Share

Ketika bersama Hima

Erlangga tiba-tiba saja merasa gugup di duduk bersebelahan dengan Hima, padahal tak seperti ini dulu rasanya ketika ia masih bersama dengan Sari, atau mungkin karena dia telah mengenal Sari sejak mereka masih remaja? Entahlah, namun Erlangga benar-benar merasa seolah dia sedang berhadapan dengan seseorang yang sangat istimewa, yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dan entah mengapa baru kini ia sadari akan hal itu.

"Mas Erlangga kali yang punya pacar?" Tanya Hima dengan nada bercanda.

"Siapa yang mau sama laki-laki kere kayak aku ini?"

"Siapa bilang kamu kere? punya bengekel sendiri, punya karyawan, kayak gitu masak kere."

Erlangga terkekeh, tak tahu mesti jawab apa . . . seharusnya dia memang tak sesederhana ini, jabatan sebagai direktur pernah ia pegang, namun ia harus melepas segalanya demi membela harga dirinya.

"Perempuan mana yang mau sama orang yang duitnya pas-pasan kayak aku ini Tho, Him?"

Dalam hati Erlangga berdoa agar Hima bukanlah perempuan macam Sari, yang lebih memilih kakaknya yang merupakan CEO perusahaan besar, memilih harta bukan cinta.

"Suatu saat pasti ada." jawab Hima singkat.

"Dulu aku pernah menjalin hubungan sama teman SMA hingga kami lulus kuliah, tapi ternyata dia memilih orang yang lebih kaya dari aku, sampai sekarang aku jadi malas punya pacar, aku takut akan terulang kembali seperti dulu, jujur itu menyakitkan."

"Mas Erlangga lagi curhat sama saya?" Tanya Hima dengan wajah yang tanpa dosa, sontak membuat Erlangga menjadi gemas, akan sikapnya.

"Jadi kamu ga mau saya curhatin?"

"Kalau tahu Mas Erlangga mau curhat, saya pasang tarif dulu tadi, psykolog aja sekarang mahal mas." Hima terkekeh, memang sengaja dia berkata demikian, saat melihat wajah suram Erlangga, hati Hima tiba-tiba trenyuh, ternyata dia tak sendiri merasakan perihnya sakit hati ditinggal orang terkasih.

"Ya udah, besok lagi kalau kamu mau betulin motor di tempat saya ga perlu bayar, jadi kita impas, gimana?"

Hima mulai tertawa, hal itu tak dilewatkan begitu saja oleh Erlangga, dia tatap wajah yang sedang tertawa bahagia.

'Kamu cantik, Hima.' Puji Erlangga dalam hati.

"Kenapa tertawa?" Tanya Erlangga berpura-pura kesal.

"Semoga motor aku ga rusak, jadi kamu tetep berhutang sama aku."

"jahat banget sih kamu, Him. Kamu seneng ya kalau aku hutang sama kamu."

"iya lah, siapa tahu aku bisa mendapatkan bunganya sekalian, lebih lama berhutang kan lebih banyak bunganya."

"Dasar rentenir." Erlangga mengerutu, sambil melemparkan kerikil kecil pada Hima.

"aduhhh.." Hima sedikit mengaduh karena lemparan kerikil dari Erlangga.

"Rentenir baik hati saya." jawab Hima masih dengan bahu bergetar karena tertawa, melihat ekspresi kesal dari Erlangga.

"Mana ada rentenir yang baik hati?"

"Ada, aku contohnya."

Erlangga tak menjawab, hanya kerikil yang ia kembali lemparkan pada Hima. Tak berapa lama Aziz dan Joko datang menghampiri mereka.

"Jadi kamu disini ho, Ngga." Ucap Joko dari arah belakang.

"Kasian, cewek cantik duduk sendirian disini, jadi aku temani saja."

"Eh, mba Hima... kenapa jadi sering kebetulan begini ya kita ketemu, apa jangan-jangan kita jodoh ya?" tandas Joko dengan nada bercanda.

"Siapa jodoh kamu, Jok?" Tanya Aziz yang sudah ikut duduk di dekat Hima, adiknya.

"Ya itu cewek yang duduk di sebelah kamu?" jawab Joko sambil duduk diantar Erlangga dan Hima.

"Hima maksud kamu?" Tanya Aziz agak mendelik.

"Lha, iya siapa lagi? masal Nyai Blorong?"

