolan kami terpecah ketika Nana datang.

“Kenalkan ini, temanku.” Ucap Nana.

“Sally…” Perempuan itu menyodorkan tangan ke arahku.

Aku benar-benar terpaku. Bukannya aku menjabat tangannya dan menyebutkan namaku, tapi aku hanya terbengong menatapnya.

Loh, malah bengong.” Suara Nana, menyadarkanku.

“Maaf,” aku menjabat tangannya, “Nugie.”

Lalu ia bersalaman dengan Alex, Wedar, Wulan, dan juga Sam. Ketika aku sedang menamatkan pandanganku kepada teman Nana itu. Tiba-tiba ada orang duduk di sebelah kiriku dan taksengaja menyenggol pundakku.

“Oh, maaf Mas.” Serunya.

“Oh iya tidak apa-apa. Loh, kamu…” aku seperti tak asing dengan wajahnya, “masih ingat denganku?” tanyaku balik.

Ia nampak mengingat sesuatu.

“Siapa ya?” tanya perempuan itu.

“Kamu yang dulu pernah aku latih menggarap drama toh?” Aku mencoba mengembalikan ingatan di mana kita dulu pernah bertemu.

Ia memejamkan mata. Duh. Cantik juga perempuan ini. Uh…pikiranku mulai kacau. Namun usahanya untuk mengingat nihil. Ia menggeleng. Ia mengenalkan dua orang perempuan yang juga datang bersamanya.

“Namamu Lidya kan?” Tanyaku meyakinkan.

“Iya,” jawabnya sembari tersipu malu.

“Sudah ingat? Dulu, waktu kamu ada tugas penggarapan naskah drama. Teman sekelasmu meminta aku untuk membantu garap naskah tersebut. Masak sudah lupa?”

“Oh, iya…iya aku ingat Mas.” Jawab Lidya.

“Aktivitasmu apa sekarang? Masih lancar hubunganmu….siapa nama cowokmu itu?”

“Danny.”

“Iya, Danny.”

“Masih Mas. Tapi sampai sekarang ia masih belum lulus kuliah.”

“Loh kok bisa? Ya dibantu dong cowoknya garap skripsi. Biar cepat lulus.”

“Ya ndak mungkin Mas. Secara, aku sekarang sudah tidak di Surabaya lagi. Aku ngajar Mas.”

“Oh, ngajar di mana sekarang Lid?”

“Di SMAN 1 Sooko. Ini muridku, murid teater. Selain mengajar formal, aku juga mengajar eskul teater di sana.”

“Weh, manjur dong ajaranku.” aku kemudian tertawa.

Saat sedang asik-asiknya berbincang dengan Lidya sembari membongkar kenangan yang lama terkubur. Tiba-tiba Nana memanggilku, aku menoleh.

“Sally ini penulis. Tulisannya mengisi kolom cergam setiap hari Minggu.” ujar Nana sembari menceritakan siapa teman barunya itu.

Aku hanya terpaku. Rasanya segalanya runtuh. Hanya ada tatapan yang memburu. Memburu wajah teduh yang tepat berada di depanku. Matanya amat tajam, seperti mata elang. Senyumnya serupa gerimis yang mampu membuat basah bila tidak segera berlindung. Sungguh, aku telah basah karena senyuman itu.

Nampaknya ia telah membaca kegagapanku. Aku benar-benar kalah pada pandangan pertama. Dus. Hatiku rasanya bercecer di mana-mana. Apalagi saat tadi berjabat tangan dengannya, kehalusan tangannya membuatku melayang.

Aku benar-benar kacau. Dan anehnya, aku ingin terus dalam kekacauan semacam ini. Namun, aku tiba-tiba gagap setelah Nana berdehem. Nana mengajak ngobrol Sally. Entah membicarakan apa. Aku kemudian kembali ngobrol dengan Lidya. Aku kembali bercengkrama. Membuka kenangan lama bersama Lidya dan kisah-kisah selama aku melatih dia. Nostalgia selalu indah.

