Share

BAB 7

Bab 7

"Sudah. Mas mau pulang aja. Disinipun tak dihargai," dia pun beranjak dari tempat tidur, melenggang keluar tanpa berpamitan.

"Loh Mas, mau kemana Mas..."

Brakk...

Pintu ditutup dengan sangat keras membuat Alea terbangun dan menangis.

***

Mama dan Papa berhambur keluar mendengar keributan yang di buat Mas Aldi. "Ada apa Nis, Mama dengar ada suara ribut, kalian bertengkar ?"

"Mas Aldi ngambek Mah, gak tau apa masalahnya, mungkin karena Nisa diemin dia seharian tadi, kan Mama juga tau sendiri Nisa tadi ngapain aja,"

"Ada-ada saja kelakuan suami mu itu," Ucap Papa berlalu masuk.

"Sudah yuk Masuk. Kasihan Alea, gak baik bawa bayi diluar rumah sedang hari sudah gelap."

Kami pun masuk, Alea ku su5ui dan terlelap kembali.

Keesokan harinya, aku sibuk berkemas untuk pulang dibantu oleh Mama, sedari malam berjajar panggilan tak terjawab dan chat dari Mas Aldi, sedangkan aku sudah menuju ke alam mimpi, dia bilang gerbang rumah Ibu sudah dikunci, sedangkan kunci kontrakan ada padaku. Suruh siapa merajuk, kan jadi susah sendiri.

"Hp kamu bunyi terus Nis, ada yang penting kali," Ucap Mama sembari mengisi rantangan.

"Chat dari Mas Aldi semalaman Mah, pas malam Nisa gak aktifin data seluler, alhasil chatnya baru pada masuk,"

"Oooh gitu, yasudah yuk berangkat. Kamu udah siap kan? Mama udah pesenin taksi online, kayaknya udah didepan deh,"

"Udah Mah, yuk."

Kami pun berangkat menuju rumah kontrakan, Papa tak bisa ikut serta mengantar, sebab ada pekerjaan yang tidak bisa diwakilkan.

Sesampainya di kontrakan ku putar kunci dan ku buka pintu depan, alangkah terkejutnya kulihat seisi rumah berantakan bak kapal pecah.

"Astagfirullah Nisa, apa rumahmu habis kemalingan,? Tanya Mama tak kalah sama terkejutnya denganku.

Ku baringkan Alea terlebih dahulu ditempat tidur, aku menatap sekeliling, bajuku berserakan tak berada ditempatnya, bantal, selimut, perabotan semua berserakan dimana-mana. Ku amati setiap sudut dimana tempat barang berhargaku berada seperti televisi, laptop dan barang ekektronik lainnya masih ada ditempatnya. Aneh bukan, lalu ku buka lemari pakaian Mas Aldi, dan zonk. Tak ada sehelai baju pun tersisa di sana, bahkan pakaian Mas Aldi yang belum ku setrika pun raib.

Apa ini semua ulah suamiku, tapi bukannya kunci rumah ada padaku.

"Nis, Nisaa..." Mama berteriak dari arah belakang rumah.

"Ada apa Mah, kok sampai teriak-teriak,?" Tanyaku.

"Rumahmu sepertinya kemalingan Nis, lihat, pintunya jebol," Ucap Mama sepertinya shock.

"Ini semua ulah Mas Aldi Ma, sepertinya dia minggat ke rumah Ibunya."

"Aldi,??" Tanya mama dengan mimik wajah seakan tak percaya.

"Iya," Ucapku malas.

Sebenarnya ada apa dengan suamiku, apa karena kemarin tak sengaja ku diamkan. Tapi kulihat sekilas Mas Aldi selalu ditemani Kak Denis.

Kakak ku memang jarang berada di rumah, tuntutan pekerjaan yang mengharuskan ia dipindahkan ke luar kota. Kakak ku bekerja di salah satu perusahaan cukup terkenal di ibukota. Mau tak mau ia harus mengikuti prosedur perusahaan jika ingin lanjut bekerja. Setidaknya satu bulan sekali Kak Denis selalu pulang ke rumah Mama.

"Biarin lah Maa, udah gede ini, seharusnya dia tau mana yang baik dan tidak untuk dilakukan. Lagian ngambek dikit maen minggat-minggat aja udah kayak bocah labil. Gak ingat umur apa dia."

"Gak baik jika seperti itu Nis, biar bagaimanapun juga Aldi itu suami mu. Udah, siap-siap sana ke rumah mertua mu, biar rumah mama yang beresin. Mumpung Alea masih nyenyak."

"Hufff... Ya udah deh Mah," ku balikkan badan dengan malas untuk mengambil kerudung instan yang tergantung dibalik pintu kamar.

Bukan tak mungkin, pasti akan ada perdebatan disana, aku malas ribut hari ini, energiku seakan terkuras karena lelahnya mengisi acara kemarin.

"Ini sekalian bawa untuk mertuamu, tadi dari rumah sudah mama siapkan." Mama menyodorkan tiga susun rantangan besar yang berisi kue basah dan lauk.

