Home / Romansa / Di ujung penantian / Pertemuan Dua Keluarga

Share

Pertemuan Dua Keluarga

Author: Rindhu_ughi
last update Last Updated: 2021-01-14 17:31:14

Setelah berunding dengan Hima, akhirnya Farhan memutuskan untuk mengajak keluarganya untuk bersilaturahmi dengan keluarga Hima, bagaimanapun mereka harus menyelesaikan pembicaraan yang pernah dulu pernah tersampaikan.

Awan hitam yang berkumpul sedari tadi sudah mulai berubah menjadi rintik hujan, dua keluarga sedang berkumpul di ruang tamu keluarga Hima, Farhan tertunduk, begitupun dengan Hima, setelah Pak burhan selesai berbasa-basi dengan keluarga Hima, kini giliran Farhan dipersilahkan untuk bicara.

"Sebelumnya saya mohon maaf pada keluarga bapak Syahrul sekeluarga selaku orang tua dari Hima, dan juga pada keluarga saya, sebenarnya saya berat mengambil keputusan ini, tapi demi Allah bukan karena ada kekurangan atau kesalahan dari Hima, tetapi ini murni karena kesalahan saya, yang tidak bicara jujur sedari awal jika saya mempunyai seseorang yang saya harapkan bisa menjadi pendamping hidup hingga akhir hayat."

Farhan semakin menunduk, tak ada keberanian untuknya mengangkat wajah dihadapan keluarga yang sudah menjalin persahabatan cukup lama itu. Kemudian ia melanjutkan ucapannya;

"Semoga keputusan saya tidak akan mempengaruhi hubungan antar dua keluarga kita yang sudah terjalin sejak saya masih kecil."

"Apa benar keputusanmu sudah matang, Han? Bapak takut kamu mengambil keputusan ini karena kebimbangan."Ucap Pak Burhan pada anak satu-satunya itu.

"Tolong ijinkan saya bicara paman, Bapak." Sela Hima dengan wajah yang masih menunduk.

"Sebenarnya keputusan yang di ambil oleh Mas Farhan bukan tidak dengan persetujuan Hima, melainkan kami berdua sudah sepakat untuk mengambil keputusan ini, kami berdua sudah sama-sama yakin bahwa kami tidak bisa bersama, Hima juga takut menjalani hubungan lebih dari sekedar sahabat dengan Mas Farhan karena tidak ada cinta dan kasih sayang diantar kami, walau kami mencoba untuk lebih dekat, tapi Allah mempunyai rencana lain untuk kami berdua, dan semoga ini yang terbaik."

Pak Syahrul dan Pak Burhan saling menatap, kemudian sama-sama menarik nafas panjang, mereka bukan tipe orang tua yang memaksakan kehendak anak, melainkan orang tua yang akan mengarahkan anaknya demi suatu kebaikan, tanpa harus memaksakan kehendak mereka.

Untuk sesaat suara rintik hujan yang bertambah deras mengisi keheningan yang terjadi diantara dua keluarga yang sama-sama sedang sibuk dengan pikiran mereka sendiri.

"Ya sudahlah Burhan, ini sudah keputusan mereka, semoga ini yang terbaik, walau aku sangat berharap hubungan kita akan lebih dekat setelah mereka menikah, tapi keputusan ada ditangan mereka, dan mereka sudah memutuskan."

"Iya Ful, Saya setuju dengan mu, semoga ini yang terbaik, mungkin bukan mereka yang berjodoh, semoga anak-anak mereka kelak berjodoh, jujur aku sangat berharap akan hal itu."

"Maafkan saya Pak." Ucap Farhan pada orang tuanya.

"Tidak apa-apa, bapak hargai keputusanmu, semoga wanita pilihanmu sesuai dengan harapan bapak."

