Share

Membujuk

Author: KARTIKA DEKA
last update Last Updated: 2022-06-19 03:03:15

"Abang bangun, udah azan." Sari mengguncang lembut tubuh Hasan. Hasan hanya menggeliat, membalik badan memunggungi Sari. 

Wanita manis berlesung pipit itu, tak kehilangan akal. Dia juga berpindah posisi, ke hadapan Hasan yang masih dibuai mimpi. 

"Bang, bangun. Habis sholat, tidur lah lagi." Sari masih tetap mencoba membangunkan Hasan. 

"Sebentar lagi." Hasan kembali memunggungi Sari. 

Sari melengos melihat suaminya yang sangat sukar dibangunkan. Ditinggalkannya suaminya itu, untuk segera menunaikan sholat Subuh. Sepertinya percuma, kalau dia masih memaksa membangunkan Hasan sekarang. 

Sari sholat sendiri. Meski sudah menjadi kebiasaan, namun di lubuk hatinya. Teringin sangat, sholat diimami Hasan. Jangankan mengimami, bahkan Hasan sholat sendiri pun, bisa dihitung dengan jari.

Sudah jam enam lewat. Sari sudah pun selesai memasak. Tapi tak jua Hasan bergeming dari peraduannya. 

"Bang, udah jam enam lewat." Sari kembali membangunkan Hasan. Sudah menjadi rutinitasnya setiap pagi harus membangunkan Hasan berulang-ulang. Kalimat yang terucap dari bibirnya yang tipis pun tetap sama. Jangankan Sari, tetangga kiri kanannya sudah hafal bagaimana cara Sari membangunkan Hasan. 

Begitulah resiko tinggal di rumah petak. Yang satu dinding dengan tetangga. Jangankan bicara dengan suara keras. Bicara berbisik saja pun tetangga dengar. Apalagi rumah yang dikontrak Hasan dan Sari, dindingnya masih separuh batu, separuhnya lagi dari papan.

"Bang, biasanya pagi gini kan, rame anak sekolah sama orang kerja. Apa gak narik?" Sari tetap dengan sabar membangunkan Hasan. 

Hasan bangun juga. Begitulah setiap pagi yang harus dilaluinya. Sari takkan menyerah sampai Hasan bangun dan duduk. Apabila Hasan telah duduk dan beranjak ke kamar mandi, baru Sari membangunkan Rehan anak semata wayangnya. 

Cukup lama, Hasan terpekur di kamar mandi. Ternyata apa yang dilihatnya tentang tubuh Rosa hanya mimpi. Ada rasa sukur dalam hatinya. Bukan karena dia lelaki tak normal. Namun, dia tak ingin mengkhianati Sari. 

Sarapan dan teh manis telah tersedia di meja yang terbuat dari kayu sederhana, yang Hasan buat sendiri. Hari ini, Sari memasak lauk yang sangat menggugah selera buat Hasan. Sari masak kepala ikan kesukaan Hasan dan ayam goreng kesukaan Rehan. Biasanya Sari hanya memasak tahu, tempe. Paling kalau Hasan memberi jatah belanja lebih sedikit dari biasa. Sari bisa memasak telur balado buat lauk makan. Tapi karena tadi malam, Hasan memberi uang cukup banyak. Sari berpikir, tak mengapa sesekali memanjakan lidah. Agar tak hanya menyesap liur, saat mendengar orang lain bercerita betapa enaknya gulai kepala ikan dan ayam goreng kriuk yang seperti banyak dijual dipinggir jalan. 

Dengan lahap Hasan menyantap sarapannya. Nafsu makannya meningkat dua kali lipat, melihat menu yang disediakan istrinya. 

"Dek, doakan Abang. Biar sering sering dapat penumpang royal kayak tadi malam. Biar sering makan enak, kayak gini. Biar badan Rehan gemuk. Gak sakit-sakitan lagi," kata Hasan dengan suara sedikit dikeraskan, agar Sari yang sedang memandikan anaknya di kamar mandi, bisa mendengar. 

