Beranda / Romansa / Di ujung penantian / Dua jalan yang berbeda

Share

Dua jalan yang berbeda

Penulis: Rindhu_ughi
last update Terakhir Diperbarui: 2021-01-14 17:30:30

Hima menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Erlangga.

"Eh, Mba Hima apa kabar?" Tanya Joko sambil mengusap wajahnya yang terkena tetesan air hujan.

"Alhamdulilah baik, Mas Joko."

"Ayo masuk mba, hujannya bertambah deras,"

Hima menatap ke arah Joko, tapi mendadak perhatiannya teralihkan oleh seseorang yang sedang keluar dari mobil yang terparkir di sebrang rumah Erlangga.

'Nurul' Gumam Hima.

Tanpa memperdulikan hujan yang mengucur deras Hima berlari kearah mobil itu, dan berhenti tepat di depan perempuan yang ia panggil dengan sebutan Nurul.

Erlangga dan Joko mematung melihat aksi tak terduga yang dilakukan Hima.

Hima terengah, manik matanya menyusuri setiap jengkal tubuh Nurul yang kini berdiri di hadapannya. Hima menarik nafas panjang melihat Nurul dengan penampilan yang berlawanan dengan apa yang sering ia kenakan dulu. Pakaian minim dan tak lagi berjilbab. Hima menyeka wajahnya yang terkena guyuran hujan, kemudian dengan pelan dia berkata;

"Ibu mu merindukanmu, dia mencarimu kemana-mana, sebaiknya kamu pulang, jangan membuat masalah lagi."

Nurul terkejut, namun kemudian dia tertawa sinis.

"Untuk apa aku pulang? tidak ada gunanya, lagipula aku bukan anak kecil lagi, aku baik-baik saja kan? kamu lihat keadaanku. sehat-sehat sajakan? bahkan aku merasa lebih baik sekarang!."

"Badanmu sehat, tapi otak mu mulai tidak waras,"

"Aku tidak bisa pulang sekarang."

"Demi Allah, Rul. kasihanilah Ibumu. Lupakan semua yang sudah terjadi."

"Allah?! Demi Allah? kenapa harus demi Dia?Tanyakan pada Allah, Him! Kenapa Dia membuat hidupku hancur padahal aku sudah menyembahnya menjalankan semua perintahnya? Mana bukti kalau Allah itu Maha pengasih dan penyayang pada hambanya."

"Astagfirullahaladzim, kamu benar-benar sudah tidak waras, kata-katamu tidak mencerminkan orang yang beragama. bahkan orang gila dijalanan lebih tinggi derajatnya dari orang seperti dirimu yang tahu agama dan bewawasan luas tapi melupakan kebesaran Tuhannya. Kaulah orang gila sesungguhnya."

Erlangga baru tersadar jika Hima tak membawa payung, tubuhnya sudah bayah kuyup terkena guyuran hujan. Erlangga masuk kedalam rumah dan segera keluar sambil membawa payung dan sebuah jaket. Joko ternganga melihat sahabatnya berlari sambil membawa payung di bawah guyuran hujan. Tepat ketiaka Erlangga sampai, Nurul kembali masuk ke dalam mobil dan segera melajukan mobilnya.

Hima menekuk lutut dengan pandangan yang terarah pada mobil yang dikendarai Nurul. Rasa dingin di tubuhnya tak lagi ia rasakan, tubuhnya bergetar dan isakan terdengar lirih tersamarkan oleh gemuruh hujan. Lama Hima terdiam menundukkan kepalanya dalam-dalam hingga tak ia sadari tubuhnya tak lagi terkena guyuran, dia menoleh ke samping kemudian menengadahkan wajahnya, dilihatnya Erlangga yang tersenyum kepadanya, Hima membalas dengan senyum getir.

"Semakin lama kamu berdiam disini, aku yakin kamu tidak akan bisa bangun esok hari, atau lebih parahnya kau akan masuk rumah sakit karena demam tinggi."

