Share

Rindu yang Kelabu

Teman-teman tiba-tiba saja duduk menyendiri. Mereka seolah-olah tidak mau mengganggu aku bercengkrama dengan Sally. Ah, aku jadi malu, tapi aku senang karena bisa leluasa ngobrol dengan Sally.

“Aku malam ini betul-betul merindukanmu Sal.”

“Ah, gombal.”

Loh….” aku terdiam sesaat. “kenapa ya setiap aku berkata jujur aku selalu dibilang orang ngombal? Perkataanku terlihat berlebihan atau seperti merayukah?”

“Ya jelas, wong dari tadi aku sudah menemanimu. Kok ya masih bilang kangen.”

“Padahal aku berkata apa yang kurasakan. Kenapa sih semua orang tidak pernah bisa memercayai apa yang aku rasakan? Apa yang aku unggapkan walaupun itu benar?” tiba-tiba saja aku merasa sebal dan sedih.

“Maaf, maaf, iya, aku faham kok kalau kamu memang kangen sama aku. Jangan serius-serius dong.” sembari Sally memegang tanganku.

Dan melihat Sally memegang tanganku, teman-teman pada gaduh.

“Hmmm, membuat orang jadi ngiri saja.” celetuk Alex.

“Emang kok, orang yang sedang kasmaran itu dunia serasa milik berdua.” sahut Wedar.

“Iya, yang lain Cuma kontrak.” Nana dan Andi menyahut bersamaan.

“Huhuhuhuhu….”

Namun aku acuh tak acuh dengan omongan teman-teman. Aku terus memandang Sally lekat-lekat, aku ingin mengawetkan wajahnya dan kusimpan dalam pikiranku. Bila kangen melanda, aku bisa membongkar ingatanku akan wajahnya. Aku terus memegang tangannya, sampai makanan datang baru melepaskan tangan Sally.

“Jangan memandangku seperti itu.”

Aku tidak menjawab, aku hanya tersenyum saja. Tiba-tiba pikiranku melayang. Kenapa beberapa hari ini kita selalu bertengkar sayang? Apakah engkau tidak merindukan masa-masa seperti ini, kita bercanda dan saling mengoda. Kenapa engkau lebih memilih selalu marah-marah tiap hari? Kautahu, aku hampir gila bila engkau tak menyapaku seharian. Aku merasa malam ini adalah malam yang sangat indah. Malam di mana semua seperti saat kali pertama dulu bertemu dengan Sally. Penuh debar dan geletar yang menjalar ke pikiran.

“Sudah?” tiba-tiba Sally mengagetkan lamunanku.

Aku melihat ke arah teman-teman, semua nampak sudah selesai makan.

“Ayo.”

“Biar aku yang bayar semua.”

“Loh, beneran?”

“Iya, aku tadi dapat rejeki.”

“Dapat THR ya?”

Sally  tidak menjawab, hanya tersenyum tipis. Kemudian berdiri meninggalkanku.

“Kalau setiap hari seperti ini, aku ya mau.” celetuk Alex.

“Dasar, maunya gratisan melulu.” sahut Wedar.

“Siapa hayo yang tidak suka gratisan?” sambil menatap ke arahku, kemudian ke arah teman-teman. “tidak ada yang menolak toh?” jawab Alex.

“Sudah-sudah, jangan ribut. Setelah ini, kita mau ke mana? Dilanjutan nongkrong di rumah?” Sahutku.

Namun teman-teman semua tidak ada yang bisa untuk nongkrong, karena sudah ada keperluan. Ah, ya sudahlah berarti kita memang harus pulang. Setelah Sally selesai membayar. Kita pun berpisah.

*

Aku tidak tahu bagaimana semua bermula. Namun aku merasa perasaan itu datang dengan tiba-tiba. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Percakapan tengah malam, juga pesan singkat yang sering kita lontarkan membuat kenyamanan. Ia banyak cerita tentang Kun dan hubungannya. Aku juga begitu, menceritakan hubuganku dengan Sally. Namun ada sesuatu yang tidak semestinya. Ada yang aneh. Kita seperti tidak bisa untuk tidak saling berkirim kabar dan saling bercerita. Bahkan dia tidak pernah ragu mengatakan rindu kepadaku. Rindu yang takpernah kita tahu telah tumbuh di hati kita. Tiada yang menyuruh.

Sedangkan aku juga merasakan hal yang sama. Rasa yang seharusnya tidak boleh bersemayam. Namun aku juga tidak memungkiri, aku juga merindukannya. Semua itu serba membuatku salah. Aku sudah memiliki pacar, namun aku juga tidak bisa menolak kehadirannya telah membuatku nyaman. Ketika ia tidak memberi kabar, maka keresahan menghujam kalbu. Aku begitu menunggu SMS-nya, aku menantikan telpon darinya. Cerita-ceritanya selalu kutunggu setiap malam, bahkan airmatanya telah membuat rinduku semakin kukuh.

Kehadirannya memang begitu tepat, ketika aku selalu bertengkar dengan Sally, ia mengisi kehampaan itu. Ia menggantikan Sally yang tiap malam menelponku. Perhatiannya serupa candu, membuatku benar-benar lumpuh. Benar-benar membuatku lupa jika aku sedang resah karena bertengkar dengan Sally.

 Sejak itulah, secara tidak sengaja aku mulai menunggu dan menanti ia memberi kabar. Entah telpon ataupun SMS. Tapi kenapa malam ini, ia tidak memberi kabar. Kamu ke mana Zahrah?

“Sedang sibukkah? Kok tidak memberi kabar seharian.” pesanku singkat.

Tidak lama kemudian, Zahrah langsung membalasnya.

“Aku tidak berani mengganggu, sebab kamu kemarin bilang. Katanya hari ini kamu ada acara dengan teman-teman kamu berbagi takjil. Terus katamu, Sally juga ikut. Tapi asal kamu tahu, aku daritadi menunggu kabar darimu.”

“Maafkan aku Zahrah. Aku tadi juga menunggu kabar darimu, sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk mengirimimu pesan lebih dulu. Kamu sedang apa?”

“Boleh aku menelponmu?”

“Sejak kapan aku melarang kamu menelponku?”

Tidak lama setelah itu, Zahrah langsung menelponku. Kita saling bercerita. Cerita tentang apa saja.  Sampai akhirnya aku merasakan sesuatu yang aneh. Sesuatu yang kerap aku rasakan bila logika dan perasaanku terkoneksi dengan baik. Namun aku dari dulu tidak pernah tahu dengan gamblang, hal itu datang hanya serupa petunjuk.

“Kamu sakit apa Za? Aku merasa kepala bagian belakangmu ada penyakit. Kepala yang sebelah kanan.”

“Kamu kok tahu kepalaku sekarang sedang sakit?”

“Aku merasakannya.”

“Kamu jangan membuatku takut. Kamu kok bisa tahu?”

“Kenapa kamu tidak pernah cerita soal itu? Aku merasakan itu sebuah penyakit yang tidak biasa?”

“Aku tidak cerita kepadamu karena aku tidak mau menambah beban buatmu.”

“Za, kamu sakit apa?”

Ia tidak menjawab, tapi tiba-tiba saja ia menangis. Aku mencoba menenangkan tetapi tangisnya malah menjadi-jadi. Aku bingung harus berbuat apa. Apakah sesuatu yang kutahu itu salah? Ah, aku menjadi semakin merasa bersalah. Tut…tut…tut….ia tiba-tiba saja mematikan telponnya.

Oh, Tuhan hamba harus melakukan apa jika sudah begini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status