"Insha Allah, selalu Adek doakan. Tapi alangkah baiknya, Abang sendiri yang meminta sama Allah. Allah itu suka dirayu, Bang," sahut Sari. Dia  menggendong Rehan yang berbalut handuk, dan membawanya lagi ke kamar untuk dipakaikan bedak dan baju. 

"Adek yang berdoa, Abang yang usaha. Kan komplit." Hasan selalu berkelit, kalau Sari mulai menyinggung soal ibadah. Mulutnya sampai belepotan, karena sambil makan juga berbicara. Dia sangat menikmati gulai kepala ikan masakan Sari. Tak ada yang terlewat, dia hisap daging dan lemak ikan yang menempel di setiap tulang kepala ikan itu.

"Beda lah, Bang. Kalau Abang yang minta sendiri. Pasti tadi Abang gak langsung

sholat, siap mandi kan?" Sari keluar kamar dengan menggendong Rehan. Wajahnya sengaja dibuat cemberut.

"Udah kesiangan. Anak Ayah, udah ganteng. Makan yang banyak ya Nak. Pake ayam goreng. Nanti malam, Ayah mau mancing. Biar kita makan ikan yang besar." Hasan sengaja mengalihkan perhatian kepada Rehan. Kalau melayani Sari, bisa panjang rentetan kalimat alasan yang harus dia buat. Untuk menampik kata-kata Sari, yang selalu mengingatkannya tentang sholat. 

"Haduh kenyangnya." Hasan mengusap-ngusap perutnya seusai dia mencuci tangan. 

"Alhamdulillah, gitu Bang." Sari membenarkan ucapan yang seharusnya diucapkan Hasan. 

"Iya, Abang mau bilang gitu tadi. Udah duluan Adek." Hasan memang mahir berkelit. 

"Halah, alasan." Sari tak mudah percaya begitu saja. Dia hafal benar watak suaminya. 

Hasan terkekeh melihat mimik wajah Sari yang cemberut. Dicubitnya hidung bangir Sari. Sari semakin cemberut sembari mengelus pucuk hidungnya yang memerah. Sejak mereka pacaran, kebiasaan Hasan itu tak pernah berubah. Dia sudah tak bisa marah, untuk hal yang satu itu. 

Hasan adalah sosok suami dan ayah baik, bagi Sari dan Rehan, anak semata wayang mereka. Dia juga selalu jujur, tentang setiap penghasilan dari hasil jerih payahnya. Hanya soal ibadah yang selalu membuat Sari suka kesal dengan Hasan. Untuk yang satu itu, Hasan selalu punya seribu satu alasan.

"Abang berangkat narik dulu ya. Rehan masih demam? Biar setengah hari nanti, Abang balik. Kita bawa Rehan berobat." Hasan memegang kening Rehan, memeriksa kondisi anaknya itu. 

"Udah nggak Bang. Alhamdulillah. Semalam sore, Sari urut pakai minyak bawang. Dari tadi malam udah dingin badannya. Tapi, Sari pengen ke rumah Mamak. Udah lama gak kesana. Mumpung ada uang, kita bisa beli makanan buat Mamak." 

"Sukurlah. Ya sudah, nanti Abang balik. Minta uang bensin, Dek." Hasan memang selalu menyerahkan sepenuhnya hasil ngojek pada Sari. Makanya setiap akan narik, dia selalu minta uang bensin. 

Sari masuk ke dalam kamar. Dan mengambil selembar uang dua puluhan ribu buat Hasan. Setelah menerima uang itu, Hasan berangkat. Tak lupa diciumnya pipi kedua orang yang disayanginya itu. 

Sari dan Rehan memandang Hasan yang terus berlalu hingga tak tampak di pandangan mata. Dengan sebait doa, semoga Hasan pulang membawa hasil jerih payah yang halal. Terkadang, tak jarang Hasan pulang dengan membawa uang pas-pasan buat beli beras dan isi bensin untuk keesokan harinya saja.