Lagi, Hima tersenyum dan perlahan mulai bangkit dan berdiri sejajar dengan Erlangga.

"Maaf aku merepotkanmu lagi."

"Ayo kita masuk ke rumah, maka aku akan memaaf kanmu."

Hima mengangguk pelan.

"Pakai ini, pakaianmu basah."

Hima meraih jaket yang disodorkan kepadanya, tak ada pilihan lain kecuali memakai jaket itu untuk menutupi lekuk tubuhnya yang basah terkena air hujan.

Sampai diteras langkah Hima terhenti, Erlangga spontan menatapnya.

"Ayo masuk, ada Joko juga didalam."

"Basah. Disini saja."

"Udah, masuk . . .!"

Hima tak enak hati karena tetesan air mengucur terus dari pakaiannya hingga membasahi lantai yang ia pijak. Joko berlari ke pintu dan memberikan handuk pada Erlangga dan Hima.

Joko masuk kembali kedapur untuk mengambil teh panas yang sudah ia buat kemudian menyuguhkannya ke ruang tamu.

Hima duduk di kursi kayu yang tak jauh dari pintu, Erlangga dan Joko duduk di sofa ruang tamu sambil menyesap teh mereka.

"Maafkan saya,"

"Minum tehnya dulu, biar ga masuk angin." Ucap Erlangga.

Hima patuh kemudian menyesap tehnya perlahan.

"Maaf kalau boleh tahu, mbak Hima kenal dengan istrinya Mas Irfan?" Tanya Joko.

"Istri?" Tanya Hima sedikit terkejut.

"Iya, setahu ku dia memang istrinya Mas Irfan yang tinggal disebrang ruamahku itu, walau mereka sepertinya jarang pulang ke ruamah itu."

Hima menunduk setelah mendengarkan apa yang dikatakan Erlangga. Hima tidak menyangka bahwa sahabatnya akan bertindak sejauh ini, pergi dari rumah dan menikah secara diam-diam, bahkan dia sangat yakin jika ibunya tak mengetahui perihal pernikahannya.

Hening, tak ada satupun dari mereka yang mengeluarkan suara, Erlangga dan Joko hanya saling menatap karena tak mengerti dengan permasalahan antara Hima dan Nurul.

-----------------------

"Perempuan seperti apa yang menjadi kekasihmu? kenapa kamu ga bilang dari dulu kalo kamu sudah punya kekasih? jadi bapak ndak jodohin kamu sama Hima, sekarang gimana bapak harus menyampaikan ini pada sahabat bapak?"

"Maafkan Farhan, Pak. Tapi saya dan Hima sudah sepakat untuk tidak melanjutkan perjodohan ini."

"Bawa dulu kekasihmu kemari, bapak mau tahu, kalau memang dia gadis baik, bapak akan mempertimbangkannya."

"Injih, pak. Saya akan menyuruhnya datang kemari."

"Ya sudah, Bapak mau istirahat dulu."

"Injih, Pak."

Farhan menyandarkan punggungnya dikursi rotan, hatinya semakin berdebar mengingat perkataan bapaknya. Bagaimana jika bapaknya bertemu dengan Pricilia yang keturunan Tionghoa? Farhan mendesah berat, mengingat dia tidak menyampaikan pada bapaknya, jika Pricilia adalah nonmuslim?

Farhan tak mengetahui jauh disana Pricilia sedang merasakan kesakitan diseluruh tubuhnya, ayahnya yang seorang kristiani yang selalu terpaut dengan gereja kini tengah murka karena anak perempuannya yang selama ini ia kenal sebagai pribadi yang dekat dengan tuhan dan menjadi aktifis gereja justru berpaling dari agama yang selama ini di anutnya. 

Pricilia secara berani dan terang-terangan mengaku bahwa dia kini menjadi seorang mualaf, dengan tega ayahnya mengusir Pricilia dari rumah dan mencoret namanya dari daftar keluarga.

