Share

Dia yang Dibawa Pulang, Aku yang Dilupakan
Dia yang Dibawa Pulang, Aku yang Dilupakan
Author: KarenW

Bab 1

Author: KarenW
Sudut Pandang Kellen.

Aku bisa merasakan kebencian ketiga saudara laki-lakiku padaku. Jadi, aku memutuskan untuk pergi ke suatu tempat yang tidak akan pernah mereka temukan.

“Sudah yakin, Nona Kellen? Setelah menandatangani kontrak ini, hidup Anda sepenuhnya berikat dengan Grup Wijaya. Tidak ada jalan mundur.”

“Aku tahu,” jawabku tenang dan yakin.

Pria itu diam sejenak lalu senyuman tipis muncul di wajahnya, “Selamat bergabung, Nona Kellen. Grup Wijaya menantimu.”

Begitu telepon terputus, aku langsung memesan tiket kapal feri ke Mankalis. Hari keberangkatan tepat seminggu dari sekarang.

Tujuh hari cukup untuk membereskan rumah, menyelesaikan semua urusan, dan memutus seluruh hubungan dengan para saudaraku selamanya.

Aku ragu sejenak, lalu menelepon Anto Kurniawan. Namun, tidak dijawab. Padahal aku juga tidak berharap dia akan menjawab.

Berikutnya Rio Kurniawan, yang paling dingin di antara kami bertiga, tapi setidaknya dia berpura-pura seperti tidak membenci aku.

Setelah lima dering yang panjang, akhirnya dia mengangkat. “Ada apa?”

“Besok malam natal,” kataku. “Kalau kamu tidak sibuk, mungkin hari ini kita bisa berkumpul.”

Aku tahu mereka sedang sibuk. Mereka pasti akan bawa Siti ke vila liburan mewah, seperti setiap tahun sejak dia datang pada hari ulang tahunku yang ke-16 dan mengubah segalanya menjadi kacau.

Rio terdiam dalam waktu cukup lama.

“Aku sudah menyiapkan segalanya. Kamu hanya perlu datang. Aku bahkan sudah membuatkan kue krim kesukaan Siti.”

Nada suaranya langsung berubah jadi getir, “Kau masih berani menyebut namanya setelah semua yang kamu lakukan? Dia masih di rumah sakit. Pergelangan kakinya terkilir dan juga demam…”

Ya, Siti jatuh ke dalam kolam renang. Dan karena aku berdiri paling dekat, ketiganya langsung menuduh aku yang mendorongnya, meski aku dan Siti sudah sama-sama mengatakan bukan aku pelakunya.

Aku mengabaikan tuduhannya, “Kalau begitu, aku akan bawa kue ke rumah sakit, tidak masalah.”

Sebelumnya, aku tidak pernah mengalah seperti ini. Biasanya, aku akan langsung menutup telepon begitu mereka mengatakan “apa yang aku lakukan padanya”. Tapi kali ini berbeda. Aku akan pergi. Dan sebelum aku menghilang untuk selamanya, aku ingin sebuah perpisahan yang layak, meskipun hanya untuk diriku sendiri.

Lalu terdengar suara lemah dari ujung telepon, suara Siti.

“Apakah itu Kellen? Aku dengar tentang kue...”

“Dia membuatnya untukmu,” kata Rio dengan suara kaku. “Katanya, rasa yang kamu suka.”

“Wah, senangnya! Kue yang Kellen bikin paling enak!” kata Siti, terdengar seperti anak kecil yang senang.

“Aku bisa mampir kalau kamu mau,” kataku dengan pelan.

Rio tidak menyetujuinya, tapi dia juga tidak melarang. Aku anggap saja keheningan itu sebagai perizinan, lalu memutuskan telepon.

Aku naik taksi pulang ke apartemenku dan mengambil kue krim buatan pagi tadi. Aku masukkan ke kotak dengan rapi, lalu ikat dengan pita merah.

Saat sampai di rumah sakit, baru lewat jam enam. Kamar Siti terlihat seperti hotel mewah daripada kamar pasien, lengkap dengan dapur dan ruang makan kecil. Tapi hanya ada empat kursi.