★★★KARTIKA DEKA★★★

"San, sakit kau Nak?" Mamak Hasan bertanya sembari memandangi wajah Hasan. Wanita tua itu merasa, wajah Hasan tak seperti biasanya.

"Tak lah, Mak. Hasan sehat. Kenapa Mak?" 

"Mamak, tengok. Muka engkau macam lesu saja, pucat Mak rasa."

"Tadi malam, ngojek sampai tengah malam, Mak." Hasan memberi alasan yang memang benar adanya.

"Kenapalah sampai tengah malam? Angin malam tak baik buat badan engkau." 

"Berapa hari ini sepi Mak, kalau ngojek siang. Baru hari ini, Hasan lumayan dapatnya Mak."

"Alhamdulillah, kalau begitu."

"Tadi malam, Abang dapat langganan ojek baru Mak. Royal sekali orangnya. Abang dikasih lima ratus ribu," kata Sari ikut nimbrung pembicaraan mertua dan suaminya itu. 

'Kenapa Sari bilang Mamak?' batin Hasan. Padahal Hasan ingin, jangan ada yang tau soal Rosa. Dia takut akan banyak pertanyaan yang akan ditanyakan Mamaknya. Soalnya dia terlanjur janji sama Rosa, untuk merahasiakan tentang dirinya. 

"Hati-hati menerima pemberian tak wajar dari orang lain San. Apalagi orang yang tak engkau kenal." Nasehat Mamak Hasan. 

"Tak perlu lah terlalu curiga dengan kebaikan orang lain, Mak." 

"Bukan curiga Hasan. Tapi waspada lah sedikit. Hati Mamak nih, rasa tak tenang. Sejak semalam teringat engkau saja. Beruntung kalian datang hari ini. Kalau tidak, Mamak yang datang ke rumah kalian."

"Perasaan Mamak, saja itu. Mungkin karena Rehan yang demam kemarin. Atau, Mamak rindu dengan anak Mamak yang ganteng ini." 

"Oi, benarnya itu Sari. Sakit cucu Mamak kemarin?" tanya Mamak Hasan dengan suara dikuatkan pada Sari, menantunya yang sedang sibuk mencuci pakaian mertuanya di kamar mandi. Bermaksud agar Sari bisa mendengar suaranya.

"Iya, Mak. Alhamdulillah sudah sehat. Sudah Sari urut pakai minyak bawang," sahut Sari dari kamar mandi.

"Sukurlah, kenapa tak telepon si Ratna. Kan Mamak bisa datang sama Ratna." 

"Tak apalah Mak. Cuma demam saja. Kasihan juga Ratna, capek pulang kerja harus ke rumah lagi," kata Sari yang baru selesai membilas baju mertua dan adik iparnya.

Sari, memanglah menantu yang berbakti. Mamak Hasan tinggal satu atap dengan adik Hasan yang masih gadis. Tapi jam begini, biasanya adik Hasan, Ratna. Masih bekerja di sebuah pabrik yang cukup besar di kota mereka. 

Setiap datang ke rumah mertuanya. Sari selalu saja membersihkan rumah, juga mencucikan baju mertua dan adik iparnya. Dia yang yatim piatu, tak menganggap lagi Mamak Hasan sebagai mertuanya. 

"Kalian tidak ke rumah Pamanmu Sari?" 

Sari diam, tak lantas menjawab pertanyaan mertuanya. Dia memilih ke halaman belakang untuk menjemur pakaian yang baru saja dicucinya. Rasanya enggan, bila dia singgah ke rumah pamannya. Masih jelas diingatan Sari. Penghinaan yang dilontarkan Paman dan Bibinya terhadap Hasan dan mertuanya.