Farhan tidak menjawab, wajahnya menunduk, Hima tau apa yang dirasakan Farhan, karena selama ini mereka terus berkomunikasi dan Farhan adalah sosok yang jujur dan apa-adanya, maka dia dengan mudah untuk bercerita pada Hima, Dilain pihak Farhan sangat mengenal sosok Hima, dan Hima adalah sosok yang bisa ia percaya.

Ketika hujan mulai reda, Keluarga Pak Burhan undur diri, karena memang tak ada lagi yang perlu mereka bahas.

Hima masuk kedalam kamar setelah mengantar kepulangan keluarga Farhan sampai di teras rumah.

"Dek, mau ikut ke pantai?" Tawar Aziz pada adik perempuannya, Sungguh Aziz tak mau lagi melihat adiknya menangis dan menderita karena kecewa pada laki-laki. Hima berpikir sejenak, kemudian menganggukkan kepalanya tanda setuju dengan ajakan kakaknya.

"Boleh, Hima ganti baju dulu ya Mas."

"Oke. Mas Tunggu di depan sambil pamit sama Ibu dan Bapak."

Hima menutup pintu kamar dan lekas mengganti pakaiannya dengan yang lebih santai, kemudian menyusul kakaknya yanng sudah menunggu di teras rumah sambil memanasi mesin motor.

"Yuk mas berangkat."

"Udah pamitan sama Bapak, Ibu?"

"Udah, Mas."

"Ya udah yuk, tapi nanti Mas mau ketemu sama temen Mas di pantai."

"Ya ga apa-apa nanti Hima nunggu di Pantai."

Dipesisir Pantai Parang Tritis, Hima duduk menyendiri di atas pasir beralaskan sendal jepit miliknya, Angin berhembus kencang, membuat kerudung berwarna coklat muda yang ia kenakan berkibar-kibar. Di atas sana terlihat awan yang memukau indah sisa-sisa mendung berangsur menjauh, Sedikit demi sedikit warna pelangi mulai muncul menambah keindahan langit sore, jauh di sebelah sana, deretan warung makan berjejer rapi, sebagai tempat pelampiasan lapar para wisatawan yang datang ke pantai Parang Tritis. 

Hima tersenyum melihat warna pelangi yang mulai nampak jelas, semoga perjalanan cintanya juga akan bermuara indah pada akhirnya. Seperti munculnya pelangi setelah hujan deras menerpa. 

"Banyak orang menyukai pelangi, tapi hanya sedikit dari mereka yang mau menunggu hujan badai reda untuk melihat indahnya pelangi." Satu suara Bariton terdengar dari arah belakang Hima duduk, Hima menoleh dengan cepat, ingin tahu siapa gerangan orang yang sedang berbicara. 

Erlangga, laki-laki bertubuh tinggi, rambut ikal gondrong yang dibiarkan terurai, serta rambut tipis yang membungkus rahangnya. kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana panjang levis yang ia kenakan, serta kaos putih polos yang Erlangga kenakan, menambah kadar ketampanannya bertambah berkali lipat. 

Hima beristighfar dalam hati, karena memuji laki-laki yang bukan siapa-siapa baginya, kemudian ia memalingkan wajahnya, kembali menatap lautan yang terbentang luas. 

"Boleh aku duduk disini?" Tanya Erlangga pada Hima.

"Silahkan, tempat ini bebas kok." Ucap Hima tanpa memperhatikan Erlangga yang sudah melepas sandalnya sebagai alas duduk di samping hima dengan menyisakan jarak diantara keduanya.

"Kamu sendirian aja?" Erlangga menoleh sekilas pada Hima kemudian mengikuti arah pandang Hima pada hamparan laut luas.

"Enggak."

"Lha, aku perhatikan dari tadi kamu duduk sendirian disini, terus mana temen kamu."

"Lagi ada perlu sama temennya."

"Oh,"

"Mas Erlangga udah dari tadi disini, kok tahu saya dari tadi sendirian."