Pricilia keluar dari rumah, menyeret koper berwarna hitam dengan langkah tertahan, terkadang dia menoleh kebelakang, menatap gerbang khas tionghoa yang kini tertutup rapat. 

"Ya Allah, kuat kan hati hamba, dan tunjukkanlah kemana kaki hamba harus melangkah."

Disaat kegetiran melanda hatinya, hanya satu yang ia harapkan akan ada disisinya, Farhan . .  . laki-laki yang sangat ia cintai, ayah dari bayi yang kini tengah ia kandung. Dan apa yang dia harapkan terkabul tatkala dia menerima pesan dari Farhan untuk menyusulnya ke Yogyakarta. Dengan berucap hamdalah dia melangkah dengan langkah penuh keyakinan, menuju stasiun dan berangkat ke Yogyakarta.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Marrygoldie
terkadang manusia menyalahkan Tuhan kalau hidupnya gak kebeneran dikit. padahal kan itu ujian dari Tuhan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Di ujung penantian   Antara Ikhlas dan Pasrah

    Satu minggu sudah acara pertunangan Hima dan Angger berlalu. Namun Hima masih menjaga jarak dan bahkan menghindari Angger, setiap kali Angger datang ke rumah Hima selalu berpura – pura tidur atau bahkan memang Ia sudah terlelap di dalam kamarnya.Hima masih enggan menemui Angger walau apapun alasannya, sampai mala mini Angger datang ke rumahnya dan Hima yang sedang banyak pekerjaan dan harus segera di selesaikan membuat Ia tak mungkin untuk pura – pura tidur.“Hima.” Panggil Ibu.“Ya bu.” Sahut Hima yang masih sibuk dengan laptop dan lembaran kertas di hadapannya.“Ada Angger di depan.” Ibu duduk di tepi ranjang Hima. Manik matanya menatap lembut pada sang putri yang sedang sibuk sibuk di kursi kerjanya.“Sebentar bu, ini harus selesai besok pagi.” Sahut Hima tanpa menoleh pada sang Ibu.Ibu hanya menghela nafas panjang, Ia tahu walau tak ada pekerjaan pu

  • Di ujung penantian   Penyesalan Aziz

    Siapakah dia yang mampu meruntuhkan rasa setiamu padaku, siapakah dia yang mampu mengalihkan duniamu untukku? Siapa kah dia yang mampu mencuri kerinduan di tiap detik sanubariku? Kata – kata itu yang kini berkecamuk di dalam pikiran Erlangga. Memikirkan gadisnya yang jauh disana dan mungkin tak aka nada lagi harapan baginya untuk mendapatkan gadisitu. “Hima, beginikah akhir dari perjuanganku untukmu? Atau sebenarnya aku belum memulai perjuangan ku? Maafkan aku Hima, pasti kau tersiksa saat ini, namun apa yang bisa aku lakukan selain mendoakanmu, mengharapkan kebahagiaan untukmu.” “HIma…” Erlangga menelungkupkan kepalanya diatas pagar balkon. Kepalanya dipenuhi permasalahan yang begitu pelik mulai dari masalah perusahaan hingga masalah hatinya sendiri yang seakan ditusuk ribuan pisau mendengar jika Hima melakukan prosesi lamaran oada malam ini. DrrrrTTtttt Ponsel Erlangg

  • Di ujung penantian   Kegalauan Melanda Hati

    Matahari terbenam di ufuk barat, menandakan hari yang akan segera berganti. Burung – burung dan binatang malam mulai mengeliat siap untuk memulai petualangan mereka.Bersujud dengan khusuk meminta ampunan di setiap dosa yang kita lakukan, dan memohon segala kemudahan dari Allah, itulah yang di lakukan Hima saat ini. Mencoba merayu Tuhan dengan segenap janji dan kepasrahan untuk lebih berdekatan dengan sang khalik.“Him…” Panggil sang Ibu dari balik pintu kamarnya.“Njih Bu.”“Kamu sudah selesai sholat?”“Sudah, Bu.”“Ya sudah gantian sama Ibu ya, Ibu mau sholat dulu itu teh nya belum di seduh.”“Ya bu, sebentar Hima keluar,”“Yowes Ibu tak sholat dulu.”Hima lalu meletakkan mukena yang baru saja Ia lipat ke tempat semula. Perlahan Ia keluar dari kamar lalu menuju ke dapur tempat diman