Panitia acara datang membawa beberapa gelas kosong dan teko yang telah berisi kopi. Setelah meletakkan di meja, kemudian ia mempersilakan agar mengambil kopi sendiri. Aku langsung beranjak, sebab daritadi aku mencari warung di sekitar sini tidak ada. Ya, satu keburuntungan lagi untukku mala mini.

“Mas, tolong buat aku juga ya.” Teriak Sally ketika aku hendak menuang kopi.

Aku pun mengambil tiga gelas. Aku isi tidak terlalu penuh. Aku menghampiri Sally, “Perempuan penggila kopi,” batinku sembari aku menyodorkan kopi itu untuknya, juga kepada Nana.

 “Terimakasih ya Mas.” Serunya basa-basi.

“Oh, iya…”aku pun membalas senyumnya, “suka kopi juga ya?”

“Begitulah.” Jawabnya santai.

Kita kembali berbincang. Ia kemudian bercerita perihal pekerjaannya. Kita saling berkisah tentang keseharian masing-masing. Dan aku juga menanyakan apakah ia suka dengan kegiatan semacam ini. Sebab sebelumnya aku belum pernah melihatnya.Ternyata ia suka dengan segala aktivitas seni, khususnya teater, tari, dan lukisan. Aku langsung saja meminta nomor handphone-nya, agar aku lebih mudah bila ingin mengabari kalau ada kegiatan serupa. Dengan ringan ia mendiktekan nomornya.

Acara satu per satu mulai disuguhkan. Namun baru sampai pada pertengahan acara Nana tiba-tiba pamit pulang. Begitulah Nana, ia selalu saja terkena jam malam. Setiap pukul 9 malam, pada acara apa pun ia selalu pamit pulang. Aku sedikit bingung. Sebab tadi aku berangkatnya berboncengan dengan dia. Alamak.  

“Aku pulang dulu ya?” pamit Nana.

“Loh, kok sudah pulang. Acara baru saja dimulai.” jawabku.

“Iya, biasa terkena jam malam. Ingin hati terus di sini, tapi apa daya.” sahut Nana dengan suara penuh kekecewaan.

“Ya, sudah kalau begitu, hati-hati ya.” jawabku.

Aku kemudian mengantarkan Nana ke tempat parkir, membantu mengeluarkan motor. Namun aku mulai berpikir, lantas aku nanti pulang bareng siapa? Ah, sudahlah biar nanti diatur.

“Kamu tidak balik juga?” tanyaku pada Sally, ketika kembali duduk di sebelahnya.

“Ndak Mas, tadi sudah ijin kok kalau ada acara.” sambil tersenyum. Alamak, manis betul senyum gadis ini.

“Sebelumnya aku minta maaf ya. Sebenarnya tak enak ngomongnya, namun bagaimana lagi. Ini di luar rencana. Begini, aku tadi ‘kan berangkat sama Nana, namun ia pamit pulang dulu. Jadinya aku tidak ada teman pulang. Bolehkah nanti aku minta tolong diantar ke terminal?”

Sally nampak berpikir.

“Tolong ya, sungguh sebenarnya aku tidak enak. Kita baru saja kenal, tapi sudah merepotkan.” tambahku.

“Oh, iya tidak apa-apa kok Mas.” jawab Sally dengan suara lirih. Aku menduga ia sebenarnya berat hati. “selama bisa membantu, pasti dibantu.”

Slum. Aku benar-benar senang, sampai-sampai aku tidak kontrol diri. Aku langsung mememang tangan Sally, sambil terus mengucapkan terimakasih. Ia tersenyum padaku. Senyum itu yang membuatku begitu tenang dan sekaligus menyadarkanku kalau apa yang kulakukan berlebihan.

“Maaf, maaf, maaf...” aku benar-benar takut kalau ia marah. Namun, nampaknya ia tidak ada rasa marah sedikit pun.

“Tidak apa Mas. Begitulah ekspresi bahagia yang begitu besar. Aku juga pernah merasakan hal itu. Jadi, tidak begitu kaget jika ada orang yang melakukan hal serupa.” sembari tersenyum kepadaku.

