“Temui gue di samping dapur.”
Aku meremang mendengar suaranya yang dalam yang dingin. Berbagai pertanyaan ingin aku tanyakan padanya saat ini juga. Apa yang akan dia bicarakan? Kenapa harus mencari tempat terpencil di samping dapur? Kenapa tidak di sini dan sekarang? Namun yang keluar dari mulutku hanya satu kata saja.
“Apa?”
Jace tidak menjawab. Dia malah menatapku dengan matanya yang menyimpan misteri. Tidak ada jendela yang bisa aku buka di sana. Hanya tatapan tajam yang mungkin bisa membunuhku.
“Kat?”
Suara Zoey mengagetkanku. Bahkan aku hampir menjatuhkan ponselku karena terkejut. Dia muncul dengan tiba-tiba dari balik tembok wastafel.
“Eh, Hai Zoey, kenapa?” tanyaku dengan terbata. Tidak seharusnya aku panik seperti tertangkap basah sedang selingkuh. Jace hanya bicara tidak lebih dari tiga kalimat. Seharusnya itu bukan masalah besar.
Oke, aku berlebihan.
“Cuma cek doang. Tadi kamu ngilang begitu aja.”
“Aku
Riuh teman-temanku seperti dengungan yang samar. Percikan dan riak air di mataku seolah menjadi adegan film yang diputar dengan gerakan melambat. Pandanganku selalu ke sana. Ke arah Jace yang juga memandang ke arahku.Dia menatapku lekat. Bahkan dari kejauhan, aku bisa merasakan intimadasi dari sorot mata itu. Membuat punggungku seperti di guyur air es. Aku sampai menggigil demi menghilangkan sensasi menakutkan itu.Apa dia marah karena reaksiku tadi yang tiba-tiba pergi dan bersembunyi bagai pengecut di sini?“Gue suka sama lo.”Ucapannya masih terngiang-ngiang di telingaku. Empat kata yang meluluh-lantahkan pertahananku selama ini.Berbulan-bulan aku berperang dengan perasaan ini. Perasaan yang membuat hatiku seperti menyimpan bara api. Panas dan pedih. Sekuat tenaga aku menjaga supaya tidak membesar. Tertatih-tatih menjaga supaya asapnya tidak terlihat ke permukaan.Lalu empat kata yang di ucapkan Jace tadi seperti be
Bau eucalyptus memenuhi indera penciumanku. Badanku terasa dingin dan kepalaku berdenyut kencang. Aku membuka mataku perlahan lalu beberapa kali mengerjap. Mencoba menyesuaikan jumlah cahaya yang bisa ditangkap mataku. “Kat?” Seseorang memanggil namaku dengan nada pelan. Aku menoleh ke arah suara itu dan menemukan siluet seorang wanita sedang menatapku cemas. Aku kembali mengerjap. “Sha?” Aku menegaskan apa yang aku lihat. Perlahan wajah Shafira mulai terlihat dengan jelas di depanku. “Minum dulu,” ucapnya sambil menyerahkan segelas air putih padaku. Setelah beberapa kali tegukan, aku serahkan kembali gelas itu padanya. “Mana Zoey?” tanyaku sambil mencoba untuk tenang. Karena yang terakhir aku ingat adalah dua berandal kampung sedang mengganggu kami di atas bukit sana. Shafira tidak menjawab. Dia menggigit bibir bawahnya dan beberapa kali melihat ke arah pintu kamar. “Sha, yang lain kemana?” “Ada di luar. Lo Ist
Musik mengalun pelan dari stereo mobil, menemaniku yang membisu sambil memandangi Jalanan padat di depanku. Jarak yang harusnya ditempuh kurang dari setengah jam, menjadi lebih dari satu jam karena kemacetan akhir pekan yang biasa terjadi di kawasan ini. Apalagi sebentar lagi masuk ke antrian gerbang tol. Maka perjalanan kami akan semakin tersendat. Di mobil ini, hanya ada aku dan Zoey. Sheryl tentu lebih memilih pulang bersama Briya, dan yang lain ketimbang dengan pengkhianat sepertiku. Sedangkan Jace, sudah tidak terlihat batang hidungnya semenjak subuh. Ada kemungkinan dia dan kedua temannya langsung pergi setelah perdebatan sengitnya dengan Zoey semalam. Semalam aku memutuskan mengunci diri di kamar. Aku tidak melihat lagi ke belakang ketika berlari meninggalkan dua orang bodoh yang sedang mempermalukanku saat itu. Yang aku dengar hanya suara Zoey yang memanggilku dan mencoba untuk mengejar. “Jangan ikutin gue!” bentakku pada Zoey di belakangku. A
Sayup-sayup aku mendengar ada suara orang yang mengobrol. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali sebelum menyambar handphone di atas nakas. Masih pukul empat sore, masih cukup banyak waktu untuk aku bersiap ke Saung Geulis, restoran milik ibuku. Karena ini adalah hari jumat dan aku harus membantunya di sana.Aku membuka pintu kamarku dan percakapan yang tadi terdengar samar menjadi sedikit lebih jelas.“Enggak bisa tante. Selama ini Katy memang enggak punya perasaan sama saya.”Ada yang membicarakanku dari lantai bawah. Aku mengendap ke balik tembok samping anak tangga paling atas. Mencoba sedikit mengintip siapa yang menyebut namaku tadi dan dengan siapa dia berbicara.Aku menemukan Zoey sedang mengobrol dengan ibuku di ruang televisi. Tidak heran jika mereka mengobrol seakrab ini, karena Zoey memang cukup dekat dengan ibuku. Namun, kenapa mereka menyebut namaku dengan wajah yang serius?“Kenapa enggak bisa?” I