Aku tahu mana kursi yang bukan untukku.

Siti langsung bersemangat ketika melihat kue. Dia bahkan menancapkan lilin di tengah dan berdoa sebelum meniupnya. Kemudian dia memotong selapis kue dan mencicipi satu suapan, lalu wajahnya langsung berseri.

“Manis banget! Sempurna!” Siti tersenyum lebar.

Aku tersenyum, tapi tidak berkata apa pun. Lalu, aku memotong selapis kue kecil untuk diriku dan mengambil garpu, duduk di sofa.

“Aku makan di sini saja.”

Jason Kurniawan menatapku dengan tajam, seolah pandangannya bisa membunuh orang, “Tahu sendiri tempatnya di mana.”

Anto menoleh dan sedikit terkejut sejenak, lalu kembali memperhatikan Siti.

“Aku dengar Franzia sangat indah selama Natal," celetuk Siti sambil memotong suapan kue lagi. “Kalau aku sudah sembuh, gimana kalau kita semua pergi liburan?”

Anto tertawa kecil dan mengusap rambutnya, “Kita boleh kemana pun kamu mau.”

Siti menoleh padaku, matanya yang besar penuh harap, “Kellen? Kamu ikut juga?”

Genggamanku pada piring menegang. Aku cukup gugup sampai tanganku gemetar, hampir menjatuhkan kue ke lantai, “Mungkin tidak. Aku akan segera pergi. Aku … harus meneliti produk baru.”

“Produk baru?” Jason menyindir. “Bahkan di hari Natal saja kamu tetap kerja. Sepertinya kami harus memberimu medali atau semacamnya.”

“Aku cuma…”

“Sudahlah,” potong Anto dengan nada dingin. “Mungkin lebih baik Kellen menjauh dulu. Jangan sampai Siti didorong ke kolam lagi.”

Suasana jadi canggung.

Mereka tidak tahu bahwa “perjalanan” ini bukan sementara. Setelah tujuh hari, aku akan benar-benar pergi, tanpa kabar di mana, bahkan tanpa niat untuk kembali.

“Kalau kamu pergi,” kata Anto dengan dingin sambil menatap piringnya. “Apa keberatan kalau Siti pindah ke kamar lamamu di rumah?”

Aku menatapnya. Tidak ada rasa kasih sayang sedikit pun dalam pandangannya, seolah dia sedang berbicara dengan orang asing.

Jason menambahkan dan matanya menyipit, “Dia dulu selalu keberatan berbagi kamar sama Siti.”

“Tidak masalah,” jawabku. “Dia boleh pindah. Besok aku akan kemasi barang-barangku.”

Mereka bertiga menatapku dengan terkejut, seperti aku berubah orang.

Karena sebelumnya, aku selalu menolak. Dan mereka membenci aku karena itu. Kalau Siti tidak tinggal kamarku, gadis tercinta mereka terpaksa harus tinggal di kamar tamu.

Anto menyipitkan matanya. “Jangan plin-plan dengan keputusan kamu ya, Kellen.”

“Aku tidak akan,” kataku dengan lirih. “Aku sudah mengikhlaskan beberapa hal. Lebih baik Siti tinggal kamarku. Supaya kalian bisa jaga dia dengan baik.”

Anto tersenyum kecil dengan sinis, Jason memutar bola matanya, dan Rio tetap diam, hanya menatap garpu yang bahkan tidak dia pakai.

Sudah hampir malam hari.

Siti bilang dia lelah, itu mengisyaratkan aku untuk pergi.

Aku pun mengambil tas, berdiri, dan menatap mereka untuk terakhir kali.

Untuk sesaat, hanya satu detik aku merasakan kesedihan yang telah aku pendam selama bertahun-tahun meletus dalam hatiku. Dulu, aku miliki ini semua. Dan dulu, aku dicintai.

Sekarang, aku hanyalah seorang tamu, seorang tamu yang tinggal terlalu lama.

“Sampai jumpa,” kataku.