Rasa panik bercampur senang membuatku tidak begitu mengikuti rangkaian acara. Dan tiba-tiba saja aku dikagetkan dengan suara pembawa acara yang memanggil namaku. Yah, namaku dipanggil untuk membacakan puisi. Sally, tiba-tiba kaget dan melihatku.

“Mas yang dimaksud oleh pembawa acara itu?” tanyanya dengan setengah tidak percaya. Aku hanya menjawab dengan senyuman, sembari mengeluarkan draf kumpulan puisiku yang dalam waktu dekat akan segera terbit.

Aku membacakan 3 puisi.

“Itu bukunya Mas?” ia membuka percakapan setelah aku kembali duduk di sebelahnya.

“Iya, ada apa?” jawabku.

Ia tidak menjawab, tiba-tiba saja mengambil draf buku itu dari tanganku. Aku hanya terpaku. Ia mengambil tasnya. Ah, aku berpikir yang aneh-aneh. Pikirku, baru kenal sudah mau mengambil paksa bukuku. Aku hanya melihat dia dengan saksama. Ia mengeluarkan sebuah pulpen dari tas, lalu membuka halaman terakhir dari draf bukuku. Nampaknya ia menuliskan sesuatu di sana.

“Dibaca kalau sudah sampai di rumah.” sembari menyodorkan buku itu kepadaku.

“Oh, aku pikir tadi mau diambil buku tersebut. Maaf, telah berprasangka buruk.” sekali lagi ia tidak menjawab pertanyaanku, ia hanya tersenyum. Seusai acara, aku pun diantarkan Sally ke terminal.

Saat perjalanan pulang, kita ngobrol tentang banyak hal. Tentang hal remeh-temeh. Aku benar-benar menikmati obrolan kita, walaupun terkadang tidak terdengar dan terpaksa mengulang karena suaraku tertempa angin, hingga tak terasa terminal sudah di depan. Ah, kenapa jarak terminal terlalu dekat. Ingin rasanya terminal ini pindah lebih jauh, agar aku masih bisa ngobrol lebih lama dengan Sally.Tapi, hal itu sungguh mustahil.

                                                       *

                Kauboleh menggandeng tanganku, tapi tidak hatiku.

Aku benar-benar tak menyangga pesan yang ditulis Sally berbunyi seperti itu. Apakah ia memberi isyarat kepadaku perihal hati yang rapuh. Hati yang harus sembuh. Dan Sally datang dengan penyembuh itu? Oh, sungguh aku taktahu.

“Beberapa menit yang lalu, aku sudah sampai di rumah. Dan sudah kubaca pula pesanmu. Apa maksudmu menuliskan itu?” message send.

Beberapa menit setelah itu, “Tidak ada maksud apa-apa. Terimakasih untuk secangkir kopinya?” hah, gila. Dingin sekali jawabannya. Namun aku tidak bisa tenang dengan jawaban Sally. Ia sudah mengubah tatanan dalam pikiranku. Aku membaca tanda-tanda yang harus aku ubah menjadi pesan terselebung di dalamnya.

Aku akan membuat semua tanda itu menjadi semakin jelas. Kaumampu membuatku merasakan sebuah keteduhan yang selama ini telah hilang dalam hidupku. Meskipun sikapmu begitu acuh dan seolah-olah tidak memerlukan sebuah cinta, tapi aku yakin bahwa suatu ketika aku pasti bisa memilikimu. Mendapatkan hatimu.

Kaudatang dalam hidupku, tentu dengan menawarkan sesuatu. Maka aku harus memberikan sesuatu yang lebih kepadamu, melebihi tawaran yang kauberikan. Kaupasti tahu tentang kekagumanku terhadapku. Kaumungkin tahu dari tatapan mataku atau kegugupanku saat berbincang denganmu. Jika tidak, kautidak mungkin menuliskan pesan itu. Yah, kau terlalu berani untuk ukuran orang yang baru saja kaukenal.

Baiklah Sally, aku terima tantanganmu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Silva Anggi Lestari
enak, ngalir ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status