"Ya, tepat setelah kamu duduk disini, aku baru sampai, hanya saja aku takut mengganggumu, lagi pula tadi aku kira bukan kamu."

"Terus?"

"Setelah aku perhatikan betul-betul ternyata benar kamu."

Hima tersenyum mendengar ucapan Erlangga, sosok pria yang beberapa hari ini di kenalnya.

"Mas Erlangga sendirian?" Tanya Hima sambil menoleh ke belakang mencari sosok kakaknya, yang tak kunjung usai menemui sahabatnya.

"Biasalah, aku pergi sama Joko, tuh lagi di warung ketemu temannya."

"Oh..."

"Tadinya aku pikir kamu pergi sama pacar kamu." Erlangga kembali menatap wajah cantik milik Hima.

"Aku sama Mas Aziz." Jawab Hima singkat sambil membalas tatapan sayu Erlangga.

"Berarti bener, kamu sama pacar kamu rupanya." 

Hima mengerutkan Dahi, kemudian tersenyum. Sejenak Erlangga terpaku melihat senyum yang tercetak dari wajah cantik di hadapannya.

"Mas Aziz itu kakak ku." 

"Kirain pacar." Jawab Erlangga sambil mengaruk pelipisnya yang sebenarnya tak gatal sedikitpun.

"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Marrygoldie
ciee... bang Erlangga dah mulai pdkt🤭
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Di ujung penantian   Antara Ikhlas dan Pasrah

    Satu minggu sudah acara pertunangan Hima dan Angger berlalu. Namun Hima masih menjaga jarak dan bahkan menghindari Angger, setiap kali Angger datang ke rumah Hima selalu berpura – pura tidur atau bahkan memang Ia sudah terlelap di dalam kamarnya.Hima masih enggan menemui Angger walau apapun alasannya, sampai mala mini Angger datang ke rumahnya dan Hima yang sedang banyak pekerjaan dan harus segera di selesaikan membuat Ia tak mungkin untuk pura – pura tidur.“Hima.” Panggil Ibu.“Ya bu.” Sahut Hima yang masih sibuk dengan laptop dan lembaran kertas di hadapannya.“Ada Angger di depan.” Ibu duduk di tepi ranjang Hima. Manik matanya menatap lembut pada sang putri yang sedang sibuk sibuk di kursi kerjanya.“Sebentar bu, ini harus selesai besok pagi.” Sahut Hima tanpa menoleh pada sang Ibu.Ibu hanya menghela nafas panjang, Ia tahu walau tak ada pekerjaan pu

  • Di ujung penantian   Penyesalan Aziz

    Siapakah dia yang mampu meruntuhkan rasa setiamu padaku, siapakah dia yang mampu mengalihkan duniamu untukku? Siapa kah dia yang mampu mencuri kerinduan di tiap detik sanubariku? Kata – kata itu yang kini berkecamuk di dalam pikiran Erlangga. Memikirkan gadisnya yang jauh disana dan mungkin tak aka nada lagi harapan baginya untuk mendapatkan gadisitu. “Hima, beginikah akhir dari perjuanganku untukmu? Atau sebenarnya aku belum memulai perjuangan ku? Maafkan aku Hima, pasti kau tersiksa saat ini, namun apa yang bisa aku lakukan selain mendoakanmu, mengharapkan kebahagiaan untukmu.” “HIma…” Erlangga menelungkupkan kepalanya diatas pagar balkon. Kepalanya dipenuhi permasalahan yang begitu pelik mulai dari masalah perusahaan hingga masalah hatinya sendiri yang seakan ditusuk ribuan pisau mendengar jika Hima melakukan prosesi lamaran oada malam ini. DrrrrTTtttt Ponsel Erlangg