Dan tak ada satu pun dari mereka yang menjawab.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dia yang Dibawa Pulang, Aku yang Dilupakan   Bab 10

    Sudut Pandang Kellen.Adam memberiku pernikahan paling mewah yang pernah kubayangkan. Acara yang terdapat pada surat kabar dan yang tak pernah terbayangkan oleh diriku yang dulu. Lalu aku hamil. Seorang anak laki-laki. Itu adalah sebuah kejutan, di usiaku, aku tak mengira itu masih mungkin. Tapi dia benar-bena ada. Lembut, indah, dengan mata Adam dan sifat tenangku. Saat dia berulang tahun yang ke-satu, Adam mengadakan pesta ulang tahun besar-besaran. Semua orang datang. Bahkan Keluarga Kurniawan. Adam mengizinkan mereka masuk. Anto tampak lebih tua sejak terakhir kulihat. Pundaknya membungkuk, dan matanya meredup. Rio datang dengan kursi roda. Jason tampak hancur, kurus dan lelah. Mereka tak berbicara denganku. Mereka hanya meninggalkan hadiah kecil di dekat meja. Kartunya bertuliskan, [Semoga kamu memiliki hidup yang paling indah, paling sempurna.] Aku tak membawanya pulang. Aku meninggalkannya di dekat tempat sampah. Karena beberapa hadiah, jika datang terlambat, b

  • Dia yang Dibawa Pulang, Aku yang Dilupakan   Bab 9

    Sudut Pandang Kellen.Sudah sepuluh tahun sejak aku bergabung dengan Grup Wijaya.Selama itu, formula yang aku kembangkan telah membantu mereka menghasilkan keuntungan ratusan miliar. Seluruh pasar dibentuk ulang karena hasil kerja aku.Aku bukan lagi seorang ahli kimia rahasia yang bersembunyi di balik pintu laboratorium, aku menjadi aset paling berharga milik mereka.Dan aku juga pacar Adam.Dia mengatakan bahwa dia jatuh cinta padaku sejak pertama kali melihatku. Mungkin itu benar, mungkin tidak. Tapi dengan menjadi kekasihnya, aku diberikan hal-hal yang tidak pernah didapatkan oleh kebanyakan orang di organisasi ini, yaitu kebebasan dan keamanan.Berkat Adam, aku tidak perlu tinggal penuh waktu di Mankalis. Aku bisa bepergian. Sering kali, dia hanya bertanya ke mana aku ingin pergi selanjutnya, lalu membawaku ke sana.Namun karena dia, dan Grup Wijaya, kita selalu bepergian secara diam-diam. Penerbangan yang tenang dan reservasi yang tidak tercatat.Untuk perayaan sepuluh tahun aku

  • Dia yang Dibawa Pulang, Aku yang Dilupakan   Bab 8

    Sudut Pandang Anto.Aku memejamkan mata sejenak. Saat membukanya, aku melihat Siti. Dia berdiri di gerbang depan, berlama-lama seolah menyembunyikan sesuatu. Siti. Semuanya dimulai saat aku membawanya pulang. Ancaman-ancaman datang tak lama setelah Angga meninggal. Pesan-pesan anonim. Peringatan. Tuntutan. Lindungi Siti, atau Kellen yang akan kena dampaknya. Dan sekarang aku tak bisa berhenti bertanya-tanya, bagaimana jika aku tidak membawa Siti pulang? Bagaimana jika aku tidak percaya aku bisa menangani keduanya? Melindungi Kellen, menjalankan kerajaan ini, menjaga semuanya agar tak runtuh? Akankah Kellen masih ada di sini? Siti menyelinap keluar ke dalam kegelapan, menghilang di balik pagar tanaman. Aku mengerutkan kening. Rasa curiga menyelimutiku. Jadi aku mengikuti. Tak lama kemudian, aku mendengar suara-suara pelan, penuh amarah. “Kamu tidak berhak mengancamku,” desis Siti. “Aku sudah memberimu apa yang kamu minta!” “Dan sekarang aku ingin lebih,” bentak seorang

