"San, aku pulang duluan ya. Udah gerimis. Lagian sepi banget," kata Budi sembari menstater sepeda motornya.
"Ya udah. Aku sebentar lagi lah. Kali aja, masih ada penumpang. Belom dapet setoran buat Bini. Mana si Rehan lagi sakit," sahut Hasan.
"Yo, semoga beruntung San. Aku cabut ya." Budi langsung melajukan sepeda motornya.
Sekarang Hasan tinggal sendiri di Pangkalan ojek ini. Sudah beberapa hari ini sewa sepi. Sementara Hasan harus memutar otak lebih keras lagi. Memikirkan asap dapur yang harus tetap ngebul. Rumah kontrakan pun sudah menunggak, istrinya juga lagi hamil anak keduanya, ditambah Rehan anak sulungnya, sedang terserang demam.
Hasan menyalakan puntung rokoknya yang masih ada setengah lagi. Tadi saat pulang makan, sengaja dia sisakan setengah, karena isi dompetnya tinggal tersisa buat beli bensin. Hasan malas, kalau harus berhutang Rokok di kedai mak Tonah yang cerewetnya kayak ayam mau bertelur.
Dia menyandarkan tubuhnya yang letih di dinding pos Ronda yang telah beralih fungsi menjadi pangkalan ojek. Sesekali dihembuskan asap rokoknya ke udara. Pikirannya melayang kemana-mana. Seandainya dulu dia tak menikah terlalu muda. Mungkin hidupnya tak semelarat sekarang.
Apalah daya, dia tak mampu meredam gejolak jiwa mudanya dulu. Nafsu yang lebih kuat dari iman, membuatnya lupa segala-galanya. Sekarang mau apalagi? Ya dinikmati saja. Beruntung istrinya, Sari tetap tak berubah. Dia tetap perempuan yang manis seperti dulu. Dia tak pernah mengeluh ataupun menuntut lebih dari kemampuan Hasan.
Bahkan Sari sekarang lebih banyak sabar, dia benar-benar menyesali kesalahan masa lalunya. Sholat dan taubat senantiasa dia lakukan. Hanya Hasan saja, yang belum bisa seperti Sari. Hasan belum bisa konsisten dengan taubatnya. Dia masih sering lalai melaksanakan sholat yang lima waktu.
Dari jauh dia melihat siluet bayangan seseorang. Hasan bangkit, untuk melihat lebih jelas lagi. Di bawah sinar temaram lampu jalan, dia melihat sosok seorang wanita. Tangannya menggapai-gapai memanggil Hasan.
"Ojek, Kak!" Hasan agak berteriak, agar wanita itu mendengarnya.
"Ya, Bang!" sahut perempuan itu.
"Rezeki ini," katanya senang.
Hasan dengan semangat naik ke atas sepeda motornya. Dia buang puntung rokoknya yang hampir kandas. Begitu motor di stater, dia langsung melajukan sepeda motornya ke arah wanita itu.
Tadinya dia sudah hampir putus asa. Dipikirannya, kalau rokoknya benar-benar kandas, dia akan balik saja ke rumah. Malam sudah sangat larut, ditambah gerimis pula. Membuat suasana malam ini bertambah horor.
Wangi melati langsung masuk ke rongga hidung Hasan, begitu dia sampai ke tempat perempuan itu berdiri. Matanya terpana melihat sosok di depannya. Baru kali ini matanya melihat langsung wanita secantik ini. Biasanya hanya melihat artis-artis cantik di tivi saja.
Wanita ini memakai gaun selutut, tangan panjang berwarna krem. Dengan sepatu flat berwarna senada dengan bajunya. Hasan sampai terbengong, merasa bertemu bidadari dari surga.
"Bang!" Perempuan itu melambaikan tangannya ke depan wajah Hasan yang melongo.
"Eh, iya Kak. Maaf, mau kemana ini Kak?" tanya Hasan yang terkejut juga malu, ketauan bengong lihat wanita cantik.
"Perumahan Anugrah, ya Bang," jawab perempuan itu langsung naik ke boncengan Hasan.
"Perumahan Anugrah? Bukannya perumahan itu sudah kosong?" tanya Hasan.
Seingatnya, semua penghuni Perumahan Anugerah pindah karena terkena banjir bandang. Karena posisi Perumahan yang berlalu dekat dengan sungai. Bahkan ada beberapa korban jiwa, juga ada yang hilang anggota keluarganya. Hingga sekarang belum ditemukan.
"Iya Bang. Gak semua pindah kok Bang. Saya salah satunya. Habis kena banjir bandang dulu, saya balik lagi. Sayang juga dengan rumahnya, memang gak setiap hari pulang. Karena sepi. Terkadang saya nginap di rumah orangtua saya." Penjelasan dari wanita itu, cukup masuk akal buat Hasan.