  • Di ujung penantian   Firasat hati

    “Him, kamu serius mau menerima lamarannya Angger?” Hima menatap kosong, jemari lentiknya hanya mengaduk minuman es jeruk yang ada di hadapannya. “Him!” Lagi, sahabatnya yang diajak bertemu di warung soto dekat sekolah tempatnya mengajar memanggil namanya, Hima terlalu larut dalam pikirannya sendiri hingga Ia tak mendengarkan apa yang ditanyakan oleh sahabat dekatnya itu. “Eh! Maaf Rin.” Sahut Hima penuh penyesalan. Rindu memutar bola matanya malas, “Jadi kamu beneran mau nerima lamaran dari Angger?” Rindu mengulang pertanyaannya pada Hima. “Lalu aku harus bagai mana? Aku sudah sering menolak permintaan Ibu dan Bapak. Aku tidak bisa membuat mereka kecewa lagi.” “Tapi kamu membuat dirimu kecewa Hima, mungkin juga Erlangga… bukankah kau diminta untuk menunggunya? Laki – laki yang tempo hari kamu ceritakan padaku itu, benarkan? Sebenarnya bagai mana perasaanmu sama dia?” Berondongan pertanyaan da

  • Di ujung penantian   Keputusan Hima

    Maaf para pembacaku, terlalu lama Hiatus, semoga mulai hari ini bisa updates tiap hari ya.. terimakasih untuk yang masih setia menunggu cerita abal - abalku ini.*******Duduk bersimpuh disepertiga malam, menangisdan meratap penuh kepiluan, mencurahkan segala sesak di hatinya yang kian mencekik seolah menjerat lehernya untuk berhenti bernafas.Hima terus bermunajat, mengharap segala yang terbaik untuk kehidupannya kelak. Lelehan air mata tak bisa Ia bendung, hanya meluncur begitu saja tanpa dapat ia duga dan ia cegah.“Ya Allah berikan hamba petunjuk, keputusan apa yang harus hamba ambil, sesungguhnya hanya Engkau yang mengetahui segala kebimbangan dan keraguan di hati hamba.” Hima mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan lalu melepas sajadahnya dan meletakkan kembali ke tempat semula.Ditempat lain, Erlangga pun melakukan hal yang

  • Di ujung penantian   Awal Perjuangan

    “Hima, Tunggulah aku.” Ucap Erlangga sebelum Ia keluar dari ruang makan rumah Hima.Kata-kata itu selalu terngiang di dalam benak Hima, entah apa maksud dari Erlangga mengucapkan kata-kata itu namun Ia yakin Erlangga tak pernah main-main dengan apa yang Ia ucapkan.Hima kembali larut dalam pekerjaannya mengoreksi hasil ujian semester anak didiknya. Ia mengacuhkan hatinya yang masih ingin terlarut dalam ucapan bak sihir yang di ucapkan oleh Erlangga.“Ya Allah jagalah hati hamba.” Doa Hima di dalam hati.Berbeda dengan Hima, Erlangga sedang berkemas menuju kota Jakarta untuk mengecek kondisi perusahaan milik orang tuanya yang sedang dalam masalah.Sungguh Erlangga tak ingin usaha yang di rintis keluarganya hancur hanya karena kesalahan kakaknya yang tamak dan sombong.“Jok, kamu bener tidak mau ikut aku ke Jakarta?”Joko mengeleng,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status