"Iyaa... Nisa berangkat ya Maa, titip Alea, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam,"

Akupun berjalan menuju rumah mertua, saat melewati warung Mpok Minah, sedikit ku dengar ibu-ibu berbisik sambil menatap ke arah ku.

Aku tak terlalu menghiraukannya, ku percepat langkah agar cepat sampai.

"Assalamualaikum, Bu.." ku buka gerbang yang sengaja bila siang hari tak Ibu kunci.

"Waalaikumsalam, ehh Kak Nisa, ayo masuk Kak, Ibu ada di belakang, lagi masak." Ucap adik iparku mempersilahkan ku masuk.

"Buu ini ada Kak Nisa." Ucap gadis itu sambil sedikit berteriak kemudian berlalu menuju kamarnya."

Hari ini memang tanggal merah, sekolah diliburkan, tak termasuk Mas Aldi, tanggal merah malah wajib masuk kerja, itulah peraturan yang tertera di lembar kontrak kerja Departemen Store tempat suamiku bekerja.

Ya, dia diposisikan sebagai SPB (Sales Promotion Boy) di Mall City. Dulu kami satu rekan kerja.

Akupun Masuk, ku letakkan rantangan di atas meja makan, sepertinya Ibu tengah mambuat bolu pisang, arimomanya tercium sampai ruang depan.

"Nis, baru pulang kamu," ucap ibu mertua datar dengan posisi masih memunggungi ku.

"Ehh, iya Bu," kudekati Ibu mertuaku, ku ulurkan tangan ingin mengecup takzim tangannya.

"Tangan ibu kotor Nis, kamu lihat kan." Jawabnya masih datar.

Kulihat tangan ibu hanya berlumuran tepung terigu. Ku tarik kembali tanganku dan tetap berprasangka baik.

"Bu, Nisa..."

"Seharusnya kamu faham kewajiban kamu sebagai istri itu seperti apa. Bukannya main usir suami sendiri. Mentang-mentang di kandang sendiri mbok yo gak ada hormat-hormatnya sama suami." Ucap ibu sambil mengoles loyang dengan tepung terigu.

Belum tuntas ucapan ku yang tadinya ingin kutanyakan perihal Mas Aldi. Dan Ibu bilang Mas Aldi diusir?, Siapa yang mengusir Mas Aldi? Bukankah semalam dia dengan sadar meninggalkan rumah Mama atas kemauannya sendiri.

"Bu, disana tak ada yang mengusir Mas Aldi, dia pergi atas kehendaknya sendiri,"

"Sudah, kalau keluargamu tak menyukai Anakku, biar Aldi tidur disini saja yang sudah jelas tak akan ada yang berani mengusirnya malam-malam." Ibu berucap sambil membalik badan dan menatapku.

Aku pun balik menatapnya. "Bukan seperti itu kejadiannya Bu, Ibu salah faham, Mas Aldi marah gak jelas sama Nisa, dan Mas Aldi pergi begitu saja tanpa pamit dan tanpa ada yang mengusir."

"Saya lebih percaya sama anakku. Oh.. ya, kamu bawa apa itu Nisa?" Ibu bertanya, menunjuk dengan dagunya sembari menyilangkan kedua tangannya.

"Ah, ini Bu, ada kue basah sama lauk, Mama yang siapin," jawabku.

"Kamu bawa pulang lagi saja. Lagian kue bekas kok di kasihkan ke saya. Pas masih baru gak ada inisiatif. Malah kalian bagi-bagi kan ke tetangga." Ucapnya sembari mendelikkan kedua bola matanya.

"Lho, Bu. Ini bukan kue bekas, ini masih baru, belum Mama potong juga, maafkan keluarga Nisa, jika kemarin tak selalu memperhatikan Ibu dan yang lain, karena Nisa dan Mama juga kemarin sangat sibuk," jelasku.

Padahal kemarin kulihat Ibu mertua baik-baik saja. Tak ada raut wajah kesal, tapi tunggu, setelah pamit memang wajah ibu mertua agak ditekuk. Kufikir hanya kelelahan saja, dan kemarin Mama juga sudah membekali Ibu dengan kue-kue, apa masih kurang.

"Ya sama saja bekas. Wong sudah seharian di diamkan. Memang gak ada sopan-sopannya aja kalian itu. Sudah, bawa saja. Lagian ini saya juga lagi bikin kok. Gak usah repot-repot bawa kesini." Tegasnya.

Memang seorang menantu tak pernah ada benarnya di mata Ibu mertua. Sama hal nya yang terjadi padaku. Antara aku dan Ibu mertuaku.

"Tapi Bu.."

Tanpa memperdulikan ku, ibu mertua melenggang keluar dari dapur. Aku pun terduduk di kursi makan sembari merenung, apakah suamiku mengadu yang tidak-tidak terhadap ibunya, satu lagi masalah datang, soal kue. Tak lama ibu mertua kembali dengan membawa secarik kertas.

"Tanda-tangani ini Nisa,"

"Ini apa, Bu?"

Bersambung....

*Selamat membaca teman-teman:) maaf jika tulisan saya masih banyak yang berantakan, mohon tinggalkan komentar dan ulasan kalian yaa, karena itu mood booster untuk penulis:)).*

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status