Sepanjang jalan mereka mengobrol, ternyata wanita itu cukup asik diajak ngobrol. Wanita itu masih gadis, meski usianya hampir menginjak kepala tiga. Terlalu sibuk mengejar karir katanya, hingga tak memikirkan soal jodoh. Wanita itu bercerita, kalau saat ini dia menjadi seorang sekretaris di sebuah perusahaan besar. Sebenarnya hati Hasan bertanya-tanya, sekretaris kok naik ojek? Tapi tak mungkin dia langsung menanyakan ke wanita itu. Tak etis menurutnya.
"Kak, gelap sekali. Sepertinya benar-benar tak ada penghuninya," kata Hasan, disaat motornya mulai dekat dengan Perumahan Anugrah.
"Ah, perasaan Abang aja. Terang gitu kok," kata wanita itu.
Hasan tak percaya dengan penglihatannya. Perumahan yang tadi dilihatnya gelap gulita, kini tampak terang benderang. Dia mengucek matanya, untuk memastikan lagi. Tetap saja dilihatnya, Perumahan itu tampak terang.
Motornya terus melaju masuk ke dalam Perumahan, rumah-rumah tampak terang, jalannya juga. Semua juga tampak rapi dan terawat. Tak ada alasan untuk takut, pikir Hasan.
"Bang, berhenti di sini saja. Ini rumah saya," kata wanita itu dengan menepuk bahu Hasan lembut.
Rumahnya terletak paling ujung. Di sebelahnya hanya ada tembok pembatas, antara Perumahan dengan kuburan. Setau Hasan seperti itu.
"Ini ongkosnya, Bang." Wanita itu memberikan lima lembar uang seratus ribuan.
"Banyak sekali ini Kak," kata Hasan.
"Gak papa Bang. Buat ngobatin anak Abang. Lagian kalau gak ada Abang tadi, entah bagaimana saya akan pulang. Seram kalau harus jalan kaki sendirian," ucap wanita itu.
"Kakak, kok tau anak saya sakit?" tanya Hasan, merasa heran.
"Kan, tadi Abang yang cerita. Jangan panggil Kakak, panggil saja Rosa. Saya bakal langganan sama Abang. Abang ada nomor telepon?"
"Oh ada Kak, nomornya 08**********." Tanpa curiga Hasan langsung memberitahukan nomor ponselnya.
Tentu saja dia tak curiga, hatinya sedang senang. Mendapat uang ekstra, juga dapat langganan yang royal. Tak dipikirkannya lagi banyak keanehan sedari tadi.
"Makasih ya Kak, nanti kalau ada perlu. Langsung hubungi saya saja," kata Hasan dengan senyum sumringah.
"Kakak lagi." Rosa berlagak cemberut.
"Eh maaf, belum biasa," kata Hasan.
"Sama-sama Bang. Jangan kasihtau orang lain, tentang saya ya Bang. Saya takut, ada orang yang berniat jahat. Abang lihat kan, saya pulangnya larut begini," pesan Rosa. Hasan mengangguk, tanda mengerti maksudnya.
"Ok, saya balik ya Ros. Sekali lagi terima kasih banyak, buat ongkos ekstranya," kata Hasan sebelum melajukan motornya.
"Iya, hati-hati ya Bang," kata Rosa. Dia terus memandang Hasan dengan senyum penuh misteri.
Hasan terus melajukan sepeda motornya semakin menjauhi Perumahan. Sayang dia tak membalikkan badannya. Seandainya dia berbalik. Dia akan melihat betapa gelap dan menyeramkan Perumahan itu.
Hasan pulang dengan hati yang senang. Dia bisa membawa Rehan berobat besok. Juga bisa menambah uang simpanan buat bayar kontrakannya. Di jalan, dia juga membeli martabak buat anak istrinya.
Begitu sampai di rumah, Hasan langsung mengetuk pintu rumahnya.
TOK TOK TOK
"Dek," panggilnya lembut. Selalu seperti itu.
"Ya." Terdengar sahutan Sari. Tak susah membangunkannya.
Begitu Sari membuka pintu, Hasan langsung masuk dan mencium pipi Sari. Sari sampai terbengong, merasa heran dengan kelakuan suaminya. Hasan pun saking senangnya, langsung menunjukkan ekspresi kebahagiaannya dengan mencium pipi Sari lagi. Dan memeluk istri yang sangat dicintainya itu.
"Pasti Abang lagi seneng," kata Sari.
"Iya, Adek tau aja," kata Hasan.
" Udah hafal," kata Sari lagi.
