Share

Hancur dan Terkumpul

Hidupku serupa pelangi.

Rasanya indah. Tiba-tiba muncul nuansa baru. Aku jadi begitu cerah dan penuh semangat, sehingga aku selalu mendendangkan lagu-lagu cinta. Teman-teman di kantor pun ikut merasakan pancaran energi bahagia itu, membuat suasana kantor menjadi riuh. Penuh kebahagiaan. Inilah surga. Surga dunia. Surga yang turun di kantorku pagi ini.

“Wah, ada yang sedang jatuh cinta rupanya.” ucap Pak Tarman sembari menaruh kopi di meja kerjaku. Aku membalas dengan senyuman, “dunia menjadi indah ketika sedang jatuh cinta. Selamat jatuh cinta, tapi awas patah nanti hatinya.” lanjut Pak Tarman sembari meninggalkan ruanganku.

Omongan Pak Tarman tiba-tiba begitu menancap di pikiranku. Apakah aku benar-benar telah jatuh cinta? Jatuh cinta kepada Sally. Jatuh cinta pada pandangan pertama. Orang yang baru kukenal, bahkan perangainya pun aku taktahu. Ia memang cantik, tapi pandangan matanya itu benar-benar membunuh. Apakah aku terbunuh dengan pandangan mata itu? Mata yang begitu tajam.

Ah, entahlah, pastinya Sally mampu membuatku tenang. Di saat aku gundah merindukan mantanku yang sudah hampir satu tahun putus. Sally mampu membuatku lupa kepada dia. Sally mampu membangkitkan keterpurukanku atas bayangan mantan kekasihku itu. Meskipun aku tidak suka tatapan mata Sally dan juga gaya bicaranya yang sinis. Alex pun tidak suka dengan Sally, ketika kutanya perihal Sally. Memang, semua orang pasti akan menganggap Sally orang yang sombong. Sedari dulu aku pun sangat membenci perempuan cantik yang memiliki sifat seperti Sally, namun kali ini aku tidak bisa membenci Sally. Ah, apakah aku benar-benar jatuh cinta?

Keragu-raguan itu kerap kali muncul dalam benakku. Namun, ketika kerinduanku mencuat kepada mantan kekasihku. Mantan yang benar-benar sudah amat kejam membiarkan aku sendiri, ketika aku telah memilihnya untuk tinggal di pikiran dan hatiku. Dan anehnya, bila dalam kondisi seperti itu Sally mengirimkan pesan pendek, tiba-tiba saja kegaduhan dalam hati ini hilang. Entah, aku pun taktahu. Padahal sebelum bertemu dengan Sally, begitu banyak perempuan cantik yang dekat denganku atau mereka yang sengaja mendekatiku, akan tetapi hasilnya nihil. Mereka tidak mampu mengusir perasaanku terhadap orang yang telah benar-benar melekat dalam hati.

Mungkin itulah yang membuatku takpeduli dengan tatapan mata Sally, senyum sinis Sally, dan juga gaya bicaranya yang begitu angkuh. Ya, karena dia mampu mengusir bayangan orang yang ada dalam hatiku. Orang yang terus membuat aku lumpuh ketika merindukannya. Mungkin sudah waktunya aku membuka hati dan padamulah Sally pilihan itu. Dan aku pun takpeduli apa kata orang tentang pilihanku.

“Kau telah membuatku menentukan pilihan Sal.” Bisikku dalam hati.

                                                                   *

Aktivitasku mulai berubah semenjak bertemu dengan Sally. Aku punya kesibukan baru sepulang kerja, tidak lagi berkutat dengan buku-buku. Berkirim pesan singkat. Yah, aku mengabarkan aktivitasku dan Sally mengabarkan aktivitasnya selama sehari penuh. Sampai suatu ketika Sally sedang belanja di sebuah supermarket yang takjauh dari rumahnya. Ia lupa membawa jas hujan, sehingga ketika hujan turun dengan derasnya ia begitu amat tersiksa.

“Terjebak hujan.” Pesannya.

“Seandainya nomor kita satu provider, mungkin aku bisa membuat jebakan itu menjadi tidak begitu membosankan. Jadi, maafkan daku. Selamat menikmati hujan.” Balasku.

Aku kembali berkutat dengan pekerjaan yang belum rampung. Sebab buku harus segera terbit. Aku membaca tiap kata, mengubah, dan sesekali menambah agar lebih memikat. Yah, begitulah keseharianku, tidak bisa lepas dari tulisan dan buku-buku.