"Enak aja, sampai kapanpun aku ga bakal merestui Hima jadi jodoh kamu." Ucap Aziz dengan nada kesal.

"Lha emangnya aku perlu restu dari kamu gitu?"

"Ya iya, Hima kan adikku." jawab Aziz ketus

"Ha!! adik kamu?" Tanya Joko tak percaya, kenapa bisa kebetulan? batinnya.

"Hm."

Hima dan Erlangga hanya terkekeh melihat aksi kedua orang disamping mereka, Akhirnya Joko bangkit dan duduk kembali di samping Erlangga di sisi yang lain.

"Perempuan cantik kayak gitu, ternyata kakaknya Drakula, menyeramkan." Canda Joko.

"Menyeram gini aku juga teman kamu, Jok." Ucap Aziz.

"Jadi Mas Aziz teman mereka?" Tanya Hima sambil menoleh pada kakaknya.

"Iya, kok kamu kenal sama mereka?"

"Waktu itu ban motor adik kamu bocor, dan kebetulan pas tak jauh dari bengekelku, ya sudah kita kenal disitu, tapi aku ga sangka ternyata Hima adik kamu, Ziz." Ucap Erlangga.

"Aku juga ga nyangka ternyata kamu deket juga sama adikku, kapan-kapan mainlah kerumah, nanti aku minta Ibu suruh masakin sayur lodeh kesukaan kamu, Ngga."

"Beneran ya, kapan-kapan aku main ke rumah kamu, ziz."

"Jangan kapan-kapan dong, kamu ga kangen sama masakan ibuku?"

"kangen banget, lama sekali semenjak terakhir kali Ibumu menjenguk kamu dipesantren dulu, terus bawain sayur lodeh kesukaanmu, sampai sekarang belum ketemu lagi."

"Iya kamu bener."

"Ya udah besok kita main ke rumah Aziz, sekalian sama teman-teman kita yang lain, yah . . .  itung-itung reuni kecil-kecilan." Ucap Joko.

"Bener kamu, Jok. Aku tunggu beneran lho."

"Oke, nanti aku hubungi temen-temen yang lain."

"Sip." 

"Jadi Mas Erlangga sama Mas Joko ini temen satu pesantren sama Mas Aziz?" Tanya Hima denga suara lembut.

"Iya, dulu kami satu pesantren, walau lain kamar tapi satu kelas di Aliyah, sampai kuliah." jawan Joko

"Tapi Erlangga lulus duluan, karena otaknya kelewat encer, makanya wisudanya ga barengan." Ucap Aziz pada adiknya.

"Otak encer tapi sekarang malah jadi pengusaha bengekel, malang nian nasibmu, Ngga." Ucap Joko yang tahu betul jalan hidup yang dilalui oleh sahabatnya ini. sedangkan aziz dan Hima menganggap itu hanyalah lelucon saja, karena memang mereka tak tehu kebenaran siapa Erlangga sebenarnya, hanya orang-orang tertentulah yang tahu siapa Erlangga itu, dan siapa orang tuanya.

"Kabar orang tuamu baik-baik aja kan, Ngga?" Tanya Aziz pada Erlangga 

"Orang tuaku?" Jawab Erlangga yang agak bingung.

"Iya, yang suka jenguk kamu di pesantren dulu kan orang tua kamu to, yang dulu kamu kenalkan ke kita-kita, yang kalau datang bawa jajan buanyak banget." Terang Aziz.

"Oh, Iya, Alhamdulilah baik, kadang mengunjungiku disini kalau mereka sempat." Ucap Erlangga kemudian menarik nafas panjang, Bi Inah dan Pak Bowo, pengasuh dia ketika masih kecil dan sopir pribadi keluarganya, selama di pondok hanya mereka yang sering mengunjungi Erlangga, sedangkan kedua orang tuanya selalu sibuk dengan urusannya sendiri, Ayahnya sibuk dengan bisnis sedangkan Ibunya selalu sibuk dengan anggota arisannya. 

Hanya Bi Inah dan Pak Bowo lah, yang selalu menemaninya, mengajarkan berbagai hal padanya, mereka berdua sudah dianggap sebagai orang tua oleh Erlangga. Entah apa jadinya dia jika tidak ada mereka, mungkin dia akan sama seperti kakak dan adiknya yang tak tahu soal agama.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
aryanti anderson
sekecil daun kelorkah dunia itu....
goodnovel comment avatar
Marrygoldie
lah dunia mang kecil ya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status