Hasan menjepit hidung bangir Sari. "Aduuh, Abaaang." Sari menjerit manja. Memegang ujung hidungnya yang baru dijepit Hasan.
Hasan tertawa, sembari mengucek kepala Sari. "Abang bawa martabak. Ini buat belanja besok. Kamu atur ya sebaik-baiknya." Hasan menyerahkan uang lima ratus ribu tadi, yang hanya berkurang untuk membeli martabak ke tangan Sari.
"Banyak banget Bang?" tanya Sari bingung. Tak biasanya Hasan memberi segitu banyak.
"Dapet langganan baru tadi. Royal banget orangnya. Sudah jangan banyak tanya, yang jelas uang itu halal, dari hasil ngojek," kata Hasan. Dia takut Sari akan curiga dan lebih banyak tanya. Hasan merasa dia harus merahasiakan soal Rosa, takut Sari salah faham nantinya.
★★★KARTIKA DEKA★★★
Rosa mendekati Hasan, yang sedang berbaring di ranjang empuk di kamar Rosa. Dia sengaja melenggak lenggokkan tubuhnya di hadapan Hasan. Untuk membangkitkan gairah kelelakian Hasan.
Hasan lelaki normal. Melihat lekuk tubuh Rosa, membuat jakunnya naik turun. Matanya liar menyapu setiap inci tubuh Rosa yang mulus. Rosa semakin merapatkan tubuhnya ke Hasan. Hasan gemetar, meski naluri lelakinya sangat berhasrat. Tapi hatinya berontak, pikirannya teringat akan Sari dan Rehan, anaknya.
Tiba-tiba, Hasan merasa ranjang itu berguncang. Berulangkali guncangan itu terjadi.
★★★KARTIKA DEKA★★★
Sari terus berusaha berkonsentrasi memanggil Nyi Baisucen. Dia harus tau kebenaran tentang Rosa. Apakah Rosa adalah saudari yang dicarinya selama ini?"Bibi Baisucen." Berulang kali Sari memanggil Nyi Baisucen. Namun Nyi Baisucen tak juga menjawabnya. Sari hampir putus asa. Kenapa bibinya tak menjawab panggilan darinya? Kalau dia ke klinik Pak Hanif, akan memakan waktu yang lama. Hampir setengah hari perjalanan menuju ke sana. Belum lagi perjalanan pulang. Dia tak bisa meninggalkan keluarganya dalam waktu yang lama. Sari mencoba untuk berkonsentrasi lagi. Mungkin tadi bibinya sedang sibuk pikirnya."Bibi Bai. Bibi Bai. Bibi Bai.""Ada apa Sari?" Sari lega, akhirnya Nyi Baisucen menjawab panggilannya. "Bibi bisa Bibi datang lagi? Ada yang hendak Sari bicarakan." "Bibi akan datang malam nanti. Klinik sedang ramai saat ini. Paman Hanif akan curiga." "Baik Bibi. Sari akan menunggu Bibi di taman kota." "Ya, Bibi akan menemuimu di sana." Sari mengakhiri panggilan telepatinya. Dia seg
Dua orang wanita cantik tampak sedang duduk berbincang di sebuah taman kecil yang ada di sebuah klinik pengobatan alternatif. Mereka adalah Nyi Baisucen dan Rosa. Sama dengan Sari, Rosa juga merasakan ada suatu kejanggalan dengan perbincangan mereka tadi malam. "Bi, katakan yang sejujurnya. Apa yang sedang Bibi sembunyikan? Kenapa Bibi bilang Sari adalah kemanakan Bibi? Bagaimana hal itu bisa terjadi, sementara Sari itu manusia sejati? Berbeda dengan Bibi." Rosa mencecar Nyi Baisucen dengan pertanyaan yang sejak tadi malam juga menggelayuti hatinya. Nyi Baisucen masih diam dengan pandangan lurus ke depan. Dia sedang memikirkan, bagaimana cara mengawali ceritanya pada Rosa."Kenapa Bibi diam? Apa ada yang sedang Bibi sembunyikan." Rosa menyelidik."Rosa, memang sudah seharusnya kau tau cerita ini. Sejak lama Bibi ingin menceritakan padamu, tapi Bibi tak bisa. Ayahmu melarang siapapun untuk menceritakan kebenaran ini padamu." "Apa maksud Bibi?" tanya Rosa dengan alis menaut. Nyi Bai