Satu jam kemudian, Sally mengirim pesan lagi. Ia berkata sudah berada di rumah. Sedang makan kebab. Salah satu makanan kesukaannya. Ia berceritapanjang-lebar, persis seperti seorang pencerita yang handal. Sangat antusias. Namun aku tidak bisa terperangkap dalam ceritanya, sebab aku tidak pernah makan kebab.

Selain bercerita kebab, ia juga amat antusias jika bercerita soal dance. Bahkan katanya tiap malam ia selalu latihan di kamar. Aku tidak bisa membayangkan jika aku melihat dia sedang nge-dance. Sungguh, aku tidak ingin, bukan bermaksud tidak menghargainya, melainkan karena aku kurang begitu suka melihat cewek nge-dance. Namun, aku berusaha memendam itu. Aku hanya ingin menjadi pendengar yang baik.

Setelah ia bercerita panjang lebar tentang kesukaannya, barulah aku bercerita tentang keseharianku. Aku bercerita tentang naskah-naskah yang telah aku garap. Naskah yang meraung-raung meminta untuk segera diselesaikan dan diterbitkan. Juga bercerita tentang Pak Tarman, seorang pegawai yang aku merasa begitu nyaman berada di dekatnya. Aku juga bercerita, karena Pak Tarman itu aku merasa saat di kantor seperti berada di rumah.

Aku juga bercerita tentang Mbak Lila, perempuan dengan cadangan senyum yang takpernah ada habisnya. Juga ketelatenannya menemui dan mengatur jadwal para tamu. Setiap hari hampir seratus orang. Belum lagi, ia harus menjawab telpon yang hampir tidak lelah berdering. Yah, sehingga aku bercerita pada Sally, jika belajar tentang kesabaran dan keuletan aku merujuk untuk belajar kepada Mbak Lila.

Rasanya aku begitu nyaman berbagi cerita dengannya dan aku rasa Sally juga merasakan hal yang sama. Sebab cerita itu selalu rampung hampir tengah malam, bahkan dini hari. Jadinya, aku merasa punya teman baru. Teman spesial yang menemaniku kerja lembur, bahkan ia selalu membuatkan kopi hitam untukku, walau itu hanya semacam imaji. Yah, ia selalu membalas pesan dengan, “Lembur ya lembur, tapi ya disruput dulu kopinya,” atau “setidaknya secangkir kopi ini selalu membuatmu terus bersemangat.”

Oh Sally, kenapa engkau selalu membuatku berdebar-debar.

                                                                 *

Suasana kantor sudah mulai sepi. Aku lirik jam dinding di ruanganku, pukul 17.30. Aku pun mulai berkemas. Merapikan semua file dan juga draf yang harus segera dirampungkan untuk kugarap di rumah.

Loh tumben ndak lembur Mas?” Tiba-tiba suara Pak Tarman mengagetkanku. Aku tersipu. Biasanya memang aku tidak pernah pulang jam segini. Aku selalu memilih untuk merampungkan semuanya di kantor. Kadang sampai pukul sepuluh malam aku baru pulang, sehingga Pak Tarman betul-betul hapal.

“Oh iya, sekarang sudah ada yang menunggu, pastinya lebih memilih lembur di rumah agar tidak terganggu.”

“Ah Pak Tarman bisa saja.”

“Memang cinta itu bisa mengubah segalanya kok Mas.”

Ucapan Pak Tarman begitu landep. Jlub. Menancap di otak.

Aku memang merasa banyak berubah semenjak kenal dengan Sally. Aku sudah tidak melarutkan diri pada buku-buku dan juga pekerjaanku. Aku seolah punya aktivitas baru yang lebih menarik. Menunggu pesan-pesan Sally.

“Salam kepada ibu ya Pak Tarman, saya pulang dulu.” sembari meninggalkan ruanganku dan membiarkan Pak Tarman seorang diri membersihan segala gelas dan piring dari makan siangku tadi.

Cinta memang membuat segala sesuatu menjadi indah. Aku merasa selalu berbahagia. Sepanjang perjalanan pulang, aku selalu menyanyi dan bersiul. Padahal, jarang sekali aku menyalakan musik dalam mobilku.

Kulirik handphone, masih belum ada pesan masuk. Masih sibukkah kau dewi penolongku? Entah, jika sudah selesai jam kerja. Rasanya aku taksabar menunggu kabar dari Sally. Jika kabar darinya terlambat datang, aku pasti panik.