  • Di ujung penantian   Kegalauan Melanda Hati

    Matahari terbenam di ufuk barat, menandakan hari yang akan segera berganti. Burung – burung dan binatang malam mulai mengeliat siap untuk memulai petualangan mereka.Bersujud dengan khusuk meminta ampunan di setiap dosa yang kita lakukan, dan memohon segala kemudahan dari Allah, itulah yang di lakukan Hima saat ini. Mencoba merayu Tuhan dengan segenap janji dan kepasrahan untuk lebih berdekatan dengan sang khalik.“Him…” Panggil sang Ibu dari balik pintu kamarnya.“Njih Bu.”“Kamu sudah selesai sholat?”“Sudah, Bu.”“Ya sudah gantian sama Ibu ya, Ibu mau sholat dulu itu teh nya belum di seduh.”“Ya bu, sebentar Hima keluar,”“Yowes Ibu tak sholat dulu.”Hima lalu meletakkan mukena yang baru saja Ia lipat ke tempat semula. Perlahan Ia keluar dari kamar lalu menuju ke dapur tempat diman

  • Di ujung penantian   Firasat hati

    “Him, kamu serius mau menerima lamarannya Angger?” Hima menatap kosong, jemari lentiknya hanya mengaduk minuman es jeruk yang ada di hadapannya. “Him!” Lagi, sahabatnya yang diajak bertemu di warung soto dekat sekolah tempatnya mengajar memanggil namanya, Hima terlalu larut dalam pikirannya sendiri hingga Ia tak mendengarkan apa yang ditanyakan oleh sahabat dekatnya itu. “Eh! Maaf Rin.” Sahut Hima penuh penyesalan. Rindu memutar bola matanya malas, “Jadi kamu beneran mau nerima lamaran dari Angger?” Rindu mengulang pertanyaannya pada Hima. “Lalu aku harus bagai mana? Aku sudah sering menolak permintaan Ibu dan Bapak. Aku tidak bisa membuat mereka kecewa lagi.” “Tapi kamu membuat dirimu kecewa Hima, mungkin juga Erlangga… bukankah kau diminta untuk menunggunya? Laki – laki yang tempo hari kamu ceritakan padaku itu, benarkan? Sebenarnya bagai mana perasaanmu sama dia?” Berondongan pertanyaan da

  • Di ujung penantian   Keputusan Hima

    Maaf para pembacaku, terlalu lama Hiatus, semoga mulai hari ini bisa updates tiap hari ya.. terimakasih untuk yang masih setia menunggu cerita abal - abalku ini.*******Duduk bersimpuh disepertiga malam, menangisdan meratap penuh kepiluan, mencurahkan segala sesak di hatinya yang kian mencekik seolah menjerat lehernya untuk berhenti bernafas.Hima terus bermunajat, mengharap segala yang terbaik untuk kehidupannya kelak. Lelehan air mata tak bisa Ia bendung, hanya meluncur begitu saja tanpa dapat ia duga dan ia cegah.“Ya Allah berikan hamba petunjuk, keputusan apa yang harus hamba ambil, sesungguhnya hanya Engkau yang mengetahui segala kebimbangan dan keraguan di hati hamba.” Hima mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan lalu melepas sajadahnya dan meletakkan kembali ke tempat semula.Ditempat lain, Erlangga pun melakukan hal yang

  • Di ujung penantian   Awal Perjuangan

    “Hima, Tunggulah aku.” Ucap Erlangga sebelum Ia keluar dari ruang makan rumah Hima.Kata-kata itu selalu terngiang di dalam benak Hima, entah apa maksud dari Erlangga mengucapkan kata-kata itu namun Ia yakin Erlangga tak pernah main-main dengan apa yang Ia ucapkan.Hima kembali larut dalam pekerjaannya mengoreksi hasil ujian semester anak didiknya. Ia mengacuhkan hatinya yang masih ingin terlarut dalam ucapan bak sihir yang di ucapkan oleh Erlangga.“Ya Allah jagalah hati hamba.” Doa Hima di dalam hati.Berbeda dengan Hima, Erlangga sedang berkemas menuju kota Jakarta untuk mengecek kondisi perusahaan milik orang tuanya yang sedang dalam masalah.Sungguh Erlangga tak ingin usaha yang di rintis keluarganya hancur hanya karena kesalahan kakaknya yang tamak dan sombong.“Jok, kamu bener tidak mau ikut aku ke Jakarta?”Joko mengeleng,