Sudah jam tiga pagi, tetapi mataku masih belum bisa terpejam. Pikiranku yang tidak bisa diam di satu tempat membuatku kelelahan. Namun, tetap tidak membuatku mengantuk. Untungnya besok adalah hari libur. Jadi, aku akan tidur seharian sampai puas. Aku beranjak dari kasur untuk mengambil air minum di dapur. Aku sengaja tidak menyalakan lampu saat melintasi ruang makan yang gelap. Dengan sedikit mengendap, aku meraih gagang pintu kulkas. Menarik susu dingin, menuangkannya di panci lalu menyalakan kompor untuk memanaskan susu tadi. Aku duduk di kursi tinggi dekat dapur. Memandangi taman kecil samping rumah yang sedikit basah karena siraman air hujan. Aku berpikir untuk keluar dan menikmati sedikit udara segar di teras itu. Mungkin sedikit agak basah dan dingin. Namun, aku harap itu bisa menjernihkan pikiranku malam ini. Susu sudah cukup hangat untuk aku angkat dari kompor. Pelan-pelan aku tuangkan ke dalam gelas tinggi dan membawanya ke teras melalui pintu sampin
Cuaca malam semakin dingin. Sayup-sayup aku mendengar suara orang mengaji dari tempat ibadah yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Menandakan tidak lama lagi fajar akan segera menyingsing.Aku mengakhiri lamunanku tentang Jace dan hendak kembali masuk ke dalam rumah melalui pintu samping ketika sebuah taksi berhenti di depan gerbang rumahku.Aku mengintip dari teras samping. Rimbunnya pohon mangga menyembunyikan posisiku sehingga tidak terlihat dari jalan di depan rumah. Ibuku turun dari taksi itu.Dia terlihat mengobrol pada seseorang yang masih berada di dalam taksi. Tidak jelas siapa yang ada di dalam taksi itu. Ibuku tertawa sebentar lalu menggenggam tangan yang sedikit menjulur keluar melalu kaca yang terbuka. Kemudian ibuku melambaikan tangannya sebelum taksi kembali melanjutkan perjalanannya.Keningku berkerut ketika menyadari ukuran tangan yang terjulur itu terlalu besar untuk ukuran tangan seorang wanita. Dia juga memakai jam tangan besar yang b
‘Gue butuh bicara. Gue tunggu kabar dari lo - JA.’ Secarik kertas terselip di antara buku tugasku. Aku tidak tahu lagi nama siswa yang punya inisial JA selain Jace Ashad. Aku merobek kertas itu menjadi potongan kecil dengan berlebihan. Lalu kembali menekuri tugas kimia yang baru saja diberikan Bu Tika tadi. Sekelebat bayangan wajah Jace muncul lagi di mataku. Tatapan kecewa dan terluka terpampang jelas di matanya saat aku menamparnya waktu itu. Dia tidak mengucapkan sepatah katapun sampai aku meninggalkannya sendiri. Berhari-hari setelahnya, aku menghindar dan bersembunyi dari Jace. Tidak begitu sulit untuk bersembunyi darinya, karena dia juga sepertinya tidak berusaha mencariku kembali. Bahkan ketika kami tidak sengaja bertemu di gerbang sekolah, dia hanya melihatku dan membiarkanku melewatinya. Tiga hari setelahnya aku mendengar Jace dan Sheryl putus. Hal itu membuat gosip tentangku semakin panas dan liar. Aku semakin terkucil dan Jace sema
Seseorang menyentuh pundakku. Membangunkanku dari semua khayalan yang tadi merampas hampir setengah jam waktuku. “Sha?” Aku terkejut melihat cewek yang sebulan ini tidak mau bicara padaku malah datang menghampiriku di sini. “Hai, Kat.” Shafira duduk di sampingku. Dia membawa dua gelas teh manis di tangannya. Satu gelas di dorong ke depan wajahku. Melihat wajah Shafira, aku seperti diingatkan oleh sesuatu yang menyakitkan. Sesuatu yang membuatku sadar bahwa sebenarnya aku lelah. Memperjuangankan segala hal yang telah meninggalkanku. Aku terlalu sibuk untuk merasa bersalah. Sibuk memikirkan bagaimana caranya meminta maaf pada teman-teman yang menjauhiku. Juga pada semua yang bergunjing di belakangku. Dadaku penuh dengan amarah pada diri sendiri. Sampai tidak sadar, kalau ada sisa hati yang masih berharap. Andai saja aku masih bisa memuja laki-laki yang aku suka itu dalam diam. Seperti yang biasa aku lakukan dulu. Sesederhana itu harapanku. Aku h