Jika Sally tidak segera memberi kabar, maka aku segera mengirimkan SMS kepadanya. Aku menunggu balasan tapi, takkunjung tiba satu pesan pun dari Sally. “Kau sedang apa Sally?” Aku begitu panik, hampir tiap menit aku cek handphone berharap ada pesan darinya. Tapi hasilnya nihil.

Oh my God…

                                                                  *

Rasanya tidak mudah melewati waktu dengan menunggu. Mungkin itulah kenapa menunggu menjadi hal paling membosankan. Entah siapa dulu yang kali pertama mencetuskan itu, hingga akhirnya semua orang mengamini.

Sejak semalam rasanya ada gumpalan darah yang tidak mau mencair di kepalaku. Sebelum tidur, pikiran ini mblayang[1] takkaruan yang membuatku hampir dua jam takkunjung bisa tidur. Dan efeknya masih terasa pagi ini. Rasanya ada yang membebani pikiranku. Tentu hal itu memberi efek samping yang tidak main-main. Murung. Ibu pun diam-diam nampaknya menaruh curiga, tapi ia tidak berani melontarkan tanya. Sedangkan bapak, masih tetap dingin terhadapku.

Ketika sesampai di kantor pun, semua orang pada menatapku heran. Entah mereka seperti melihat wajah pencuri yang semalam telah loncat dari jendela rumah mereka. Tajam dan penuh selidik. Aku ingin marah dan meneriaki kata ini di telinga mereka, “Woi, aku bukan pencuri, kalian seharusnya iba sebab aku sudah kemalingan semalam.” Ah, tapi aku takcukup berani untuk menjadi seorang yang frontal. Aku lebih memilih diam dan menikmati mata-mata yang terus menatapku penuh selidik itu.

 “Wah, pagi-pagi sudah loyo. Bagaimana mau mengawali hari jika di ujung saja sudah seperti ini.” Pak Tarman tiba-tiba saja mengagetkanku dengan menyodorkan secangkir kopi.

“Setidaknya, Pak Tarman sudah memberiku baterai cadangan dengan minuman pekat ini.” Sembari nyruput cangkir yang baru saja ditaruh Pak Tarman di depanku.

“Mas Nugie ini memang pinter berkelit kok, tapi sayangnya kalau mau berkelit dengan bapak kok tidak jago, selalu tertangkap basah.” sembari berjalan keluar.

Sekali lagi, omongan Pak Tarman selalu berhasil membobol pertahananku. Aku betul-betul tidak bisa menyembunyikan sesuatu pun dari orang itu. Dan anehnya, sejak aku bekerja di sini, hanya Pak Tarmanlah orang pertama yang bisa membuatku terpikat. Tentu pikatan yang lain, bukan seperti pikatan Sally yang bisa membuatku seperti ini. Mungkin lebih tepatnya disebut pikatan pikiran. Yah, Pak Tarmanlah orang pertama yang bisa langsung dekat denganku. Sebab aku memang orang yang sulit menerima orang baru. Aku cenderung diam di lingkungan yang masih asing, tapi tidak dengan Pak Tarman. Rasanya baru pertama ngobrol dengannya aku sudah seperti bertemu kawan lama yang bertahun-tahun tidak pernah bertemu. Lalu kita bercerita banyak hal, hingga secara taksadar aku merasa menemukan sosok seorang ayah dalam sosok Pak Tarman. Tentu seorang ayah yang ideal dalam pikiranku.

Ucapan Pak Tarman itu membuatku bergemuruh, sehingga aku langsung beranjak menuju dapur untuk mencarinya.

“Pak, bisa ngobrol sebentar?”  

“Mas Nugie mengagetkan saja. Tentu, tentu. Apa yang bisa saya bantu?”

Entah kenapa aku mendadak tidak malu-malu. Padahal kemarin aku selalu mengelak jika gerak-gerikku ditangkap basah oleh Pak Tarman. Aku selalu menolak kalau dianggap sedang jatuh cinta. Sebab aku sudah bukan lagi ABG yang baru merasakan cinta. Tanpa ragu, aku bercerita.

“Semalam ia tiba-tiba saja menghilang. Tidak memberiku kabar sama sekali. Aku begitu panik, sampai-sampai aku tidak bisa tidur nyenyak.”