★★★KARTIKA DEKA★★★

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DiSUKAI SILUMAN ULAR   TAMAT

    Sari terus berusaha berkonsentrasi memanggil Nyi Baisucen. Dia harus tau kebenaran tentang Rosa. Apakah Rosa adalah saudari yang dicarinya selama ini?"Bibi Baisucen." Berulang kali Sari memanggil Nyi Baisucen. Namun Nyi Baisucen tak juga menjawabnya. Sari hampir putus asa. Kenapa bibinya tak menjawab panggilan darinya? Kalau dia ke klinik Pak Hanif, akan memakan waktu yang lama. Hampir setengah hari perjalanan menuju ke sana. Belum lagi perjalanan pulang. Dia tak bisa meninggalkan keluarganya dalam waktu yang lama. Sari mencoba untuk berkonsentrasi lagi. Mungkin tadi bibinya sedang sibuk pikirnya."Bibi Bai. Bibi Bai. Bibi Bai.""Ada apa Sari?" Sari lega, akhirnya Nyi Baisucen menjawab panggilannya. "Bibi bisa Bibi datang lagi? Ada yang hendak Sari bicarakan." "Bibi akan datang malam nanti. Klinik sedang ramai saat ini. Paman Hanif akan curiga." "Baik Bibi. Sari akan menunggu Bibi di taman kota." "Ya, Bibi akan menemuimu di sana." Sari mengakhiri panggilan telepatinya. Dia seg

  • DiSUKAI SILUMAN ULAR   Kebenaran terungkap

    Dua orang wanita cantik tampak sedang duduk berbincang di sebuah taman kecil yang ada di sebuah klinik pengobatan alternatif. Mereka adalah Nyi Baisucen dan Rosa. Sama dengan Sari, Rosa juga merasakan ada suatu kejanggalan dengan perbincangan mereka tadi malam. "Bi, katakan yang sejujurnya. Apa yang sedang Bibi sembunyikan? Kenapa Bibi bilang Sari adalah kemanakan Bibi? Bagaimana hal itu bisa terjadi, sementara Sari itu manusia sejati? Berbeda dengan Bibi." Rosa mencecar Nyi Baisucen dengan pertanyaan yang sejak tadi malam juga menggelayuti hatinya. Nyi Baisucen masih diam dengan pandangan lurus ke depan. Dia sedang memikirkan, bagaimana cara mengawali ceritanya pada Rosa."Kenapa Bibi diam? Apa ada yang sedang Bibi sembunyikan." Rosa menyelidik."Rosa, memang sudah seharusnya kau tau cerita ini. Sejak lama Bibi ingin menceritakan padamu, tapi Bibi tak bisa. Ayahmu melarang siapapun untuk menceritakan kebenaran ini padamu." "Apa maksud Bibi?" tanya Rosa dengan alis menaut. Nyi Bai

  • DiSUKAI SILUMAN ULAR   Kecurigaan Sari

    "Siapa yang datang pagi buta begini?" tanya Nyi Baisucen pada Sari, pandangannya tak lepas dari Honda HR V warna silver yang sedang parkir di pekarangan rumah Sari."Itu mobil Bang Hasan, Bi. Ada apa ya?" Sari pun bertanya-tanya. Hasan turun lebih dulu, baru disusul oleh Rosa. Nyi Baisucen terkesiap melihat keduanya. Matanya tak bisa berkedip sama sekali. "Siapa yang bersama dengan Hasan, Sari?" Dia bertanya, untuk memastikan dugaannya tak salah. "Itulah istri kedua Bang Hasan, Rosa namanya." Nyi Baisucen terperangah, tak percaya mendengar hal yang diungkapkan Sari. Nyi Baisucen terduduk lemas. 'Berarti, orang yang telah kudukung untuk menikahi Rosa adalah Hasan' batinnya.Penyesalan segera menyergap kalbu Nyi Baisucen. Kenapa dulu dia tak menyelidiki terlebih dahulu, siapa laki-laki yang dicintai Rosa? Sayangnya dia tak hadir pada saat Rosa menikah, hingga dia tak juga mengenal suami Rosa. Apalagi sudah sangat lama Rosa dan Nyi Baisucen tak lagi bertemu."Bibi!" Rosa sangat terk