"Siapa yang datang pagi buta begini?" tanya Nyi Baisucen pada Sari, pandangannya tak lepas dari Honda HR V warna silver yang sedang parkir di pekarangan rumah Sari."Itu mobil Bang Hasan, Bi. Ada apa ya?" Sari pun bertanya-tanya. Hasan turun lebih dulu, baru disusul oleh Rosa. Nyi Baisucen terkesiap melihat keduanya. Matanya tak bisa berkedip sama sekali. "Siapa yang bersama dengan Hasan, Sari?" Dia bertanya, untuk memastikan dugaannya tak salah. "Itulah istri kedua Bang Hasan, Rosa namanya." Nyi Baisucen terperangah, tak percaya mendengar hal yang diungkapkan Sari. Nyi Baisucen terduduk lemas. 'Berarti, orang yang telah kudukung untuk menikahi Rosa adalah Hasan' batinnya.Penyesalan segera menyergap kalbu Nyi Baisucen. Kenapa dulu dia tak menyelidiki terlebih dahulu, siapa laki-laki yang dicintai Rosa? Sayangnya dia tak hadir pada saat Rosa menikah, hingga dia tak juga mengenal suami Rosa. Apalagi sudah sangat lama Rosa dan Nyi Baisucen tak lagi bertemu."Bibi!" Rosa sangat terk
Rosa langsung membawa Hasan ke rumah ayahnya, setelah sebelumnya memanipulasi penglihatan Hasan. Sehingga yang tampak di pandangan Hasan adalah sebuah rumah yang mewah juga megah, dengan banyak security yang berjaga di setiap sisinya, baik diluar maupun di dalam. Security itu langsung membuka pintu rumah tatkala melihat kehadiran Rosa beserta suaminya. Sampai di dalam Rosa berpapasan dengan Sanca yang melihatnya dengan sinis. "Mau apa kesini, tengah malam begini?" sinis Sanca. ''Aku mau bertemu Ayah." Rosa tak lagi memperdulikan Sanca, dia langsung berjalan melenggang tanpa peduli dengan tatapaan tak suka Sanca pada Hasan.Apalagi Rosa melihat wajah Hasan kian memerah karena suhu tubuhnya semakin meningkat. Rosa menggandeng tangan Hasan yang panas untuk mempercepat langkah kakinya. Tak dipedulikan rasa terbakar di telapak tangannya.Rosa langsung menuju ke kamar Tuan Anaconda, sempat dia juga berpapasan dengan Panglima Derik di depan pintu kamar Tuan Anaconda. Walaupun Panglima Der
Hasan merasa sangat gelisah malam ini, tubuhnya terasa panas. Dia senantiasa merasa kegerahan, hingga bajunya basah karena keringat. Berulang kali dia mengganti posisi tidurnya tapi tak membantu juga untuk mengurangi rasa gerah yang sedang menderanya. Rosa merasa tempat tidurnya terus berderit sejak tadi. Dia membuka matanya, lantas melihat suaminya yang tidur dengan gelisah. Alisnya menaut melihat suaminya yang bertingkah aneh."Kenapa Bang?" tanyanya pada suaminya, lantas duduk di atas ranjangnya.Dicepolnya asal rambutnya yang ikal mayang itu, hingga menampakkan dengan jelas lehernya yang jenjang."Gerah," jawab Hasan sambil mengipasi tubuhnya dengan baju sendiri. Rosa melihat ac di kamarnya, ac nya hidup. Tak ada masalah dengan itu. Gadis cantik itu bangkit, untuk memeriksa kondisi suaminya. "Astaga! Badan Abang panas sekali!" pekiknya ketika punggung tangannya ditempelkan ke dahi Hasan. Hasan duduk, dibukanya baju yang telah basah oleh keringat. Namun tak juga mengurangi rasa
Aina duduk di hadapan seorang laki-laki paruh baya yang penampilannya tampak biasa saja. Siapa yang sangka kalau orang yang berada di depannya itu adalah seorang Dukun yang dikenal cukup handal dalam memuaskan semua kliennya.Aina mengenalnya dari rekomendasi seorang rekannya yang sudah tau jam terbang si Dukun."Ini Ki, fotonya." Aina menyerahkan dua lembar foto ke tangan laki-laki itu. Laki-laki yang dipanggil Aki melihat foto itu dengan seksama. Tadinya dia duduk dengan santai sambil bersandar di sandaran sofanya. Tapi ketika melihat kedua foto itu, matanya membulat sempurna."Ada apa Ki?" tanya Aina yang melihat perubahan pada ekspresi Dukun itu. "Ini sulit dipercaya," gumam Dukun itu. "Kenapa emangnya Ki?" Aina semakin bingung melihat sikap Dukun itu. "Ini, siapa perempuan ini?" Dukun itu bertanya seraya menunjuk wajah Rosa."Dia istri kedua si Hasan, Ki. Orang yang mau saya hancurkan. Ini Ki." Aina menunjuk wajah Hasan dan Sari."Saya ingin menghancurkan keduanya Ki. Mereka