“Iya Mas, sangat kelihatan. Begitu loyo dan lesu.”

“Justru itu, saya mengejar Pak Tarman kemari. Apa yang harus aku lakukan Pak?”

“Ya jangan berpikiran buruk dulu. Toh sampean belum tahu kenapa ia tidak berkirim kabar. Lebih baik, sekarang ditanya kenapa semalam tidak memberi kabar. Ya, berpikiran positif saja.”

Dus. Omongan Pak Tarman terasa begitu memukulku.

Aku langsung tersenyum dan berlari meninggalkannya yang sedang sibuk membuat minuman, “Terimakasih Pak.”

Aku segera bergegas ke ruanganku. Handphone. Aku membuka tas. Aku sudah taksabar untuk segera mengikuti saran Pak Tarman. Memang sedari kemarin aku hanya dikepung oleh rasa panik. Pikiran-pikiran pun selalu negatif.

“Aduh di mana juga handphone ini. Ayo keluarlah, jangan bersembunyi.” Aku terus berceracau sambil membongkar seluruh isi tasku. Namun hasilnya nihil. Aku periksa di loker, tidak ada. Di meja, hampa.

“Aduh, bodohnya kau Nugie.” Tiba-tiba aku menemukan akal ketika pandanganku melihat gagang telpon kantor.

“Ah, sial.” kembali aku menggerutu. Suasana semakin hening. Tiada bunyi handphone berdering, “ah, pasti gara-gara aku tadi buru-buru berangkat. Aduh, nomer Sally pun aku belum hapal.”

Aku betul-betul lemas, taktahu lagi apa yang harus aku lakukan. Rasanya sudah tidak ada semangat tersisa. Semua dibawa lari Sally sejak kemarin malam. Sepi berusaha kuusir dengan menyalakan musik. Aku coba konsentrasi dan kembali membaca naskah yang harus kuedit hari ini. Namun pikiranku takbisa fokus, sudah kucoba membaca perlahan. Tapi lagi-lagi pikiranku terbawa pada Sally.

“Oh Sally, kau membuatku benar-benar gila.”

                                                              *

“Maaf, semalam aku tidak mengirimimu kabar. Pulsaku habis.”

“Nugie, kaumarah?”

“Sebenarnya pulsaku masih ada, tapi aku memilih tidak membalas pesanmu. Sebab aku selalu menyisakan beberapa ribu, takut nanti ada yang penting dan aku tidak bisa membalas.”

“Nugie, tolong balas. Ini pulsa terakhirku.”

“Aku tunggu nanti pukul 19.30 di kedai kopi di pinggir alun-alun kota.”

Ah, pesan siapa ini. Nomor baru, tapi kok merasa sok dekat. Aku hanya mengabaikan pesan itu. Aku memang sangat tidak suka meladeni orang-orang yang tidak jelas. Aku merebahkan badan, namun HP-ku berbunyi lagi.

“Ini nomorku. Kuharap engkau datang. Sally.”

 “Maaf Sally, hapeku tadi tertinggal. Aku baru pulang.” pesan itu langsung kukirim ke Sally.

“Aku sudah di sini sejak 30 menit yang lalu.”

Aku langsung melihat jam dinding. Ah, pukul 20.00. Dus. Aku tiba-tiba panik. Langit kamarku tiba-tiba saja berubah kelam.

Duaaaarrr…

Petir itu tiba-tiba memecahkan jantungku.

“Maaf Sally, di sini hujan. Aku nampaknya tidak bisa berangkat.”

Lama Sally tidak membalas pesanku. Keadaan semakin menggigil. Hujan semakin deras. Aku berharap hujan segera reda. Sembari menunggu hujan reda, aku ke dapur untuk membuat kopi. Setidaknya untuk menenangkan pikiran, walau itu hanya sebatas ilusi.

Hujan juga takkunjung reda. Waktu menunjukkan pukul 21.00, tiba-tiba Sally mengirim sebuah pesan:

Tentang sajak siang

Yang berinsut pada malam

Malam ketika senyum sapa

Menyepi dalam logam-logam

Kautahu, jelaga malam ini begitu menyiksaku

Rasanya persendianku ikut beku

Lalu beberapa menit selanjutnya

Aku meregang nyawa dalam secangkir kopi susu

Oh, maafkan aku Sally.

[1] Blayang: melayang-layang. Bisa diartikan pikirannya ke mana-mana dan tidak bisa tenang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status