  • Di ujung penantian   Perjuangan 1

    Erlangga keluar dari taksi lalu masuk ke lobby utama gedung apartemen mewah di tengah kota Jakarta, tangannya merogoh saku celana lalu menghubungi awan saudara sepupunya."Assalamualaikum, Wan. Aku dibawah." Kata Erlangga tanpa menunggu jawaban salam dari sepupunya itu."Waalaikumsalam, kamu langsung naik keatas aja, sandi masih sama seperti dulu belum pernah aku ganti, aku lagi keluar sebentar.""Oke. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Erlangga bergegas memasuki lift yang kebetulan sedang terbuka, lalu berdiri diam sambil membawa koper miliknya.Tak lama kemudian Ia telah sampai di lantai tempat apartemen Awan berada. Erlangga keluar dengan segera dan langsung menuju ke ruang apartemen milik awan dipojok bangunan.Setelah memasukkan nomor sandi, pintu aoartemen mewah itu akhirnya terbuka, Erlangga langsung masuk ke dalamnya dan menuju salah satu kamar milik awan, yang sering Ia gunakan setiap kali Ia menginap di apartemen milik sepupunya in

  • Di ujung penantian   Antara aku, kamu dan dia 2

    Masih dengan rindu yang sama, masih dengan tatapan cinta yang sama. Merengkuh detik-detik yang terasa hampa tanpa hadirnya sosok yang Ia rindu hadir memeluk jiwa yang mengersang. Mengukir waktu yang kian berdebu, tak terjamah kehangatan bercumbu. Impian yang tergantung di ujung malam, melabuh angan dan harapan di penghujung doa disepertiga malam. Erlangga duduk bersimpuh di atas sajadah panjang, setelah melihat wajah Hima dari ponsel, membuat rindu yang menggunung sedikit terobati, walau ada keresahan dank e khawatiran yang mendalam akibat melihat sang pujaan merintih sakit. “Ya Allah, jagalah dia selalu, berilah dia keselamatan dimanapun dia berada, dan dekatkan hati kami jika memang kami berjodoh ya Allah, namun jauhkan lah jika memang kami tidak berjodoh.” Doa Erlangga di setiap sholatnya. “Pak Bos.” Panggil Yoga saat melihat Erlangga sedang melipat sajadahnya. “Ada apa Yoga?” Tanya Erlangga sambil menoleh pada asisten set

  • Di ujung penantian   Antara kamu dan dia 1

    Hima menatap ke arah jalanan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan bermotor, dia sedang berdiri di taman sekolah yang berbatasan langsung dengan jalan raya. Entah mengapa akhir-akhir ini rasa rindunya semakin besar pada sosok laki-laki bernama Erlangga, tak dapat Ia pungkiri jika Ia memang menyukai laki-laki itu, Ia memang mencintainya. Salahkah? Tidak ada yang salah dalam hal cinta, karena cinta tak memandang status sosial atau kedudukan seseorang. Cinta adalah sebuah rasa yang kuat untuk menyayangi, melindungi dan rasa ingin memiliki.Desiran angin di siang itu menyibak rasa rindu yang kian menyeruak, Hima menarik nafas panjang, kedua lengannya bertumpu pada pagar pembatas antara sekolah dan jalan raya.“Hai, Nglamun aja.” Sapa Alfa dari belakang Hima.Hima menoleh ke belakang, dilihatnya sahabatnya, Alfa. Yang juga ikut berdiri dipinggir pagar .“Kamu kenapa, Him. Aku lihat akhir-akhir ini kamu sering melamun, dan lebih banyak diam.” Kata Alfa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status