  • DiSUKAI SILUMAN ULAR   Penyakit kiriman

    Rosa langsung membawa Hasan ke rumah ayahnya, setelah sebelumnya memanipulasi penglihatan Hasan. Sehingga yang tampak di pandangan Hasan adalah sebuah rumah yang mewah juga megah, dengan banyak security yang berjaga di setiap sisinya, baik diluar maupun di dalam. Security itu langsung membuka pintu rumah tatkala melihat kehadiran Rosa beserta suaminya. Sampai di dalam Rosa berpapasan dengan Sanca yang melihatnya dengan sinis. "Mau apa kesini, tengah malam begini?" sinis Sanca. ''Aku mau bertemu Ayah." Rosa tak lagi memperdulikan Sanca, dia langsung berjalan melenggang tanpa peduli dengan tatapaan tak suka Sanca pada Hasan.Apalagi Rosa melihat wajah Hasan kian memerah karena suhu tubuhnya semakin meningkat. Rosa menggandeng tangan Hasan yang panas untuk mempercepat langkah kakinya. Tak dipedulikan rasa terbakar di telapak tangannya.Rosa langsung menuju ke kamar Tuan Anaconda, sempat dia juga berpapasan dengan Panglima Derik di depan pintu kamar Tuan Anaconda. Walaupun Panglima Der

  • DiSUKAI SILUMAN ULAR   Tiba-tiba sakit

    Hasan merasa sangat gelisah malam ini, tubuhnya terasa panas. Dia senantiasa merasa kegerahan, hingga bajunya basah karena keringat. Berulang kali dia mengganti posisi tidurnya tapi tak membantu juga untuk mengurangi rasa gerah yang sedang menderanya. Rosa merasa tempat tidurnya terus berderit sejak tadi. Dia membuka matanya, lantas melihat suaminya yang tidur dengan gelisah. Alisnya menaut melihat suaminya yang bertingkah aneh."Kenapa Bang?" tanyanya pada suaminya, lantas duduk di atas ranjangnya.Dicepolnya asal rambutnya yang ikal mayang itu, hingga menampakkan dengan jelas lehernya yang jenjang."Gerah," jawab Hasan sambil mengipasi tubuhnya dengan baju sendiri. Rosa melihat ac di kamarnya, ac nya hidup. Tak ada masalah dengan itu. Gadis cantik itu bangkit, untuk memeriksa kondisi suaminya. "Astaga! Badan Abang panas sekali!" pekiknya ketika punggung tangannya ditempelkan ke dahi Hasan. Hasan duduk, dibukanya baju yang telah basah oleh keringat. Namun tak juga mengurangi rasa

  • DiSUKAI SILUMAN ULAR   Rubi masuk perangkap

    Aina duduk di hadapan seorang laki-laki paruh baya yang penampilannya tampak biasa saja. Siapa yang sangka kalau orang yang berada di depannya itu adalah seorang Dukun yang dikenal cukup handal dalam memuaskan semua kliennya.Aina mengenalnya dari rekomendasi seorang rekannya yang sudah tau jam terbang si Dukun."Ini Ki, fotonya." Aina menyerahkan dua lembar foto ke tangan laki-laki itu. Laki-laki yang dipanggil Aki melihat foto itu dengan seksama. Tadinya dia duduk dengan santai sambil bersandar di sandaran sofanya. Tapi ketika melihat kedua foto itu, matanya membulat sempurna."Ada apa Ki?" tanya Aina yang melihat perubahan pada ekspresi Dukun itu. "Ini sulit dipercaya," gumam Dukun itu. "Kenapa emangnya Ki?" Aina semakin bingung melihat sikap Dukun itu. "Ini, siapa perempuan ini?" Dukun itu bertanya seraya menunjuk wajah Rosa."Dia istri kedua si Hasan, Ki. Orang yang mau saya hancurkan. Ini Ki." Aina menunjuk wajah Hasan dan Sari."Saya ingin menghancurkan keduanya Ki. Mereka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status