  • Dia yang Dibawa Pulang, Aku yang Dilupakan   Bab 7

    Sudut Pandang Anto.“Dia menawarkan diri sebagai ahli kimia mereka,” kataku, memaksa kata-kata itu keluar. “Yang termuda dalam catatan.” Rio tak berkata apa-apa. Dia juga tahu apa artinya. Jika Kellen benar-benar bergabung dengan Grup Wijaya, berarti dia hilang. Bahkan jika dia masih hidup, dia tak akan pernah bisa kembali. Pikiranku berputar-putar. Bagaimana kami membiarkan semua ini terjadi? Bagaimana gadis yang dulu kugendong di pundakku bisa menjauh begitu jauh hingga aku bahkan tak menyadari dia pergi? Dan yang lebih buruk, mengapa dia merasa harus melakukannya? Rasa sakit yang dingin dan hampa menggerogoti dadaku. Rio tiba-tiba berdiri. “Aku akan ke Mankalis.” “Apa?” “Aku akan bicara dengan Adam Wijaya. Aku tak peduli apa yang dibutuhkan. Dia adik kita.” “Aku sudah bicara dengannya,” kataku dengan suara pelan. “Hampir mustahil membawanya kembali sekarang. Dan aku takut kita akan membuat Adam marah dan dia malah akan melakukan sesuatu pada Kellen. Jadi kita harus

  • Dia yang Dibawa Pulang, Aku yang Dilupakan   Bab 6

    Sudut Pandang Anto.Aku duduk di ruang kerjaku, telepon digenggam erat di satu tangan. Aku menatap layarnya seolah layar itu akan berkedip kembali menghadapku.Kellen masih tidak menjawab, masih langsung ke pesan suara, sekali demi sekali.Aku benci ide mempekerjakan detektif swasta untuk mencari adikku sendiri. Tapi saat ini, aku tidak punya pilihan.Aku mengembuskan napas dengan keras dan menekan layar. “Joko.”“Pak Anto.”“Aku perlu kamu mencari seseorang.”"Tentu saja. Siti?"Asumsi itu membuat sesuatu di dadaku terasa sesak. “Bukan,” kataku dengan tegas. “Adikku Kellen Kurniawan.”Seketika hening. “…Baik, tentu saja. Beri aku tiga puluh menit. Aku akan telepon kembali dengan apa yang kudapatkan.”Aku memutuskan panggilan dan menuju kamar mandi, mencoba membersihkan ketegangan dari kulitku.Kellen tidak mungkin kenapa-napa. Dia selalu kuat, pintar, dan tangguh seperti duri. Selalu gitu....Ketika Joko telepon kembali, suaranya tidak yakin seperti biasanya. “Pak Anto… Aku tahu loka

  • Dia yang Dibawa Pulang, Aku yang Dilupakan   Bab 5

    Sudut Pandang Anto.Kita baru tiga hari di Franzia ketika Rio mulai bergumam untuk pulang.Sebenarnya, aku juga memikirkan hal yang sama.Ada yang tidak beres dengan perjalanan kali ini. Kami tertawa, minum-minum, sementara Kellen sendirian. Dia terperangkap di laboratoriumnya.Tapi Siti tidak mau pulang. Dia bilang dia ingin merayakan malam tahun baru di sini.“Aku…” Rio mulai bicara, tapi aku memotongnya.Sebagai yang tertua, kata-kataku berbobot. Bahkan Siti jarang sekali menyela ketika aku berbicara.“Siti,” kataku dengan lembut, “Aku masih ada urusan bisnis yang menunggu. Lebih baik kita pulang besok.”Wajahnya meredup. Dia tidak membantah, tetapi kekecewaan di matanya jelas terlihat. “Maaf." Aku menambahkan dan mengulurkan tangan untuk mengacak-acak rambutnya. "Kita bisa ke sini lagi kapan saja, aku janji. Selama aku tidak ada kerjaan."Tapi dia tidak tersenyum. “Kamu janji akan tinggal sampai malam tahun baru,” bisiknya.Dan dia benar, aku memang pernah berjanji. Saat itu aku b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status